Merayakan Wacana KontemporerSeekor anjing Amerika yang kurus kering akibat hukum ekonomi pasar bebas kapitalisme, konon, berkunjung ke Moskow. Berhadapan dengan anjing Rusia yang gemuk dan sehat, anjing Amerika itu ternganga. “Dog (Kalau berhadapan dengan manusia, mungkin ia akan bilang Man), bagaimana mungkin kamu bisa semakmur ini? Di Rusia? I can’t believe it!” Anjing Rusia itu menyalak riang. “Kalau mau tahu rahasianya, ikuti aku,” tuturnya. Maka anjing Amerika tersebut mengikuti temannya menuju ke sebuah tempat, yang pada gerbangnya bertuliskan “Pavlov Institute.” “Be quiet and watch me,” tutur si anjing Rusia. Anjing Amerika itu lalu mengamati temannya memencet sebuah bel. Terdengar dering bel. Pintu bangunan terbuka, dan seorang scientist berjubah putih –a conditioned scientist—membawa sepiring makanan anjing yang lezat, meletakkannya di depan pintu. Tepat pukul sebelas, saatnya makan siang. Kedua anjing menikmati makanan lezat, yang diberikan oleh pria berjubah putih itu. A conditioned scientist.Kisah ini terasa biasa-biasa saja. Greget cerita ini memang baru terasa kalau Anda elaborasikan kisah ini dengan percobaan Institut Pavlov. Untuk membuktikan paradigma behaviourism, yang mengasumsikan bahwa makhluk hidup disetir oleh lingkungannya, ilmuwan Institut Pavlov melakukan serangkaian conditioning experiment. Seekor anjing (ada yang bilang, monyet atau tikus putih) diajari memencet bel. Setiap kali bel dipencet, makanan pun datang. Dengan cara ini binatang tersebut dikondisikan untuk memahami hubungan antara stimulus lingkungan dan respons organisme.Dalam kisah di atas, bukan anjingnya yang terkondisikan. Melainkan ilmuwannya. Sang ilmuwan terkondisikan dengan pencetan bel yang didengar. Setiap kali pada jam yang sama ia mendengar dering bel, otomatis ia langsung mengambil makanan dan diberikan kepada anjing. Dengan cara itulah ia terkondisikan. Dan itu sebabnya Umberto Eco, sang penutur cerita, menyebut sang ilmuwan sebagai a conditioned scientist.Eco memang nakal—dan jenaka. Sebagai ahli semiotika, dan disebut-sebut salah satu jenius logika abad ini, penulis novel The Name of The Rose yang mendunia itu adalah jagonya berpikir terbalik. Pemikiran-pemikirannya kerap mengejutkan publik, karena membalikkan asumsi-asumsi yang telanjur dipostulasikan secara dogmatik sebagai puncak kebenaran ilmiah. Demikianlah, cerita di atas memperlihatkan salah satu ‘kejahilan’ Eco. Kesimpulan ilmiah yang mengobjekkan anjing sebagai makhluk hidup yang terkondisikan oleh lingkungannya melalui relasi antara pencetan bel dan sepiring makanan tersebut dibalik oleh Eco dengan memosisikan sang scientist sebagai objek yang terkondisikan oleh ulah si anjing melalui relasi yang sama –antara dering bel dan sepiring makanan yang disiapkannyauntuk anjing tersebut ...Joke ini tidak berkehendak memertanyakan siapa yang lebih cerdas: anjing atau manusia? Pun, joke ini tidak bermaksud mengajak Anda menertawai, apalagi melecehkan behaviourism. Apa yang ingin ditampilkan di sini adalah sebuah eksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang tak terbayangkan sebelumnya. Itulah yang juga coba diungkap dalam MediaTor edisi kali ini, ketika kami memutuskan untuk mengangkat sejumlah wacana kontemporer.Wacana kontemporer pertama yang kami angkat berkisar pada kemungkinan ideologi beroperasi dalam setiap lini kehidupan, termasuk menyetir wacana kita. Perkara ideologi, yang biasanya direduksi dalam wilayah-wilayah formal-legalistik-konstitusional, kini semakin diyakini memiliki kekuatan besar merekonstruksi perspektif individu dan hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat. Lebih dari itu, seperti disimpulkan Foucault, ilmu pengetahuan tidaklah sebersih, semurni, seobjektif yang kita sangkakan. Melalui serangkaian studi genealogisnya dalam Discipline and Punishment, Foucault Merayakan Wacana Kontemporer Merayakan Wacana Kontemporer mencurigai relasi antara power dan knowledge. Dan kemungkinan ideologi power tersebut menyetir wacana pengetahuan kita lantas coba dipertajam kembali melalui serangkaian telaah dan refleksi Teun A. van Dijk seputar diskusi antara wacana, pengetahuan, dan ideologi. Teun A. van Dijk. Nama ini sangat istimewa dan populer belakangan ini, berkat membesarnya minat terhadap analisis tekstual secara kritis-kualitatif. Kami memang beruntung dapat berkorespondensi via surat elektronik secara langsung dengan beliau. Dan terus-terang, kami serasa mendapat durian runtuhketika beliau mengizinkan kami menerjemahkan beberapa tulisannya untuk MediaTor. Apa yang Anda baca di sini, “Wacana, Pengetahuan, dan Ideologi: Reformulasi Pertanyaan-Pertanyaan Lama”, adalah bagian pertama dari rangkaian tulisan van Dijk yang akan dimuat dalam MediaTor. Van Dijk mengulas sejumlah isu yang diperdebatkan pada titik-titik kritis relasi antara wacana, pengetahuan, dan ideologi.Tulisan tersebut menjadi pengantar bagi artikel selanjutnya yang memperlihatkan dengan jelas relasi antara wacana, pengetahuan, dan ideologi tersebut dalam level praksis. Adalah rekan kami, Ema Khotimah, yang menerjemahkan karya van Dijk. Kami patut berterimakasihkarena di tengah kesibukan mengerjakan usulan penelitian tesis S2 di BKU Komunikasi Universitas Padjadjaran, Ema masih bersedia menyempatkan diri menerjemahkan tulisan van Dijk secara maraton. Pilihan kami tidak keliru karena sejak setahun belakangan ini Ema mengakrabi van Dijk dan para teoretisi analisis wacana lainnya—berkaitan dengan usulan tesisnya yang memfokuskan pada wacana media. Pemikiran Ema, sekaligus embrio usulan tesisnya dapat kita simak bersama pada artikel berjudul “Ba’asyir dalam Pertarungan Wacana”. Ema mengkaji bagaimana proses regimentasi –peminggiran wacana— terhadap ustadz Ba’asyir dan kelompok Islam berlangsung. Sebuah studi yang mengajak kita untuk lebih kritis lagi menyikapi pemberitaan media. Tak ada salahnya bersikap curiga terhadap media—media toh ternyata bukan entitas yang steril-suci hama. Adalah kecurigaan terhadap media pulalah yang diangkat oleh pengamat sekaligus praktisi media, Ignatius Haryanto, dalam “The Age of Capital: Pers, Uang, dan Kekuasaan”. Pada zaman di mana hukumbukan lagi panglima, maka kemungkinan uanglah yang berkuasa. Wajah pers Indonesia sendiri, dalam amatan Ignatius Haryanto, sudah menunjukkan ciri-ciri—meminjam istilah sejarawan Inggris Eric Hobswam— The Age of Capital. Persoalan modal, fenomena kepemilikan silang media, dan ekspansi bisnis perusahaan pers bermodal kuat memperlihatkan kekuatan logika kapitalisme dalam operasi bisnis media di Indonesia. Diangkat dari refleksi atas Hari Pers Nasional ke-57, tulisan ini sengaja kami angkat karena menohok persoalan etis media, yang hitam putih pemberitaannya kerap diatur oleh kekuatan modal di belakangnya. Ignatius Haryanto adalah Direktur LSPP—Lembaga Studi Pers dan Penyiaran.Kami lagi-lagi merasa beruntung karena beliau memercayakan naskahnya untuk kami terbitkan dalam MediaTor kali ini. Apabila logika kapitalisme dicurigai menjadi standar operasi media belakangan ini, maka, bagaimana semestinya pers bersikap dalam memberitakan persoalan-persoalan di kawasan konflik? Di tengahtengah label Indonesia sebagai kawasan rawan konflik, Thomas Hanitzsch, kolega kami dari Ilmenau University of Technology Germany, menawarkan perspektif alternatif: Peace Journalism. Tidak sekadarmengumandangkan slogan, tulisan Hanitzsch yang lengkapnya berjudul “Interreligious Dialogue through the Media: Perspectives and Limitations of Peace Journalism” mendeskripsikan standar-standar operasional peace journalism dan asumsi-asumsi dasar yang digunakan sebagai panduan liputan. Tentang mengapa peace journalism yang ditawarkan sebagai alternatif bagi Indonesia, Hanitzsch berargumen, “The concept of Peace Journalism looks quite suitable especially for Asian and Islamic cultures where the purpose of communication is to generate social harmony and freedom” (Hasnain, 1988).Bagi para praktisi maupun teoretisi jurnalistik, tulisan ini penting dicermati mengingat praksis kerja jurnalisme kian terspesialisasi dengan munculnya pelbagai tantangan. Selain war journalism, jargon lain yang kini muncul adalah patriotic journalism dan ‘jurnalisme nasionalis’! Kehadiran istilah-istilah baru dalam dunia jurnalisme kita, sesungguhnya tak lepas dari kecurigaan terhadap pers dalam menyikapi pelbagai isu. Simak lebih jauh lagi tulisan Haryati “Sikap Pers terhadap Kondisi Keterpurukan Bangsa Indonesia.” Haryati mensinyalir, pers Indonesia belum berpihak sepenuhnya pada publik. Dalam kondisi keterpurukan bangsa saat ini, pers Indonesia ditengarai menyikapinya dengan menampilkan kecenderungan pemberitaan mengarah pada isu-isu politik yang hangat, kontroversial, dan penuh sensasi. Sementara peristiwa yang langsung berkaitan dengan realitas masyarkat, seperti kemiskinan, pengangguran, degradasi moral, dan lain-lain, malah terluput dari perhatian pers.Tapi, mari tinggalkan Ibukota dengan segala hingar-bingarnya. Kita beralih ke daerah, yang mungkin jauh lebih tenang, namun menyimpan potensi sosial-politik-ekonomi tak kalah penting dengan pers di pusat-pusat negeri. Bagaimana peran pers di daerah di tengah era otonomi daerah? Sejauhmana warga lokal memanfaatkan surat kabar untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka? Adakah perbedaan mengonsumsi surat kabar ditinjau dari beda status sosial ekonomi? Simak penelitian La Iru mengenai “Pengaruh Status Sosial Ekonomi terhadap Pemanfaatan Surat Kabar KENDARI POS di Kota Kendari.”Kebangkitan Dunia Ketiga menarik minat penulis ini. Bermula dari suatu gerakan politis antikolonial, arus kuat menggugat pemberhalaan segala sesuatu yang serba Barat –westernized—mengimbas pula pada dunia ilmu dan perspektif-perspektif metodologisnya. Cultural Studies memang lahir lewat pemikiran para sosiolog-filosof Neomarxis, yang rata-rata berasal dari Eropa. Namun spirit pembebasannya dari standarisasi ‘Barat’ disambut dengan antusias oleh para cendekiawan Dunia Ketiga. Mereka mengadopsi Cultural Studies untuk memaknai identitas diri yang kerap sebelumnya hanya diidentifikasi sebagai ‘theOther’. Bagaimana persinggungan komunikasi dengan Cultural Studies, dan tantangan apa yang dihadirkan oleh pendekatan ini terhadap studi-studi komunikasi, lengkapnya bisa dibaca dalam artikel yang ditulis oleh Santi Indra Astuti: “Cultural Studies dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar”.Ngomong-ngomong, tulisannya ini adalah buah tangan Santi usai bertualang ke Trawas, Jawa Timur, awal Februari lalu. Dengan segenap kenekatan, ia hadir sebagai salah satu peserta Indonesia’s International Conference on Cultural Studies: Global Local Nexus on Cultural Studies. Hadirnya Cultural Studies menjadi titiktolak baru untuk memaknai identitas dari perspektif yang berbeda. Ini bukan semata-mata persoalan individual. Tapi juga merembesi dimensi-dimensi sosial. Agaknya, apa yang ditulis oleh H.M. Ali Syamsuddin dalam “Kelahiran Masyarakat Modern Dalam Sosiologi Kontemporer” menarik untuk dicermati bersama. Antitesis-antitesis mazhab Parsonian dapat ditemukan di sini, dalam versi yang lebih kritis. Tidak hanya itu, penulis artikel ini juga menguraikan pelbagai tantangan isu yang dihadapi para teoretisi Marxis dan upaya mereka meraih kembali perannya dalam lingkaran sosiologis dengan cara memasukkan dan mengembangkan perspektif baru dalam konstruk teorinya.Lebih jauh lagi tentang perspektif Neomarxis, dan aplikasinya dalam analisis media, dapat disimak dalam artikel Zulfebriges, “Teori Media Marxist: Suatu Pengantar”. Pendekatan Social Media Marxist menawarkan cara pandang baru untuk menganalisis media, peran media, dan produksi wacana yang diturunkan dari para pemikir Neomarxis: Mazhab Frankfurt dengan Teori Kritis, Antonio Gramsci dengan konsep Hegemoni, Stuart Hall dengan teori Encode/Decode yang mengantarkan kita pada diskusi seputar posisi pembaca yang berbeda-beda dalam pembacaan kultural. Artikel ini penting bagi setiap peminat studi komunikasi, utamanya mereka yang tengah melibatkan diri dalam studi-studi media.Masalah komunikasi pembangunan menjadi perhatian Prof. Rochajat Harun, yang pada MediaTor edisi ini kembali menyumbangkan artikelnya. Berjudul “Development Communication in Indonesia: Programmes, Methods, and Approaches”, tulisan Rochajat Harun mengangkat ragam metode dan pendekatan untuk menetapkan strategi komunikasi pembangunan yang akan diwujudkan dalam program-program komunikasi pembangunan. Satu hal yang menarik, Rochajat Harun menyatakan, “Development communication is an art and science ...” Berdasarkan pernyataan itu, kami ingin mengajak Anda, pembaca tercinta, untuk mencermati bersama ragam pendekatan yang ditawarkan Rochajat Harun: sudahkah membebaskan warganegara dari posisi mereka yang selama ini hanya dimaknai sebagai objek pembangunan? Maklum, sampai kini, seperti disinyalir teoretisi perubahan sosial Mansour Fakih, perspektif developmentalism masih mendominasi paradigma komunikasi pembangunan di Indonesia.Masih berkisar pada masalah pembangunan, kali ini yang menjadi sorotan adalah pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia). Roy R. Rondonuwu, kolega kami yang punya pengalaman mengajar di institut negeri dan swasta, menyumbangkan artikel berjudul “Peningkatan Keunggulan Kompetitif Perguruan Tinggi Melalui Analisis Struktur Industri Porter”. Melalui artikel ini, Roy menguraikan dimensidimensi keunggulan kompetitif yang diperlukan untuk menyusun strategi baru pengembangan perguruan tinggi di tengah kondisi globalisasi dan hyper-competitive market. Masalahnya, idealisme pendidikan jika dikaitkan dengan biaya pendidikan biasanya berkembang menjadi isu sensitif. Maka, apabila perguruan tinggi dianalisis dengan pendekatan bisnis, tidakkah ini melenceng dari idealisme pendidikan? tentang ini, Roy menegaskan, “By using the business process reengineering, the organization can get new energy (revitalization) to make it one of the best in the competition.” Yang diuntungkan di sini tentu saja bukan cuma penyelenggara pendidikan, tapi semua pihak—termasuk mahasiswa sebagai subjek pendidikan.Bukan cuma perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan yang mendapatkan tantangan tantangan untuk berkompetisi di tengah globalisasi. Pendidik pun mendapat tantangan yang tidak kalah berat. Tulisan Soeganda Priyatna, “Teacher’s Union Demands and Prospects of Teachers In The Globalization Era” menghadirkan permasalahan tersebut. Siapa bilang jadi guru itu mudah? Iwan Fals dengan legenda klasik Oemar Bakri-nya, atau Wim Umboh dengan sosok Mang Udel dalam film Si Mamat, secara jujur merefleksikan nasib pendidik di Indonesia yang dalam dunia nyata kita bukanlah hero Orde Baru yang mengonstruksi guru sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.” Permasalahan pelik yang dihadapi para pendidik, sehubungan dengan identitas multidimensi dan idealisme pendidikan yang dibebankan padamereka di tengah orientasi ekonomi yang sudah berubah, menurut Soeganda dapat dicarikan alternatif solusinya melalui Teacher’s Union. Merujuk pada ratifikasi konvensi ILO (International Labor Organization),Soeganda yang juga Dekan Fikom Unpad, mengajak guru bersatu untuk mempromosikan social movement yang mengacu pada perbaikan nasib bangsa secara menyeluruh. Hidup Guru! Masih tentang pendidik, kali ini kami tampilkan tulisan Yusuf Hamdan, mantan Dekan Fikom Unisba yang sedang menempuh studi S3 di Program Pascasarjana Komunikasi UI. Menjadi dosen di era globalisasi, menurut Yusuf, memang tidak cukup sekadar mengandalkan gelar dan ijazah saja. Agar dapat menjadi manusia yang sangat efektif dalam menyikapi perubahan-perubahan zaman, dosen masa kini perlu mengadopsi trik-trik pengembangan kepribadian ala Stephen Covey. Untuk itulah Yusuf dalam MediaTor kali ini menampilkan tulisan “Penerapan Konsep 7 Habits Terhadap Profesi Dosen.”Tema pemerintahan juga muncul dalam MediaTor edisi kali ini. Tulisan Dr. Nasrullah Nazsir, “Pemerintahan yang Bersih (Good Governance)” mengulas konsep dan teori pemerintahan ideal untuk negara-negara sedang berkembang yang senantiasa mendambakan bentuk pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa di mata masyarakatnya. Nasrullah menawarkan penggunaan metode kualitatif yang diyakini dapat menjawab dan memberikan bentuk contoh kegiatan praktis serta teoretis dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Tapi, ada apa dengan pemerintah kita?Yenrizal, mahasiswa program Pascasarjana S2 Bidang Komunikasi Universitas Padjadjaran menyoal “Budaya ‘Politik Kulit’ dan Komunikasi Politik Demokratis di Indonesia”. Dalam kacamata Yenrizal, budaya politik Indonesia sampai saat ini masih sangat menonjolkan kekuatan simbol-simbol, lambanglambang, dan atribut suatu lembaga politik, ketimbang substansi yang dibawanya. Hal ini menjadikan budaya politik rendah dan minim partisipatif—fenomena ini disebutnya sebagai politik kulit. “Politik kulit” bukan model yang bisa dibenarkan dalam sistem negara demokrasi. Untuk itu, komunikasi politik yang demokratis adalah salah satu solusi guna mengubah kecenderungan tersebut. Bukan sembarang komunikasi politik, Yenrizal yang juga aktif sebagai peneliti menawarkan komunikasi politik dengan pendekatan bottom-up berdasarkan prinsip “Saya Oke, Kamu Oke”. Selain masalah komunikasi politik yang cuma menyentuh kulit, perkara komunikasi lain terkait dengan kewarganegaraan juga mengemuka. Kami angkat dalam MediaTor kali ini penelitian LukiatiKomala Erdinaya berjudul “Pengaruh Interpersonal Response Traits Masyarakat WNI Keturunan Cina Muslim terhadap Komunikasi Pembauran.” Lukiati mencoba mencari jawaban atas faktor-faktor internal yang mempengaruhi Komunikasi Pembauran melalui perspektif Ilmu Komunikasi, dengan bantuan Interpersonal Response Traits yang mengarahkan perilaku antarpersona.Simpulannya, yang menunjukkan bahwa Interpersonal Respons Traits masyarakat Cina Muslim berpengaruh terhadap Komunikasi Pembauran, perlu dicatat oleh para pejabat Departemen Dalam Negeri. Setidaknya, agar institusi tersebut mampu merumuskan pendekatan yang lebih manusiawi dalam menjalankan program-program Komunikasi Pembauran—hingga tidak dimanipulasi dalam dimensi yang semata-mata politis.Permasalahan anak didik menjadi topik tulisan terakhir yang ditampilkan MediaTor edisi kali ini. Pien S. Supinah menyumbangkan hasil penelitian berjudul “Pengaruh Keterampilan Menyimak dan Intelligence Quotient (IQ) terhadap Prestasi Belajar Siswa”. Di antara aktivitas yang terkait dengan kegiatan intelektual lain, menyimak kerap tidak mendapat perhatian layak dari para pendidik yang lebih mementingkan uji kemampuan kognitif melalui hasil yang tecermin lewat aktivitas menulis. Padahal, menyimak (listening) sebagai komunikasi langsung merupakan salah satu aspek dari empat perilaku komunikasi insani yang menduduki posisi penting dalam penyampaian materi pada proses belajar mengajardi sekolah. Hasil penelitian Pien merekomendasikan pentingnya memoles kemampuan menyimak anak didik. Dalam menyusun strategi belajar efektif bagi siswa, bukan cuma aspek IQ yang perlu diperhatikan—faktor kemampuan menyimak pun perlu dieksplorasi secara mendalam.Demikianlah racikan MediaTor edisi kali ini. Memang tidak ada tampaknya kerangka tema umum yang kami hadirkan di sini. Dan mungkin tidak akan bisa, mengingat tema komunikasi begitu beragam, begitu juga segala aspek permasalahannya. Kendati demikian, pelangi itulah justru yang menurut kami sangat penting untuk terus-menerus dikedepankan. Dalam konteks ilmu komunikasi, hal menarik yang kami temukan sejauh ini adalah betapa ruang terbuka yang disediakan untuk ragam pendapat itu, pada akhirnya menghadirkan loncatan-loncatan pemikiran dan wacana-wacana kontemporer yang luar biasa.Maka, salamhari ini, carpe diem,dan mari rayakan bersama ruang terbuka bagi wacana-wacana kontemporer! Santi Indra Astuti