Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KEBIJAKAN PUBLIK BAGI PEMBINAAN KEGIATAN KEAGAMAAN DAN PENGAWASAN ALIRAN SESAT Winandi, Woro
Sapientia Et Virtus Vol 2 No 1 (2015)
Publisher : Universitas Katolik Darma Cendika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.543 KB) | DOI: 10.37477/sev.v2i1.54

Abstract

Masyarakat Indonesia dahulu sangat dikenal sebagai masyarakat toleran terhadap perbedaan baik dari suku, agama, ras dan antar golongan. Di Indonesia terdapat kelompok-kelompok minoritas keagamaan seperti Kristen, Katolik, bahkan kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Dahulu kelompok-kelompok minoritas keagamaan tersebut dapat hidup tenang berdampingan dengan kelompok keagamaan mayoritas dalam menjalankan agama atau keyakinannya tanpa rasa takut adanya intimidasi dan penyerangan.Namun dinamika kehidupan beragama membentuk sikap yang berbeda oleh masyarakat. Dalam dinamika tersebut pemerintah perlu membuat kebijakan untuk menangani potensi konflik horizontal di masyarakat.
KEADILAN TRANSISIONAL SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Winandi, Woro
Sapientia Et Virtus Vol 2 No 2 (2015)
Publisher : Universitas Katolik Darma Cendika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (406.475 KB) | DOI: 10.37477/sev.v2i2.59

Abstract

Pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di negara-negara otoriter menimbulkan korban pelanggaran berat HAM. Akibatnya, pada saat terjadi masa transisi dari rejim otoriter kepada rejim yang demokratis muncullah tuntutan penyelesaian pelanggaran berat HAM yang disuarakan oleh korban pelanggaran berat HAM beserta ahli warisnya. Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia, yang pernah diperintah oleh rejim otoriter yang menggunakan hukum represif untuk melanggengkan kekuasaan pada periode 1966-1998. Seiring bergulirnya reformasi tahun 1998, terjadilah masa transisi di Indonesia yang membawa dampak reformasi di segala bidang, termasuk reformasi di bidang hukum.
KEDUDUKAN HUKUM BAP ATAS PENYIMPANGAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP PENERAPAN PASAL 56 KUHAP Winandi, Woro; Alimudin, Alimudin
Sapientia Et Virtus Vol 1 No 2 (2014)
Publisher : Universitas Katolik Darma Cendika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1254.382 KB) | DOI: 10.37477/sev.v1i2.146

Abstract

Kebutuhan akan jasa hukum dari seorang advokat, bentuknya bermacam-macam, antara lain: nasehat hukurn, konsultasi hukum, legal audit, pembelaan baik di luar maupun di dalam pengadilan serta pendampingan perkara pidana lainnya. Bantuan Hukum yang diperlukan oleh tersangka yang terkena Pasal 56 ayat (1) KUHAP merupakan implementasi dari Hak Asasi Manusia (HAM) dalam memperoleh bantuan hukum untuk persidangan perkaranya. Berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP, yang mengadopsi pedoman Miranda Rule atau Miranda Principle, formalistic legal thinking dapat tercapai dengan kehadiran penasehat hukum yang bersifat imperative ini, sehingga hak asasi tersangka tetap diperhatikan, dan terjaminnya pemeriksaan yang fair dan manusiawi terhadap diri tersangka. Jika diabaikan akan mengakibatkan hasil pemeriksaan atau hasil penyidikan menjadi tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void).
PROSES PEMBUATAN PERATURAN PEMERINTAH (PP) DAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) Aziz, Abdul Malik; Winandi, Woro
JURNAL RECHTENS Vol 8, No 2 (2019): RECHTENS
Publisher : JURNAL RECHTENS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The emergence of subjective rights by the president must meet the conditions with the presence of danger, compulsive urgency and meaning is not limited by several criteria, but depends on the president's view, because the situation has a different meaning. The process of forming PERPPU began with matters that the president felt required to do so, which the President then assigned to the minister to draft with the Minister of Law and Human Rights, then to convert the PERPPU to president must be approved by the DPR, so it must bediscussed at the DPR plenary meeting. If approved, the PERPPU can become law and if not, the PERPPU must be revoked.Keywords: Coercive Urgency, Perppu, Government regulations