Agustian, Sanggup Leonard
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

HEGEMENONI HUKUM TERHADAP KEJAHATAN SEKSUAL PEREMPUAN DAN ANAK-ANAK: REFLEKSI MITIGASI Tanisha, Trisha; Agustian, Sanggup Leonard; Gilbert, Yehuda
Mimbar Keadilan Vol 13 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/mk.v13i1.2966

Abstract

Radicalism carries seeds to disturb comfort and safety in life. Terrorism starts with radicalism. The purpose of terrorism in general is to encourage divisions and conflicts vertically and horizontally, efforts to change policies governed by the state, show the weakness of the government system, threaten the government, provoke anger and public reaction to certain cases and is one form of campaign by the public. a form of mitigation of radicalism against sexual crimes of women and children. Radicalism can be prevented by providing education, either through communities or social institutions that conduct teaching and learning forms to provide knowledge about women's rights, or modules for schools for children. In addition to providing education from institutions or organizations, the government has the duty to help such education be carried out to the fullest, such as ratification of regulations relating to the protection of women's rights, rehabilitation of children, law enforcement without discrimination.Radikalisme membawa bibit untuk mengganggu kenyamanan dan keamanan dalam hidup. Terorisme berawal dari radikalisme. Tujuan dari terorisme secara garis besar adalah mendorong perpecahan dan konflik secara vertikal maupun horizontal, upaya merubah kebijakan yang diatur oleh negara, memperlihatkan kelemahan sistem pemerintahan, mengancam pemerintah, memancing amarah serta reaksi masyarakat terhadap kasus tertentu dan merupakan salah satu bentuk kampanye oleh masyarakat. bentuk mitigasi radikalisme terhadap kejahatan seksual perempuan dan anak-anak. Radikalisme dapat dicegah dengan cara pemberian edukasi, baik melalui komunitas atau lembaga sosial yang mengadakan bentuk ajar-mengajar untuk memberikan pengetahuan akan hak-hak perempuan, atau modul untuk sekolah bagi anak-anak. Selain daripada pemberian edukasi dari lembaga atau organisasi, pemerintah memiliki tugas dalam membantu edukasi tersebut dapat terselenggara dengan maksimal, seperti pengesahan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak perempuan, rehabilitasi anak-anak, penegakkan hukum tanpa tindak diskriminasi.
PEMAKNAAN KEMBALI TERHADAP TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN Pisteo, Rudi; Sugianto, Fajar; Agustian, Sanggup Leonard
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 3 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1709.279 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v3i1.2630

Abstract

The concept of social and environmental responsibility or commonly referred to as corporate social responsibility continues to experience rapid development. Stakeholder theory provides new thinking related to the meaning of the concept of social and environmental responsibility in Indonesia with various stakeholder perspectives. Issues related to the meaning of corporate social and environmental responsibility at present based on laws and regulations need to be discussed in re-defining corporate social and environmental responsibility due to regulatory uncertainty caused by the spread of arrangements related to social and environmental responsibility in Indonesia . In Indonesia, the terms used in the laws and regulations are very diverse, in Indonesia the meaning of mandatory Corporate Social Responsibility develops from the concept of Corporate Social Responsibility which other countries or formerly voluntary. This study uses a normative juridical method and concept approach. In interpreting the concept of corporate social and environmental responsibility it needs to be understood that the responsibility of a company in carrying out social and environmental responsibility cannot be separated from the existence of corporate, legal, economic and environmental instruments.Konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan atau biasa disebut dengan istilah corporate social responsibility terus mengalami perkembangan dengan pesat. Stakeholder theory memberikan pemikiran baru terkait dengan pemaknaan terhadap konsep dari tanggung jawab sosial dan lingkungan yang ada di Indonesia dengan berbagai perspektif pemangku kepentingan yang ada. Permasalahan terkait dengan pemaknaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan pada saat ini berdasarkan peraturan perundang-undangan perlu di lakukan pembahasan dalam memaknai kembali tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dikarenakan ketidakpastian pengaturan yang diakibatkan oleh adanya penyebaran pengaturan terkait dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan ini di Indonesia. Di Indonesia sendiri istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undanganya sangat beragam, di Indonesia pemaknaan terhadap Corporate Social Responsibility yang bersifat mandatory menjadi berkembang dari konsep Corporate Social Responsibility yang mana negara-negara lain atau dulunya bersifat voluntary. Penelitian ini menggunakan motode yuridis normatif dan pendekatan konsep. Dalam memaknai konsep dari tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan perlu untuk dipahami bahwa tanggung jawab suatu perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak terlepas dari adanya instrumen perseroan, hukum, ekonomi dan lingkungan.
EKSISTENSI PRINSIP PENCEMAR MEMBAYAR DALAM SISTEM PENEGAKAN HUKUM AGRARIA Sugianto, Fajar; Agustian, Sanggup Leonard; Basti, Nisa Permata
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 4, No 1 (2020): VOLUME 4 ISSUE 1, JANUARY 2020
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v4i1.41790

Abstract

Law Number 32 of 2009 concern about Environmental Protection and Management does not provide adequate regulation in providing sanctions against perpetrators of pollution, except only providing a legal basis for employers to provide compensation payments to victims of pollution. Therefore it is necessary to know about the position of the Polluter Pays Principle in the Environmental Legal System as Agrarian Reform. The principle of paying polluters who have the function of authorizing should not be formulated in the explanatory section of the article. If following the explanation of Law No. 23 of 1997 concerning Environmental Management, the purpose of the principle of polluter pays, even has many meanings such as paying to pollute or can be interpreted as a license to pollute. As a result of the study of international law, the principle of polluter pays has two meanings, namely as an economic instrument with the intention of charging fees to potential polluters and is also interpreted as a basic instrument to hold legal liability for incidents of environmental pollution.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak memberikan pengaturan memadai dalam memberikan sanksi terhadap pelaku pencemaran, kecuali hanya memberikan landasan hukum bagi pengusaha untuk memberikan pembayaran kompensasi kepada korban pencemaran. Oleh karena itu perlu mengetahui mengenai kedudukan Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) dalam Sistem Hukum Lingkungan Sebagai Reformasi Agraria. Prinsip Pencemar Membayar yang memiliki fungsi mengesahkan seharusnya tidak dirumuskan dalam bagian penjelasan pasal. Jika mengikuti penjelasan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka maksud Prinsip Pencemar Membayar, bahkan memiliki banyak pemaknaan seperti membayar untuk mencemari (paying to pollute) atau dapat dimaknai sebagai license to pollute. Hasil telaah hukum internasional, prinsip pencemar membayar memiliki dua pemaknaan, yaitu sebagai instrumen ekonomi dengan maksud pembebanan biaya kepada pelaku pencemar yang potensial dan diartikan juga sebagai instrument dasar untuk menuntut pertanggungjawaban hukum atas terjadinya kasus pencemaran lingkungan.