Basri Effendi
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Tanggung Jawab Negara Dalam Menjamin Kebebasan Beragama Dedy Yuliansyah; Basri Effendi
Jurnal Hukum dan Keadilan "MEDIASI" Vol 8, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37598/jm.v8i1.925

Abstract

Pelaksanaan Jaminan kehidupan beragama merupakan bagian penting dalam konsepsi negara kebangsaan Indonesia yang melahirkan tanggungjawab penyelenggara negara untuk mengatur kebebasan beragama dan berkeyakinan agar tidak menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum. Permasalahan terjadi ketika otoritas negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur hal tersebut, tetapi belum melaksanakan fungsinya dalam menjamin hak beragama, sehingga tidak membatasi Hak dasar manusia untuk menjalankan agamanya. Oleh karena itu, fokus kajian pada  penulisan ini adalah apakah kebebasan beragama di Indonesia sudah sesuai dengan amanah konstitusi, dan bagaimana bentuk tanggung jawab negara untuk menjamin kebebasan beragama sesuai perundang-undangan yang berlaku. Kebebasan beragama merupakan hak yang tidak dapat dikurangi bagaimanapun juga keadaannya (non-derogable rights). Perlindungan hak atas kebebasan memeluk dan menjalankan agama dimuat dalam instrumen HAM internasional dan peraturan perundang-undangan nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan atau metode penelitian hukum normatif (yuridis-normatif). Pendekatan penelitian dilakukan dengan cara mengkaji berbagai konvensi dan peraturan-peraturan yang berhubungan dan relevan dengan masalah objek kajian dalam penelitian ini.
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG PELAKSANAAN HUKUM ACARA JINAYAH Chadijah Rizki Lestari; Basri Effendi
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 13 No 2 (2018): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (965.341 KB) | DOI: 10.33059/jhsk.v13i2.928

Abstract

Sejak konstitusi mengakui keistimewaan Provinsi Aceh disertai dengan pemberlakuan Syari’at Islam di wilayahnya, pemerintah daerah sudah mulai mengeluarkan peraturan daerah bernafaskan Islam. salah satunya dapat dilihat pada Pasal 262 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat (Qanun Hukum Acara Jinayah) dimana setiap pelaku jarimah yang melakukan perbuatan dilarang sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Hukum Jinayah) akan dikenakan hukuman, salah satunya adalah cambuk yang dilaksanakan di tempat terbuka. MeskipunPasal 262 Qanun Hukum Acara Jinayah tidak menugaskan adanya pengaturan lebih lanjut tentang pelaksanaan hukuman cambuk dalam peraturan Gubernur, namun dalam kenyataannya Gubernur Aceh membatasi pengertian tempat terbuka sebagaimana disebutkan pada Pasal 30 ayat (3) Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayah (Pergub Hukum Acara Jinayah) bahwa yang dimaksud tempat terbuka untuk pelaksanaan hukuman cambuk adalah lembaga pemasyarakatan/Rutan/Cabang Rutan. Penelitian menggunaan metode yuridis normative yang bersifat deskriptif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan utama dikeluarkannya Pergub adalah alasan Gubernur untuk meningkatkan investasikarena pada pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh mendapat pertentangan dari pihak luar. Namun sangat disayangkan keluarnya Pergub tersebut bertentangan dengan system pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.Oleh karena itu secara yuridis Pergub Hukum Acara Jinayah tidak memiliki kekuatan hukum.
Pengawasan Dan Penegakan Hukum Terhadap Bisnis Digital (E-Commerce) Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat Basri Effendi
Syiah Kuala Law Journal Vol 4, No 1: April 2020
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (496.801 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v4i1.16228

Abstract

Bisnis dengan platform digital/e-commerce diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Seiring dengan meningkatnya perkembangan industry digital itu membuka peluang terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.  Hal ini bisa terjadi antara pelaku usaha bisnis platform digital dengan pelaku usaha konvensional. Sehingga hal itu memerlukan pengawasan dan penegakan hukum oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan usaha). Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang menjadi fokus kajian yaitu Bagaimanakah peran KPPU untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap bisnis platfom digital/e-commerce berdasarkan UU No 5 tahun 1999. Dalam melakukan pengawasan terhadap bisnis platform digital, KPPU memiliki Deputi Pencegahan.KPPU juga berperan dalam melindungi seluruh pelaku ekonomi agar tetap berada dalam jalur persaingan usaha yang sehat dan adil. KPPU dapat berperan dengan mencegah praktek monopoli persaingan usaha tidak sehat seperti diskriminasi, eksploitasi dari platform ke supplier atau antar platform, perjanjian eksklusif, predatory pricing, penyalahgunaan posisi dominan, dan berbagai bentuk persaingan usaha tidak sehat lainnya. Dalam aspek penegakan hukum, terdapat berbagai kasus yang terindikasi sebagai persaingan usaha tidak sehat sedang dalam proses investigasi dan proses peradilan oleh KPPU.Salah satunya adalah kasus Grab yang diduga membuat sistem kerjasama yang menguntungkan salah satu mitranya. Pada gelar sidang perkara Nomor 13/KPPU-I/2019, Grab dan TPI diduga melakukan pelanggaran Pasal 14, Pasal 15 Ayat 2 dan Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1999 tentang larangan Monopoli dan Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Capaian Program Legislasi Aceh Basri Effendi; Sufyan Sufyan
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 22, No 2 (2020): Vol. 22, No. 2, Agustus 2020
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v22i2.16347

Abstract

Penelitian ini bertujuan menganalisis capaian program legislasi daerah dari aspek politik hukum. Program tersebut dilaksanakan setiap tahun lembaga eksekutif dan legislatif sebagai bentuk legal policy dalam menyusun suatu program, yang mana setiap program tersebut membutuhkan landasan hukum yang konstitusional. Hal ini juga menjadi salah satu indikator tercapainya good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan análisis data kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa tingkat keberhasilan pembahasan Program legislasi daerah di Aceh hanya 24,66% per/tahun. Ada pelbagai kendala yang menghambat pelaksanaan program legislasi daerah di Aceh, diantaranya adalah anggaran yang minim, political will yang tidak kuat, terbatasnya sumber daya manusia dengan waktu yang tersedia, serta tidak realistisnya antara jumlah qanun usulan Prolegda dengan kemampuan penyelesaian. Pemerintah dan DPR harus lebih realistis dalam menetapkan jumlah target legislasi daerah tiap tahun.  Achievement of Aceh Legislation Programs This study aims to analyze the achievements of the regional legislative program from the political law aspects. The program is carried out annually by the executive and legislative bodies as a form of legal policy in developing a program where each of which requires a constitutional legal basis. This is also one indicator of the achievement of good governance in the administration of regional government. Using empirical juridical research methods and qualitative data analysis, this study found that the success rate of discussion of the regional legislative program in Aceh was only 24.66% per year. There are various obstacles that hamper the implementation of the regional legislation program in Aceh, including a minimal budget, insufficient political will, limited human resources and time, and an unrealistic number of Prolegda's proposed qanuns and the ability to resolve the proposal. The government and Parliament should be more realistic in setting the target number of regional legislation each year.