Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

TRANSFORMASI PENGHENTIAN PENYIDIKAN KASUS KORUPSI DI INDONESIA Ratna Purnamasari; Amiruddin Amiruddin; Rina Khairani Pancaningrum
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (412.875 KB) | DOI: 10.24843/KS.2021.v10.i01.p07

Abstract

Artikel ini bertujuan menganalisis transformasi penghentian penyidikan kasus korupsi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. dengan. Adapun hasil penelitian ini yakni Sebelum terbitnya UU No. 19 Tahun 2019 KPK tidak berhak mengeluarkan SP3 dan persyaratannya mengacu pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP sedangkan pada UU No. 19 Tahun 2019 mengatur kewenangan dan persyaratan KPK mengeluarkan SP3. Revisi Pasal 40 pada Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK bahwa KPK diberikan kewenangan mengeluarkan SP3 kepada tersangka korupsi apabila memenuhi syarat seperti yang tertuang dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP di tambah ketentuan baru yakni SP3 dapat dikeluarkan apabila penyidikan tidak selesai dalam 2 tahun. This article aims to analyze the transformation of the termination of investigations into corruption cases in Indonesia. This research uses normative research methods. with. The results of this study, namely, before the issuance of Law no. 19 of 2019 the KPK is not entitled to issue SP3 and the requirements refer to Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code while Law no. 19 of 2019 regulates the authority and requirements of the KPK to issue SP3. Revised Article 40 of Law Number 19 of 2019 concerning the KPK that the KPK is given the authority to issue SP3 to corruption suspects if it meets the requirements as stated in Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code plus a new provision namely SP3 can be issued if the investigation is not completed within 2 year.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Jamaludin Jamaludin; Rodliyah Rodliyah; Rina Khairani Pancaningrum
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 12 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (413.933 KB) | DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i12.p14

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hak-hak korban tindak pidana pemerkosaan di luar hukum pidana dan menganalisis perlindungan hukum bagi korban tindak pidana pemerkosaan yang terjadi di Kota Mataram. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif-empiris dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang, pendekatan kasus, dan pendekatan sosiologi hukum. Hasil dari penelitian ini antara lain: Hak-hak korban tindak pidana pemerkosaan di luar hukum pidana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 sebagaimana atas perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1). Perlindungan hukum bagi korban tindak pidana pemerkosaan yang terjadi di Kota Mataram mulai dari tahap penyidikan, penuntutan dan pengadilan masih terdapat adanya kendala untuk proses penegakan hukumnya, seperti hak ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan, dan lain sebagainya. This research aims to analyze the rights of victims of rape crimes outside the criminal law and analyze legal protections for victims of rape crimes that occur in the city of Mataram. This research is a type of normative-empirical research using the Law approach, case approach, and legal sociology approach. The results of this study include: The rights of victims of rape crimes outside the criminal law are contained in Law No. 31 of 2014 as for the amendment of Law No. 13 of 2006 on The Protection of Witnesses and Victims, namely in Article 5 paragraph (1), Article 6 paragraph (1). Legal protection for victims of rape crimes that occur in mataram city starting from the stage of investigation, prosecution and trial there are still obstacles to the law enforcement process, such as the right to participate in the process of choosing and determining the form of protection against victims of rape crimes, and so on.
KONSEP TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI DALAM HUKUM PIDANA Didik Purwadi; Amiruddin Amiruddin; Rina Khairani Pancaningrum
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 3 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (403.024 KB) | DOI: 10.24843/KS.2022.v10.i03.p20

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis atu tindakan apa saja yang termasuk kriteria tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) dan menganalisis pertanggungjawaban pelaku tindakan main hakim sendiri (eigenrichting). Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan Undang-Undang (Statute Approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil dari penelitian ini antara lain: kriteria main hakim sendiri adalah tindakan itu sengaja untuk menyakiti yang dilakukan oleh pelaku eigenrichting mengakibatkan penganiayaan, kekerasan, pengrusakan, kematian, luka-luka dan memar-memar atau yang bisa mengakibatkan rasa sakit di tubuh korban eigenrichting. Adanya dugaan seseorang melakukan tindak pidana tanpa berpikir, tindakan tersebut dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan tuduhan tanpa alat bukti, kalaupun memang terbukti tidak harus dihakimi ataupun dilakukan penganiayaan, kekerasan dan perusakan. Itulah gunanya mempunyai penegak hukum jikalau memang dia melakukan tindak pidana dan bukti sudah cukup bisa dilaporkan ke penegak hukum agar diproses menurut hukum yang berlaku. Dimana bentuk atau kriteria main hakim sendiri ini bisa berupa tindakan sebagai berikut : Penganiayaan, Kekerasan dan perusakan. Pertanggungjawaban pelaku tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), main hakim sendiri ini tindakan yang membahayakan orang lain dan mengancam keselamatan orang lain maka perbuatan tersebut harus dipertanggungjawabkan di muka peradilan dikarenakan di prinsip dalam hukum pidana adalah dia yang melakukan tindak pidana dia pula yang akan menjalani sanksinya tidak bisa diwakilkan oleh orang lain, pertanggungjawaban pelaku main hakim sendiri ini memang tidak ada yang mengatur main hakim sendiri di dalam undang-undang, KUHP tetapi dalam tindakan tersebut ada seseorang yang dirugikan atau ada unsur-unsur tindak pidananya bisa berupa penganiayaan, kekerasan dan perusakan. Bagi pelaku main hakim sendiri bisa diberikan sanksi atas tindakan penganiayaan, kekerasan, dan perusakan. This research aims to analyze any action that includes the criteria of vigilante action (eigenrichting) and analyze the accountability of the perpetrators of vigilante acts (eigenrichting). This research is a type of normative legal research that uses the Statute Approach, the case approach, and the conceptual approach. The results of this study include: the criteria of vigilante is that the act is intentional to harm carried out by the perpetrator of eigenrichting resulting in persecution, violence, destruction, death, cuts and bruises or that can cause pain in the body of the victim of eigenrichting. The existence of an alleged person committing a criminal act without thinking, the act is carried out by one or more people on charges without evidence, even if it is proven not to be judged or done the gift, violence and destruction. That's the point of having law enforcement if indeed he committed a criminal act and enough evidence can be reported to law enforcement to be processed according to applicable law. Where this form or criteria of vigilante can be the following actions: Persecution, Violence and destruction. Accountability of the perpetrators of vigilante acts (eigenrichting), vigilante actions that endanger others and threaten the safety of others then the act must be accounted for in front of the judiciary because in the principle in the criminal law is he who commits the criminal act he will also serve his sanctions can not be represented by others, the accountability of vigilante perpetrators is indeed no one who regulates vigilante in the law, the Criminal Code but in such actions there is someone who is harmed or there are elements of the criminal act can be persecution, violence and destruction.
UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI DANA BANTUAN SOSIAL MELALUI SISTEM PENGAWASAN AKTIF DAN TERPADU Irpan Ali; Rodliyah Rodliyah; Rina khairani Pancaningrum
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (524.799 KB) | DOI: 10.24843/KS.2022.v10.i02.p05

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor penyebab tindak pidana korupsi dana bansos dan upaya pencegahan tindak pidana korupsi dana bansos melalui sistem pengawasan aktif dan terpadu. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif-empirik. Hasil dari penelitian ini antara lain: Faktor penyebab tindak pidana korupsi dana bansos terdiri dari faktor intern yang berasal dari dalam diri pelaku seperti Watak atau perilaku jahat, rendahnya tingkat pendidikan dan gaya hidup konsumtif sedangkan faktor eksternal penyebab korupsi dana bansos meliputi: data tidak akurat, kurangnya sosialisasi tentang pedoman umum penyaluran bansos, kurangnya pengawasan, adanya campur tangan pemerintah daerah dan lemahnya sanksi yang diberikan kepada pelaku. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi dana bansos dilakukan melalui pengawasan lembaga dan masyarakat secara aktif dan terpadu. Pada Pengawasan lembaga, Upaya pencegahan tindak pidana korupsi dana bansos gencar dilakukan oleh aparat penegak hukum meliputi KPK, BPKP dan aparat Kepolisian yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan upaya pencegahan korupsi dana bansos. Selain itu, upaya Pengawasan Masyarakat Secara Aktif dan Terpadu yang dimaksudkan disini adalah masyarakat melakukan pengawasan secara aktif dan berkala sesuai jadwal penerimaan bansos serta adanya kerjasama antar semua elemen bangsa seperti pemerintah, lembaga Negara, LSM dan masyarakat bersatu padu dalam mencegah tindak pidana korupsi dana bansos. This study aims to analyze the factors that cause corruption in social assistance funds and efforts to prevent corruption in social assistance funds through an active and integrated monitoring system. This research is a type of normative-empirical research. The results of this study include: Factors causing criminal acts of corruption in social assistance funds consist of internal factors originating from within the perpetrators such as bad character or behavior, low levels of education and a constructive lifestyle while external factors causing corruption in social assistance funds include: inaccurate data, lack of socialization about general guidelines for distributing social assistance, lack of supervision, local government interference and weak sanctions given to perpetrators. Efforts to prevent corruption in social assistance funds can be carried out by closing gaps or opportunities for factors that cause corruption such as character building, increasing the capacity of the parties involved in distributing social assistance funds, implementing a simple lifestyle by applying the principle of "adjusting the will or desire with abilities", making valid and accurate data on social assistance recipients based on online applications, massive socialization to the public about general guidelines for distributing social assistance and types of social assistance provided by the government, increasing active and integrated supervision with all elements of society, reducing interference by regional officials and providing Strict criminal sanctions for perpetrators of corruption in social assistance funds so that there is a deterrent effect and stop repeating corrupt behavior.
SANKSI KEBIRI : BAGAIMANA PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA ? Muhammad Rif’an; Rodliyah Rodliyah; Rina Khairani Pancaningrum
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 6 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (513.204 KB) | DOI: 10.24843/KS.2022.v10.i06.p16

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sanksi kebiri dalam sudut pandang yuridis. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tujuan sanksi pidana kebiri kimia untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual terhadap anak, memberikan efek jera terhadap pelaku, dan untuk mencegah tindakan kekerasaan seksual kedepannya. Akhirnya penelitian ini menyarankan, agar pemerintah tegas dalam mengambil keputusan tentang pidana kebiri ini apalagi sekarang banyak terjadi kekerasan seksual terhadap anak, dan kekerasan seksual ini begitu meresahkan banyak pihak. Jika dilihat dari teori pemidanaan kebiri kimia ini bisa dilakukan yang bertujuan untuk memberikan efek jera supaya pelaku tidak melakukan lagi kekerasan seksual. This study aims to analyze the sanction of castration from a juridical point of view. This research is a normative legal research. Based on the results of the study, it can be concluded that the purpose of chemical castration is to overcome the phenomenon of sexual violence against children, to provide a deterrent effect on perpetrators, and to prevent acts of sexual violence in the future. Finally, this research suggests that the government should be firm in making decisions regarding the crime of castration, especially now that there is a lot of sexual violence against children, and this sexual violence is very troubling to many parties. If viewed from the theory of chemical castration, this can be done with the aim of providing a deterrent effect so that the perpetrator does not commit sexual violence again.
Penerapan Kaidah Maqashid Syariah Dalam Merger Bank Syariah Badan Usaha Milik Negara Hirsanuddin Hirsanuddin; Rina Khairani Pancaningrum; Abdul Atsar
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 10, No 1: April 2022 : Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ius.v0i0.988

Abstract

Merger Bank syariah menjadi solusi untuk mengatasi tingginya biaya operasional dan belanja modal yang sering dialami perbankan syariah, selain itu juga tujuan untuk meningkatkan daya saing perbankan syariah di industri keuangan nasional. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah merger Bank Syariah BUMN telah menerapkan kaedah Maqashid Syariah dan bagaimana akibat hukum dari tidak diterapkannya kaidah maqashid syariah dalam melakukan merger Bank Syariah BUMN menurut hukum Islam? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Teknik dan pengumpulan data sekunder yang berupa bahan hukum sekunder yang dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan. Teknik analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Merger Bank Syariah BUMN telah menerapkan kaedah Maqashid Syariah, karena bertujuan untuk kebaikan atau kemashlahatan umat manusia. Akibat hukum dari tidak diterapkannya kaidah maqashid syariah dalam melakukan merger Bank Syariah BUMN adalah bertentangan dengan prinsip hukum islam dan prinsip syariat.
Penerapan Sanksi Pidana Tambahan Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Di Lingkungan TNI AD (Study Kasus Korem 162/WB) Ismail Ismail; Amiruddin Amiruddin; Rina Khairani Pancaningrum
Jatiswara Vol 37 No 1 (2022): Jatiswara
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jtsw.v37i1.371

Abstract

Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kompenen utama alat pertanahan negara harus memiliki tugas pokok yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam pasal tersebut disebut ada tiga tugas pokok TNI yakni menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara. Berdasarkan tugas pokok tersebut, TNI dituntut untuk tetap professional dan memiliki sikap disipilin yang tinggi dalam menjalankan tugas sebagai abdi bangsa dan negara. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kriteria perbuatan yang dapat dihukum pidana tambahan pemberhentian dengan tidak hormat terhadap Prajurit TNI AD dan penerapannya terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba bagi Prajurit TNI AD dengan studi kasus Korem 162/WB. Beberapa kasus tindak pidana narkoba yang melibatkan personel Korem 162/WB dan jajarannya setelah melalui proses persidangan di Pengadilan Militer III-14 Denpasar memperoleh putusan dengan sanksi hukuman pidana pokok diikuti dengan pidana tambahan pemberhentian dengan tidak hormat atau pemecatan dari dinas militer.
Kekuatan Akta Jual Beli Tanah Di Pengadilan Agama (Studi Kasus Pengadilan Agama Mataram) Rina Khairani Pancaningrum; Ridwan Ridwan; Fatahullah Fatahullah
Journal Kompilasi Hukum Vol. 4 No. 2 (2019): Jurnal Kompilasi Hukum
Publisher : Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jkh.v4i2.13

Abstract

This research examines the strength of land sale and purchase certificates in religious courts and the factors that influence them. The research objective is to find out, explain, analyze and obtain answers about the strength of the land sale and purchase deeds at the Religious Courts and the factors that influence them. This study uses normative/doctrinal legal research methods to find law in concreto cases in the form of determining the legal force of proof of land sale and purchase deeds at the Religious Courts and the factors that influence them. Based on the results of the study, it can be concluded that first, the strength of the land sale and purchase deed in the Religious Court has perfect and binding strength if the deed is not denied by the opposing party, denied by the opposing party but strengthened by other evidence or photocopy that has been nazegelen (sufficiently stamped), matched with the original which turned out to be appropriate, then the Chairperson of the Assembly was given the code, date and initial of the Chairperson of the Assembly and other evidence was strengthened, and secondly, the factors that influenced the strength of the land sale and purchase deeds at the Religious Court were the fulfillment of formal and material requirements for the deed of sale and purchase, so that the evidence has perfect and binding strength, in accordance with Article 1875 of the Civil Code / BW and the absence of denial by the opposing party on the deed submitted as evidence, the existence of land denial as ownership rights is caused by because of ignorance of one of the parties who litigated well because it did not pe have not bought the land in question, do not know of its existence or the land has been transferred, and the existence of other evidence and local examination by the Panel of Judges (descente) that supports the truth of the deed.
Perlindungan Bagi Pembeli Beritikad Baik Dalam Sengketa Perdata Berobyek Tanah Widodo Dwi Putro; Ahmad Zuhairi; Khotibul Islam; Rina Khairani Pancaningrum
Jurnal Kompilasi Hukum Vol. 5 No. 2 (2020): Jurnal Kompilasi Hukum
Publisher : Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Problem yang banyak ditemui di masyarakat adalah salah satunya terkait sengketa perdata yang berobjek tanah. Masyarakat sering melakukan transaksi jual beli tanah namun tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian (duty of care) sehingga di belakang hari menimbulkan sengketa tanah. Selain itu mayoritas kasus yang terjadi di Mahkamah Agung Republik Indonesia di Kamar Perdata adalah kasus tanah. Oleh karena itu tujuan dari penyuluhan ini adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dengan pembeli beritikad baik dalam transaksi tanah sehingga mereka mendapat perlindungan hukum jika terjadi sengketa di belakang hari, selain itu untuk mengurangi penumpukan kasus yang ada di pengadilan terkait dengan sengketa jual beli tanah. Metode yang dilakukan dalam penyuluhan ini adalah metode ceramah, diskusi dan pendampingan kepada masyarakat. Kegiatan ini dilakukan di Desa Kekeri, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat. Hasil dari penyuluhan ini adalah banyak masyarakat sangat membutuhkan pengetahuan terkait dengan pembeli beritikad baik dalam sengketa perdata berobyek tanah. Hal ini dibuktikan dari antusiasme masyarakat dalam mengikuti kegiatan penyuluhan dan berharap dapat pendampingan serta mendapatkan program-program penyuluhan hukum selanjutnya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat sehingga tidak dirugikan dalam transaksi jual beli tanah.
KONSTITUSIONALISME DELIK PENGHINAAN PRESIDEN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 013-022/PUU-IV/2006 Azwar Annas; Rodliyah .; Rina Khairani Pancaningrum
Jurnal Education and Development Vol 9 No 1 (2021): Vol.9.No.1.2021
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (401.399 KB)

Abstract

Penelitian ini membahas mengenai pertimbangan Mahkamah Konstitusi mencabut ketentuan pasal penghinaan Presiden dalam KUHP yakni Pasal 314, 316bis dan 317. Latar belakang yang digunakan adalah pengaturan pasal penghinaan terhadap Presiden terkait dengan pencabutan pasal penghinaan Presiden oleh Mahkamah Konstitusi. Tentunya dengan pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden pada KUHP, secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak juridis bagi perlindungan terhadap martabat Presiden itu sendiri. Pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden ini merupakan upaya dalam memperbaharui hukum pidana di Indonesia, namun di sisi lain pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden merusak sistem di dalam KUHP itu sendiri. Pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden itu akan menunjukkan bahwa perbuatan penghinaan terhadap Presiden bukan merupakan suatu perbuatan tindak pidana. Pencabutan pasal penghinaan terhadap Preisden seolah–olah perbuatan menghina Presiden bukan lagi merupakan tindak pidana, selain itu masih terdapatnya pengaturan pasal penghinaan terhadap masyarakat biasa, pasal penghinaan terhadap bendera dan lambang negara serta pasal penghinaan terhadap raja, kepala negara dan perwakilan negara lain menunjukkan betapa pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden itu merusak gradasi nilai di dalam KUHP.