Yahya, Pancha W.
Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Sebuah Tinjauan terhadap Teologi dan Praktik Doa Anthony De Mello Yahya, Pancha W.
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 7 No 1 (2006)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (20.786 KB)

Abstract

Frater Anthony de Mello, S. J. (1931-1987) adalah tokoh yang kontroversial. Di satu pihak ia adalah guru spiritual yang berpengaruh luas. Buku-buku spiritualitasnya yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti: Spanyol, Portugis, Italia, Jepang, Mandarin, Indonesia, Bengali, dan Thailand telah mempengaruhi banyak orang. Tak hanya itu, ia telah berkeliling dunia untuk memimpin seminar-seminar dan latihan-latihan doa bagi ribuan orang. Pada tahun 1972 Mello mendirikan Institute of Pastoral Counselling and Spirituality di de Nobili College, Poona, India yang diberi nama Sadhana. Di tempat inilah banyak orang dari berbagai negara, terutama para Jesuit, telah datang untuk mengikuti retreat-retreat doa yang dipimpin oleh de Mello. Namun, sebelas tahun selepas kematian de Mello, tepatnya tanggal 24 Juni 1998, dewan kardinal Roma Katolik mengeluarkan notifikasi yang menyatakan tulisan-tulisannya tidak sesuai dengan ajaran Roma Katolik. Dewan tersebut menilai ajarannya: (1) berpandangan apophaticism, yaitu menyatakan bahwa Allah tidak dapat dimengerti dan dijelaskan dengan bahasa manusia. Padahal, menurut notifikasi tersebut, Alkitab berisi pernyataan yang benar dan sah tentang Allah, (2) merendahkan kedudukan Yesus dengan memandang-Nya sebagai guru seperti guru-guru yang lain. Hanya Yesus yang telah mengalami kesadaran dan kemerdekaan penuh, sedang guru-guru lain belum, (3) memandang kejahatan sebagai sebuah ketidaktahuan dan tidak ada hukum moral yang objektif. Notifikasi itu mendapat reaksi keras dari banyak orang terutama kolega de Mello, para Jesuit di India. Mereka amat menyesalkan keluarnya notifikasi tersebut. Menurut mereka dikeluarkannya notifikasi itu lebih didasarkan atas buku-buku posthumous-nya, sehingga tidak mewakili keseluruhan pemikirannya. Francis Stroud, Frater Jesuit yang telah bekerja sama dengannya mengelola pusat spiritualitas di Fordham University di New York, menanggapi notifikasi itu, “It’s extremely hard for me to believe that anyone would find anything de Mello says to be anything other than orthodox. He was a very devout churchman.” Perlu diketahui bahwa meski ia mengaku banyak dipengaruhi oleh tradisi dan agama-agama lain, namun ia tetap menyatakan kesetiaannya pada ajaran Roma Katolik. Penolakan atas notifikasi itu terlihat dengan tidak ditariknya buku-bukunya dari peredaran atau tidak dicantumkannya notifikasi tersebut pada buku-buku Mello kendati dewan kardinal waktu itu memerintahkan hal tersebut. Malahan buku-bukunya terus dicetak dan menjadi best seller. Mengingat besarnya pengaruh dari tulisan-tulisan de Mello dan adanya kontroversi atas tulisan-tulisan tersebut, maka artikel ini akan membahas tulisan-tulisannya tersebut. Namun artikel ini tidak membahas keseluruhan tulisannya, tetapi secara khusus akan memaparkan secara ringkas teologi dan praktik doanya. Kemudian penulis akan meninjau teologi dan praktik doa tersebut, dan diakhiri dengan aplikasi bagi umat Kristen.
Ruwatan dan Pandangan Dunia yang Melatarbelakanginya Yahya, Pancha W.
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 8 No 1 (2007)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (18.315 KB)

Abstract

Berbagai krisis dan bencana yang silih berganti melanda negeri Indonesia direspons dengan beragam cara; salah satunya yang dilakukan oleh seorang astrolog Jawa yang bernama K. R. H. Darmodipuro. Pada tanggal 16 Juni 2005, Darmodipuro menggelar upacara ruwatan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Museum Radyapustaka, Solo. Ruwatan, merupakan tradisi yang telah berkembang di dalam masyarakat Jawa selama berabad-abad. Ruwatan dipraktikkan oleh berbagai lapisan masyarakat: baik orang kaya maupun miskin, kalangan kurang terpelajar atau terpelajar. Pada awalnya ruwatan, menurut tradisi Hindu, dikaitkan dengan penyucian atau pembebasan para dewa yang terkutuk karena mereka melakukan kesalahan. Mereka dikutuk menjadi makhluk lain (manusia atau binatang). Agar kembali menjadi dewa mereka harus diruwat. Namun, dalam perkembangannya ruwatan menjadi “sebuah upacara untuk membebaskan orang dari nasib buruk yang akan menimpa.” Orang-orang ini dianggap perlu dibebaskan dari terkaman Batara Kala karena mereka “ternoda.” Mengingat mengakarnya tradisi ruwatan di dalam masyarakat Jawa dan pengaruhnya yang luas, artikel ini bermaksud membahasnya secara khusus. Pembahasan mengenai tradisi ruwatan dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama berisi penjelasan khusus mengenai hal ikhwal ritual ruwatan antara lain: mitos Batara Kala, orang-orang yang harus diruwat, dan tata cara ruwatan. Kedua, akan dieksplorasi pandangan dunia seperti apa yang melatarbelakangi ritual ruwatan. Ketiga, penulis akan menanggapi tradisi ruwatan, tentunya dari terang firman Tuhan.
Pengaruh Pascamodernisme terhadap Hermeneutika Biblika Yahya, Pancha W.
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 10 No 1 (2009)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (16.294 KB)

Abstract

“There is a spectre haunting classical Christianity, that of postmodernism,” demikian R. Albert Mohler, Jr. mengawali artikelnya yang dimuat dalam sebuah antologi yang bertemakan “tantangan pascamodernisme bagi kekristenan injili.” Pendapat Mohler tersebut adalah sebuah fakta yang tidak dapat disangkal bahwa pengaruh (negatif) pascamodernisme merupakan ancaman bagi kekristenan, termasuk di dalam ranah hermeneutika. Menurut Roy B. Zuck, hermeneutika adalah “sains sekaligus seni” dalam menafsir Alkitab. Hermeneutika, di satu sisi adalah sains karena ia adalah teknik menafsir Alkitab dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu, di sisi lain ia juga adalah seni karena melibatkan imajinasi dan perasaan penafsir, serta membutuhkan keterampilan penafsir untuk menerapkan kaidah-kaidah penafsiran tersebut. Namun, herme-neutika tidak berhenti pada teknik menafsir Alkitab; hermeneutika juga harus mengaplikasikan hasil penafsiran tersebut pada situasi kontemporer. Selain sains dan seni, Osborne menambahkan satu unsur lagi dalam hermeneutika, yaitu tindakan spiritual (spiritual act karena menurutnya, penafsiran Alkitab dilakukan di bawah pimpinan Roh Kudus). Sehubungan dengan adanya pengaruh pascamodernisme terhadap hermeneutika biblika, artikel ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut ini: (1) Apa saja dan sejauh mana pengaruh (negatif) pascamodernisme terhadap hermeneutika? (2) Bagaimana seharusnya kita menghadapi pengaruh-pengaruh tersebut? (3) Apakah pascamodernisme hanya berdampak negatif? Adakah sumbangsih positif dari pascamodernisme bagi hermeneutika biblika?
Tinjauan terhadap Pandangan Choan-Seng Song Mengenai Sejarah Keselamatan (Heilsgeschichte) Yahya, Pancha W.
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 12 No 1 (2011)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.951 KB)

Abstract

Tidak ada pemikir teologi yang sungguh-sungguh mempelajari tentang misi yang boleh mengabaikan karya Choan-Seng Song, demikian dikatakan oleh Michael S. Moore di dalam artikelnya “A Critical Profile of Choan-Seng Song’s Theology.” Menurut Moore, Song membuat teolog-teolog, khususnya dalam bidang misiologi, memikirkan ulang konsep-konsep yang sangat mendasar mengenai Allah, Kristus, gereja, penciptaan, inkarnasi, dan pembebasan. Oleh sebab pengaruh Song yang besar terhadap dunia teologi, maka artikel ini hanya difokuskan pada teologinya saja dan karena luasnya pemikiran Song serta keterbatasan ruang penulisan, artikel ini hanya akan membahas satu sisi, yaitu pandangannya mengenai sejarah keselamatan (heilsgeschichte). Alasan yang sangat mendasar terhadap pemilihan topik ini adalah karena isu utama dalam teologi Song adalah tanggapannya terhadap sejarah keselamatan, terutama dikaitkan dengan sejarah dan budaya Asia. Menurut Song, pandangan para teolog Kristen bahwa kesinambungan sejarah Israel dan sejarah gereja sebagai bagian yang paling penting dari keselamatan Allah yang berakhir pada akhir zaman, atau yang disebut sebagai sejarah keselamatan (heilsgeschichte) adalah salah. Menurutnya, sejarah Israel dan sejarah gereja hanya merupakan simbol bagaimana Allah menyelamatkan bangsa-bangsa lain. Jadi, bangsa Israel dan gereja bukan satu-satunya pembawa dan saluran penyelamatan Allah. Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian terhadap tulisan-tulisan Choan-Seng Song dan tulisan-tulisan lainnya yang membahas pemikirannya. Artikel ini akan membahas pandangan Song mengenai sejarah keselamatan (heilsgeschichte) dan dasar pemikirannya, tanggapan positif dan negatif terhadap pandangan tersebut dan aplikasinya bagi kekristenan di Indonesia.
Sebuah Kritik terhadap Pandangan James D. G. Dunn tentang "Melakukan Hukum Taurat" dalam Galatia 2:16  Yahya, Pancha W.
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 14 No 1 (2013)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (20.413 KB)

Abstract

Frasa “melakukan hukum Taurat” (harfiah: “pekerjaan-pekerjaan hukum,” digunakan delapan kali dalam surat-surat Paulus (Rm. 3:20, 28; Gal. 2:16 [tiga kali]; 3:2, 5, 10). Interpretasi yang tepat terhadap frasa ini sangat penting untuk memahami Paulus dan pemikirannya. Kendati demikian, tidak ada kesepakatan di antara para sarjana Perjanjian Baru mengenai makna dari istilah tersebut. Secara tradisional, para sarjana memahami frasa tersebut sebagai “sebuah kewajiban untuk mematuhi semua tuntutan Hukum Musa guna memperoleh keselamatan.” Bagi para sarjana tersebut, Paulus menggunakan “melakukan hukum Taurat” untuk menyerang orang-orang Yahudi yang menggalakkan pendekatan legalistik pada keselamatan. Menurut pandangan tradisional ini, dengan menggunakan frasa ini Paulus mengajar para pembacanya di Roma dan Galatia bahwa melakukan hukum Taurat tidak akan membenarkan mereka seperti halnya beriman kepada Yesus Kristus. Di sisi lain, Perspektif Baru tentang Paulus (The New Perspective on Paul—selanjutnya disingkat NPP) berpendapat bahwa Yudaisme abad pertama bukanlah agama yang bersifat legalistik. Selanjutnya, para pendukung NPP berpendapat bahwa doktrin pembenaran oleh iman tidak ada hubungannya dengan keselamatan secara individual, tetapi lebih sebagai argumentasi Paulus terhadap orang-orang Kristen Yahudi yang sangat percaya bahwa orang percaya dari bangsa non-Yahudi harus di-Yudais-kan demi menjadi bagian dari umat Allah. Sebagai tambahan, para pengikut NPP tidak setuju bahwa “melakukan hukum Taurat” mengacu pada ketaatan pada hukum sebagai upaya demi memperoleh keselamatan. Sebaliknya, mereka percaya bahwa menurut Paulus, frasa itu merujuk pada pelaksanaan tuntutan-tuntutan hukum guna memelihara keanggotaan orang Yahudi dalam ikatan perjanjian dengan Allah. Dalam Roma dan Galatia, “melakukan hukum Taurat” secara khusus mengacu pada beberapa tuntutan yang berfungsi sebagai tanda-tanda yang membedakan orang Yahudi dan non-Yahudi, yaitu: sunat, Sabat dan hukum-hukum yang berhubungan dengan makanan. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengevaluasi pandangan NPP tentang “melakukan hukum Taurat.” Namun, karena keterbatasan ruang, agaknya tidak mungkin untuk membahas semua isu dan kajian pustaka yang berkaitan dengan pandangan NPP terhadap frasa ini. Karena itu, saya akan memfokuskannya hanya pada pandangan Dunn tentang “melakukan hukum Taurat,” khususnya di Galatia 2:16. Alasan saya memilih Dunn adalah karena ia bukan saja seorang sarjana NPP yang terkemuka, tetapi ia juga adalah sarjana yang diasosiasikan dengan frasa “New Perspective on Paul.” Selain itu, saya akan berkonsentrasi pada Galatia 2:16 karena Dunn sendiri menekankan bahwa Galatia 2:16, yang di dalamnya terdapat tiga kali frasa “melakukan hukum Taurat” adalah “the most obvious place to start any attempt to take a fresh look at Paul from our new perspective.” Di dalam artikel ini saya akan membuktikan bahwa pemahaman Dunn tentang “melakukan hukum Taurat” tidaklah meyakinkan, karena studi yang cermat terhadap konteks langsung, gaya sastra, dan latar belakang historis dari frasa tersebut dalam Galatia 2:16, menunjukkan bahwa frasa tersebut mengacu pada ketaatan terhadap semua tuntutan hukum guna memperoleh keselamatan.  
Tubuh adalah Bagi Tuhan: Sebuah Tinjauan Eksegesis 1 Korintus 6:12-20 Yahya, Pancha W.
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 14 No 2 (2013)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (14.713 KB)

Abstract

Artikel ini menyajikan tinjauan eksegesis atas I Korintus 6:12-20. Di dalam perikop tersebut Paulus membantah slogan-slogan sebagian jemaat Korintus yang membenarkan tindakan percabulan mereka dengan para pelacur. Di dalam penyampaikan bantahan tersebut, Paulus menggunakan tiga argumen yang semuanya diawali dengan formula ouk oidate oti (6:15, 16, 19). Argumen-argumen tersebut adalah: (1) Tubuh orang Kristen adalah anggota Kristus (6:15); (2) Tubuh orang Kristen telah dipersatukan dengan Kristus (6:16-18); (3) Tubuh orang Kristen adalah milik Allah (6:19-20). Di akhir artikel ini, penulis menyajikan aplikasi singkat dari hasil eksegesis tersebut.
Pembenaran melalui Kesatuan dengan Kristus : Sebuah Tinjauan atas Doktrin Imputasi Yahya, Pancha W.
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 15 No 2 (2014)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (16.03 KB)

Abstract

Imputasi adalah doktrin penting dalam kekristenan. Namun, setelah melakukan studi eksegesis terhadao teks-teks penting yang dianggap mendukung doktrin ini: Roma 4:1-25 dan 2 Korintus 5:21, penulis menyimpulkan bahwa teks-teks tersebut tidak berbicara mengenai kebenaran Kristus yang diimputasikan kepada orang percaya. Di sisi lain, Roma 4:1-25 menekankan mengenai pembenaran karena iman kepada Yesus yang sudah dibangkitkan untuk pembenaran kita. Sedangkan dalam 2 Korintus 5:21, "Dia (Yesus) yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita," tidak berbicara mengenai imputasi dosa orang percaya kepada Yesus, tetapi menyatakan mengenai Yesus yang adalah kurban dosa yang tidak bercacat. Selain itu, beberapa ayat dalam 2 Korintus 5 (ay. 14-15, 17, 18, 19, 21) justru menyatakan bahwa pembenaran dilakukan kepada orang percaya karena mereka telah menyatu dengan Kristus. Karena Kristus telah dibenarkan dengan kebangkitan-Nya, orang percaya yang ada di dalam-Nya pun dibenarkan juga bersama-sama dengan Kristus (Rm. 4:25).
Jesus, The Prophet, The Messiah, And The Host: An Interpretation Of Luke 24:13-35 Yahya, Pancha W.
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 17 No 2 (2018)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1003.941 KB)

Abstract

The story of Jesus’ encounter with two disciples on the journey to Emmaus is a unique story, among which is the story contains the question: what really made two disciples not recognize Jesus?, and why after inviting Jesus to their home, the identity of Jesus was recognized. Many solutions have been offered to answer these complicated problems, but it seems that the answers proffered are less than convincing. According to the author, the Emmaus story must be seen from the entire book of Luke and Acts because in this episode there are important themes scattered throughout Luke’s two writings. The two disciples are representatives of Jews who cannot understand that the Messiah must suffer, be crucified, and be resurrected. What made them recognize Jesus again was when Jesus entertained them to eat? It was because it reminded them of a similar event before Jesus’ death and at the same time referred to the role of Yahweh as the host of His OT people and the hope of an eschatological meal. In the end, the theme of this dining table fellowship became important in the Acts of the Apostles in relation to Jewish and Gentile relations within the early church. Keywords: Emmaus, Motif of Ignorance, Table Fellowship, Rejected Messiah Cerita perjumpaan Yesus dengan dua murid dalam perjalanan ke Emaus merupakan kisah yang unik, di antaranya adalah kisah ini mengandung pertanyaan: apa yang sesungguhnya membuat dua murid tidak mengenali Yesus dan mengapa setelah mengundang Yesus ke rumah mereka, identitas Yesus tersingkapkan. Banyak solusi telah coba untuk ditawarkan untuk menjawab persoalan pelik ini, namun sepertinya jawaban-jawaban itu kurang meyakinkan. Menurut penulis, kisah Emaus harus dilihat dari keseluruhan kitab Lukas dan Kisah Para Rasul karena di dalam episode ini termaktub tema-tema penting yang tersebar di sepanjang dua tulisan Lukas itu. Dua murid merupakan perwakilan orang Yahudi yang tidak dapat memahami bahwa Mesias harus menderita, disalibkan, dan dibangkitkan. Yang membuat mereka mengenal kembali Yesus adalah ketika Yesus menjamu mereka makan, karena itu mengingatkan peristiwa yang serupa sebelum kematian Yesus sekaligus merujuk pada peran Yahweh sebagai penjamu umat-Nya dalam PL dan harapan akan jamuan eskatologis. Pada akhirnya, tema persekutuan meja makan ini menjadi penting dalam Kisah Para Rasul dalam kaitan dengan relasi Yahudi dan non Yahudi dalam gereja mula-mula. Kata-kata kunci: Emaus, Motif Ketidaktahuan, Persekutuan Meja Makan, Mesias yang Ditolak