Claim Missing Document
Check
Articles

Found 26 Documents
Search

LAPORAN KASUS: SINDROM BRUNS PADA NEUROSISTISERKOSIS INTRAVENTRIKULER Kade Agus Sudha Naryana; Ni Made Susilawathi; Anak Agung Raka Sudewi
Callosum Neurology Vol 2 No 3 (2019): Callosum Neurology Journal
Publisher : The Indonesia Neurological Association Branch of Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (30.249 KB) | DOI: 10.29342/cnj.v2i3.68

Abstract

Latar Belakang: Sindrom Bruns adalah sekumpulan gejala peningkatan intrakranial seperti nyeri kepala, vertigo, dan muntah yang bersifat periodik dan dipicu oleh perubahan posisi kepala. Kasus: Laki-laki 38 tahun, suku Bali datang ke rumah sakit dengan keluhan pusing bergoyang selama dua bulan dan memberat dalam dua minggu terakhir, disertai muntah dan nyeri pada kepala yang bersifat periodik. Pemeriksaan fisik menunjukkan vertigo tipe sentral yang bersifat periodik. Pemeriksaan laboratorium darah normal, pemeriksaan feses tidak ditemukan telur cacing, dan tes serologi positif. Pemeriksaan pencitraan kepala menunjukkan hidrosefalus, kalsifikasi multipel parenkim, dan lesi kistik soliter di ventrikel empat. Pemberian albendazole dan kortikosteroid selama 10 hari menunjukkan perbaikan klinis. Diskusi: Kista neurosistiserkosis dapat ditemukan di ventrikel empat ( 43%-70%), ventrikel lateral (11%-43%), dan ventrikel ketiga (1%-29%). Kista yang bergerak bebas di sistem ventrikel dapat menimbulkan hidrosefalus yang bersifat periodik. Simpulan: Manifestasi neurosistiserkosis intraventrikuler yang jarang dapat berupa Sindrom Bruns. Penegakan diagnosis pada Sindrom Bruns memerlukan MRI kepala. Kata Kunci: Sindrom Bruns, Neurosistiserkosis Intraventrikuler, Hidrosefalus
Gejala Otonom Tidak Spesifik pada Penderita Rabies di RSUP Sanglah, Denpasar Putra Martin Widanta IGN; Susilawathi NM; Raka Sudewi AA
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 10 (2014): Hematologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55175/cdk.v41i10.1095

Abstract

Latar belakang: Manifestasi klinis rabies sangat bervariasi. Gejala otonom tidak spesifik ditemukan pada 2/3 kasus terutama pada stadium prodromal menyebabkan misdiagnosis yang memperlambat penanganan rabies. Tujuan: Mengetahui manifestasi gejala sistem saraf otonom tidak spesifik pada penderita rabies di RSUP Sanglah. Metodologi: Penelitian retrospektif dari bulan Januari 2009 – Desember 2010 di RSUP Sanglah Denpasar. Data diperoleh dari catatan medis penderita rabies. Hasil: Ditemukan 13 kasus rabies dengan manifestasi gejala otonom tidak spesifik, terdiri dari 8 kasus tipe galak (61,5%) dan 5 kasus tipe paralitik (38,5%). Pada stadium prodromal gejalanya adalah mual-muntah (38,5%), gangguan miksi (30,8 %), perut kembung (30,8%), nyeri uluhati/perut (15,4%), nyeri dada (15,4%), sesak nafas (53,8) dan diare (7,7%). Gejala sistem otonom pada stadium neurologi akut berupa gangguan miksi (inkontinensia dan retensio urine) (38,5%) dan distensi abdomen (30,8%). Pasien dirawat oleh bagian Ilmu Penyakit Dalam (69,2%), Ilmu Penyakit Anak (15,4%), Ilmu Penyakit Jantung (15,4%) antara 24 jam sampai 48 jam sebelum dikonsulkan ke bagian Ilmu Penyakit Saraf. Simpulan: Manifestasi gejala sistem otonom tidak spesifik sangat bervariasi, dapat ditemukan pada stadium prodromal dan neurologis akut.Background: Clinical manifestations of rabies may be preceded by nonspecific prodromal symptoms in 2/3 cases. This often leads to misdiagnosis resulting in delays in the management of rabies. Objective: To determine the non-specific autonomic nervous system symptoms in rabies patients in Sanglah Hospital. Method: This is descriptive retrospective study from January 2009 - December 2010 in Sanglah Hospital, Denpasar. Data obtained from medical records of rabies patients. Results: During the period, there were 13 cases of rabies with non-specific autonomic nervous system symptoms, 8 cases were furious type (61.5%) and 5 cases paralytic rabies (38.5%). Symptoms at prodromal stage are nausea/vomiting (38.5%), urinary symptoms (30.8%), abdominal distention (30.8%), abdominal/epigastric pain (15.4%), chest pain (15.4 %), shortness of breath (53.8%) and diarrhea (7.7%). The autonomic symptoms at acute neurologic stage were urinary disorders (urinary incontinence and retention) (38.5%) and abdominal distension (30.8%). All patients were treated by other departments between 24 to 48 hours prior to neurological consultation. Those departments were Internal Medicine (69.2%), Pediatrics (15.4%), Cardiology (15.4%). Summary: non-specific autonomic nervous system symptoms of rabies are diverse and complicate the diagnosis. It can occur in a prodromal and acute neurological stage.
Patogenesis Rabies - Aspek Neurotransmiter Yuliana Monika Imelda; A.A. Raka Sudewi
Cermin Dunia Kedokteran Vol 42, No 2 (2015): Bedah
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55175/cdk.v42i2.1035

Abstract

Rabies merupakan penyakit virus yang menyebabkan peradangan otak akut pada manusia dan hewan berdarah panas lain. Penyebaran penyakit rabies biasanya melalui gigitan atau goresan yang mengandung air liur hewan terinfeksi virus rabies. Virus rabies akan menuju ke susunan saraf pusat (SSP) dan akan menyebar secara sentrifugal dari SSP ke berbagai organ, termasuk kelenjar ludah. Ada tiga reseptor virus rabies, yaitu reseptor nikotinat asetilkolin (NAChR), reseptor molekul adhesi sel neural, dan reseptor neurotropin P75 low-affinity. Asetilkolin, serotonin dan gamma amino butyric acid (GABA) merupakan neurotransmiter yang mempengaruhi terjadinya disfungsi saraf pada penyakit rabies.Rabies is a viral disease that causes acute inflammation of the brain in human and warm-blooded animal. The spread of rabies is through bites or scratches containing saliva of an infected animal. Rabies virus will go to the central nervous system (CNS) and will spread centrifugally from CNS to various organs, including salivary glands. Three rabies virus receptors are nicotinic acethylcholine receptor, neural cell adhesion molecule receptors and low-affinity receptor neurotropin P75. Acetylcholine, serotonin and GABA are neurotransmitters that play a role in neuronal dysfunction in rabies.
Karakteristik Penderita Rabies Paralitik di RSUP Sanglah, Denpasar Ernesta Ginting; Susilawathi NM; Raka Sudewi AA
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 11 (2014): Infeksi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55175/cdk.v41i11.1068

Abstract

Latar belakang: Ada dua tipe manifestasi klinis rabies pada manusia, yaitu tipe galak dan tipe paralitik. Rabies tipe galak biasanya dapat dengan mudah didiagnosis berdasarkan tanda dan gejalanya yang khas, tetapi diagnosis rabies tipe paralitik sering merupakan dilema bagi klinisi, karena gejalan yang tidak khas dan mirip dengan sindrom Guillain-Barre. Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien rabies paralitik di RSUP Sanglah. Metode: Penelitian deskriptif observasional dengan metoda pengumpulan data sekunder dari catatan medis penderita rabies di bangsal perawatan Neurologi RSUP Sanglah dari Januari 2009 – Desember 2010. Hasil: Pada penelitian ini ditemukan 13 (19,69%) kasus rabies paralitik. Gejala prodromal berupa: kesemutan daerah gigitan (69%), demam (46%), mual dan muntah (15%), insomnia dalam 2-5 hari sebelum masuk RS (7%). Gambaran klinis tipe paralitik berupa: paraparesis flaksid simetris (62%), paraparesis flaksid asimetris (15%), monoparesis (15%), fasikulasi (15%), inkontinensia urin (38%), retensi urin (15%), gejala gastrointestinal (distensi abdomen dan ileus paralitik) (53%). Pada stadium akhir (terminal) beberapa gejala klinis khas tipe galak juga muncul, yaitu: gangguan kesadaran berupa fase delirium dan agitasi yang berfluktuasi pada semua penderita (100%), hidrofobia (100%), hipersalivasi (84%), hiperhidrosis (38%), aerofobia (69%), dan fotofobia (7%). Pemeriksaan LCS mendapatkan jumlah sel normal pada 5 pasien dan sel meningkat pada 7(58%) pasien dengan rata-rata jumlah sel 32/mm3. Protein LCS normal pada 4 pasien dan meningkat pada 8(66%) pasien dengan rata-rata 184 mg/dl. Simpulan: Rabies tipe paralitik dan sindrom Guillain-Barre memiliki gejala klinis yang mirip yaitu adanya paralisis flaksid akut yang sering bersifat ascendens. Pada rabies tipe paralitik sering didapatkan beberapa gambaran klinis lain berupa demam, kesemutan di daerah luka gigitan, fasikulasi, inkontinensia urin, progresivitas gejala sangat cepat dan perubahan status kesadaran.Background: Human rabies can present in two clinical forms, furious and paralytic. Diagnosis of furious (encephalitic) form can be made based on typical symptoms and signs. In contrast, paralytic form poses a diagnostic dilemma to distinguish it from Guillain-Barre syndrome. Objective: To describe characteristics of paralytic rabies patients at Sanglah Hospital. Method: This is an observational descriptive study. All data was collected from secondary data from medical records of rabies patients in Neurology ward, Sanglah Hospital from January 2009 – December 2010. Result: There were a total of 13 (19,69%) cases of paralytic rabies. Prodromal symptoms consisted of: paresthesias at the site of healed bite wound (69%), fever (46%), nausea and vomiting (15%), insomnia in about 2-5 days prior to admissions (7%). The clinical features of the paralytic form were: symmetrical flaccid paraparesis (62%), asymmetrical flaccid paraparesis (15%), monoparesis (15%), fasciculation (15%), urinary incontinence (38%), urinary retention (15%), gastrointestinal symptoms (abdominal distention and paralytic ileus) (53%). Particularly all patients showed features of furious rabies in terminal stage: fluctuating consciousness between lucid calm and agitation (100%), hypersalivation (84%), hyperhydrosis (38%), hydrophobia (100%), aerophobia (69%), photophobia (7%). CSF cell counts were normal in 5 patients and increased in 7 (58%) patients with mean cell count of 32 cells/mm3. CSF protein was normal in 4 patients and increased in 8 (66%) patients with mean protein 184 mg/dl. Conclusion: Despite similarities between paralytic rabies and Guillain-Barre syndrome, some clinical features i.e., fever, distal paresthesia, fasciculation, urinary incontinence, rapid progression of symptoms and alteration in sensorium may help clinicians to differentiate rabies from Guillain-Barre syndrome. All paralytic rabies cases showed features of furious rabies in terminal stage.
Hubungan fungsi motorik dan derajat kekuatan otot dengan kejadian fatigue pasca stroke Putu Yogi Pramana; Cokorda Istri Dyah Sintarani Sintarani; Ida Ayu Sri Wijayanti Wijayanti; Anak Agung Raka Sudewi Sudewi
Intisari Sains Medis Vol. 13 No. 2 (2022): (In Press : 1 August 2022)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (451.081 KB) | DOI: 10.15562/ism.v13i2.1436

Abstract

Background: Fatigue is an experience in the form of fatigue that is often experienced by post-stroke patients. Pharmacological therapy used in the treatment of post-stroke fatigue has not been effective in treating fatigue. Several studies also mention the presence of impaired motor function and a decrease in the degree of strength in post-stroke patients, which causes patients to avoid physical activity, causing fatigue. The purpose of this study was to determine the relationship between motor function and the degree of muscle strength with post-stroke fatigue. Method: This analytic observational study with the Pearson correlation test was conducted using a questionnaire, examined and collected data from the register of outpatients at the Neurology Polyclinic of Dharma Yadnya General Hospital, Denpasar, from March to May 2022. Fatigue was assessed using a Fatigue Severity Scale questionnaire, and motor function was assessed using the Fatigue Severity Scale questionnaire. Pulg Meyer questionnaire. The significance level of the relationship was assessed by chi-square, and the strength of the relationship was assessed by the Pearson correlation test. Result: There were 82 sample subjects. 46 subjects (60%) experienced fatigue, and 36 (40%) subjects did not experience fatigue. With the Pearson correlation test, it was found that there was a significant relationship between motor function and the degree of muscle strength with post-stroke fatigue with a value of (r) 0.712 and (r) 0.527.Conclusion: There is a significant relationship between motor function and the degree of muscle strength with post-stroke fatigue.   Latar Belakang: Fatigue merupakan suatu pengalaman subjektif berupa perasaan kelelahan yang sering dialami oleh pada pasien pasca stroke. Terapi farmakologi yang digunakan dalam penanganan fatigue pasca stroke selama ini masih belum efektif dalam penanganan fatigue. Beberapa studi juga menyebutkan dengan adanya gangguan fungsi motorik dan penurunan derajat kekuatan otot pada pasien pasca stroke menyebabkan pasien cenderung menghindari aktivitas fisik sehingga menimbulkan terjadinya fatigue. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dari fungsi motorik dan derajat kekuatan otot dengan fatigue pasca stroke. Metode: Studi observasional analitik dengan uji korelasi pearson ini dilakukan dengan menggunakan kuisioner, melakukan pemeriksaan dan mengumpulkan data dari register pasien yang dirawat jalan di Poli Saraf Rumah Sakit Umum Dharma Yadnya, Denpasar dari Maret hingga Mei 2022. Fatigue dinilai menggunakan kuisioner Fatigue Severity Scale dan fungsi motorik dinilai menggunakan kuisioner Pulg Meyer.Tingkat kemaknaan hubungan dinilai dengan chi-square dan kekuatan hubungan dinilai dengan uji korelasi Pearson. Hasil: terdapat 82 subjek sampel, didapatkan subjek yang mengalami fatigue sebesar 46 subjek (60%) dan 36 subjek (40%) tidak mengalami fatigue. Dengan uji korelasi pearson didapatkan adanya hubungan bermakna antara fungsi motorik dan derajat kekuatan otot dengan fatigue pasca stroke dengan nilai (r) 0,712 dan (r) 0,527. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara fungsi motorik dan derajat kekuatan otot dengan fatigue pasca stroke.
Anosmia dan ageusia sebagai faktor prognosis baik pada pasien COVID-19 rawat inap di RSUP Sanglah Denpasar Senja Decy Ningrum; Ida Bagus Ngurah Rai; I Gede Ketut Sajinadiyasa; Anak Agung Raka Sudewi; Ida Ayu Jasminarti Dwi Kusumawardani; Ni Wayan Candrawati; Ni Luh Putu Eka Arisanti
Intisari Sains Medis Vol. 13 No. 3 (2022): (In Press 1 December 2022)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (445.33 KB) | DOI: 10.15562/ism.v13i3.1503

Abstract

Background: Anosmia and ageusia are early symptoms that are widely reported in COVID 19 patients and are associated with low rates of intensive care and mortality, so the hypothesis arises that anosmia and ageusia can be good prognostic factors in COVID-19 patients. This study aims to examine anosmia and ageusia as prognostic factors in COVID-19 patients. Methods: This study is an observational analytic study with a retrospective cohort design conducted at Sanglah General Hospital Denpasar from January to June 2022. Results: obtained a total of 1048 subjects with 344 subjects experiencing anosmia, 210 subjects experiencing ageusia, and 474 subjects experiencing a combination of anosmia and ageusia. Variable symptoms of anosmia and ageusia were statistically significant predictors for the recovery of COVID-19 patients (p<0.05). The cure rate in the group of patients with symptoms of anosmia was 1.8 times (RR = 1.783, 95% CI = 1.667-1.908) and the group of patients with symptoms of ageusia experienced 1.6 times higher recovery (RR = 1.564, 95% CI = 1.478 -1,655). After adjusting for other variables as confounders, the combination of symptoms of anosmia and ageusia in patients was a significant predictor of recovery for COVID-19 patients by 1.5 times compared to patients who did not experience the combination of symptoms of anosmia and ageusia (ARR = 1.523, 95% CI = 1.245- 1.864, p<0.05). Conclusion: Anosmia, ageusia and the combination of both, indicate protective factors against possible mortality and indicate a good prognosis in COVID-19 patients.   Latar belakang: Anosmia dan ageusia merupakan gejala awal yang banyak dilaporkan pada pasien COVID-19 serta dikaitkan dengan tingkat rawat intensif dan mortalitas yang rendah sehingga muncul hipotesis bahwa anosmia dan ageusia dapat menjadi faktor prognosis yang baik pada pasien COVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti anosmia dan ageusia sebagai faktor prognosis pada pasien COVID- 19. Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan rancangan kohort retrospektif yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari    hingga Juni 2022. Hasil: Didapatkan total 1048 subjek dengan 344 subjek mengalami anosmia, 210 subjek mengalami ageusia, serta 474 subjek mengalami kombinasi anosmia dan ageusia. Variabel gejala anosmia maupun ageusia secara statistik merupakan prediktor signifikan untuk kesembuhan pasien COVID-19 (p<0,05). Tingkat kesembuhan pada kelompok pasien bergejala anosmia mencapai 1,8 kali (RR = 1,783, IK 95% = 1,667-1,908) lebih tinggi dan kelompok pasien bergejala  ageusia mengalami kesembuhan 1,6 kali lebih tinggi (RR = 1,564, IK 95% = 1,478-1,655). Setelah disesuaikan dengan variabel lain sebagai perancu, kombinasi gejala anosmia dan ageusia pada pasien menjadi prediktor kesembuhan pasien COVID-19 secara signifikan sebesar 1,5 kali lipat dibandingkan pasien yang tidak mengalami kombinasi gejala anosmia dan ageusia (ARR = 1,523, IK95% = 1,245-1,864, p<0,05). Simpulan: Anosmia, ageusia, dan kombinasi keduanya menunjukkan adanya faktor  protektif terhadap kemungkinan mortalitas serta menandakan adanya prognosis yang baik pada pasien COVID-19