Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

RELASI MUSLIM DAN NON MUSLIM MENURUT NAHDLATUL ULAMA: Studi Atas Hasil-Hasil Keputusan Bah}th al-Masa>’il Nahdlatul Ulama Aminuddin, Luthfi Hadi
Justitia Vol 11, No 2 (2014)
Publisher : Justitia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak: Faham aswaja yang dikembangkan oleh NU memiliki lima karakteristik; tawassut}, tas>muh}, tawa>zun, ta’a>dul dan amr ma’ru>f nahy ‘an munkar. Tulisan ini ingin memotret lebih dekat hasil fatwa para kiai NU tentang relasi muslim dengan non muslim berdasarkan lima karakteristik di atas. Fatwa-fatwa NU tentang relasi Muslim dengan Non-Muslim dapat diklasifikasikan pada dua tipologi; fatwa tentang akidah dan fatwa tentang mu‘amalah, dengan karakteristik yang berbeda. fatwa-fatwa para kiai NU terkait dengan persoalan yang dikategorikan sebagai ritual-akidah-teologis wataknya cenderung eksklusif. Sedangkan fatwa-fatwa NU tentang mu’amalah bersifat inklusif.Kata Kunci: pluralisme agama, inklusif, ekskusif, fatwa hukum, ijtiha>d.
INSIDAD BAB AL-IJTIHAD DAN PENGARUHNYA TERHADAP MADHHAB SHAFI‘I Aminuddin, Luthfi Hadi
Justicia Islamica Vol 9, No 2 (2012): HUKUM DAN SOSIAL
Publisher : IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/justicia.v9i2.346

Abstract

INSIDA<D BA<B AL-IJTIHA<<<DDAN PENGARUHNYA TERHADAP MADHHAB SHA>FI‘I Luthfi Hadi Aminuddin* Abstract: This work is based on historcal Islamic legal development especially discourse of closing ijtiha>d ’authority’. Muslem and non-moslem specialist writers sure that this discourse happened pasca a’immat al-madha>hib phase.  This phase refers to the era when the creative thinking is stagnant. Amount of Shafi’ithe ulama> who state a binding ruling in religious matters of closing ijtiha>d authority, according to them, are responsible. This paper is to show that closing ijtiha>d ’authority’ discourse (insida>d ba> al-ijtiha>d) begins from the times when al-Ghaza>li>, al-Ra>fi’i>, and al-Nawa>wi> clasify mujtahid prerequsites.Their ’mujtahid qualifications’ are efforts which can close ijtiha>d ’authority’ (bab> al-ijtiha>d). Mujtahids did do Ijtiha>d as a creative thinking such as insha>’i> and intiqa>’i>. But they did this as mujtahid muntasib, mujtahid fi> al-madhhab or al-mujtahid al-murajjih} as a different level from mujtahid mustaqill. As}ha>b al-Sha>fi‘i> such as al-Muzani>, al-Buwayt}i>, a-Juwayni>, al-Shayra>zi>, al-Ghaza>li>, al-Ra>fi‘i> and al-Nawa>wi> standardize istinba>t} method which Sha>fi’i> formulated. Keywords: Insida>d Ba>b al-Ijtiha>d, Dissenting Opinion, Tah}ri>r, Ijtiha>d Intiqa>’i>, Takhri>j. 
RELASI MUSLIM DAN NON MUSLIM MENURUT NAHDLATUL ULAMA: Studi Atas Hasil-Hasil Keputusan Bah}th al-Masa>’il Nahdlatul Ulama Aminuddin, Luthfi Hadi
Justicia Islamica Vol 11, No 2 (2014): HUKUM DAN SOSIAL
Publisher : IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/justicia.v11i2.105

Abstract

Abstrak: Faham aswaja yang dikembangkan oleh NU memiliki lima karakteristik; tawassut}, tas>muh}, tawa>zun, ta’a>dul dan amr ma’ru>f nahy ‘an munkar. Tulisan ini ingin memotret lebih dekat hasil fatwa para kiai NU tentang relasi muslim dengan non muslim berdasarkan lima karakteristik di atas. Fatwa-fatwa NU tentang relasi Muslim dengan Non-Muslim dapat diklasifikasikan pada dua tipologi; fatwa tentang akidah dan fatwa tentang mu‘amalah, dengan karakteristik yang berbeda. fatwa-fatwa para kiai NU terkait dengan persoalan yang dikategorikan sebagai ritual-akidah-teologis wataknya cenderung eksklusif. Sedangkan fatwa-fatwa NU tentang mu’amalah bersifat inklusif.Kata Kunci: pluralisme agama, inklusif, ekskusif, fatwa hukum, ijtiha>d.
KONTRIBUSI IMAM AL-NAWAWI DALAM PENGEMBANGAN MADHHAB SHAFI‘I Aminuddin, Luthfi Hadi
Justicia Islamica Vol 8, No 2 (2011): Hukum dan Sosial
Publisher : IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/justicia.v8i2.532

Abstract

In the history of Shafii’s madhhab, the figure of Imam al-Nawa wi has a very significant role. The results of his  ijtihad  is always used as a Shafi`iyah scholar reference, even when the scholars differed in opinions, then his idea regarded as "the end" of that difference dispute. This paper, intended to explore why the figure of al-Nawa wi have such a privileged position in the madhhab Sha fii. Through the historical approach, the author have found the answer to that. First, al-Nawa wi is seen as a unifier  Shafii’s madhhab. In his hands, two school of Shafi’i madhhab, Khurasan and Iraq can be reconciled. Second, Al-Nawa wi have managed to put the principles tarjih, to select the strongest opinion from a variety of opinion among al-Sha fii’s madhhab. Therefore, al-Nawawi is known as the al-mujtahid al-murajjih or mujtahid al-tarjih, the mujtahid who are not just memorize the ijtihad of Imam al-Shafi’i, but know the sources of Imam al-Shafi’i’s opinion, able to describe and explain his opinion, make an analogy (qiyas) related to his opinion in problem solving, even select a strong opinion among opinions that exist.
Rekonstruksi Wacana Modernis-Tradisionalis: Kajian Atas Pemikiran Keislaman Muhammadiyah Dan Nahdlatul Ulama Pasca Reformasi Aminuddin, Luthfi Hadi
Kodifikasia Vol 12, No 1 (2018)
Publisher : IAIN PONOROGO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (224.573 KB) | DOI: 10.21154/kodifikasia.v12i1.1426

Abstract

Membincang mengenai Islam di Indonesia melalui telaah organisasi Islam Muhammadiyah dan NU merupakan cara yang sangat positif dan efektif, karena bangsa Indonesia mayoritas muslim. Dua organisasi Islam tersebut, melalui sejarah panjang bangsa Indonesia mampu bertahan di tengah-tengah gempuran eksternal maupun eksternal. Secara eksternal berhadapan dengan organisasi Islam yang punya jaringan Internasional semisal HTI, IM, Salafi, dan lain sebagainya. Secara internal NU dan Muhammadiyah, saling berhadapan secara ideologis, material, kultural maupun politik untuk punya pengaruh besar di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Embrional dari pertarungan tersebut menghasilkan perbedaan secara dikotomis dengan mengatakan Muhammadiyah lebih bercorak modernis sedangkan NU sebaliknya cenderung berperilaku tradisionalis. Dalam perjalanan sejarahnya, baik Muhammadiyah maupun NU mengalami pergeseran pemikiran dan identitas baru, seperti Liberalisme-Transformatif dan Islam Berkemajuan di Muhammadiyah, dan Post-Tradisonalis dan Islam Nusantara di NU. Identitas-identitas tersebut menjadi penanda pergeseran baik pada level pemikiran maupun sosiologis yang ada pada Muhammadiyah maupun NU. Berangkat dari ide di atas dan diiringi perubahan-perubahan sosiologis yang terjadi dalam pemikiran dan gerakan Islam Indonesia beserta pergeseran identitasnya, tulisan ini mencoba merambah pada ruang waktu pasca reformasi yang mengacu tumbangnya otoritarianisme Orde Baru sebagai arena eksplorasi rekonstruksi wacana dikotomi modernis-tradisionalis pada Muhammadiyah dan NU beserta pergeseran identitasnya.
RESPONS NAHDLATUL ULAMA PONOROGO TERHADAP GERAKAN ISLAM FUNDAMENTALIS Aminuddin, Luthfi Hadi
Kodifikasia Vol 9, No 1 (2015)
Publisher : IAIN PONOROGO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (241.381 KB) | DOI: 10.21154/kodifikasia.v9i1.794

Abstract

Penelitian ini ditujukan untuk mengungkap respons Nahdlatul Ulama Ponorogo terhadap dakwah dan ajaran dari gerakan Islam Fundamentalis. Gerakan Islam Fundamentalis dicirikan sebagai gerakangerakan Islam yang hendak kembali kepada pondasi dasar ajaran Islam dan tradisi kenabian dengan pemahaman terhadap teks yang cenderung harfiah, menonjolkan klaim kebenaran, mempertentangkan Islam dan NKRI, serta menyerang praktik-praktik keagamaan kalangan tradisionalis. Gerakan Islam fundamentalis tersebut sekarang mulai mengembangkan dakwah dan ajarannya di kantong-kantong Nahdlatul Ulama seperti di Ponorogo dan sekitarnya. Untuk menggali data, penulis melakukan wawancara dengan beberapa tokoh sentral NU Ponorogo dan studi terhadap beberapa dokumen serta literarur. Penelitian ini mendapati bahwa untuk merespons gerakan Islam fundamentalis, para kiai NU di bawah koordinasi Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Ponorogo, mendirikan Aswaja NU Center. Lembaga ini kemudian mengkoordinasi beberapa bentuk program dan kegiatan dalam rangka meng-counter gerakan Islam fundamentalis. Program tersebut adalah: 1) Dauroh Ahl al-Sunnah wa al-Jama?ah (Dakwah), 2) Kajian Islam Ahl al-Sunnah wa alJama?ah (Kiswah), 3) Usaha sosialisasi Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama?ah (Uswah), 4) Maktabah Ahl al-Sunnah wa al-Jama?ah (Makwah); dan 5) Bimbingan Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama?ah (Biswah).
INTEGRASI ILMU DAN AGAMA: Studi Atas Paradigma Integratif Interkonektif UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta Aminuddin, Luthfi Hadi
Kodifikasia Vol 4, No 1 (2010)
Publisher : IAIN PONOROGO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (628.333 KB) | DOI: 10.21154/kodifikasia.v4i1.746

Abstract

Abstraks: Penelitian ini berangkat dari polemik tentang integrasi ilmu dan agama yang tak kunjung selesai. Di tengah polemik tersebut, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta menjadikan paradigma integratif-interkonektif sebagai basis pengembangan keilmuan yang mengintegrasikan ilmu dan agama. Penelitian ini akan menjawab dua permasalahan yaitu; bagaimana paradigma integratifinterkonektif sebagai payung keilmuan UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta serta implementasi  paradigma  tersebut  ke  dalam  penyusunan  kurikulum.  Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan analisis interaktif, penelitian ini menghasilkan dua temuan. Pertama, secara epistemologis, paradigma keilmuan UIN Sunan kalijaga yang dikenal dengan paradigma integratif-interkonektif merupakan pengembangan dari epistemologi bayãnî, ?irfãnî dan burhãnîyang digagas oleh al-Jãbirî.Dari aspek lain, paradigma integratif-interkonektif termasuk model integrasi ilmu (hadarãt al-?ilm) dan agama (hadarãt alnass)dengan tipologi triadik. Dalam model triadik ini ada unsur ketiga yang menjembatani sains dan agama yaitu filsafat (hadarãt al-falsafah). Kedua, dalam tataran prakteknya, banyak kalangan menilai bahwa paradigma integrasi interkoneksi yang dibangun oleh UIN Sunan Kalijaga masih memiliki keterbatasan, karena cenderung lebih bersifat teoritis. Konsep paradigma tersebut  belum  dijabarkan  dalam  empat  ranah  utama  dalam  melaksakan kurikulum yaitu ranah filosofis, materi, metodologi dan strategi.
Istinbat Jama‘i dan Penerapannya dalam Bahsul Masa’il Aminuddin, Luthfi Hadi
Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 9 No 2 (2015)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4700.151 KB) | DOI: 10.24090/mnh.v9i2.494

Abstract

Di kalangan NU, Musyawarah Nasional (MUNAS) Alim Ulama pada tanggal 21-25 Januari 1992 di Bandar Lampung adalah awal munculnya kesadaran formal akan pentingnya pengembangan pemikiran metodologis khususnya dalam rangka melakukan ijtihad untuk mengambil keputusan hukum. Munas Bandar Lampung memberikan “lampu hijau” untuk memecahkan masalah dengan bermadhhab secara manhaji, ketika terjadi kebuntuaan (mawquf) dalam penerapan mazhab qawli. Yang dimaksud bermazhab secara manhaji adalah mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam. Tulisan ini akan mengkaji posisi istinbat jama‘i dalam bermazhab manhaji, pengertiannya, prosedur pelaksanaannya serta penerapannya dalam bahsul masail. Dari kajian penulis dapat disimpulkan bahwa istinbat jama‘i merupakan salah satu metode dalam bermazhab secara manhaji dan dilaksanakan ketika bermazhab secara qawlimengalami kebuntuan.Adapun perangkat yang digunakan dalam istinbat jama‘iadalah al-qawa‘id al-usuliyah, baik dengan pendekatan al-qawa‘id al-lughawiyah(kaidah-kaidah kebahasaan) maupun al-turuq al-ma‘nawiyah, melalui penerapan qiyas, istihsan, istislah} dan sadd al-zara’i.Sedangkan penerapannya dalam bahs al-masa’il, berdasarkan penelaahan penulis, dari 456 hasil bahs al-masa’il al-diniyah al-waqi‘iyah, mulai Muktamar NU I di Surabaya tahun 1926 hingga Muktamar NU XXXII di Makassar tahun 2010, hanya delapan keputusan hukum yang ditetapkan dengan istinbat jama‘i.Sedangkan keputusan bahsul masail terhadap masalah-masalah yang bersifat tematik (masa’il al-diniyah al-mawdu‘iyah), hampir semuanya diputuskan dengan istinbat} jama‘i.
RESPONS NAHDLATUL ULAMA PONOROGO TERHADAP GERAKAN ISLAM FUNDAMENTALIS Aminuddin, Luthfi Hadi
Kodifikasia: Jurnal Penelitian Islam Vol 9, No 1 (2015)
Publisher : IAIN PONOROGO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/kodifikasia.v9i1.794

Abstract

Penelitian ini ditujukan untuk mengungkap respons Nahdlatul Ulama Ponorogo terhadap dakwah dan ajaran dari gerakan Islam Fundamentalis. Gerakan Islam Fundamentalis dicirikan sebagai gerakangerakan Islam yang hendak kembali kepada pondasi dasar ajaran Islam dan tradisi kenabian dengan pemahaman terhadap teks yang cenderung harfiah, menonjolkan klaim kebenaran, mempertentangkan Islam dan NKRI, serta menyerang praktik-praktik keagamaan kalangan tradisionalis. Gerakan Islam fundamentalis tersebut sekarang mulai mengembangkan dakwah dan ajarannya di kantong-kantong Nahdlatul Ulama seperti di Ponorogo dan sekitarnya. Untuk menggali data, penulis melakukan wawancara dengan beberapa tokoh sentral NU Ponorogo dan studi terhadap beberapa dokumen serta literarur. Penelitian ini mendapati bahwa untuk merespons gerakan Islam fundamentalis, para kiai NU di bawah koordinasi Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Ponorogo, mendirikan Aswaja NU Center. Lembaga ini kemudian mengkoordinasi beberapa bentuk program dan kegiatan dalam rangka meng-counter gerakan Islam fundamentalis. Program tersebut adalah: 1) Dauroh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Dakwah), 2) Kajian Islam Ahl al-Sunnah wa alJama’ah (Kiswah), 3) Usaha sosialisasi Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Uswah), 4) Maktabah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Makwah); dan 5) Bimbingan Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Biswah).
Ilhaq al-Masa'il bi Nazairiha dan Penerapannya dalam Bahth al-Masa'il Luthfi Hadi Aminuddin
AL-TAHRIR Vol 13, No 2 (2013): Hukum Islam
Publisher : IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/al-tahrir.v13i2.18

Abstract

Abstract: Ilh}a>q al-Masa>’il bi Naz}a>iriha is one of the methods used by Nahdlatul Ulama in resisting the opinion based on (manhaji) analytical concept of Islamic jurisprudence (the solution for complex social problems as the main purpose of Islamic shari’ah). As known that, up to now, ilh}a>q has been understood as a process of answering a new case by the way of equating to the old one which is written in the book called al-mu’tabarah. Such ilh}a>q has got many criticisms both from the definitions, procedures and its epistemogical footing. This paper is about to reveal how the NU clerics of Islam understand the concept of Ilh}a>q}, what its epistemological footing was and how the concept was applied in discussing many cases (bah}th al-masa>’il). Based on the writer’s study to several documents of decision results of NU that Ilh}a>q did not only simplify to equate the new cases with the old ones that have been freely discussed in the books of al-mu’tabarah, but both cases should have similar legal substance, that is, both should be under the decrees of laws of al-qawa> ‘id al-fiqhi>yah. Thus, Ilh}a>q is actually answering the problem by applying al-qawa>‘id al-fiqhi>yah, whereas the formulation al-qawa>‘id al-fiqhi>yah itself was set off from the examination of a number of furu>’ generated by qiya> s. This paper also found three variations of the implementation of Ilh}a>q in bah}th al-masa>’il. First, the application of Ilh}a>q was without mentioning al-qawa> ‘id al-fiqhi>yah which covered new cases (mulh}aq) and the old case law that has been known in the books of fiqh (mulh}aq bih/attached to). Second, the application of Ilh}a>q was accompanied by mentioning mulh}aq bih and al-qawa> ‘id al-fiqhi>yah. Third, the application of Ilh}a>q, was only by the mentioning al-qawa> ‘id al-fiqhi>yah.