Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERZINAHAN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI STABAT NO : 221/PID .B/2014/PN.STB DAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDIKALANG NO: 116/PID.B/2013/PN.SDK) Syawal Saputra Siregar; Muhammad Hamdan; Mohammad Ekaputra; Utari Maharany Barus
USU LAW JOURNAL Vol 5, No 3 (2017)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (556.629 KB)

Abstract

ABSTRACT The setting is the crime of adultery against unmarried couples will not only accommodate the religious law or customary law which has prohibited such actions but can prevent the spread of other criminal offenses such as abortion, child neglect or disposal of the child of a relationship outside of marriage and so forth caused by acts criminal adultery. That is, if the formulation of legislation in its entirety has been set for penal deterrence has been fulfilled, then only a non penal policy formulation. Related to the above description there are two (2) court decision that will be examined in this thesis, the Stabat District Court Decision No: 221/Pid.B/2014/PN.Stb and Sidikalang District Court Decision No: 116/Pid.B/2013/PN.SDK. It brings necessary to study the factors that lead to fornication punishable. Comparison of the crime of adultery is regulated in the Code of Penal (Penal Code) and Islamic law. Application of the criminal law against adultery by Stabat District Court Decision No: 221/Pid.B/2014/PN.Stb And Sidikalang District Court Decision No: 116/Pid.B/2013/PN.SDK. Keywords: Comparison, Crime and Adultery
Analisis Yuridis Tindak Pidana Perjudian Dalam Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 Tentang Jinayat Dengan KUHP Fahmi Jalil; Madiasa Ablisar; Edy Ikhsan; Mohammad Ekaputra
USU LAW JOURNAL Vol 7, No 5 (2019)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (433.946 KB)

Abstract

Abstract. Real implementation of Aceh Qanun No. 6 of 2014 concerning Jinayat Law which excludes the provisions of gambling contained in KUHP which can be seen in a number of decisions of the Sharia Court, including the Decision of the Kuala Simpang Sharia Court No. 38/JN/2015/MSy-Ksg dated February 4, 2015 M to coincide with the 25th Rabiul Akhir 1437 H which states guilty in accordance with Article 18 of Qanun Aceh No. 6 of 2014 concerning Jinayat Law.   Keywords: jinayat, maisir and gambling
Eksekusi Barang Bukti Yang Dirampas Untuk Negara Irianto Irianto; Syafruddin Kalo; Muhammad Hamdan; Mohammad Ekaputra
Locus Journal of Academic Literature Review Volume 1 Issue 2 - June 2022
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (230.19 KB) | DOI: 10.56128/ljoalr.v1i2.53

Abstract

Pelaksanaan eksekusi barang bukti yang dirampas untuk Negara sudah diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung RI No : SE-03/B/B.5/8/1988 tentang penyelesaian barang rampasan. Namun kenyataannya dalam praktik dapat dilihat dalam putusan Pengadilan Negeri No. 06/Pid.Sus/2016/PN-MDN proses eksekusi barang bukti yang dirampas untuk Negara banyak menemui hambatan atau kendala, sehingga pelaksanaan proses eksekusi barang bukti yang dirampas untuk Negara tidak bisa segera dilaksanakan atau memakan waktu yang lama. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini akan membahas tentang kendala dan upaya apa yang dilakukan kejaksaan tinggi sumatera utara dalam mengatasi kendala atau hambatan dalam pelaksanaan eksekusi barang bukti yang dirampas untuk negara. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa terdapat dua kendala yaitu kendala yuridis dan non yuridis, namun berpedoman pada Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pembinaan Nomor B-87/C/U.1/02/2017 kejaksaan tetap mengotimalkan sesuai dengan Pasal 45 KUHAP.
Tindak Pidana Gratifikasi Dan Persekongkolan Tender Pada Pengadaan Bantuan Input Produksi Budidaya Kerapu Untuk Kabupaten Langkat : Studi Putusan No.34/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Mdn dan No.35/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Mdn Mangantar Anugrah Siregar; Syafruddin Kalo; Mahmul Siregar; Mohammad Ekaputra
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah sangat rawan dengan persekongkolan, tak jarang pula dijangkiti dengan praktik-praktik koruptif yang melibatkan panitia Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah yang merupakan Aparatur Sipil Negara. Salah satunya dengan memberikan gratifikasi yang didahulukan dengan persekongkolan. Persekongkolan tender dan Gratifikasi diatur dalam peraturan yang berbeda namun memiliki keterkaitan yang erat. Ditemukan beberapa indikasi persekongkolan tender pada Pengadaan Bantuan Input Produksi Ikan Kerapu Untuk Kabupaten Langkat. Persekongkolan tender yang melibatkan pelaku usaha dan panitia tender tersebut mengakibatkan Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat dijerat dengan ketentuan pidana gratifikasi karena persekongkolan disertai pemberian gratifikasi sebagaimana yang diatur Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Para pelaku dinilai mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya serta tidak adanya alasan pemaaf maupun penghapus pidana sehingga penegakan hukum pidana dapat diterapkan sesuai dengan kesalahan pelaku yang melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana Panitia Tender menerima gratifikasi diterapkan pasal 12 huruf b dan pelaku usaha diterapkan pasal 5 ayat (1) huruf a. Selain itu dalam penjatuhan pidana yang melebihi tuntutan jaksa penuntut umum juga dinilai sudah tepat mengingat semakin maraknya praktek kejahatan tersebut dalam Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Kata kunci: Gratifikasi, Persekongkolan Tender. Abstract Government procurement of goods / services is very prone to conspiracy, not infrequently plagued by corrupt practices that involve the government procurement committee of goods / services which is the State Civil Apparatus. One of them is by giving gratuities that are preceded by conspiracy. Tender conspiracy and gratuities are regulated under different but closely related regulations. Several indications of tender conspiracy were found in the provision of grouper production input assistance for Langkat Regency. The tender conspiracy involving business actors and the tender committee resulted in an unfair business competition being charged with the provision of a criminal act of gratification because conspiracy was accompanied by gratification as regulated in Law Number 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption Crime. The perpetrators are considered capable of being accountable for their actions and there is no excuse for forgiving or eradicating the crime so that criminal law enforcement can be applied according to the offender of the offender who violates the provisions of Law Number 20 of 2001 concerning Eradication of Corruption, where the Tender Committee accepts gratuities applied to article 12 letters b and business actors apply Article 5 paragraph (1) letter a. In addition, the imposition of crimes that exceed the demands of the public prosecutor is also considered appropriate given the increasingly widespread practice of these crimes in the procurement of government goods / services. Keywords: Gratification, Tender Conspiracy.
Penegakan Hukum Pidana Oleh Hakim Dalam Tindak Pidana Informasi Dan Transaksi Elektronik : Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 3563/Pid.Sus/2019/PN.Mdn Kumaedi; Alvi Syahrin; Mahmud Mulyadi; Mohammad Ekaputra
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Karena status melalui sosial media Instagram, saksi korban Fitriani Manurung tidak terima dan kemudian melaporkan terdakwa Febi Nur Amalia ke Penyidik ​​Polres Medan Kota karena menyerang kehormatannya melalui media sosial dipersangkakan melanggar Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena itu, Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan tentang formulasi tindak pidana pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik, analisis yuridis oleh hakim terhadap tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik pada putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 3563/Pid.Sus/2019/PN.Mdn, serta hambatan yuridis dalam penegakan hukum oleh hakim terhadap tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan hasil Penelitian Perkara kedudukan PN Medan sebagai berikut : Terdakwa Febi Nur Amalia atas permintaan saksi korban Fitriani Manurung pada tanggal 12 Desember 2016 meminjamkan uang sebesar Rp. 70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah) melalui transfer ke rekening suami korban. setelah lama tidak dikembalikan, maka pada tahun 2017 terdakwa berusaha menagih hutang kepada saksi korban Fitriani Manurung baik melalui pesan WA maupun datang ke rumahnya namun tidak mendapat respon dari korban saksi Fitriani Manurung dan selalu berusaha menghindar dan tidak mengakui adanya hutang tersebut. Kata kunci: Informasi dan Transaksi Elektronik, Penegakan Hukum, Tindak Pidana. Abstract Due to his status through social media Instagram, victim witness Fitriani Manurung did not accept and then reported the defendant Febi Nur Amalia to the Medan City Police Investigator for attacking her honor through social media, which is suspected of violating Article 27 paragraph 3 in conjunction with Article 45 paragraph 3 of Law Number 19 of 2019 concerning Amendment to Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions. Therefore, the purpose of this study is to explain the formulation of criminal acts of criminal responsibility in the Electronic Information and Transaction Law, juridical analysis by judges on criminal acts of Information and Electronic Transactions in the Medan District Court decision Number 3563/Pid.Sus/2019/PN Mdn, as well as juridical obstacles in law enforcement by judges against criminal acts of Information and Electronic Transactions. Based on the results of the research on the position of the Medan District Court as follows: The defendant Febi Nur Amalia at the request of the victim witness Fitriani Manurung on December 12, 2016 lent Rp. 70,000,000,- (seventy million rupiah) by transfer to the victim's husband's account. after a long time not being returned, then in 2017 the defendant tried to collect a debt from the victim witness Fitriani Manurung either through WA messages or came to his house but did not get a response from the victim witness Fitriani Manurung and always tried to avoid and did not admit the existence of the debt. Keywords: Crime, Information and Eletronic Transactions, Law Enforcement.
Analisis Yuridis Putusan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Daerah Hukum Pengadilan Negeri Rantau Prapat: Studi Putusan Nomor 599/Pid.Sus/2018/PN.Rap; 1234/Pid.Sus/2018/PT MDN; 2332/K/Pid.Sus/2019 dan Nomor 943/Pid.Sus/2019/PN.Rap; Nomor 841/Pid.Sus/2020/PN.Rap Andri Rico Manurung; Madiasa Ablisar; Edi Yunara; Mohammad Ekaputra
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika sering terjadi. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis formulasi disparitas pidana di Indonesia, faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, serta menganalisis apa sebenarnya yang dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam Putusan Nomor 599/Pid.Sus/2018;1234/Pid.Sus/2018/PTMdn; 332/K/Pid.Sus/2019; 943/Pid.Sus/2019/PN. Rap; Nomor 841/Pid.Sus/2020/PN.Rap. Metode penelitian menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu mengacu pada norma-norma hukum. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Data yang digunakan adalah data sekunder. terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data adalah library research (penelitian kepustakaan). Analisis data adalah kualitatif.. Hasil Penelitian menunjukkan formulasi disparitas pidana bahwa Hakim bebas untuk menjatuhkan putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Kekuasanaan Kehakiman. Faktor yang menjadi terjadinya disparitas pidana adalah berasal dari internal (dalam diri hakim) dan dari eksternal (luar diri hakim). Pertimbangan hakim dalam memutus perkara adalah pertimbangan yuridis dan non yuridis. Kata kunci: Disparitas Pidana, Narkotika, Putusan Hakim. Abstract The disparity of judges' decisions on narcotics crimes often occurs. Therefore, the purpose of this study is to analyze the formulation of criminal disparity in Indonesia, the factors causing the disparity of judges' decisions against narcotics criminals according to Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power and Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics, as well as analyzing what exactly did the judge consider in imposing a sentence against narcotics criminals in Decision Number 599/Pid.Sus/2018; 1234/Pid.Sus/2018/PTMdn; 332/K/Pid.Sus/2019; 943/Pid.Sus/2019/PN. Rap; Number 841/Pid.Sus/2020/PN.Rap. The research method uses a normative juridical legal research method, which refers to legal norms. This research is descriptive analytical. The data used is secondary data. consists of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The data collection technique is library research (library research). The data analysis is qualitative. The results of the study show the formulation of criminal disparity that judges are free to make decisions as stipulated in Article 3 of the Law on Judicial Power. Factors that cause criminal disparity are internal (within the judge) and external (outside the judge). The judge's considerations in deciding cases are juridical and non-juridical considerations. Keywords: Criminal Disparity, Judge’s Decision, Narcotics.
Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Sanksi Pidana Di Bawah Ancaman Pidana Minimum Khusus Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika: Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 775K/Pid.Sus/2020 Rendra Yoki Pardede; Alvi Syahrin; Mohammad Ekaputra; Mahmud Mulyadi
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penyalahgunaan narkotika dinilai sudah sangat meresahkan masyarakat dikarenakan banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan narkotika ini. Penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika juga dinilai meresahkan karena tidak mewujudkan kepastian hukum. Salah satunya yaitu penjatuhan pidana dibawah sanksi pidana minimum khusus dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 775 K/ Pid. Sus/ 2020. Pengaturan tindak pidana narkotika dikaitkan dengan sanksi di bawah sanksi minimum tidak mewujudkan kepastian hukum. Pengaturan narkotika sebagaimana yang diatur dalam BAB XV Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah disertai ketentuan pidana minimum yang jelas dan terperinci. Pedoman hakim dalam menjatuhkan pidana dibawah ancaman sanksi pidana minimum khusus kepada pelaku tindak pidana narkotika berpedoman pada Asas kebebasan hakim yang menjunjung tinggi keadilan. Selain itu hakim juga berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Penerapan sanksi pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus dalam perkara tindak pidana narkotika berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 775 K/ PID. SUS/ 2020 dapat dikemukakan bahwa, Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara dalam telah salah menerapkan hukum karena telah menjatuhkan pidana dibawah ancaman sanksi minimum khusus yang telah diatur dalam pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum yang telah diatur Undang-Undang sebagaimana mestinya. Kata kunci: Minimun Khusus, Narkotika, Sanksi Pidana. Abstract The abuse of narcotics is considered very unsettling and has a negative impact on the use of narcotics. The application of the law to narcotics offenders is also considered unsettling because it does not create legal certainty. One of them is the imposition of crimes under special minimum criminal sanctions in the Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number: 775 K / Pid. Sus / 2020. The regulation of narcotics crime linked to sanctions under the minimum sanction does not create legal certainty. Narcotics regulation as regulated in Chapter XV Law Number 35 Year 2009 concerning Narcotics has been accompanied by clear and detailed minimum criminal provisions. Guidelines for judges in imposing crimes under the threat of a special minimum criminal sanction against narcotics offenders are guided by the principle of freedom of judges who uphold justice. In addition, the judges also refer to the Supreme Court Circular Number 03 of 2015 concerning the Enforcement of the Formulation of the Results of the 2015 Supreme Court Chamber Plenary Meeting as Guidelines for the Implementation of Duties for the Court. The application of criminal sanctions under the threat of a special minimum penalty in narcotics crime cases based on the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number: 775 K / PID. SUS / 2020 can be argued that, the Panel of Judges examining and adjudicating a case has wrongly applied the law because it has imposed a crime under the threat of a special minimum sanction as stipulated in article 112 paragraph (1) of Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics. This creates uncertainty in the enforcement of the law as it should be regulated by law. Keywords: Criminal Sanctions, Narcotics, Special Minimum.
Pengaturan Dan Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Transfer Dana Ditinjau Dari Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana Alberth Mangasi Rumahorbo; Mahmud Mulyadi; Mohammad Ekaputra; Detania Sukarja
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana menambah jenis tindak pidana khusus yang sebelumnya ada di Indonesia. Tindak pidana khusus tersebut adalah tindak pidana transfer dana. Dalam undang-undang tersebut diatur beberapa perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana transfer dana, yang salah satunya adalah perbuatan dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 85.Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan konseptual. Data yang digunakan terdiri dari data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara teknik studi pustaka dan studi dokumen, data tersebut dianalisa secara kualitatif.Tidak pidana transfer dana memberikan alternatif baru bagi aparat penegak hukum dalam menentukan ancaman pidana dari suatu peristiwa pidana. Sebelum undang-undang tersebut, aparat hukum cenderung menggunakan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai dasar pemidanaan terhadap peristiwa pidana dimaksud. Namun penerapan undang-undang tersebut masih jarang digunakan aparat hukum karena penerapan ketentuan tersebut membutuhkan proses penyelidikan dan penyidikan yang lebih dalam lagi, untuk menentukan pertanggungjawaban pidana. Undang-undang tersebut juga masih memiliki kekurangan dalam ancaman pidana pokok dan pidana tambahan. Karena apabila pelaku tindak pidana tersebut berbentuk subjek hukum korporasi, maka berlaku ketentuan Pasal 87 undang-undang tersebut, yang menimbulkan kecenderungan bagi Majelis Hakim untuk hanya memberikan sanksi pidana pokok berupa denda dan sanksi tambahan berupa pengembalian dana milik korban atau perbankan, tanpa memberikan sanksi pidana penjara untuk memberikan efek jera. Kata kunci: Perbankan, Sanksi Pidana, Tindak Pidana Transfer Dana. Abstract The Law Number 3 of 2011 concerning Fund Transfers increase the types of special crimes that previously existed in Indonesia. It is a criminal act of transferring funds. The law regulates several acts that qualify as a criminal act of transferring funds, one of them is the act of deliberately controlling and acknowledging as his own funds resulting from the transfer that known or should be known to be not his rights as regulated in Article 85. This study uses a normative research method with a statutory approach and conceptual. The data consists of secondary data. Data collection techniques consisted of literatur study techniques and document studies, the data were analyzed qualitatively. The criminal act of transferring funds provide a new alternative for law officers in determining the criminal threat of a case. Prior to the law, law officers tended to use Article 372 of the Criminal Code as the basis for sentencing the said criminal event. However, the application of the law is still rarely used by legal officials because the application of these provisions requires a deeper investigation process, and to determine criminal liability. The law still has shortcomings in the threat of basic and additional penalties. Because if the perpetrator of the crime is in the form of a corporate legal subject, then the provisions of Article 87 of the law applied, which creates a tendency for the Panel of Judges to only impose basic criminal sanctions as fines and additional sanctions as returning funds belonging to victims or banks, without giving criminal sanctions in prison to provide a deterrent effect. Keywords: Banking, Criminal act of transferring funds, Criminal sanctions.
Penyelesaian Tindak Pidana Dengan Pendekatan Restorative Justice Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan: Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Medan Husein Pohan; Madiasa Ablisar; Marlina Marlina; Mohammad Ekaputra
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Keadilan restoratif bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (8) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai pelaksanaan kewenangan untuk mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang. Implementasi penyelesaian tindak pidana dengan pendekatan restorative justice yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Medan. Tahap I, Penuntut Umum sebagai fasilitator memberikan menjelaskan mengenai maksud dan tujuan dari pertemuan dalam rangka perdamaian yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Medan. Tahap II, Penuntut Umum sebagai fasilitator memberikan kesempatan kepada tersangka untuk menyampaikan permohonan maaf secara lisan kepada korban dan keluarganya. Tahap III, Kesepakatan perdamian yang telah selesai dilaksanakan dibuktikan dengan para pihak dan Penuntut Umum sebagai fasilitator serta tokoh masyarakat.Tahap IV, setelah terjadi kesepakatan, Penuntut Umum membuat Laporan tentang Pelaksanaan Perdamaian yang telah berhasil. Tahap V, Kesepakatan perdamaian melalui pendekatan keadilan restoratif ini telah dilaksanakan sesuai dengna aturan yang berlaku.Hambatan dalam pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Medan, secara eksplisit PERJA tersebut belum mengatur secara tegas dan rinci mengenai jangka waktu yang diberikan untuk menyelesaikan tindak pidana dengan pendekatan restoratif justice, selama ini masih mengacu kepada Standart Operasional Prosedur internal Kejaksaan Negeri Medan saja, yakni diberikan waktu selambat-lambatnya 7 hari. Kata kunci: Kejaksaan, Penyelesaian Tindak Pidana, Restorative Justice. Abstract Restorative justice aims to empowered victims, perpetrators, families and communities to correct an unlawful act by using awareness and conviction as a basis for improving community life. Prosecutor’s Regulation Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution based on Restorative Justice as an exercise of authority to streamline the law enforcement process provided for by law. Implementation of the settlement of criminal acts with a restorative justice approach carried out by the Medan District Attorney. Phase I, the public prosecutor as a facilitator provides an explanation of the aims and objectives of the meeting in the context of peace held by the Medan District Attorney. Phase II, the public prosecutor as a facilitator provides an opportunity for the suspect to express an apology verbally to the victim and her family. Phase III, the peace agreement that has been completed is proven by the parties and the public prosecutor as a facilitator and community leader. Phase IV, after an agreement is reached, the public prosecutor makes a report on the successful implementation of peace. Phase V, the peace agreement through this restorative justice approach has been implemented in accordance with the applicable rules. Barriers in the implementation of the termination of prosecution based on restorative justice carried out by the Medan District Attorney, explicitly the Indonesian Attorney General’s Regulations has not explicitly an in detail regulated the time period given to resolve criminal acts with a restorative justice approach, so far it still refers to the Standard Operational procedures of the Medan District Attorney’s Office, which is given a maximum of 7 days. Keywords: Attorney. Crime Settlement, Restorative Justice.
Pemberatan Pemidanaan Terhadap Aparat Penegak Hukum Sebagai Pengedar/Bandar Narkotika: Studi Putusan No. 2611/Pid.Sus/2017/PN. Lbp dan Putusan No.56/Pid.Sus/2020/PN. Dpk Paian Tumanggor; Ediwarman Ediwarman; Mahmud Mulyadi; Mohammad Ekaputra
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tindak pidana Narkotika merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Meningkat penyalahgunaan tindak pidana Narkotika, bukan hanya di masyarakat saja tetapi sudah mulai mengarah kepada aparat penegak hukum khususnya kepada anggota Kepolisian. Sanksi pidana dengan pemberatan diberikan kepada aparat penegak hukum yang terlibat sebagai bandar Narkotika dan menjadi bagian dari jaringan pengedar Internasional. Munculnya pemberatan pemidanaan ini agar dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika. Aturan hukum mengenai pemidanaan dan pemberatan terhadap pemidanaan khususnya narkotika diatur didalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Aparat penegak hukum yang terbukti menjadi pengedar/Bandar narkotika akan dijatuhkan hukuman mati atau hukuman seumur hidup, selain itu juga akan dikenakan sanksi administratif. Kebijakan hukum pidana terhadap aparat penegak hukum sebagai Bandar narkotika dibagi atas 2 (dua) yaitu Pertama, Kebijakan Penal yang mana lebih menitikberatkan pada sifat repressive sesudah kejahatan tindak pidana narkotika terjadi, sedangkan Kedua, Kebijakan Non Penal yang mana lebih menitik beratkan pada sifat preventive sebelum kejahatan tindak pidana narkotika terjadi Kata kunci: Aparat Penegak Hukum, Bandar Narkotika, Pemberatan Pemidanaan. Abstract Narcotics crime is one of the extraordinary crimes. The increase in drug abuse, not only in the community but has begun to lead to law enforcement officials, especially to members of the Police. Criminal sanctions with blessings are given to law enforcement officials who are involved as narcotics dealers and become part of an international network of dealers. The emergence of this punishment in order to cause a deterrent effect on the perpetrators of abuse and illicit circulation of Narcotics and Narcotics Precursors. The criminal punishment is carried out based on the group, type, size, and amount of narcotics. The rule of law regarding the imposition and imposition of the drug, especially narcotics, is regulated in Article 111 to Article 148 of Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics. Law enforcement officials who are proven to be drug dealers will be sentenced to death or life sentences, but will also be subject to administrative sanctions. The criminal law policy against law enforcement officers as narcotics dealers is divided into 2 (two) namely First, penal policy which focuses more on repressive nature after narcotics crime occurs, while second, non-penal policy which focuses more on preventive nature before narcotics crime crime occurs. Keywords: Law Enforcement Officer, Narcotics Dealer, Enforcement.