Untarti, Dade Prat
Unknown Affiliation

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

SEJARAH DESA TALAGA BESAR KECAMATAN TALAGA RAYA KABUPATEN BUTON TENGAH (1977-2017) Untarti, Dade Prat
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO Vol 3, No 4 (2018): Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Publisher : Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (22.653 KB) | DOI: 10.36709/jpps.v3i4.12860

Abstract

ABSTRAK: Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: (1) Apa latar belakang terbentuknya Desa Talaga Besar Kecamatan Talaga Raya Kabupaten Buton Tengah? (2) Bagaimana berkembangan Desa Talaga Besar Kecamatan Talaga Raya Kabupaten Buton Tengah Tahun 1977-2017? Metode sejarah tersebut adalah: (a) Pemilihan topik (b) Heuristik (Pengumpulan Data) (c) Verifikasi (Kritik Sejarah) (d) Interpretasi (e) Historiografi (kritik sejarah). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Desa Talaga Besar awalnya hanya dijadikan tempat untuk berkebun atau bercocok tanam, misalnya menanam jagung dan ubi kayu sebagai makanan pokok masyarakat setempat dan pada umumnya masyarakat Buton. Karena seiring berjalannya waktu dan peradaban serta jumlah penduduk semakin bertambah banyak. Pemerintah daerah berinisiatif memekarkan desa Talaga Besar menjadi desa definitif. Faktor-faktor yang mendukung terbentuknya Desa Talaga Besar ini ialah: (a) Adanya peranan pemimpin yang selalu memberikan motivasi kepada warga untuk aktif dalam setiap kegiatan yang sifatnya membangun. (b) Faktor pendukung diantaranya faktor geografis (wilayah), faktor demografi (penduduk), dan faktor ekonomi. (2) Perkembangan Desa Talaga Besar dalam bidang ekonomi, sebagian besar masyarakat Talaga Besar menggantungkan hidupnya di bidang pertanian dan perdagangan yang telah dilakukan dan dikembangkan secara turun temurun. Di bidang sosial, hubungan sosial kemasyarakatan antara warga Desa Talaga Besar cukup harmonis. Di bidang pendidikan, perkembangan pendidikan di Desa Talaga Besar pada khususnya dan Kecamatan Talaga Raya pada umumnya mengalami perkembangan pendidikan yang boleh dikatakan sudah cukup baik dan infrastruktur lebih baik bila dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Kata Kunci: Sejarah, Desa, Talaga BesarABSTRACT: The main problems in this study are: (1) What is the background of the formation of Talaga Besar Village, Talaga Raya District, Buton Tengah Regency? (2) How did the development of Talaga Besar Village, Talaga Raya District, Buton Tengah Regecy Year 1977-2017? The historical methods are: (a) Selection of topics (b) Heuristics (Data Collection) (c) Verification (Historical Criticism) (d) Interpretation (e) Historiography (historical criticism). The results of this study indicate that: (1) Talaga Besar Village was originally only used as a place for gardening or farming, for example planting corn and cassava as a staple food for the local community and in general the Buton people. Because over time and civilization as well as the population increases. The regional government took the initiative to split the village of Talaga Besar into a definitive village. The factors that support the formation of the Talaga Besar Village are: (a) There is a role of leaders who always motivate citizens to be active in any constructive activity. (b) Supporting factors include geographical factors (region), demographic factors (population), and economic factors. (2) The development of Talaga Besar Village in the economic field, most of the Talaga Besar people depend their lives on agriculture and trade which have been carried out and developed for generations. In the social field, social relations between the people of Talaga Besar Village are quite harmonious. In the field of education, the development of education in the village of Talaga Besar in particular and the Talaga Raya sub-district in general experienced a development of education which was arguably quite good and the infrastructure was better when compared to the previous situation. Keywords: History, Village, Great Talaga
SEJARAH MASYARAKAT NELAYAN SUKU BUGIS DI DESA POLEWALI, KECAMATAN LAINEA KABUPATEN KONAWE SELATAN (1950-2017) Ibrahim, Ibrahim; Untarti, Dade Prat
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO Vol 4, No 3 (2019): Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Publisher : Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (981.84 KB) | DOI: 10.36709/jpps.v4i3.12869

Abstract

ABSTRAK: Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana sejarah kedatangan orang Bugis di Desa Polewali Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan? (2) Bagaimana kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat nelayan suku Bugis di Desa Polewali Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan (1950-2017)? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah yang dikemukakan oleh Helius Syamsuddin bahwa tata kerja penelitian sejarah terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) Pengumpulan Data (Heuristik) (2) Kritik Sumber (Verifikasi) (3) Penulisan Sejarah (Historiografi). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Awal kedatangan orang Bugis di Desa Polewali untuk mengamankan diri  karena pada saat itu mereka dikira mata-mata dari tentara Jepang jadi mereka meninggalkan daerah asal mereka yaitu Bone Sulawesi Selatan dan kemudian mereka menuju di Desa Polewali. Hal yang mendorong mereka tinggal di Polewali karena kondisi laut yang bagus. Pada tahun 1950 pertama sekali orang Bugis berlabuh di Desa Polewali  Nama Desa Polewali berasal dari bahasa Bugis yang terdiri dari kata “pole” dan “wali”, pole artinya datang dan wali artinya empat penjuru, polewali berarti datang dari empat penjuru. Orang  Bugis  banyak yang menjadi nelayan di Desa Polewali karena Desa Polewali berada di pinggir laut dan mempunyai potensi laut yang bisa menunjang pendapatan nelayan. (2)  Kondisi kehidupan masyarakat Desa Polewali sejak tahun 1950-2017 dapat dilihat dari; (a) Kondisi  sosial dalam masyarakat yang dapat dilihat dari interaksi sosialnya. Interaksi sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan sosial antara sesama masyarakat nelayan suku Bugis dengan orang lain, baik menyangkut hubungan kerjasama dan persaingan. Dalam menangkap ikan dan memasarkan hasil tangkapan. (b) Kondisi ekonomi masyarakat nelayan suku Bugis di Desa Polewali (c) Kondisi budaya merupakan salah satu bagian  terpenting  dalam kehidupan masyarakat nelayan yang digunakan sebagai tata aturan yang mengatur pola perilaku setiap anggota-anggota dalam kehidupan masyarakat Desa PolewaliKata Kunci: Sejarah, Kondisi Sosial EkonomiABSTRACT: The main problems in this study are: (1) What is the history of the arrival of the Bugis in the Polewali Village of Lainea Subdistrict, Konawe Selatan District? (2) What are the socio-economic and cultural conditions of the Bugis fishing community in Polewali Village, Lainea Subdistrict, Konawe Selatan Regency (1950-2017)? The method used in this study is the historical research method proposed by Helius Syamsuddin that the work of historical research consists of three stages, namely: (1) Data Collection (Heuristics) (2) Source Criticism (Verification) (3) Historical Writing (Historiography) . The results of this study indicate that: (1) The initial arrival of the Bugis in the Polewali Village to secure themselves because at that time they were thought to be spies from the Japanese army so they left their home region of Bone South Sulawesi and then they headed to Polewali Village. The thing that pushed them to stay in Polewali was because of the good sea conditions. In 1950 the Bugis first anchored in the Polewali Village The name Polewali Village came from the Bugis language which consisted of the words "pole" and "guardian", pole meant to come and guardian meant four directions, polewali meant to come from four directions. Many Bugis people become fishermen in Polewali Village because Polewali Village is located on the seafront and has sea potential that can support the income of fishermen. (2) The living conditions of the people of Polewali Village since 1950-2017 can be seen from; (a) Social conditions in society which can be seen from social interactions. The social interaction referred to in this study is the social relationship between fellow Bugis fishing communities with other people, both concerning the relationship of cooperation and competition. In catching fish and marketing the catch. (b) Economic conditions of the Bugis fishing community in Polewali Village (c) Cultural conditions are one of the most important parts of the fishing community's life which are used as rules governing the behavior patterns of each member in the Polewali Village community life. Keywords: History, Socio-Economic Conditions
SISTEM PENANGKAPAN IKAN RAMAH LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT NELAYAN DESA WAELUMU KECAMATAN WANGI-WANGI KABUPATEN WAKATOBI (2003 - 2017) Husna, Husna; Untarti, Dade Prat
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Publisher : Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36709/jpps.v3i1.11983

Abstract

ABSTRAK: Permasalahan yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana sistem penangkapan ikan ramah lingkungan pada masyarakat nelayan desa waelumu Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi? (2) Apa saja alat-alat yang digunakan dalam penangkapan ikan ramah lingkungan pada masyarakat nelayan desa waelumu Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi (2003- 2017)? (3) Bagaimana perubahan penangkapan ikan ramah lingkungan pada masyarakat nelayan desa Waelumu Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi (2003-2017)? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari (1) Heuristik, (2) Kritik Sumber, (3) Historiografi. Penelitian ini menunjukan bahwa masyarakat nelayan desa Waelumu, meskipun rata-rata mata pencahariannya adalah sebagai nelayan dan masih memiliki alat tangkap ikan yang sifatnya tradisional. Akan tetapi alat-alat penangkapan ikan yang mereka gunakan adalah benar-benar ramah lingkungan, sehingga dengan begitu keadaan lautnya tetap terjaga dan terlindung dari ancaman manusia yang tidak memiliki kesadaran akan hal itu. Dengan menggunakan alat tangkap ikan ramah lingkungan akan memiliki dampak positif terhadap kehidupan masyarakat nelayan desa Waelumu maupun kehidupan biota lautnya serta masyarakat nelayan desa Waelumu memiliki kesadaran tersendiri bahwa dengan tetap melestaikan lingkungan baik darat maupun laut akan tetap bersih, nyaman, dan tentram. Alat-alat penangkapan ikan ramah lingkungan pada masyarakat nelayan desa Waelumu (2003-2017) antara lain: (a) Mata Pancing, (b) Jaring, (c) Tombak, (d) Panah, (e) Tofole (akar pohon), dan (f) Bubu. Kata Kunci: Sejarah, Tradisi Kampua, Masyarakat Muna ABSTRACT: The problems that become the reference in this study are: (1) How is the environmentally friendly fishing system in the fishing community of Waelumu Village, Wangi-Wangi District, Wakatobi Regency? (2) What are the tools used in environmentally friendly fishing in the fishing community of Waelumu Village, Wangi-Wangi District, Wakatobi District (2003-2017)? (3) How is the change in environmentally friendly fishing in the fishing community of Waelumu village, Wangi-Wangi District, Wakatobi Regency (2003-2017)? The method used in this study is a historical method consisting of (1) Heuristics, (2) Source Criticism, (3) Historiography. This research shows that the fishing community of Waelumu village, although the average livelihood is as a fisherman and still has traditional fishing gear. However, the fishing equipment they use are truly environmentally friendly, so that the state of the sea is maintained and protected from the threat of humans who have no awareness of it. Using environmentally friendly fishing gear will have a positive impact on the life of the Waelumu fishing community and the lives of its marine biota and the fishing community of the Waelumu village have their own awareness that by preserving the environment both land and sea will remain clean, comfortable, and peaceful. Environmentally friendly fishing gear in the fishing community of Waelumu village (2003-2017) include: (a) the hook, (b) Nets, (c) Spears, (d) Arrows, (e) Tofole (tree roots), and (f) the Trap. Keywords: History, Kampua Traditions, Muna Communities
SEJARAH BANDARUDARA SUGIMANURU DI DESA KUSAMBI KECAMATAN KUSAMBI KABUPATEN MUNA BARAT (1980-2017) Jaldin, Jaldin; Untarti, Dade Prat
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO Vol 4, No 1 (2019): Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Publisher : Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (254.875 KB) | DOI: 10.36709/jpps.v4i1.7346

Abstract

ABSTRAK: Tujuan utama penelitian ini adalah (1) Untuk mendeskripsikan latar belakang pembangunan bandarudara Sugimanuru di Desa Kusambi Kecamatan Kusambi Kabupaten Muna Barat (2) Untuk menguraikan kendala pembangunan bandar udara Sugimanuru di Desa Kusambi Kecamatan Kusambi Kabupaten Muna Barat (3) Untuk menguraikan dampak pembangunan bandar udara Sugimanuru di Desa Kusambi Kecamatan Kusambi Kabupaten Muna Barat, dan (4) Untuk menguraikan perkembangan pembangunan bandar udara Sugimanuru di Desa Kusambi Kecamatan Kusambi Kabupaten Muna Barat.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang dikemukakan oleh Helius Sjamsuddin, yang terdiri atas tiga tahap yaitu: (1) Heuristik yakni mencari sumber melalui wawancara, studi kepustakaan, dan penelitian lapangan, (2) Kritik Sumber terdiri atas kritik eksternal dan kritik internal guna untuk mendapat data yang otentik, (3) Historiografi yaitu tahap penulisan dalam bentuk karya tulis kronologis, sistematis, dan ilmiah. Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa: (1) Latar belakang pembangunan bandar Udara Sugimanuru pada awal pembangunannya atas dasar pemikiran seorang pemimpin yang bernama Drs. La Ode Saafi Amane yang merupakan Bupati Muna periode 1981-1986 yang menjunjung tinggi empat poin visi dan misi yaitu: mendorong peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas dan daya dukung infrastruktur wilayah, meningkatkan kualitas pelayanan publik, meningkatkan pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam. Atas dasar itulah sehingga terbangun bandar udara Sugimanuru untuk pelayanan sipil, (2) Kendala pembangunan bandar udara Sugimanuru yaitu dapat dilihat dari pandangan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk respon yaitu ada pihak yang menerima pembangunan bandar udara Sugimanuru dan ada pihak yang menolak pembangunan bandar udara Sugimanuru, (3) Dampak dari pembangunan bandar udara Sugimanuru yakni terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, bertambahnya alat transportasi, mempermudah akses transportasi lintas daerah. (4) Perkembangan pembangunan bandar udara Sugimanuru dari tahun ketahun terlihat mengalami perkembangan yang signifikan, hal itu dapat dilihat dari sarana dan prasarana yang ada. Kata Kunci: Kendala, Perkembangan, Bandar Udara
SEJARAH DIBENTUKNYA FATO GHOERANO DIKERAJAAN MUNA 1600-1920 Joni, Joni; Untarti, Dade Prat
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO Vol 4, No 2 (2019): Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Publisher : Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (174.893 KB) | DOI: 10.36709/jpps.v4i2.9828

Abstract

ABSTRAK: Permasalahan dalam penelitian ini membahas mengenai latar belakang dibentuknya fato ghoerano di Kerajaan Muna 1600-1920, proses dibentuknya fato ghoerano di Kerajaan Muna 1600-1920 dan dampaknya terhadap kerajaan Muna 1600-1920.      Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah menurut Helius Samsudin dimana tata kerja metode ini adalah (1) Heuristik (teknik pengumpulan data) (2) Kritik Sumber (analisis data) (3) Interprestasi (penafsiran) (4) Historiografi (penyusunan penulisan).Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibentuknya fato ghoerno karna pertambahan jumlah penduduk menyebabkan perluasan area pemukiman dan perluasan wilayah kerajaan. Luasnya wilayah kerajaan jelas menyulitkan bagi seorang raja dalam menjalankan pemerintahan serta dalam mengontrol seluruh wilayah kerajaan. Demikian pula halnya yang dialami raja La Titakono di kerajaan Muna pada tahun 1920 dimana terjadi pertumbuhan penduduk yang cepat sehingga kerajaan Muna pada saat itu bertambah luas. Untuk mengatasi hal itu maka raja La Titakono membagi wilayah kerajaan Muna menjadi fato ghoera (empat wilayah). Proses dibentuknya fato ghoerano dikerajaan muna 1600-1920 untuk memperlancar jalannya pemerintahan di daerah, olehnya La Titakono membagi wilayah kerajaan Muna menjadi empat 4 wilayah (fato ghoerano) dan tiap-tiap ghoera (kepala daerah) mempunyai hak untuk mengatur sendiri daaerahnya. Pembentukan pemerintahan Ghoera memberikan dampak yang postif dalam mengatur sistem pemerintahan, daerah-daerah diberi wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri sehingga sangat membantu tugas dari raja Muna dalam menjalankan pemerintahan. Kata Kunci: Latar Belakang, Proses, Dampak, Fato Ghoerano
KAGHORONO BHANSA DALAM TRADISI KARIA (PINGITAN) DI DESA MANTOBUA KECAMATAN LOHIA KABUPATEN MUNA Wahyuni, reski; Untarti, Dade Prat
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO Vol 5, No 3 (2020): Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Publisher : Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36709/jpps.v5i3.15676

Abstract

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan (1) Untuk mendeskripsikan latar belakang adanya proses Kaghorono Bhansa dalam Tradisi Karia. (2) Untuk menjelaskan bagaimana proses Tradisi Kaghorono Bhansa dilakukan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif dan jenis pendekatan etnografi, teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi. Kemudian data yang telah terkumpul berupa kata-kata dianalisis dengan teknik reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitan menunjukkan bahwa: (1) Latar belakang masyarakat Desa Mantobua melakukan Kaghorono bhansa yaitu karena Kaghorono bhansa merupakan tradisi yang sudah ada semenjak dahulu kala sehingga tidak bisa dihilangkan begitu saja dan juga merupakan tutura  yang harus dilakukan oleh setiap gadis yang telah dipingit, menurut kepercayaan sebagian besar masyarakat dan tokoh adat apabila seorang gadis tidak melakukan Kaghorono bhansa maka sang gadis akan sakit sakitan dan mengalami hal buruk dalam hidupnya. (2) Proses pelaksanaan tradisiKaghorono bhansa, hal pertama yang dilakukan sebelum melaksanakan Kaghorono bhansa adalah menyepakati kapan akan dilaksakanya tradisi tersebut. Kaghorono bhansa dapat dilaksanakan sehari setelah acara Karia atau bisa juga menundanya tergantung kesepakatan Parapu dan tokoh adat, apabila telah diketahui atau telah disepakati oleh Parapu dan tokoh adat mengenai pelaksanaan kaghorono bhansa setelah itu menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan pada saat proses pelaksanaan Kaghorono bhansa. Kata Kunci: Kaghorono Bhansa, Karia, Tradisi, di Desa Mantobua ABSTRACT: This study aims (1) to describe the background of the Kaghorono Bhansa process in the Karia Tradition. (2) To explain how the process of the Kaghorono Bhansa Tradition is carried out. This research is a qualitative research type and an ethnographic approach. Data collection techniques are carried out using observation techniques, interviews, documentation. Then the data that has been collected in the form of words is analyzed by data reduction techniques, data display, and drawing conclusions. The results of the research show that: (1) The background of the people of Mantobua Village to perform Kaghorono bhansa is because Kaghorono bhansa is a tradition that has existed since time immemorial so that it cannot be eliminated just like that and is also a tutura that must be performed by every girl who has been secluded, according to beliefs most of the community and traditional leaders if a girl does not do Kaghorono bhansa then the girl will get sick and experience bad things in her life. (2) The process of implementing the Kaghorono bhansa tradition, the first thing that is done before carrying out the Kaghorono bhansa is to agree on when the tradition will be carried out. Kaghorono bhansa can be carried out the day after the Karia event or it can also be postponed depending on the agreement of Parapu and traditional leaders, if it is known or agreed upon by Parapu and traditional leaders regarding the implementation of kaghorono bhansa after that prepare the things needed during the process of implementing the Kaghorono bhansa.  Keywords: Kaghorono Bhansa, Karia, Tradition, in the village of Mantobua
PERAN TOLEA DAN PABITARA DALAM MOAWO NIWULE (PEMINANGAN) DI DESA PUULEMO KECAMATAN LEMBO KABUPATEN KONAWE UTARA Perawati, Perawati; Untarti, Dade Prat
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO Vol 5, No 4 (2020): Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Publisher : Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36709/jpps.v5i4.15685

Abstract

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan 1) Untuk mendeskripsikan peran tolea dan pabitara dalam perkawinan di Desa Puulemo Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe Utara, 2) Untuk mengetahui proses dan tata cara moawo niwule (peminangan) dalam perkawinan Suku Tolaki di Desa Puulemo Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe Utara. Metode Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif dan pendekatan penelitian etnografi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian data yang telah terkumpul berupa kata-kata dianalisis dengan teknik reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) peran tolea dan pabitara dalam moawo niwule di Desa Puulemo sangatlah penting yaitu sebagai orang terpandang dan mempunyai karisma serta mempunyai tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial atau masalah perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat. 2) proses dan tata cara moawo niwule atau peminangan yaitu yaitu monduu tudu atau morakepi (adat penjajakan awal) dimana pihak laki-laki mengirim utusan kerumah orang tua perempuan  yang dimpin oleh seorang juru bicara adat laki-laki (tolea) bersama dengan sejumlah rombongan terbatas, dengan membawa ornamen Kalosara dengan kelengkapannya, serta sebuah bungkusan dari kumba inea (umbai pinang) dengan isinya. Moawo niwule (adat peminangan resmi) dimana apabila pihak orang tua laki-laki telah mendapat berita panggilan untuk datang melamar secara resmi, maka pihak keluarga segera mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk acara tersebut. Mowindahako (penyerahan seserahan adat) dan pepakawi’a (pelaksanaan perkawinan) dimana selama menunggu waktu pelaksanaan perkawinan yang biasa disebut “masa pertunangan”, laki-laki yang akan melangsungkan pernikahan mempunyai kewajiban moril untuk membantu calon mertua dalam berbagai urusan. Kata Kunci : Peran Tolea dan Pabitara, Moawo Niwule ABSTRACT: This study aims 1) To describe the role of tolea and pabitara in marriage in Puulemo Village, Lembo District, Konawe Utara Regency, 2) To determine the process and procedures for moawo niwule (marriage) in Tolaki Tribe marriage in Puulemo Village, Lembo District, Konawe Utara Regency. This research method includes the type of qualitative research and ethnographic research approaches. Data collection was carried out using the method of observation, interviews and documentation. Then the data that has been collected in the form of words is analyzed by data reduction techniques, data display, and drawing conclusions. The results showed that: 1) the role of tolea and pabitara in moawo niwule in Puulemo village is very important, namely as a person who is respected and has charisma and has responsibility in solving social problems or marital problems that occur in society. 2) the process and procedures for moawo niwule or peminangan namely mondu tudu or morakepi (initial exploration customs) where the men send envoys to the house of the female parents led by a male traditional spokesperson (tolea) together with a limited number of groups. , with the complete Kalosara ornament and a package of kumba inea (umbai pinang) with its contents. Moawo niwule (official marriage customs) where if the male parent has received a call to come to propose officially, the family immediately prepares everything needed for the event. Mowindahako (submission of customary offerings) and pepakawi'a (implementation of marriage) where while waiting for the time to carry out the marriage, which is usually called the "engagement period", the man who is going to get married has a moral obligation to help the prospective in-laws in various matters.  Keywords: Role of Tolea and Pabitara, Moawo Niwule
SISTEM PENANGKAPAN IKAN RAMAH LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT NELAYAN DESA WAELUMU KECAMATAN WANGI-WANGI KABUPATEN WAKATOBI (2003 - 2017) Husnawati, Husnawati; Untarti, Dade Prat
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Publisher : Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36709/jpps.v3i1.13169

Abstract

ABSTRAK: Permasalahan yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana sistem penangkapan ikan ramah lingkungan pada masyarakat nelayan desa waelumu Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi? (2) Apa saja alat-alat yang digunakan dalam penangkapan ikan ramah lingkungan pada masyarakat nelayan desa waelumu Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi (2003- 2017)? (3) Bagaimana perubahan penangkapan ikan ramah lingkungan pada masyarakat nelayan desa Waelumu Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi (2003-2017)? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari (1) Heuristik, (2) Kritik Sumber, (3) Historiografi. Penelitian ini menunjukan bahwa masyarakat nelayan desa Waelumu, meskipun rata-rata mata pencahariannya adalah sebagai nelayan dan masih memiliki alat tangkap ikan yang sifatnya tradisional. Akan tetapi alat-alat penangkapan ikan yang mereka gunakan adalah benar-benar ramah lingkungan, sehingga dengan begitu keadaan lautnya tetap terjaga dan terlindung dari ancaman manusia yang tidak memiliki kesadaran akan hal itu. Dengan menggunakan alat tangkap ikan ramah lingkungan akan memiliki dampak positif terhadap kehidupan masyarakat nelayan desa Waelumu maupun kehidupan biota lautnya serta masyarakat nelayan desa Waelumu memiliki kesadaran tersendiri bahwa dengan tetap melestaikan lingkungan baik darat maupun laut akan tetap bersih, nyaman, dan tentram. Alat-alat penangkapan ikan ramah lingkungan pada masyarakat nelayan desa Waelumu (2003-2017) antara lain: (a) Mata Pancing, (b) Jaring, (c) Tombak, (d) Panah, (e) Tofole (akar pohon), dan (f) Bubu. Kata Kunci: Sejarah, Tradisi Kampua, Masyarakat MunaABSTRACT: The problems that become the reference in this study are: (1) How is the environmentally friendly fishing system in the fishing community of Waelumu Village, Wangi-Wangi District, Wakatobi Regency? (2) What are the tools used in environmentally friendly fishing in the fishing community of Waelumu Village, Wangi-Wangi District, Wakatobi District (2003-2017)? (3) How is the change in environmentally friendly fishing in the fishing community of Waelumu village, Wangi-Wangi District, Wakatobi Regency (2003-2017)? The method used in this study is a historical method consisting of (1) Heuristics, (2) Source Criticism, (3) Historiography. This research shows that the fishing community of Waelumu village, although the average livelihood is as a fisherman and still has traditional fishing gear. However, the fishing equipment they use are truly environmentally friendly, so that the state of the sea is maintained and protected from the threat of humans who have no awareness of it. Using environmentally friendly fishing gear will have a positive impact on the life of the Waelumu fishing community and the lives of its marine biota and the fishing community of the Waelumu village have their own awareness that by preserving the environment both land and sea will remain clean, comfortable, and peaceful. Environmentally friendly fishing gear in the fishing community of Waelumu village (2003-2017) include: (a) the hook, (b) Nets, (c) Spears, (d) Arrows, (e) Tofole (tree roots), and (f) the Trap. Keywords: History, Kampua Traditions, Muna Communities
INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT PENDATANG DENGAN MASYARAKAT LOKAL DI DESA LAWORO sadi, La; Untarti, dade Prat
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO Vol 6, No 2 (2021): Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Publisher : Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36709/jpps.v6i2.20100

Abstract

Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mendeskipsikan interaksi sosial yang terjadi antara orang Bugis dan orang Muna di desa Laworo, (2) Untuk mengindentifikasi bentuk interaksi sosial antara orang Bugis dan orang Muna di desa Laworo. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologi, teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan pengamatan. Analisis data dilakukan melalui model interaktif yang terdiri dari a) reduksi, b) penyajian data, c) penarikan kesimpulan. Validitasi data yang terdiri dari a) perpanjangan pengamatan b) triangulasi, triangulasi sumber, triangulasi teknik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Interkasi social yang terjadi antara masyarakat local dan masyarakat pendatang di Desa Laworo berjalan dengan baik. Tidak ada diskrimasi dalam interaksi social. Justru sebaliknya, interkasi yang terjadi semakin meningkatkan keeratan dalam hubungan bermasyarakat antara masyarakat local dan masyarakat pendatang. Terdapat banyak bentuk interaksi social yang terjadi antara masyarakat local dan masyarakat pendatang di Desa Laworo Kecamatan Tikep Kabupaten Muna Barat. Bentuk interkasi social yang terjadi diantaranya adalah membangun masjid, membuka lahan baru, pesta panen, membantu acara hajatan hingga memperbaiki balai desa. Semua bentuk interaksi ini dilakukan secara bersama-sama dengan tujuan untuk mempererat persaudaraan antara masyarakat local dan masyarakat pendatang. Tidak ditemukan sama sekali kendala dalam interaksi social yang terjadi antara masyarakat local dan masyarakat pendatang. Hal ini dikarenakan pada dasarnaya baik masyarakat local dan masyarakat pendatang telah paham bagaimana cara bermasyarakat yang baik.
TRADISI KABHANTI PADA MASYARAKAT MUNA DI DESA LAILANGGA KECAMATAN WADAGA KABUPATEN MUNA BARAT Nurlianti, Nurlianti; Untarti, Dade Prat
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO Vol 5, No 2 (2020): Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Publisher : Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36709/jpps.v5i2.15466

Abstract

ABSTRAK: Tujuan utama penelitian ini, adalah untuk mendeskripsikan jenis kabhanti di Desa Lailangga Kecamatan Wadaga Kabupaten Muna Barat, mendeskripsikan proses kabhanti dilakukan di Desa Lailangga Kecamatan Wadaga Kabupaten Muna Barat, dan untuk mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam kabhanti di Desa Lailangga Kecamatan Wadaga Kabupaten Muna Barat. Penelitian ini merupakan penelitian kualitataif dengan pendekatan budaya, metode yang digunakan adalah metode penelitian social dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1) Teknik Pengumpulan data terdiri dari beberapa bagian yaitu: observasi, wawancara, dan dokumentasi. 2) Teknik analisis data. 3) Validitas data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Jenis-Jenis Kabhanti di Desa Lailangga yaitu Kabhanti Kantola (Kabhanti  yang digunakan pada waktu bermain kantola); Kabhanti Watulea (Kabhanti yang menggunakan irama watulea); Kabhanti Gambusu (pantun yang dinyanyikan dengan diiringi oleh irama gambus); Kabhanti Modero (sebenarnya sama dengan Kabhanti gambusu). (2) Proses dilakukannya Kabhanti Modero dilakukan secara berkelompok, pebhanti saling berpegangan tangan, namun antara kelompok perempuan dan laki-laki-laki terpisah dan membentuk sebuah lingkaran dan kemudian saling melontarkan pantun. Apabila diantara salah satu kelompok pebhanti kalah dalam berbalas pantun maka pertunjukan modero telah berakhir dan dinyatakan kalah dan para pebhanti pulang kerumah masing-masing); alat yang digunakan dalam khabanti ini adalah gambus sebagai alat pengiring utama, sedangkan sendok dan botol sebagai penyemarak; kabhanti ini pemain tidak dibatasi dari segi umur, jenis kelamin, maupun berdasarkan strata sosial di masyarakat. Siapa pun yang memiliki keahlian untuk memainkan kabhanti gambusu, maka itulah yang akan tampil dalam upacara adat kampung. (3) Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Kabhanti yaitu: Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Kabhanti Modero (Nilai integrasi, Nialai solidaritas, Niali etik, Nilai estetik); Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Kabhanti Gambusu (Nilai Integrasi, Nilai Estetika). Kata Kunci: Kabhanti, Desa Lailangga ABSTRACT: The main objective of this research is to describe the types of kabhanti in Lailangga Village, Wadaga District, West Muna Regency, to describe the Kabhanti process carried out in Lailangga Village, Wadaga District, West Muna Regency, and to describe the values contained in the Kabhanti in Lailangga Village, Wadaga District, Regency West Muna. This research is a qualitative research with a cultural approach, the method used is a social research method with the following stages: 1) The data collection technique consists of several parts, namely: observation, interviews, and documentation. 2) data analysis techniques. 3) Data validity. The results of this study indicate that: (1) The types of Kabhanti in Lailangga Village are Kabhanti Kantola (Kabhanti used when playing kantola); Kabhanti Watulea (Kabhanti using the watulea rhythm); Kabhanti Gambusu (rhymes sung accompanied by the rhythm of the gambus); Kabhanti Modero (actually the same as Kabhanti gambusu). (2) The process of carrying out Kabhanti Modero is carried out in groups, with the players holding hands, but the groups of women and men separate and form a circle and then throw rhymes to one another. If one of the players loses in reply to a rhyme, the modero show has ended and is declared defeated and the players return to their respective homes); The tools used in this khabanti are the lute as the main accompaniment, while the spoon and the bottle are used as a shine; Kabhanti players are not limited in terms of age, gender, or based on social strata in society. Anyone who has the skills to play the kabhanti gambusu will appear in the village traditional ceremony. (3) the values contained in the Kabhanti, namely: the values contained in the Kabhanti Modero (the value of integration, the value of solidarity, the value of ethics, the aesthetic value); The Values Contained in Kabhanti Gambusu (Integration Value, Aesthetic Value).  Keywords: Kabhanti, Lailangga VillageÂ