cover
Contact Name
Fransisca Iriani Rosmaladewi
Contact Email
fransiscar@fpsi.untar.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jmishs@untar.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta barat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
ISSN : 25796348     EISSN : 25796356     DOI : -
Core Subject : Art, Social,
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni (P-ISSN 2579-6348 dan E-ISSN 2579-6356) merupakan jurnal yang menjadi wadah bagi penerbitan artikel-artikel ilmiah hasil penelitian dalam bidang Ilmu Sosial (seperti Ilmu Psikologi dan Ilmu Komunikasi), Humaniora (seperti Ilmu Hukum, Ilmu Budaya, Ilmu Bahasa), dan Seni (seperti Seni Rupa dan Design). Jurnal ilmiah ini diterbitkan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Tarumanagara. Dalam satu tahun, jurnal ini terbit dalam dua nomor, yaitu pada bulan April dan Oktober.
Arjuna Subject : -
Articles 535 Documents
PENERAPAN GROUP REALITY THERAPY BAGI WARGA BINAAN UNTUK MEMILIH KEGIATAN SETELAH KELUAR DARI RUANG PAMSUS LAPAS X Jennyfer, Jennyfer; Suryadi, Denrich; Virginia, Indriyani
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 1, No 2 (2017): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v1i2.933

Abstract

Lapas X memiliki warga binaan sebanyak 3.110 orang. Jumlah tersebut melebihi batas maksimum yang dapat ditampung. Kurangnya sumber daya manusia dari lapas membuat tidak setiap warga binaan mendapatkan kesempatan untuk melakukan tes secara psikologis. Salah satu masalah yang dihadapi adalah banyak warga binaan yang belum mengetahui kegiatan apa yang akan diambil setelah keluar dari ruang pamsus. Oleh sebab itu, dibutuhkan terapi untuk membantu warga binaan memilih dengan tepat dan bijaksana kegiatan yang ada di Lapas X. Salah satu terapi yang dapat dilaksanakan adalah group Reality Therapy. Tujuan terapi kelompok ini adalah untuk mengarahkan serta membantu warga binaan untuk bertindak aktif dalam mencari dan memilih kegiatan setelah keluar dari ruang pamsus. Terapi ini mampu membantu individu dalam menemukan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara adaptif. Model yang digunakan untuk menggambarkan keseluruhan prosesnya tetap sama yaitu WDEP. W adalah wants, D adalah direction dan doing, E adalah evaluation, serta P adalah Planing. Komponen-komponen WDEP adalah hal yang perlu dieksplorasi selama proses terapi. Hasil intervensi akan diukur dengan melihat skor pre-test dan post-test melalui pernyataan dan skala yang telah dibuat. Setelah intervensi, partisipan menunjukkan peningkatan skor. Peningkatan skor dilihat dari hasil pernyataan berdasarkan skala Likert, hal ini menunjukkan bahwa partisipan telah mampu memilih kegiatan di lapas dan mampu memahami materi yang dilihat dari isi catatan harian setiap akhir sesi. Selama intervensi berlangsung, partisipan mampu mengikuti intervensi dengan kooperatif dan aktif.
GAMBARAN TRUST PADA DEWASA AWAL YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANGTUA DAN SEDANG BERPACARAN (STUDI KASUS DI JAKARTA) Ira Liana; Denrich Suryadi
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 2, No 1 (2018): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v2i1.1768

Abstract

Perceraian orang tua adalah kejadian yang berdampak pada hidup seseorang. Sementara itu tugas perkembangan individu pada masa dewasa awal adalah intimacy versus isolation. Persahabatan yang kaya mengandung komponen yang bermanfaat keintiman. Salah satu komponen tersebut adalah trust atau rasa percaya. Trust merupakan sesuatu yang tak ternilai dalam hubungan dekat manapun karena trust membuat rasa saling bergantung semakin enak, membuat kita bersedia untuk berinvestasi di dalam hubungan tersebut, dan membuat kita berusaha untuk melindungi dan merawat hubungan tersebut. Terdapat lima karakteristik dari trust yang disebutnya lima A, yaitu attention, acceptance, appreciation, affection, allowing. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara semi terstruktur kepada 4 individu yang berusia 19-30 yang mengalami perceraian orang tua dan sedang menjalin hubungan dengan lawan jenis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang gambaran pemenuhan karakteristik dan faktor yang mempengaruhi pembentukan trust pada individu dewasa awal yang mengalami perceraian orang tua, karena di masa tersebut individu sedang mencari hubungan dengan orang lain ataupun lawan jenis. Studi ini berlangsung selama 4 bulan dari Maret sampai Juni 2015. Hasil dari penelitian ini adalah 3 dari 4 subyek memenuhi kelima karakteristik trust. Selain dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, rasa trust subyek juga dipengaruhi oleh riwayat hubungan dengan lawan jenisnya.
Cover Jurnal Muara ISHS Jurnal Muara Editor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 1, No 1 (2017): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Cover Journal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
AFEKSI NEGATIF SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEADILAN ORGANISASI DENGAN PERILAKU KERJA KONTRAPRODUKTIF-ORGANISASI Yoseanto, Baquandi Lutvi; Zamralita, Zamralita; Idulfilastri, Rita Markus
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v2i2.2315

Abstract

This study aims to look at the role of negative affection as a mediator between organizational justice and counterproductive-organizational work behavior. Negative affection is a general condition of subjective stress and unpleasant conditions including anger, disgust and so on. Organizational justice is the employee's personal evaluation of ethical and moral position on what the company does. Counterproductive-organizational work behavior is a variety of intentional behaviors that harm, including financially, the organization such as theft. The sampling method used is convenience sampling. The number of sample in this study are 73 people. Data analysis method is regression. The results of this study are: (1) it is not proven that organizational justice affects counterproductive-organizational work behavior (significance> 0.05); (2) it cannot be concluded that there is an indirect relationship between organizational justice and counterproductive-organizational work behavior because any direct effect of organizational justice on counterproductive-organizational work behavior cannot be proven; (3) it is proven that organizational justice affects negative affections with β = -0,388 (p <0.05); (4) it is proven that negative affection affects counterproductive-organizational work behavior with β = 0.403 (p <0.05).  Penelitian ini bertujuan untuk melihat  peranan afeksi negatif sebagai mediator antara keadilan organisasi dengan perilaku kerja kontraproduktif-organisasi . Afeksi negatif adalah keadaaan umum dari tekanan subjektif dan kondisi yang tidak menyenangkan meliputi kemarahan, jijik dan lain sebagainya. Keadilan organisasi adalah evaluasi pribadi karyawan tentang kedudukan etis dan moral terhadap apa yang dilakukan oleh perusahaan. Perilaku kerja kontraproduktif-organisasi adalah berbagai perilaku yang disengaja yang merugikan/membahayakan organisasi misalnya pencurian. Metode pengambilan sampel adalah convenience sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 73 orang. Teknik analisis data menggunakan regresi. Hasil penelitian ini adalah: (1) tidak terbukti bahwa keadilan organisasi mempengaruhi perilaku kerja kontraproduktif-organisasi  (signifikansi >0,05); (2) tidak dapat disimpulkan adanya  hubungan tidak langsung antara keadilan organisasi dengan perilaku kerja kontraproduktif-organisasi karena tidak bisa dibuktikan adanya pengaruh langsung dari keadilan organisasi terhadap perilaku kerja kontraproduktif-organisasi; (3) terbukti bahwa keadilan organisasi memengaruhi afeksi negatif dengan β= -0,388 (p<0,05); (4) terbukti bahwa afeksi negatif  memengaruhi perilaku kerja kontraproduktif-organisasi dengan β=0,403 (p<0,05).
PENERAPAN GROUP ART THERAPY BAGI ANAK-ANAK MASA PERTENGAHAN YANG MEMILIKI KECENDERUNGAN AGRESI VERBAL Zahara, Fidia Hanan; Yulianti, Debora Basaria; Pranawati, Santy Yanuar
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 2, No 1 (2018): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v2i1.1831

Abstract

Rumah singgah X adalah sebuah rumah singgah yang berada di lokasi perkampungan nelayan Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara yang memberikan bimbingan belajar gratis bagi anak-anak dari kalangan masyarakat pra sejahtera dimana sebagian besar pekerjaan orangtuanya seperti nelayan, pemulung, pengemis, sopir, pekerja kasar/buruh dan keluarga dengan pendapatan minim. Berbagai kesulitan hidup dan lingkungan yang kurang kondusif di rumah singgah X menimbulkan dampak beraneka ragam dalam diri anak-anak tersebut, salah satunya adalah munculnya perilaku agresi verbal. Oleh sebab itu, group art therapy diterapkan untuk mengurangi agresi verbal dari 5 orang anak di rumah singgah X. Penelitian ini menggunakan mixed method one group pre-test, post-test design dengan menggunakan alat ukur agresivitas, tes CFIT, draw a person test dan wawancara semi terstruktur yang dianalisa untuk mengetahui perbandingan hasil sebelum dan sesudah pemberian intervensi. Setelah intervensi, berdasarkan hasil observasi, draw a person test dan skala agresivitas menunjukkan adanya penurunan skor agresi verbal pada kelima partisipan. Hal ini menunjukkan bahwa group art therapy cukup efektif untuk mengurangi kecenderungan agresi verbal pada kelima anak di rumah singgah X.
Perintah Atasan atau Jabatan (Ambtelijk Bevel) sebagai Penyebab Korupsi di Lingkungan Birokrasi Hasbullah, Hasbullah
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 1, No 1 (2017): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v1i1.338

Abstract

Korupsi di lingkungan birokrasi adalah yang tertinggi dibanding sektor lainnya. Beberapa kasus menunjukan sistem birokrasi menjadi penyebab terjadinya korupsi dilingkungan birokrasi, misalnya adanya perintah atasan untuk memotong anggaran pekerjaan pengadaan barang dan bawahan menjalankan perintah atasan tersebut sebagai bentuk tugas jabatan. menarik untuk penulis kaji adalah faktor apa saja yang menyebabkan perilaku korup pada birokrasi sering terjadi? Pertanyaan selanjutnya adalah  apakah perintah atasan atau jabatan yang korupsi mengakibatkan bawahannya juga dianggap turut serta melakukan tindak pidana korupsi?, atas permasalahan tersebut kemudian penulis analisa dengan menggunakan metode penelitian normatif dan dihasilkan penelitian bahwa Tindak pidana Korupsi dalam birokrasi tidak seluruhnya faktor kesengajaan pelakunya, terdapat penggolongan birokrat yang melakukan koruspi, yaitu golongan birokrat yang sengaja melakukan korupsi dan kedua golongan birokrat karena faktor atasan atau perintah jabatannya melakukan korupsi, terhadap bawahan yang melakukan karena hanya melaksanakan perintah atasannya yang tidak dapat dia tolak, maka berlakulah penghapusan pidana terhadap bawahan yang melakukan perintah atasannya dalam kasus korupsi diatur dalam pasal 51 ayat (1). Dalam pennggulangan terhadap  tindakan korupsi di lingkungan birokrasi dapat dilakukan memperbaiki penghasilan (gaji), memperbaiki manejemen birokrasi dan memperbaiki etika dan moral dengan menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial.Kata kunci: korupsi, melaksanakan perintah atasan
PERUBAHAN BUDAYA TINGGI BERITA INVESTIGASI MENJADI BUDAYA POPULER Roswita Oktavianti
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v2i2.2460

Abstract

The characteristics of mass media as a source of information constanly changes according to the dynamics of regulation and the development of the media industry. This change has an impact not only on entertainment programs but also on news broadcast programs. As high culture content, investigative news programs should be produced through a number of investigative stages with content and quality that is dif erent from regular news. In reality, media workers are required to work instantly according to the logic of the media industry. Investigative news has shifted from formerly being high culture to popular culture. With qualitative approach and case study method, this study aims to find out how media workers changed investigative news from high culture into popular culture. The primary data collection method in the form of interview was conducted with an informant, a media worker in one of many private television investigative programs. The study found that the culture industry on investigative news was applied not only on the content but also the human resources behind it. Investigative news is produced by journalists who mostly have no investigative competence. Investigative news is based on the quantity of news produced, quick production, budget ef iciency, market tastes, and the interests of owners and advertisers. Transformation of high culture investigative news programs to popular culture ultimately impacted the quality of investigative newsKarakteristik media massa sebagai sumber informasi terus berubah mengikuti dinamika regulasi dan perkembangan industri media. Perubahan ini berdampak tidak hanya pada program hiburan tetapi juga program siaran berita. Sebagai konten dengan budaya tinggi (high culture), program berita investigasi seharusnya diproduksi melalui sejumlah tahapan investigatif dengan konten dan kualitas yang berbeda dengan berita reguler. Pada kenyataannya, pekerja media dituntut bekerja secara instan mengikuti logika industri media. Berita investigasi berubah dari semula memiliki budaya tinggi menjadi budaya populer (popular culture). Dengan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus maka penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana pekerja media menciptakan berita investigasi dari budaya tinggi menjadi budaya populer. Teknik pengumpulan data primer berupa wawancara dilakukan kepada informan, pekerja media di salah satu program investigatif televisi swasta. Penelitian menemukan bahwa industri budaya pada berita investigasi dilakukan pada tidak hanya pada konten tetapi juga sumber daya manusia di dalamnya. Berita investigasi diproduksi oleh jurnalis yang sebagian besar tanpa kompetensi investigasi. Berita investigasi berpatokan pada besarnya kuantitas berita yang dihasilkan, durasi produksi yang singkat, efisiensi anggaran, selera pasar, serta kepentingan pemilik dan pengiklan. Perubahan program berita investigasi dari budaya tinggi ke budaya populer ini pada akhirnya berdampak pada kualitas berita investigasi.
WORK FAMILY CONFLICT PADA SINGLE PARENT Suci Fadhla Hasanah; Ni’matuzahroh Ni’matuzahroh
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 1, No 2 (2017): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v1i2.972

Abstract

Work family conflict merupakan suatu bentuk konflik peran dalam diri seseorang yang muncul karena adanya tekanan peran dari pekerjaan yang bertentangan dengan tekanan peran dari keluarga. Terlebih lagi karyawan dengan status single parent harus menanggung beban hidup tanpa pasangan pendamping. Single parent adalah orangtua yang seorang diri membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung jawab dari pasangannya. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui work family conflict yang dialami oleh single parent.Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuatitatif dengan menggunakan skala work family conflict dengan metode skala likert. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan didapatkan jumlah subjek sebanyak 47 orang single parentdengan rentang usia 25-64 yang memiliki anak, cerai, dan atau kematian pasangan hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa work family conflict pada single parent adalah rata-rata rendah (53,2%), sedangkan sisinya 48,6% kategori tinggi.Rendahnya work family conflict dapat diterjemahkan bahwa para single parent mampu mengatur perannya di kedua ranah.
PENERAPAN FORWARD CHAINING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMAKAI BAJU PADA ANAK PENYANDANG DISABILITAS INTELEKTUAL SEDANG Natasya Juandi; Stella Tirta
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 2, No 1 (2018): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v2i1.1676

Abstract

Anak dengan disabilitas intelektual memiliki keterampilan bina diri yang lebih rendah dari anak seusianya. Penguasaan keterampilan bina diri, seperti keterampilan mengenakan pakaian secara mandiri merupakan komponen penting yang harus dikuasai anak untuk dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan akademik maupun kegiatan sosial. Anak dengan disabilitas intelektual seringkali mengalami kesulitan untuk menentukan bagian depan dan belakang pakaian, dan akhirnya mengenakan pakaian secara terbalik. Oleh sebab itu, diperlukan teknik modifikasi perilaku yang dapat meningkatkan kemampuan anak dengan disabilitas intelektual dalam mengenakan pakaian dengan benar. Teknik modifikasi ini akan berfokus pada pengembangan keterampilan mengenakan baju kaus. Teknik modifikasi perilaku yang diterapkan adalah forward chaining. Forward chaining membantu anak untuk belajar mengenakan baju dengan urutan yang tepat, sehingga kesalahan dalam mengenakan pakaian dapat dihindari. Setiap tahap disusun secara berurutan melalui task analysis dan diukur dalam discrete categorization. Pemberian prompt di setiap tahapannya juga mempermudah anak untuk menguasai tahapan yang diperlukan dalam mengenakan pakaian secara mandiri. Penguatan sosial yang diberikan setiap kali anak menyelesaikan satu tahapan juga memicu anak untuk menguasai tahapan-tahapan tersebut. Penelitian ini menggunakan desain kasus tunggal. Hanya ada 1 partisipan yang terlibat dalam penelitian ini. Kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah anak usia 6-10 tahun dengan disabilitas intelektual yang masuk dalam kategori sedang. Berdasarkan hasil pengukuran baseline setelah intervensi dilakukan, ditemukan peningkatan kemampuan memakai baju kaus. Sampel dipilih dengan metode purposive sampling. Secara umum, forward chaining dapat meningkatkan keterampilan anak untuk memakai pakaian secara mandiri, namun terdapat beberapa keterbatasan anak dengan disabilitas intelektual yang perlu mendapat perhatian khusus dalam penerapan intervensi ini.
Housing Behaviour of Urban Migrants Occupying Ngindung Lands in Yogyakarta Astuti, Wahyu Kusuma
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 1, No 1 (2017): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v1i1.366

Abstract

This article seeks to explore the housing behavior of urban migrant and re-theorize Turner’s model on housing priority by linking it with the housing career of urban migrants in a particular locality and condition of land occupancy. The study is aimed at investigating housing priority and career of urban migrants occupying ngindung land in Yogyakarta through comprehensive quantitative analysis with crosstab technique. Five ngindung communities in Kelurahan Pringgokusuman were examined in this study. The research finding demonstrates that Turner’s model is irrelevant to explain the middle-income migrants’ behavior in choosing moderate standard housing but not maintaining proximity to jobs in the city as their income increases. This is argued to have several rationalities including their circular-mobility behavior and willingness to pay more transportation cost to workplace. Besides, homeownership is found to have no correlation with increase of income. It is therefore suggested that security for urban poor migrants is more about opportunity of livelihood rather than accumulation of assets. In conclusion, this research reflects on the limitation and uncertainty of housing options for urban poor migrants and suggests a radical shift from perceiving ‘housing as a product’ to ‘housing as a process’ –  of becoming along with the livelihood betterment of a community.Keywords: Housing priority, housing behaviour, urban migrants, ngindung occupancy

Page 1 of 54 | Total Record : 535