Claim Missing Document
Check
Articles

Found 37 Documents
Search

Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 202/Pid.Sus/2019/Pn.Sim Tentang Menjadi Perantara Dalam Tindak Pidana Narkotika Cut Intan Tary Hafidz; Nursiti Nursiti
Jurnal Hukum dan Keadilan "MEDIASI" Vol. 8 No.3 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37598/jm.v8i3.1284

Abstract

Berdasarkan Putusan Nomor 202/Pid.Sus/2019/PN.Sim Terdakwa Madi Syahputra Damanik bersalah melakukan tindak pidana jadi perantara narkotika sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 114 ayat (1) dan sanksi pidana penjara  yang dijatuhkan selama 5 tahun 6 bulan dengan barang bukti berupa narkotika jenis sabu dengan berat bersih 0,04 gram dan satu unit HP nokia. Dalam membuat dakwaannya penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif dengan memilih Pasal 114 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika. Namum dari fakta yang ada terdakwa ialah sebagai pengguna narkotika. Selain itu, hakim dalam menjatuhkan putusan kurang memperhatikan fakta-fakta di persidangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdakwa ialah seorang pengguna narkotika, tidak diterapkannya Pasal 127 ayat (1) menyebabkan penuntut umum kurang cermat dalam menetapkan pasal yang didakwakan di dalam surat dakwaan, sehingga surat dakwaan penuntut umum menjadi tidak cermat, jelas, dan lengkap membuat tidak terpenuhinya syarat materiil surat dakwaan sesuai dengan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Selain itu, pemilihan surat dakwaan yang berbentuk alternatif juga kurang sesuai, dan hakim di dalam persidangan kurang memperhatikan fakta-fakta seperti keterangan saksi, barang bukti di persidangan dan kurang memperhatikan asas proposionalitas dalam mengambil keputusan.
POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Iskandar Iskandar; Uu Nurul Huda; Nursiti Nursiti
Asy-Syari'ah Vol 23, No 1 (2021): Asy-Syari'ah
Publisher : Faculty of Sharia and Law, Sunan Gunung Djati Islamic State University of Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/as.v23i1.12150

Abstract

Abstract: This paper aims to analyze the process of forming the Draft Law on the Elimination of Sexual Violence (RUU Elimination of KS) from the perspective of Islamic law and analyze the political configuration in the formation of the law. The method used is descriptive analysis with the type of normative-empirical research. This method is considered able to answer all the main problems in this study. The results show that, in Islamic law a leader is obliged to maintain the soul, mind, dignity and worth of his people. Islam does not justify violence against women, Islam commands that every human being can give love and affection to women without violence as stated in QS. Ar-Rum (30): 21. To prevent sexual violence against women and uphold moral values, the leader must form a regulation as a form of responsibility from a leader to his people. These regulations must be obeyed and implemented by all his people, this is explained in (QS. An -Nisa, (04); 59. In the formation of the Draft Law on the Elimination of KS, there was a tug of war. Since 2016 until now, the Bill on the Elimination of KS has been in and out of the National Legislative Council (Prolegnas) however, until now it has not been ratified for various reasons given until it was clashed with religious beliefs The ratcheting up of the ratification of the KS Abolition Bill shows the reluctance of the legislature to provide legal protection to the public.Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis proses pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Penghapusan KS) ditinjau dari perspektif hukum Islam dan menganalisis konfigurasi politik dalam pembentukan Undang-Undang tersebut. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan jenis penelitian normatif-empiris yang dianggap mampu menjawab semua pokok permasalahan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hukum Islam seorang pemimpin wajib menjaga jiwa, akal, harkat dan martabat dari rakyatnya. Islam tidak membenarkan adanya kekerasan terhadap perempuan, Islam memerintahkan agar setiap manusia dapat memberikan kasih dan sayang kepada perempuan tanpa adanya kekerasan sebagaimana tertuang dalam QS.Ar-Rum (30):21. Untuk menjaga agar tidak adanya kekerasa seksual terhadap perempuan dan menjunjung tinggi nilai moralitas, maka pemimpin harus membentuk suatu peraturan sebagai bentuk tanggung jawab dari seorang pemimpin kepada rakyatnya. Peraturan tersebut wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua rakyat­nya, hal ini dijelaskan dalam (QS. An-Nisa, (04);59. Dalam pembentukan RUU  Penghapusan KS terjadi tarik ulur. Sejak tahun 2016 hingga saat ini, RUU  Penghapusan KS telah berapa kali keluar masuk Prolegnas, namun sampai saat ini belum kunjung disahkan dengan berbagai alasan yang diberikan sampai dibentrokan dengan keyakinan agama. Tarik ulur pembahasan RUU Penghapusan KS menunjukan, keengganan dari badan legislatif dalam memberikan payung hukum kepada masyarakat.
UPAYA PEMBERIAN RESTITUSI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT (Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh) Rino Alfian; Nursiti Nursiti
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 5, No 3: Agustus 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak – Tujuan penulisan jurnal ini untuk menjelaskan pertimbangan hakim tidak menjatuhkan sanksi restitusi untuk korban tindak pidana penganiayaan berat, menjelaskan mekanisme pengajuan restitusi terhadap korban tindak pidana penganiayaan dan hambatan dalam pengajuan restitusi pada tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat terhadap anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim tidak menjatuhkan sanksi restitusi untuk anak korban tindak pidana penganiayaan berat dikarenakan pihak kejaksaan tidak memasukkan permohonan restitusi ke dalam tuntutan dengan alasan susah untuk dikabulkan dan hakim tidak dapat menerima dan/atau menolak suatu hal yang tidak dimasukkan di dalam tuntutan JPU. Mekanisme Pegajuan Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Penganiayaan dibagi menjadi 2 (dua) cara yaitu pengajuan pada saat pemeriksaan perkara dan pengajuan gugatan restitusi dengan jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan inkrah. Hambatan dalam pengajuan restitusi adalah kurangnya pengetahuan masyarakat, tidak adanya LPSK dan tidak adanya aturan paksaan bagi pelaku jika tidak memenuhi restitusi. Disarankan kepada pihak Kejaksaan Banda Aceh untuk memberitahukan kepada pihak keluarga anak korban tentang adanya permohonan hak restitusi melalui pihak JPU guna memenuhi unsur perlindungan anak sebagai korban tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat dan saran kepada pihak keluarga untuk melaporkan juga tindak pidana penganiayaan tersebut kepada LBH sebagai lembaga konsultasi hukum bagi pihak keluarga korban.Kata Kunci : Restitusi, Korban, Tindak Pidana, Penganiayaan, Anak.
Pemenuhan Hak Narapidana Di Rumah Tahanan Negara Klas II B Sigli Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Kurnia Dwi Mantri Abi; Nursiti Nursiti
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 2, No 3: Agustus 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (258.718 KB)

Abstract

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi adanya hak asasi manusia yang telah di atur di dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Perlindungan terhadap hak asasi manusia ini tidak hanya diberlakukan kepada setiap manusia yang berada dalam keadaaan bebas, tetapi hak asasi manusia juga diakui kepada setiap manusia yang sedang berstatus narapidana seperti amanah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Namun dalam pelaksanaannya perlakuan yang diberikan kepada narapidana di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas IIB Sigli tidak seperti yang diharapkan dan sangat banyak terdapat kendala seperti kurangnya daya tampung, terbatasnya sumber daya manusia dari petugas yang menghambat proses pembinaan terhadap narapidana yang diberikan tidak efektif dan terbatasnya anggaran operasional di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas IIB Sigli. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui pemenuhan hak narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas IIB Sigli dan Kendala-kendala yang dihadapi petugas Rumah Tahanan Negara Klas IIB SIgli dalam pemenuhan hak narapidana. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa pemenuhan hak narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas IIB yang persentase paling tinggi hak mendapatkan informasi awal, hak kebutuhan sanitasi daan kebersihan personal, hak makanan dan air minum, hak bebas dari perlakuan kekerasan. Sedangkan yang persentase paling rendah seperti hak perawatan kesehatan, hak reintegrasi sosial dan hak atas pakaian dan tempat tidur. Disarankan kepada pihak Kementerian Hukum dan HAM RI perwakilan Aceh agar bisa membuat Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) baru di Sigli. Selain itu pihak Rutan klas IIB Sigli harus memperbaiki kinerjanya agar lebih baik lagi.
TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK (Suatu Penelitian Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Sabang) Cut Layli Maulidini; Nursiti Nursiti
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 4, No 4: November 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sebab-sebab terjadinya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di Pengadilan Negeri Sabang, pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman  yang relatif ringan kepada pelaku serta upaya penanggulangannya. Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan. Data primer didapatkan melalui studi lapangan yaitu anggapan dasar yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini. Hasil penelitian menjelaskan bahwa ada beberapa faktor penyebab terjadinya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di wilayah hukum PN Sabang yaitu pelaku kehilangan kontrol diri, perkembangan teknologi, pergaulan bebas, adanya kesempatan yang dimanfaatkan pelaku, pelaku tidak beragama serta kurangnya pendidikan dari orang tua pelaku. Pertimbangan hakim memberikan hukuman relatif ringan kepada pelaku dilihat dari modus operandi pelaku tidak menggunakan kekerasan, adanya surat permohonan perdamaian dari korban dan pelaku bertindak sopan di depan pengadilan. Upaya preventif yakni menanamkan nilai, pemahaman dan pendidikan positif kepada anak. Upaya represif yakni berupa penegakan hukum dengan cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan dengan menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Disarankan kepada orang tua, pemerintah, dan masyarakat untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana kekerasan seksual  terhadap anak dan kepada aparat hukum untuk memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku mengingat tindak pidana tersebut merupakan bentuk tindak pidana yang sangat membahayakan bagi masa depan anak serta pemenuhan hak korban berupa bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis serta pemberian restitusi.
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN DI PROVINSI ACEH TENTANG TINDAK PIDANA PENELANTARAN DALAM RUMAH TANGGA Noni Simpia; Nursiti Nursiti
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 4, No 1: Februari 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak – Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 9 Ayat (1) berbunyi “Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian dirinya wajib memberikan kehidupan, perawatan, pemeliharaan kepada orang tersebut”. Di Provinsi Aceh masih ditemukan perkara-perkara penelantaran dalam rumah tangga yang diajukan ke pengadilan. Penulisan artikel ini bertujuan untuk menjelaskan unsur-unsur tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga, pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif, dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dengan studi kepustakaan melalui serangkaian kegiatan membaca menelaah perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, buku-buku, jurnal hukum dan dokumen hukum yang berkaitan dengan penelitian. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa belum ada penjelasan yang cukup untuk memahami unsur-unsur tindak pidana penelantaran dalam rumah. Dari berbagai putusan pengadilan yang dianalisis ditemukan pemaknaan terhadap unsur-unsur tersebut yaitu; pertama: unsur barangsiapa; dalam unsur ini barang siapa dimaknai sebagai suami atau istri yang masih terikat atau sudah tidak lagi terikat dalam perkawinan tapi masih memiliki tanggungjawab dalam menafkahi pasangan dan anak-anaknya. Kedua: unsur tidak memberikan penghidupan yang dapat berupa tidak memberikan nafkah lahir, biaya pendidikan anak, tempat kediaman untuk keberlangsungan hidup para anggota keluarganya. Unsur Ketiga: tidak memberi perawatan, pemeliharaan yang dapat berupa tidak memberikan nafkah bathin, tidak lagi tinggal serumah dan tidak memelihara atau merawat pada saat sakit. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, selain pada hal memberatkan dan meringankan juga pada adanya perilaku yang tidak dikehendaki dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Sanksi yang diputuskan oleh hakim berupa pidana penjara dan kurungan dengan percobaan. Terdapat sanksi tambahan bagi pelaku anggota TNI berupa pemecatan. Disarankan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana Undang-Undang PKDRT khususnya tentang tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga. Kepada Hakim disarankan dalam menjatuhkan putusan haruslah mempertimbangkan Perma No. 3 Tahun 2017 dan dapat menambahkan sanksi ganti rugi untuk korban penelantaran dalam rumah tangga.Kata Kunci : Penelantaran, Rumah tangga, Pengadilan di Prvinsi Aceh, Tindak Pidana.                                                 Abstract – Article 9 paragraph (1) Act Number 23 of 2004 on The Elimination of Domestic Violence provide “Every person is prohibited from abandoning people in the scope of his/her household and under the law prevailing for assent or agreement must give life, care, maintenance to the person”. In Aceh Province it was found the domestic neglect that issue to the court. This thesis aims to explain the elements of neglect in the domestic crime, consideration of the judge in making the decisions and the sanctions against the perpetrators of criminal acts of neglect in the household. The method used in this research is normative juridical, with a qualitative approach. Data collection through library studied by a series of reading activities such as reviewing legislation, court decisions, books, law journals and legal documents relating to research. Based on the result of the study, it was found that there was not enough explanation to understand the elements of neglect in the household. From the various court decisions that were analyzed, it found the meaning of these elements, such as; first: the element of the person; in this element anyone is interpreted as a husband or wife who is still bound or no longer bound to marriage but still has responsibility in providing the partner and children. Second: the element does not provide a livelihood that can be in the form of not provide the physical need, the cost of children's education, a place of residence for the survival of the family members.Third element: do not provide care, maintenance may include not providing a conjugal needs, no longer live at the same home and do not maintain or take care of at the time of illness. The Judges' consideration in the making decisions, besides to burdensome and mitigating matters, is also on the existence of unwanted behavior and values that live in the community. The sanctions decided by the judge in the form of imprisonment and confinement to the experiments. There are additional sanctions for perpetrators of Indonesian Army members in the form of dismissals. It is recommend to the government to creat the subordinate legislation for The Elimination of  Domestic Violance Act especifically regarding neglect in the domestic. To the Judge, it is recommended that in making a decision, it should consider to Supreme Court Rule No. 3 of 2017 and can increase the compensation for victims of neglect in the domesticKeywords: Neglect, Household, Court in Aceh Province. Crime.
ANALISIS PENERAPAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDA ACEH NOMOR 331/PID.SUS/2019/PN BNA T. Raja Akmal; Nursiti Nursiti
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 5, No 3: Agustus 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak – Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tindakan Jaksa Penuntut Umum dalam pembuktian yang tidak menerapkan PERMA Nomor 3 tahun 2017, dan penjatuhan hukuman oleh hakim yang relatif ringan ditinjau dari PERMA Nomor 3 tahun 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya tindakan JPU dalam pembuktian yang tidak menerapkan PERMA Nomor 3 Tahun 2017, jaksa tidak memperhatikan fakta-fakta persidangan dan cenderung tidak berpihak pada hak hak korban. Dalam pemeriksaan perempuan berhadapan dengan hukum, hakim dilarang 4 (empat) hal sebagaimana dalam Pasal 5 PERMA Nomor 3 Tahun 2017 menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi, membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya, mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksual korban sebagai dasar pembebasan pelaku, dan mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender. Disarankan Majelis Hakim dalam mengambil keputusan harus menjelaskan alasan pemidanaan yang dijatuhkan atas dasar sifat perbuatan, keadaan yang melingkupi perbuatan, dan keadaan pribadi terdakwa. Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan seharusnya tidak hanya memutuskan berdasarkan kesalahan yang dilakukan terdakwa namun harus mengedepankan nilai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi terdakwa, korban dan masyarakat ke depannya.Kata Kunci : Analisis, Peraturan, Mahkamah Agung, Putusan.
Penerapan ‘Uqubat Terhadap Penyelenggara Dan Penyedia Fasilitas Untuk Jarimah Ikhtilath (Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Mahkamah Syar’iah Kota Banda Aceh) Putri Amalina; Nursiti Nursiti
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 3, No 3: Agustus 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Aceh memiliki keistimewaan menerapkan syari’at Islam, namun masih ada pihak-pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan fasilitas untuk Jarimah Ikhtilath. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat pada Pasal 25 ayat (2) berbunyi :“Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah Ikhtilath, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali dan/atau denda paling banyak 450 (empat ratus lima puluh gram) emas murni dan/atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan”.Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan bagaimana proses penegakan hukum serta hambatan apa saja yang dihadapi aparat penegak hukum terhadap penyelenggara dan penyedia tempat untuk Jarimah Ikhtilath.Metode penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris. Analisis permasalahan dilakukan dengan mengolah data sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang diperoleh  dengan mempelajari serta menelaah teori-teori, buku-buku, jurnal-jurnal, literatur-literatur hukum serta perundang-undangan (library research) dengan data primer yang diperoleh dari lapangan (field research) yang diperoleh dengan dengan proses mewawancarai secara langsung kepada responden dan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penegakan hukum tidak dapat dilakukan terhadap penyedia fasilitas untuk Jarimah Ikhtilath dikarenakan sulitnya mendapatkan alat bukti baik dari barang bukti maupun keterangan saksi, hal tersebut berhubungan dengan hambatan yang dihadapi aparat penegak hukum di lapangan yaitu sulitnya membuktikan unsur pasal ‘dengan sengaja’ pada pasal 25 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Jinayat. Sejak Qanun tersebut berlaku belum ada satupun penyedia tempat yang diproses secara hukum dan diterapkan ‘uqubat. Kurangnya sarana, prasarana serta kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pada polisi syari’at Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh, tidak adanya unit khusus terhadap pelanggaran syari’at pada Polresta Banda Aceh serta modus yang sangat rapi juga menjadi hambatan dalam proses penegakan hukum.Disarankan kepada pemerintah untuk lebih fokus serta berkomitmen penuh dalam melaksanakan penegakan syari’at Islam di kota Banda Aceh  dengan meningkatkan sarana dan prasarana serta kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang memadai pada polisi syari’at Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh, serta dibentuknya unit  khusus untuk pelanggar syari’at pada Polresta Banda Aceh sehingga dapat maksimal dalam menangani kasus pelanggaran syari’at yang terjadi. Disarankan pula untuk dilakukannya revisi unsur Pasal 25 ayat (2) Qanun Nomor 6 Tahun 2014.
STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH SYARI’AH NOMOR 05/JN/2016/MS.LGS TENTANG JARIMAH PEMERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH AYAH TERHADAP ANAK KANDUNGNYA Cut Intan Purnama Sari; Nursiti Nursiti
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 5, No 2: Mei 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak – Tujuan penulisan studi kasus ini adalah untuk menganalisis penerapan sistem peradilan pidana anak dalam proses pembuktian pidana pemerkosaan yang dilakukan pada Mahkamah Syar’iyah Langsa dan menganalisis putusan hakim dalam  menjatuhkan sanksi penjara terhadap Terdakwa pada Putusan Mahkamah Syar’iyah Nomor 05/JN/2016/MS.LGS. Analisis data studi kasus diperoleh dari penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara menelaah  buku-buku, naskah dan perundang-undangan serta dikaitkan dengan Putusan. Dalam pelaksanaan sidang yang melibatkan anak, hakim harus memenuhi asas perlindungan, keadilan, nondiskriminasi, kepentingan bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan pembinaan terhadap anak, dalam mengadili perkara tersebut hakim menerapkan prinsip-prinsip pada SPPA yaitu salah satu prinsip tersebut adalah tidak mempertemukan pelaku dan korban Jarimah pemerkosaan. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Putusan terhadap terdakwa berdasarkan pada keadilan bagi korban berdasarkan UUPA, hakim memberikan putusan dengan berlandaskan Qanun Jinayat, akan tetapi penerapan SPPA tetap diikutserkan sehingga dalam menjalani perkara tersebut, kepentingan korban yang merupakan anak di bawah umur  tetap dilindungi oleh hakim. Saran terhadap hakim dapat menimbang dan memutuskan putusan perkara dengan baik dan adil dari bukti kesaksian para pihak sebagai alat bukti yang sah demi kepentingan korban dikarenakan korban merupakan anak yang merupakan aset dalam pelaksanaan kasus tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban disarankan dalam menjalani persidangan.Kata Kunci : Studi kasus, Mahkamah Syar’iah, Jarimah, Pemerkosaan, Anak.
Penyitaan Barang Bukti Milik Pihak Ketiga Yang Dirampas Oleh Negara Dalam Tindak Pidana Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jantho Kabupaten Aceh Besar) Putra Pratama; Nursiti Nursiti
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 3, No 3: Agustus 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penulisan jurnal ilmiah ini adalah untuk menjelaskan pertimbangan Hakim dalam melakukan perampasan barang sitaan milik pihak ketiga oleh Negara dalam perkara narkotika dan menganalisis upaya hukum apa saja yang dimiliki oleh pemilik barang yang barangnya dirampas oleh negara. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari literatur dan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan penelitian lapangan digunakan untuk memperoleh data primer melalui wawancara dengan responden dan informan. Hasil penelitian menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab dirampasnya barang milik pihak ketiga adalah barang tersebut merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika, pihak ketiga dianggap juga ikut serta secara tidak langsung dalam melakukan tindak pidana narkotika tersebut, serta faktor barang tersebut belum sepenuhnya milik yang bersangkutan karena masih dalam status kredit atau leasing. Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang barangnya dirampas oleh negara adalah upaya keberatan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan. Disarankan kepada penyidik agar lebih berhati-hati dan profesional dalam melaksanakan tugas-tugas terkait dengan barang bukti milik pihak ketiga, sehingga kepemilikan atas barang tersebut dapat dibuktikan dengan jelas, khususnya bagi pihak ketiga yang berada di luar wilayah hukum Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar.