cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota jambi,
Jambi
INDONESIA
Undang: Jurnal Hukum
Published by Universitas Jambi
ISSN : 25987941     EISSN : 25987933     DOI : -
Core Subject : Social,
Undang: Jurnal Hukum merupakan terbitan ilmiah berkala bidang ilmu hukum. Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Jambi sebagai media pembahasan hukum––yang dalam bahasa Melayu disebut Undang––dalam merespons dinamika dan perubahan sosial. Terbit pertama pada April 2018, Undang: Jurnal Hukum terbit dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober. Dalam setiap terbitannya, Undang: Jurnal Hukum memuat tujuh artikel hasil penelitian atau pengkajian hukum dan satu artikel ulasan tokoh & pemikiran hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 88 Documents
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 terhadap Independensi Komisi Pemilihan Umum Allan Fatchan Gani Wardhana
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.716 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.1.1-20

Abstract

The General Elections Commission (KPU) is an independent state institution directly regulated in Article 22E of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Its position as an independent state institution affirms that the KPU is not under the influence of the DPR and the government in carrying out its duties and authorities. Article 9 Sub-Article a of Law Number 10 Year 2016 (Regional Head Election Law) stipulates the requirement of the KPU to consult the DPR and the Government in drafting and enacting KPU regulations and technical guidelines for each election stage in forums of hearings whose decisions are binding. The Constitutional Court through Decision Number 92/PUU-XIV/2016 finally canceled the word "binding" it; the existence of the word "binding" is considered contrary to the Constitution and interfere with the independence of the Commission. The research concludes, first, the independence of KPU as an organizer of election is one of the requirements for the realization of free and fair election. Secondly, the juridical implication in Decision 92/PUU-XIV/2016 confirms that the binding word in Article 9 sub-paragraph a of the Regional Head Election Law does not have binding legal force, so that the spirit and independence of KPU as an election organizer can be maintained. Abstrak Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan lembaga negara yang independen yang diatur secara langsung dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Posisinya sebagai lembaga negara independen menegaskan bahwa KPU tidak berada di bawah pengaruh DPR dan pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) mengatur keharusan KPU untuk berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam menyusun dan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusanya bersifat mengikat. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 92/PUU-XIV/2016 akhirnya membatalkan kata ‘mengikat’ tersebut, karena bertentangan dengan Konstitusi dan mengganggu independensi KPU. Penelitian ini menyimpulkan, pertama, independensi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu merupakan salah satu syarat bagi terwujudnya pemilu yang bebas dan adil. Kedua, implikasi yuridis dalam putusan 92/PUU-XIV/2016 menegaskan bahwa kata ‘mengikat’ dalam Pasal 9 huruf a UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga marwah dan independensi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu dapat terjaga.
Rekonstruksi Mekanisme Perencanaan Pembentukan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden Hendra Wahanu Prabandani
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (149.786 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.1.85-108

Abstract

There are two competing regulatory planning mechanism that currently exist in Indonesia named preparation program on PP and Perpres and Regulatory Framework. The existing regulatory systems are operated by two diference institutions, Ministry of Law and Humand Right and National Development Planning Board. The problems are becoming complicated since there is another possibility to initiate regulatory process outside regulatory planning mechanism called initiative permit from the President through Ministry of State Secretariat or Secretariat Cabinet. The problem of current regulatory planning is highly time consuming and may lead to inefficiency. Using statutes analysis, coordination theory and comparative study with several countries, this study found that in order to deal with the problems, there should be one single authority for regulatory planning in Indonesia, agreed a national tool of analysis to assess draft of regulations proposed by ministries, and promote a public awarness regarding regulatory agenda in Indonesia. Abstrak Saat ini terdapat dualisme mekanisme perencanaan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang berlaku di Indonesia yaitu melalui Program Penyusunan PP dan Perpres serta Kerangka Regulasi. Keduanya berjalan dengan dikoordinasi oleh dua institusi yang berbeda yaitu Kementerian Hukum dan HAM dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Selain hal tersebut, masih ada mekanisme di luar program perencanaan penyusunan peraturan, yaitu melalui izin prakarsa kepada Presiden RI yang juga dikoordinasikan oleh instansi pemerintah yang berbeda yaitu Kementerian Sekretariat Negara atau Sekretariat Kabinet. Keberadaan berbagai mekanisme yang harus ditempuh untuk memulai pembentukan PP dan Perpres ini menimbulkan dampak timbulnya inefisiensi serta manambah panjang manajemen pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan menggunakan pendekatan analisa peraturan perundang-undangan, teori koordinasi dan perbandingan dengan beberapa negara lain, tulisan ini mengemukakan beberapa solusi yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan tersebut antara lain membentuk satu otoritas tunggal perencanaan peraturan perundang-undangan, menyepakati mekanisme penilaian terhadap usulan peraturan perundang-undangan dan mendorong partisipasi publik dalam perencanaan perundang-undangan.
Perlindungan Hukum terhadap Merek Terkenal di Indonesia Thoyyibah Bafadhal
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.43 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.1.21-41

Abstract

Well-Known Trademark Dispute generally occurs in Indonesia. One of Well-Known Trademark Dispute that happened lately in Indonesia is the dispute between IKEA Surabaya against IKEA Sweden, involving PT. Ratania Khatulistiwa as Plaintiff and PT. Inter IKEA System B.V Sweden as Defendant. The subject matter to be elaborated is, How is the scope and provision of the Well-Known Trademark in Indonesia, and How is the juridicial analysis of the Well-Known Trademark dispute in Supreme Court Verdict Number 264K/Pdt.Sus-HKI/2015. The method used in this research is Juridical Normative by using approach of legislation and approach of case. This article concludes, first, the norm of Well-Known Trademarks in Indonesia could be found in Law Number 20 Year 2016 about Trademarks and court jurisprudence, which basically requires general knowledge of the community and the reputation of the trademarks itselves, among others indicated by being registered in several countries as well as the marketing and the distribution of the products widely. Secondly, in the verdict of the IKEA dispute case, the Panel of Judges seems to ignoring the good intention from each party, which can be a bad precedent in order to protect the Well-Known Trademarks in Indonesia. Abstrak Sengketa tentang merek terkenal masih sering terjadi di Indonesia. Salah satu sengketa merek terkenal yang terjadi belakangan di Indonesia adalah sengketa antara IKEA Surabaya melawan IKEA Swedia yang melibatkan PT. Ratania Khatulistiwa sebagai penggugat serta PT. Inter IKEA System B.V Swedia sebagai tergugat. Pokok permasalahan yang akan dielaborasi dalam artikel ini adalah, bagaimana ruang lingkup dan pengaturan merek terkenal di Indonesia, dan bagaimana analisis yuridis sengketa merek terkenal dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 264 K/Pdt.Sus-HKI/2015. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Artikel ini menyimpulkan, pertama, norma tentang merek terkenal di Indonesia saat ini bisa ditemui dalam UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan yurisprudensi peradilan, yang pada dasarnya mensyaratkan pengetahuan umum masyarakat dan reputasi merek tersebut, antara lain ditandai dengan terdaftar di banyak negara serta pemasaran dan peredaran produk secara luas. Kedua, dalam putusan kasus sengketa IKEA, majelis hakim terkesan mengabaikan iktikad baik masing-masing pihak dan kebenaran secara faktual tidak digunakannya merek tersebut, sehingga bisa menjadi preseden buruk dalam upaya melindungi merek terkenal di Indonesia.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Pembakaran Lahan Berdasarkan Teori Strict Liability Syarif Nurhidayat; Arif Rusman Sutiana
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (155.908 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.1.43-63

Abstract

Burning of land is often done and become a corporate policy to reduce production costs. Although corporations have long been recognized as subjects of criminal law, proof of land-burning in practice is extremely difficult. This study intends to analyze whether corporations can be criminally accountable for the crime of burning land as stipulated in Article 108 Environmental Protection and Management Law (UUPPLH) based on the theory of strict liability? This research is normative research, collecting data is done by studying the literature and then the presentation is arranged in the form of descriptive qualitative. This study uses a conceptual and statute approach. The results show that corporations are normatively irresponsible criminal for the crime of burning of land based on the theory of strict liability, because in UUPPLH regulate that corporate liability with strict liability principle is very limited, only on material compensation, not on criminal liability. In the case of PT Surya Panen Subur (SPS), based on facts revealed in the trial did not prove to be an act of burning, but only the fact that there was a burning land. However, the judge stated that PT SPS was guilty based on the application of strict liability principles. Thus, the judge did not consider the decision carefully. In the future, consideration should be given to extending the application of the strict liability principle to the losses resulting from land fires. Abstrak Pembakaran lahan seringkali dilakukan dan menjadi kebijakan korporasi untuk mengurangi biaya produksi. Meski korporasi sudah menjadi subjek hukum pidana, pembuktiannya dalam praktek sangat sulit, termasuk dalam kejahatan pembakaran lahan. Artikel ini membahas apakah korporasi dapat turut dipertanggungjawabkan pidana terhadap tindak pidana pembakaran lahan sebagaimana diatur dalam Pasal 108 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) berdasarkan teori strict liability. Penelitian ini bersifat normatif, pengumpulan data dengan mengkaji kepustakaan dan kemudian penyajian dilakukan dalam bentuk deskriptif kualitatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korporasi secara normatif tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana pembakaran lahan, karena UUPPLH mengatur pertanggungjawaban korporasi dengan prinsip strict liability sangat terbatas, yaitu hanya pada penggantian kerugian materiil keperdataan dan bukan pada pertanggungjawaban yang bersifat pidana. Pada kasus PT Surya Panen Subur (SPS), berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan tidak terbukti unsur perbuatan membakar, melainkan hanya fakta bahwa ada lahan terbakar. Meski demikian, hakim tetap menyatakan PT SPS bersalah berdasarkan prinsip strict liability. Dengan demikian, hakim tidak cermat dalam pertimbanganya. Ke depan, perlu dipertimbangkan perluasan penerapan prinsip strict liability atas akibat dari kebakaran lahan.
Urgensi Ratifikasi Konvensi Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga Kartika Dewi Mulyanto
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (179.672 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.1.109-133

Abstract

The existence of domestic workers or better known as domestic workers is no stranger to the life of Indonesian society. Domestic worker is a job that provides services to a family to do homework such as cooking, cleaning house, washing clothes and others. However, because there is no regulation that regulates domestic workers maximally, and there are often different degrees between employers and workers, there is a lot of violence against domestic workers. In 2011, the International Labor Organization issued an ILO Convention No. 189 on Decent Work for Domestic Workers. This Convention as evidence that domestic workers need to be legally protected as human beings with human rights. Based on the result of the research, it can be concluded that the act of ratification of ILO Convention No. 189 of 2011 on Decent Work for Domestic Workers needs to be done, in an effort to increase the protection of domestic workers' rights law, to increase the economy of domestic workers, and to raise the social status of domestic workers Indonesia. Abstrak Keberadaan pekerja rumah tangga atau yang lebih dikenal sebagai pembantu rumah tangga sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pekerja rumah tangga merupakan suatu pekerjaan yang memberikan jasa kepada suatu keluarga untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, membersihakan rumah, mencuci baju dan yang lainnya. Namun karena belum ada regulasi yang mengatur pekerja rumah tangga secara maksimal, dan sering terjadi perbedaan derajat antara majikan dan pekerja, maka banyak terjadi kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Pada tahun 2011, International Labour Organization mengeluarkan suatu Konvensi ILO Nomor 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Konvensi ini sebagai bukti bahwa pekerja rumah tangga perlu mendapat perlindungan secara hukum sebagai manusia yang memiliki hak asasi manusia. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tindakan ratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tahun 2011 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga perlu dilakukan, sebagai upaya peningkatan perlindungan hukum hak-hak pekerja rumah tangga, peningkatkan ekonomi pekerja rumah tangga, serta menaikkan status sosial pekerja rumah tangga Indonesia.
Mediasi Penal di Indonesia Usman Usman; Andi Najemi
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (155.772 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.1.65-83

Abstract

The settlement of criminal cases outside the court through mediation is a common phenomenon occurring in various regions of Indonesia. Penal mediation is done with the assumption that it can meet the justice and expediency, but what if viewed from the aspect of legality and legal certainty. This study aims to evaluate the settlement arrangement of penal proceeding through penal mediation and analyze the values ​​of justice, benefit and legal certainty in the settlement of criminal case through penal mediation. The study was conducted using normative/doctrinal legal research methods. This article concludes: 1) Settlement arrangement of criminal penalty through penal mediation is still limited to criminal case conducted by child. Although there are some provisions that provide for possible settlement of criminal cases outside the court, but not yet a penal mediation. Because it has not strictly regulated the mediation between the perpetrator and the victim, especially regarding the provision of compensation or compensation which is a means of diversion for the termination of prosecution and the imposition of a criminal. 2) The settlement of criminal cases through penal mediation can meet the values ​​of justice and benefit, but the limited regulation of penal mediation, the settlement of criminal cases through penal mediation is less reflect the value of legal certainty. Abstrak Penyelesaian perkara pidana di luar peradilan melalui mediasi merupakan fenomena yang umum terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Mediasi penal dilakukan dengan anggapan dapat memenuhi tuntutan keadilan dan kemanfaatan, namun bagaimana jika dilihat dari aspek legalitas dan kepastian hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaturan penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal serta menganalisis nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan nilai kepastian hukum dalam penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif atau doktrinal. Artikel ini menyimpulkan, 1) pengaturan penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal masih terbatas untuk perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Meskipun beberapa ketentuan memberi kemungkinan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, ia belum merupakan mediasi penal; sebab belum mengatur secara tegas adanya mediasi antara pelaku dan korban, terutama terkait pemberian ganti rugi atau kompensasi yang merupakan sarana diversi untuk dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. 2) Penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal dapat memenuhi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan, namun kurang mencerminkan nilai kepastian hukum disebabkan terbatasnya pengaturannya.
Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo: Riwayat, Urgensi, dan Relevansi M. Zulfa Aulia
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.845 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.1.159-185

Abstract

This article attempts at discussing the so called Hukum Progresif (the Progressive Law), a legal thought indtroduced by Satjipto Rahardjo. The idea was beckgrounded with the concerns about the macro application of law in Indonesia, including after the 1998 reforms, which seemed to have failed to meet its ideal direction, namely to make people prosper and happy. What happens with law-enforcement is a downturn and decline, among others seen in the judicial mafia, commercialization, and commodification of the law. To overcome such circumstances, according to Satjipto Rahardjo with hukum progresif, the punishment method must dare to break out of conventional ways and the status quo. The legal texts that have been prioritized should be regarded as being destined for humans and humanity. Law actors must dare to interpret legal texts by freeing themselves from the logic of the law alone, making the leap, so that problems in a dynamic society can be answered and resolved by “containers of static law”. This article shows that the hukum progresif can be a panacea in solving corruptive legal problems due to the limitations and attachments of legal texts, with the requirements of law actors behaving well. However, the mention of hukum progresif in the judgment or the determination of the law of a particular case is also very vulnerable to cause its own problems because it can be pinned speakers arbitrarily to identify the punishment which (as long as it is) out of the text of the law. Abstrak Artikel ini mendiskusikan Hukum Progresif, sebuah gagasan atau pemikiran hukum yang diperkenalkan Satjipto Rahardjo. Gagasan tersebut bermula dari keprihatinan terhadap kehidupan berhukum secara makro di Indonesia termasuk setelah reformasi 1998 yang tidak beranjak ke arah yang ideal, yaitu menyejahterakan dan membahagiakan rakyatnya. Apa yang terjadi dengan kehidupan berhukum justru suatu keterpurukan dan kemunduruan, antara lain terlihat pada mafia peradilan, komersialisasi, dan komodifikasi hukum. Untuk mengatasi keadaan demikian, menurut Satjipto Rahardjo dengan hukum progresifnya, maka berhukum harus berani keluar dari cara-cara konvensional dan status quo. Teks hukum yang selama ini didewakan harus dianggap sebagai sesuatu yang diperuntukkan untuk manusia dan kemanusiaan. Para pelaku atau aktor hukum harus berani menafsirkan teks hukum dengan membebaskan diri dari logika hukum semata, melakukan lompatan, agar persoalan di masyarakat yang bergerak secara dinamis dapat dijawab dan diselesaikan dengan “wadah hukum yang statis”. Artikel ini menunjukkan, hukum progresif bisa menjawab persoalan hukum yang karut-marut disebabkan keterbatasan dan keterikatan teks hukum, dengan catatan para aktor hukumnya berperilaku baik. Namun begitu, labelisasi berhukum sebagai hukum progresif rentan menimbulkan persoalan tersendiri disebabkan bisa disematkan penuturnya secara mudah dan sembarangan untuk mengidentifikasi putusan atau penetapan hukum kasus tertentu yang (asalkan saja) keluar dari teks hukum.
Ketidaktertarikan Dosen Berkompetisi Pendanaan Riset Pendidikan Tinggi dari Negara Abdul Adhim Azzuhri; Richo Andi Wibowo
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (155.891 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.1.135-158

Abstract

This research aims to find out the reason of lecturers are not interested in competing the research funding of higher education. Afterwards, this research then discusses well the government’s action to respond the problem and then attempts to criticize and suggest solutions towards the action. This research was an empirical normative research, with data analysis based on qualitative method. This research concludes that some lecturers are not interested in doing research through the above mentioned scheme due to: (i) obligation to report of what so called “disposable finance”; (ii) lack of availability for sustainable research scheme; and (iii) unbalanced obligations of the lecturers as stipulated in “Tridharma Pendidikan Tinggi”. The government action in this respect are issuing Financial Ministerial Regulation Number 106/2016; Research, Technology, and Higher Education Ministerial Regulation Number 69/2016; and lately the Presidential Law Number 16 Year 2018 about government procurement. However, these regulations merely answer some of the problems. Asbtrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan dosen tidak tertarik berkompetisi dalam pendanaan riset pendidikan tinggi dari negara. Setelah itu, penelitian ini akan membahas langkah hukum pemerintah dalam merespon masalah tersebut dan kemudian mencoba memberikan kritik serta tawaran solusi atas langkah hukum tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian normatif empiris, dengan analisis data didasarkan pada metode kualitatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa beberapa dosen tidak tertarik melakukan penelitian melalui skema yang disebutkan di atas karena: (i) kewajiban untuk melaporkan dengan apa yang disebut “keuangan habis pakai”; (ii) kurang tersedianya skema penelitian berkelanjutan; dan (iii) kewajiban dosen yang tidak seimbang sebagaimana ditetapkan dalam “Tridharma Pendidikan Tinggi”. Langkah hukum pemerintah adalah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/2016; Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 69/2016; dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun, peraturan tersebut hanya menjawab beberapa permasalahan.
UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency Sebagai Model Pengaturan Kepailitan Lintas Batas Indonesia dalam Integrasi Ekonomi ASEAN Dicky Moallavi Asnil
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.405 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.323-346

Abstract

The economic integration program between the members of Association of South East Asian Nations (ASEAN) and surrounding areas that trancends national borders and citizenship potentially creates the cross borders bankrupcy problems. The problem was born when the debtor undergoing bankruptcy process has assets abroad,where the bankruptcy proceedings are hampered by the laws of the country concerned. In adition, Indonesia and ASEAN do not yet a bankruptcy regulation that binds its member states in the settlement of this problems. UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment is a model of cross-border insolvency law made by The United Nations which aims to be a reference of the world countries in the business of modernization and harmonization of national bankruptcy law respectively. This article shows that UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment which adheres to this flexibility principle can be used as a solution to modernize and harmonize bankruptcy law of ASEAN countries, especially Indonesia. Abstrak Program integrasi ekonomi antar negara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN) dan sekitarnya yang melampaui batas-batas negara dan kewarganegaraan saat ini berpotensi melahirkan permasalahan kepailitan lintas batas. Permasalahan itu lahir pada saat debitor yang menjalani proses kepailitan di suatu negara memiliki aset di luar negeri, di mana proses kepailitan terhadap aset pailit itu terhambat oleh hukum yang berlaku di negara bersangkutan. Indonesia dan ASEAN sampai saat ini belum memiliki peraturan kepailitan yang mengikat negara anggotanya dalam penyelesaian permasalahan ini. UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment adalah sebuah model hukum kepailitan lintas batas yang dibuat oleh Persatuan Bangsa-Bangsa yang bertujuan untuk menjadi rujukan negara-negara dunia dalam usaha modernisasi dan harmonisasi hukum kepailitan nasional masing-masing. Artikel ini menunjukkan bahwa UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment yang menganut prinsip fleksibilitas dapat dijadikan solusi dalam upaya melakukan modernisasi dan harmonisasi hukum kepailitan negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia.
Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Konstitusi Muhammad Dahlan
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.394 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.187-217

Abstract

This article reviews critically the evolution of the regulation of recognition of the rights of indigenous peoples in the Indonesian Constitution through historical and legal perspective. Using the customary law rights recognition theory as developed by constitutionalists on the experience of the struggle of indigenous peoples in several Latin American countries, this article finds the fact that none of the Constitutions in Indonesia fully recognize and protect the rights of indigenous peoples, although it contains elements of partisanship rhetoric. The weak recognition and protection of the rights of indigenous peoples in the Constitution resulted in the state freely using its power to exclude ancestral rights of indigenous peoples on the pretext of state interests. The interpretation of the articles in the Constitution that recognize and protect the rights of indigenous peoples must be based on the spirit of asserting Indonesian unity in diversity and distinctiveness. Without such enthusiasm, there is will more issues relating to derogation or even the elimination of the rights of indigenous peoples. Abstrak Artikel ini mengulas secara kritis evolusi pengaturan rekognisi hak masyarakat hukum adat dalam Konstitusi Indonesia melalui kacamata sejarah dan perbandingan hukum. Dengan menggunakan teori rekognisi hak masyarakat hukum adat sebagaimana yang dikembangkan oleh kaum konstitusionalis atas pengalaman perjuangan masyarakat hukum adat di beberapa negara Amerika Latin, artikel ini menemukan fakta bahwa tidak satupun Konstitusi di Indonesia secara penuh memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat, meskipun mengandung unsur retorika keberpihakan. Lemahnya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat dalam Konstitusi mengakibatkan negara dengan leluasa menggunakan kekuasaannya untuk mengenyampingkan hak turun temurun (ancestral domain) masyarakat hukum adat atas dalih kepentingan negara. Interpretasi terhadap pasal-pasal dalam Konstitusi yang mengakui dan memberikan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat harus didasari oleh semangat menegaskan persatuan Indonesia dalam keberagaman dan kekhasan. Tanpa semangat demikian, persoalan-persoalan yang berkenaan dengan derogasi atau bahkan penghilangan hak-hak masyarakat hukum adat akan terus terjadi.