cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum
ISSN : 19782292     EISSN : 25797425     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum merupakan media ilmiah bidang kebijakan hukum berupa hasil penelitian dan kajian, tinjauan hukum, wacana ilmiah dan artikel. Terbit tiga kali setahun pada bulan Maret, Juli dan November.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 7, No 1 (2013): Edisi Maret" : 7 Documents clear
RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA PRO ENVIRONMENT (Studi Dampak Pertambangan Timah di Provinsi Bangka Belitung) THE NATIONAL ACTION PLAN FOR HUMAN RIGHTS PRO ENVIRONMENT (The Study Of The Stannary Mining Impact in Bangka Belitung Province) Firdaus Firdaus
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol 7, No 1 (2013): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/kebijakan.2013.V7.27-40

Abstract

Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Generasi Ketiga adalah merupakan suatu upaya yang disusun sebagai pedoman pelaksanaan penghormatan, perlindungan, pemajuan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi tanggung jawab dan kewajiban Negara bagi warga negara. Namun dalam pelaksanaan, oleh pemerintah daerah belum sesuai dengan kebijakan pemerintah, dimana oleh pemerintah daerah harus memperhatikan fokus, potensi, dan permasalahan yang belum terpenuhinya lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi masyarakat.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui secara signifikan persiapan RANHAM tentang Pro Environment dan kebijakan pemerintah daerah untuk peningkatan mutu lingkungan hidup untuk kesehatan masyarakat dalam rangka pro lingkungan. Selanjutnya evaluasi ini dapat diketahui pencapaian pemerintah daerah dalam menciptakan pro lingkungan yang berperspektif HAM dalam menyongkong kehidupan manusia baik pada tataran peraturan sampai dengan pelaksanaan pro lingkungan di daerah mengalami dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan.AbstractThe National Action Plan for Human Rights (RANHAM) Third Generation is an effort that arranged as guidance of the implementation of esteem, protection, furtherance and fulfillment of Human Rights is the responsibility and obligation of its citizens. However, the local governments have not implemented feasible with the policy of the central government, they should be more focus to the potential, and the problem that is people do not have good and healthy environmental.This research intends to know RANHAM preparation of Pro Environment, significantly and local government policies to improve the quality of the environment for public health in order to pro-environment. Furthermore, this can be determined through the evaluation of the achievement of local government in creating an environment that has a pro-human rights perspective in support of human life both at the level regulations to the implementation until the pro-environment in districts experiencing the environmental impacts of mining activities.
KESIAPAN KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI RENCANA PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM THE READINESS OF THE REGIONAL OFFICES OF THE MINISTRY OF LAW AND HUMAN RIGHTS A PLAN OF LEGAL AIDS Nizar Apriansyah
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol 7, No 1 (2013): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/kebijakan.2013.V7.41-61

Abstract

Pemusatan pengelolaan bantuan hukum di Kementerian Hukum dan HAM menemukan beberapa masalah diantaranya bagaimana kesiapan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM, Peran lembaga/instansi terkait lainnya dalam mengimplementasikan undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan apakah pemberian bantuan hukum berdampak pada Perekonomian. Kajian ini mengunakan metodologi deskriptif analisis yang bertujuan untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya terjadi dilapangan terkait dengan akan dilaksanakannya Undang-Undang nomor 16 tahun 2001 tentang bantuan Hukum.Berdasarkan data lapangan diperoleh kesimpulan bahwa Kanwil siap menerima limpahan wewenang seperti diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum tapi, ada kekawatiran dari pihak kanwil sendiri terkait dengan pertangungjawaban keuangan, kesiapan tenaga teknis, kurangnya pemahaman sebagian pegawai mengenai Undang-undang ini dan pengawasanan terhadap LBH yang diberikan dana dan wewenang memberikan bantuan hukum, Untuk melihat kendala pemberian bantuan hukum kami mensurvey 77 Narapidana dan Tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) menunjukan sebagian besar Responden belum mengetahui program bantuan, untuk Peran lembaga terkait, diantaranya LBH mengupayakan perubahan yang signifikan dalam upaya penegakan hukum. Biro Hukum Pemda, telah menganggarkan dana bantuan hukum untuk masyarakat miskin. Penelitian ini merekomendasikan antara lain menyusun SOP pengucuran dana bantuan hukum oleh Kantor Wilayah, Pengawasan dan pengendalian pengucuran dana bantuan hukum oleh Kantor Wilayah, adanya mekanisme dan standar pertangung jawaban keuangan penyelenggara bantuan hukum serta mekanisme pengawasan terhadap kinerja lembaga pemberi bantuan hukum, menyeleksi LBH yang diberi wewenang memberikan bantuan hukum secara selektif dengan kriterian tertentu, ada kerja sama antara Kanwil Kementerian hukum dan HAM dengan Pemerintah Daerah dalam memberikan sosialisasi yang lebih instensif kepada masyarakat tentang pemahaman Hukum.AbstractCentralizing the management of legal aid at the Ministry of Justice and Human Rights has found several issues that is ; how about the readiness of regional offices of the Ministry of Law and Human Rights, then role of institutions/ other relevant agencies in implementing the Act Number 16 of 2011 on Legal Aid and whether the provision of legal aid impacted to the economy.This study uses analitycal descriptive methodology intended to describe the actual conditions in the field related to the implementation of it.Based on field data, it has concluded that the regional offices are ready to receive an delegation of authority as mandated in Law No. 16 of 2011 on Legal Aid but, they have any concerns about accountability of financial terms, readiness of technical staffs, lack of understanding of most of the employees of this law and the supervision / monitoring of the legal aid that provided fund and authority to provide it. Based on the survey that have been done on 77 prisoners and custodies in Correctional Institution (LP) and State Prison (Rutan), it shows tha the majority of respondents do not know that program, for the role of related institutions, including legal aid institutions have been trying to make significant changes in law enforcement. Legalagencies of regional government have budgeted funds legal aid for the poor. It recommends the arranging of standard operating procedures of legal aid disbursement, supervision and control of legal aid disbursement by the regional offices, a mechanism and standards of financial accounting of legal aid administrators and a mechanisms to control the performance of them, selecting authorized legal aids, carefully, working together between the regional offices of the Ministry of law and human Rights and local governments to socialize the understanding of law to the public, intensively Law.
PEMENUHAN HAK PENDIDIKAN BAGI ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK THE FULFILLMENT ON THE RIGHT TO EDUCATION FOR JUVENILE CRIMINALS IN THE JUVENILE SPECIAL CORRECTION FACILITY Oki Wahju Budijanto
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol 7, No 1 (2013): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/kebijakan.2013.V7.62-72

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam pemenuhan hak atas pendidikan serta mengetahui model kerjasama dalam pemenuhan hak atas pendidikan yang dapat diterapkan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Permasalahan yang diungkap adalah bagaimana pelaksanaan pendidikan bagi anak didik pemasyarakatan serta hal-hal apa saja yang perlu dilakukan agar model kerjasama dalam pemenuhan hak atas pendidikan dapat diterapkan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan menggunakan metode kualitatif yang kemudian dianalisis secara deskriptif.Data yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah kenakalan anak sudah mengarah kepada bentuk tindakan kriminal berat, seperti narkoba, penganiayaan berat bahkan tindakan pembunuhan. Berkaitan dengan proses asimilasi, pihak Lapas tentu saja akan memberikan pertimbangan khusus bagi anak didik pemasyarakatan yang terlibat dalam kejahatan semacam ini, karena anak didik pemasyarakatan semacam ini tentunya akan menghadirkan resiko tersendiri dari sisi keamanan serta psikologis mereka. Belum semua anak didik pemasyarakatan mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Masih terdapat anak didik pemasyarakatan mengikuti pendidikan di luar Lapas dengan biaya sendiri. Hal ini tentu saja memprihatinkan karena membatasi akses pendidikan bagi anak didik pemasyarakatan yang berasal dari keluarga tidak mampu. Tingkat pendidikan anak didik pemasyarakatan ternyata cukup bervariasi. Anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, misalnya anak didik pemasyarakatan yang buta aksara atau yang sudah terlalu “tua” untuk bersekolah di SD atau SMP.Dari data tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa model pendidikan dan pembinaan yang tepat dilakukan dalam pemenuhan hak pendidikan bagi anak didik pemasyarakatan di LPKA adalah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Dalam mewujudkan PKBM yang dimaksud, partisipasi dari berbagai institusi sangat berpengaruh dalam keberhasilannya. Konsep PKBM menunjukkan bahwa prinsip hak asasi manusia (partisipasi dan non-diskriminasi) dapat diterima dan diterapkan pada (LPKA).Saran yang dapat disampaikan adalah ke depan model pendidikan dan pembinaan anak harus dapat memberikan standar minimum penyelenggaraan pendidikan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak LPKA, baik standar kurikulum yang sesuai dengan kapasitas anak didik pemasyarakatan maupun sarana dan prasarana yang harus tersedia. Sedangkan dari segi ketersediaan tenaga pengajar, disyaratkan keahlian di bidang pendidikan sebagai syarat utama pendaftaran kepegawaian di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Pembinaan dan pelaksanaan program pendidikan dan pembinaan terhadap anak didik pemasyarakatan akan berhasil dengan manajemen dan kepemimpinan yang baik. Kepala Divisi Pemasyarakatan dan Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) diharapkan kedepan lebih mampu mengelola institusi dengan melibatkan berbagai pihak luar baik itu pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Swasta maupun masyarakat. Persamaan persepsi semua Kepala Divisi Pemasyarakatan dan Kepala LembagaPembinaan Khusus Anak (LPKA) dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan/pencerahan yang diikuti dengan teknik pemasaran, agar fungsi dari Divisi Pemasyarakatan tidak semata-mata hanya untuk koordinasi saja.AbstractThis study intends to inventory the things what needs to be done in fulfillment of education right and to know the cooperation in its fulfillment can be applied to the Institution of Special Development of the Children (LPKA).It reveals the problem of how the implementation of education for correctional proteges and things that need to be done in order that model can be carried out by kualitative method, then analyzed descriptively. Based on research data, the children delinquency is to severe criminal such as drug abuse, severe torture and even murder. Then related to the process of assimilation, the correctional institutions will give special consider to them,because they will take their own risks both security and psychology. Not all of them get the same opportunity of education. They still study outside of correctional intitution at their own expense. It is certainly concerned cause it restricts their access of education of disadvantaged families. They also have varieties of educational level. For example,the disable of illiteracy or the "elder" to study at elementary school or junior high school.Based on data, it can be concluded that the right model is the Community Learning Center (CLC). In realizing of it, the participation of various institutions is very influential. The CLC concepts show that the principle of human rights (participation and non-discrimination) can be accepted and applied to (LPKA). It suggests the model of education and children development should be able to provide a minimum standard of education at the Institution of Special Development of the Children,in the next time, either the standard curriculum of correctional prosteges and infrastructure that must be available. In terms of the availability of teachers, required the expertise in the field of education as main condition of employment enrollment at the Institution of Special Development of the Children (LPKA). The development and implementation of educational programs to the correctional prostegeswill be will succeeded with good management and leadership. In the the chief of the Correctional Division of and the Chief of Institution of Special Development of Children is hoped can manage their institutions involed some external parties both local governments, NGOs, private and public. The same perception can be achieved by giving trainning/ enlighment of marketing technical, so that the function of the correctional divisions are not merely about coordinations.
LEGALITAS SUBJEK HUKUM YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM (Kedudukan Yayasan Yang Terbentuk Sebelum Lahirnya UU 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan) THE LEGALITY OF THE INSTITUTION LEGAL SUBJECT AS CORPORATION (The Standing of Foundation Established before the inception of the Act Number 28 of 2004 on Amendement of the Act Number 16 of 2001 on Foundation) Taufik H . Simatupang
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol 7, No 1 (2013): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/kebijakan.2013.V7.`1-12

Abstract

Pendirian yayasan di Indonesia sebelum tahun 2001 hanya berdasarkan atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Fakta menunjukkan masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para para pendiri, pengurus dan pengawas. Sejalan dengan kecenderungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiatan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang tercantum dalam anggaran dasarnya. Oleh karenanya, UU 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan (UU Yayasan) dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar penataan administrasi pengesahan suatu yayasan sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik guna mencegah berdirinya yayasan tanpa melalui prosedur yang ditentukan dalam UU Yayasan.AbstractEstablishment of foundations in Indonesia before 2001 just based on habit in society and jurisprudence of the Supreme Court, because no it was not law that govern them. The facts show the community established a foundation intent to take cover behind the status of the foundation, which is not only used as a forum to develop social activities, religious, humanitarian, but it also to get feather one's nest of founders, administrators and supervisors. In line with this trend also arise various problems, both problems are related to the activities of the foundation which do not fit with the aims and objectives set forth in its charter. Therefore, Act No. 28 of 2004 on the amendment of Act No. 16 Year 2001 on the Foundation (Foundation Act) was intended to provide a correct understanding of the public about the foundation, ensure legal certainty and order and restore the function of the foundation as a legal institution in order to achieve certain goals in social , religion and humanity. Its establishment is done by notarial deed and obtain legal status after it is approved by the Minister of Law and Human Rights or his representative. The provision is intended to approval administrative structuring of a foundation as a legal entity can be done properly in order to prevent theestablishment of a foundation without going through the procedures specified in the Act of Foundations.
PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA DAN AKIBAT HUKUMNYA (Suatu Tinjauan Normatif) THE REGISTRATION OF FIDUCIARY AND THE LEGAL CONSEQUENCES (A Review of Normative) Ahmad Sanusi
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol 7, No 1 (2013): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/kebijakan.2013.V7.73-83

Abstract

Fenomena pertumbuhan ekonomi di 2013 sebesar 6.8 % akan membawa dampak pada dunia lembaga penjaminan. Sektor perkreditan konsumtif diasumsikan akan meningkat. Dengan didaftarkannya jaminan fidusia akan memberikan perlindungan hukum terhadap penerima fidusia (debitur) maupun terhadap Pemberi Fidusia (kreditur). Dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UUJF) adanya kewajiban bagi si pemberi fidusia (kreditur) untuk memberikan benda yang menjadi jaminan fidusia kepada si penerima fidusia (debitur) jika terjadi gagal bayar (wan Prestasi). Akan tetapi tidak diikuti sanksi apapun jika debitur tidak memenuhi kewajibannya.AbstractThe phenomenon of economic growth in 2013 at 6.8% will have impacts of insurance corporation. The consumer credit sector is assumed to be rise. With the registration of the fiduciary will deliver legal protection against the debtors of fiduciary or creditors. In Act No. 42 of 1999 concerning Fiduciary (UUJF) a fiduciary obligation to the creditors to give thing as fiduciary to the debitors if the event of default. But, He/she does not get any sanctions if the debtors does not fulfill its obligations.
IMPLIKASI PATEN ASING YANG TELAH TERDAFTAR ATAS INVENSI DI BIDANG TEKNOLOGI MENURUT UU NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN THE IMPLICATIONS OF FOREIGN PATENTS REGISTERED OF TECHNOLOGY INVENTION BY THE ACT NUMBER 14 OF 2001 ON PATENTS Edward James Sinaga
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol 7, No 1 (2013): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/kebijakan.2013.V7.13-26

Abstract

Perlindungan hukum terhadap hasil invensi di bidang teknologi, diharapkan dapat merangsang inventor untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menemukan berbagai invensi di bidang teknologi. Terutama bagi inventor-inventor asing yang mendominasi pendaftaran paten di Indonesia. Sehingga perlu diketahui prosedur dan syarat-syarat hukum paten Indonesia yang sering tidak terpenuhi oleh pemohon paten Asing dan implikasi perlindungan hukum dan penegakan hukum paten asing bagi Indonesia sebagai peserta Patent Cooperation Treaty (PCT). Penelitian hukum normatif ini lebih memberatkan terhadap menemukan asas-asas hukum dalam bidang paten dan sinkronisasi aturan-aturan hukum mengenai perlindungan invensi di bidang teknologi dan paten asing ke dalam sistem hukum nasional di Indonesia.Penegakan hukum terhadap paten asing di Indonesia secara normatif sudah tercantum dalam Pasal 130 sampai dengan Pasal 135 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Dalam hal ketentuan pidana untuk menentukan telah terjadinya suatu tindak pidana hak paten maka perlu diadakan penyelidikan dan penyidikan. Penyidikan tindak pidana hak paten selain dilakukan oleh penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia juga dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang memiliki kewenangan tertentu pula. Setidaknya ada 11 alasan penolakan paten pada pemeriksaan paten secara substantif. Penyebab yang paling sering dilakukan penolakan adalah bahwa invensi yang dimohonkan untuk memperoleh perlindungan hukum tidak memiliki kebaruan dan tidak mengandung langkah inventif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 dan 3 UUP, seperti halnya yang terjadi terhadap penolakan paten Bajaj Auto Limited (BAL). Pada dasarnya, prinsip pemeriksaan paten di Indonesia dan di Jepang adalah sama, hanya saja pemeriksaan paten di Jepang sangat ketat dalam menentukan langkah inventifAbstractLegal protection of the invention of technology, is expected to stimulate inventors to be more creative and innovative in finding various inventions in technology. Especially for foreign inventors that dominate patent registration in Indonesia. So, it is neccesary to know procedures and terms of Indonesian patent law that it often do not meet of the foreign patent applicants and implications of legal protection and also enforcement for Indonesia as participants Patent Cooperation Treaty (PCT). This normative legal research count heavely on discovering of the law principles oin patents and synchronization of the rules concerning the protection of inventions of technology and foreign patents into the national legal system in Indonesia. In Indonesia, the Law enforcement of foreigns patent normatively already stated in article 130 to article 135 of the Act No. 14 of 2001 onpatents. In terms of criminal to determine the occurrence of a patent crime, it needs to inquiry and do the investigation. The investigations of patents criminal, both carried out by police and certain civil servant investigators. At least, there are 11 excuses for patent rejection on patent examination, substantively.The most frequent cause of rejection is that the inventions are applied to obtain legal protection do not have the novelty and inventives , as defined in article 2 and 3 UUP, as just was the case against the patent rejection of Bajaj Auto Limited (BAL). Basically, the principles of patent examination in Indonesia and in Japan is the same, only the examination of patents in Japan is very strict in determining inventive measures.
REPOSISI DAN TRANSFORMASI ORGANISASI LITBANG KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM REPOSITIONING AND TRANSFORMATION OF THE ORGANIZATION FOR RESEARCH AND DEVELOPMENT OF THE MINISTRY OF LAW AND HUMAN RIGHTS Trisapto Wahyu Agung Nugroho
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol 7, No 1 (2013): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/kebijakan.2013.V7.84-103

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis organisasi penelitian dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan bagi Kementerian Hukum dan HAM dan untuk menganalisis proses transformasi organisasi menggunakan pendekatan reframing, restructuring, revitalization dan renewal. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dari analisis terhadap hasil kuesioner, disimpulkan bahwa: 1. organisasi ketiga litbang di Kementerian Hukum dan HAM sudah sesuai dengan kebutuhan, namun setuju untuk dilakukan restrukturisasi (penggabungan) menjadi Unit Eselon I. Perlu dilakukan kajian yang cermat dan teliti antara internal stakeholders Kementerian Hukum dan HAM.AbstractPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis organisasi penelitian dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan bagi Kementerian Hukum dan HAM dan untuk menganalisis proses transformasi organisasi menggunakan pendekatan reframing, restructuring, revitalization dan renewal. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dari analisis terhadap hasil kuesioner, disimpulkan bahwa: 1. organisasi ketiga litbang di Kementerian Hukum dan HAM sudah sesuai dengan kebutuhan, namun setuju untuk dilakukan restrukturisasi (penggabungan) menjadi Unit Eselon I. Perlu dilakukan kajian yang cermat dan teliti antara internal stakeholders Kementerian Hukum dan HAM.

Page 1 of 1 | Total Record : 7