Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

Perbandingan Waktu Induksi, Perubahan Tekanan Darah, dan Pulih Sadar antara Total Intravenous Anesthesia Profopol Target Controlled Infusion dan Manual Controlled Infusion Vick Elmore Simanjuntak; Ezra Oktaliansah; Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 3 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1134.641 KB)

Abstract

Target controlled infusion (TCI) memberikan kemudahan bagi dokter anestesi dalam pelaksanaan total intravenous anesthesia (TIVA). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan waktu induksi, perubahan tekanan darah, dan waktu pulih sadar antara TIVA propofol TCI dan manual controlled infusion (MCI) pada ekstirpasi fibroadenoma payudara. Penelitian dilakukan terhadap 32 wanita (18–40 tahun), status fisik ASA I, yang menjalani operasi ekstirpasi fibroadenoma payudara di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Juli–September 2012, secara uji acak terkontrol buta tunggal dalam anestesi umum. Subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu 16 orang dilakukan anestesi umum dengan TIVA propofol TCI dan 16 orang dengan TIVA propofol MCI. Waktu induksi TCI (61,44 detik) lebih singkat daripada MCI (78,5 detik) dan perubahan tekanan darah pada TCI (15,6 %) lebih kecil daripada MCI (24,1%). Tidak berbeda bermakna (p>0,05) dalam hal waktu pulih sadar pada kedua kelompok (TCI 8,95 menit dan MCI 9,90 menit). Simpulan, TIVA propofol TCI memberikan waktu induksi yang lebih singkat dan perubahan tekanan darah yang lebih kecil bila dibandingkan dengan TIVA MCI, namun tidak didapatkan perbedaan dalam hal waktu pulih sadar.Kata kunci: Manual controlled infusion target controlled infusion, waktu induksi, waktu pulih sadar Comparison of Induction Time, Changes in Blood Pressure, and Emergence between Target Controlled Infusion and Manual Controlled Infusion of Propofol Total Intravenous AnesthesiaAbstractTarget controlled infusion (TCI) offers anesthesiologists an easier way to conduct total intravenous anesthesia (TIVA). This study was done to compare the induction time, blood pressure and recovery time between propofol TIVA with TCI and the manual controlled infusion (MCI) in patients undergoing breast fibroadenoma extirpation. This study was done on 32 women (aged 18–40 years old), ASA I physical status, who underwent breast fibroadenoma extirpation in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung within July–September 2012, by single blind randomized controlled trial in general anesthesia. Subjects were allocated into 2 groups, the TCI and MCI group, each consisted of 16 women. TCI’s induction time (61.44 seconds) were much shorter compared to MCI (78.5 seconds) and the blood pressure changes, TCI (15.6%) showed smaller changes compared to MCI (24.1%). There were no significant difference (p>0.05) in the recovery time in both groups (TCI 8.95 minutes and MCI 9.90 minutes). In conclusion, propofol TIVA with TCI showed a shorter induction time and less blood pressure changes compared to MCI, but there was no significant difference in recovery time. The adverse effect of postoperative nausea and vomitting did not occur in both groups.Keywords: blood pressure changes, induction time, manual controlled infusion, recovery time DOI: 10.15851/jap.v1n3.194
Perbandingan Pemberian Metoprolol Tartrat dengan Lidokain secara Intravena terhadap Perubahan Tekanan Darah dan Laju Nadi Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi Yovita Koswara; Erwin Pradian; Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (395.974 KB)

Abstract

Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal dapat menyebabkan tekanan darah dan laju nadi naik secara mendadak akibat rangsangan terhadap sistem simpatis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian metoprolol 5 mg intravena dibandingkan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB untuk mengurangi lonjakan hemodinamik akibat laringoskopi intubasi. Penelitian ini dilakukan secara uji klinis acak terkontrol buta ganda terhadap 40 pasien dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I−II yang menjalani operasi dengan teknik anestesi umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dari bulan Juli−Agustus 2013. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang diberikan metoprolol 5 mg intravena atau lidokain 1,5 mg/kgBB 3 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Data penelitian dianalisis dengan uji-t, dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna. Analisis statistik menunjukkan bahwa pada 2 menit dan 3 menit setelah intubasi antara kedua kelompok didapatkan perbedaan bermakna pada seluruh  parameter hemodinamik dengan nilai  p<0,05. Simpulan dari penelitian ini adalah metoprolol 5 mg secara intravena memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB dalam hal mengurangi lonjakan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi intubasi.Kata kunci: Intubasi, laringoskopi, lidokain, metoprololComparison of Intravenous Metoprolol Tartrate and Lidocaine on Changes of Blood Pressure and Heart Rate During Laryngoscopy and IntubationLaryngoscopy and endotracheal intubation associated with a sudden rise in blood pressure and pulse rate due to stimulation of sympathetic activity. The aim of this study was to compare effectiveness of metoprolol 5 mg intavenously and lidocaine 1.5 mg/kgBW to attenuate hemodynamic response evoked by laryngoscopy and intubation. This was an experimental randomized double blind controlled trial study was conducted in 40 patients with American Society of Anesthesiologist (ASA) physical status I or II who will have surgery with general anesthesia techniques in Hasan Sadikin Hospital Bandung from July−August 2013. Subjects were divided into two groups wich received metoprolol 5 mg intravenously or lidocaine 1.5 mg/kgBW 3 minutes before laryngoscopy and intubation. All data were analysed using t-test, with  p value < 0.05 considered significant. Statistical analysis showed that on second and third minutes after intubation and laryngoscopy showed a significant differences on hemodynamic parameter between two groups with  p value <0.05. The conclusions of this study are intravenous 5 mg of metoprolol found to be better than lidocaine 1.5 mg/kgBW to attenuate hemodynamic response evoked by laryngoscopy and  intubation.Key words: Intubation, laryngoscopy, lidocaine, metoprolol DOI: 10.15851/jap.v2n2.309
Perbandingan Efek Pemberian Analgesia Pre-emtif Parecoxib dengan Parasetamol terhadap Nyeri Pascaoperasi Radikal Mastektomi Menggunakan Numeric Rating Scale Roni D. Kartapraja; Iwan Fuadi; Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (488.994 KB)

Abstract

Mastektomi merupakan prosedur operasi pengangkatan kanker payudara yang dapat menimbulkan nyeri akut pascaoperasi, bahkan pada 20–30% pasien berlanjut menjadi sindrom nyeri kronik pascamastektomi sehingga diperlukan penatalaksanaan nyeri secara adekuat agar pasien tidak mengalami episode nyeri yang dapat mengganggu produktivitas. Tujuan penelitian ini membandingkan efek pemberian analgesia pre-emtif parecoxib dengan parasetamol dalam menurunkan nyeri pascaoperasi radikal mastektomi. Penelitian dilakukan secara prospektif single blind randomized controlled trial terhadap 30 pasien dewasa yang menjalani operasi radikal mastektomi di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode September–November 2014. Subjek dibagi dalam dua kelompok, analgesia pre-emtif parasetamol 1 g dan parecoxib 40 mg diberikan 30 menit sebelum sayatan pertama dilakukan. Setelah operasi selesai dicatat skala nyeri berdasarkan numeric rating scale (NRS) hingga 12 jam pascaoperasi di ruang perawatan. Analisis data menggunakan uji-t dan diolah dengan program statistical package for social science (SPSS) versi 21.0 for windows. Kelompok analgesia pre-emtif parecoxib 40 mg lebih lama membutuhkan analgetik pertolongan dan menurunkan NRS lebih rendah dibanding dengan kelompok analgesia preemtif parasetamol 1 g (p<0,05). Simpulan, parecoxib 40 mg lebih baik dibanding dengan analgesia pre-emtif parasetamol 1 g dalam menurunkan nyeri pascaoperasi radikal mastektomi berdasarkan NRS.Kata kunci: Analgesia pre-emtif, numeric rating scale, nyeri pascaoperasi, parasetamol, parecoxib, radikal mastektomiComparative Effect of Preemptive Analgesia Parecoxib with Paracetamol against Postoperative Radical Mastectomy Pain Using Numeric Rating ScaleMastectomy is a breast cancer surgery procedure that can lead to acute postoperative pain with 20–30% of patients may progress to postmastectomy chronic pain syndrome (PMPS). Therefore, it is necessary provide an adequate pain management so patients will not experience episodes of pain that can disrupt their productivity. The purpose of this study was to compare the effect of preemptive analgesia parecoxib with paracetamol in reducing radical mastectomy postoperative pain.The study was a prospective single blinded randomized controlled clinical trials on 30 adult patients who underwent radical mastectomy surgery in Dr. Hasan Sadikin General Hospital between September and November 2014. Subjects were divided randomly into two groups, 1 gram paracetamol preemptive analgesia and 40 miligram parecoxib which given 30 minutes before the first incision has been made. After the surgery was completed, we record the pain scale using the numeric rating scale (NRS). The data were recorded starting from the recovery room to 12 hours postoperative in the ward. Statistical analysis was performed using the t-test with statistical package for social science (SPSS) version 21.0 for Windows software. The results showed that the 40 miligram parecoxib preemptive analgesia group required longer rescue analgesics and lowerNRS than 1 gram paracetamol preemptive analgesia (p<0.05). In conclusion, 40 miligram parecoxib preemptive analgesia is better than 1 gram paracetamol preemptive analgesia in reducing radical mastectomy postoperative pain according to numeric rating scale.Key words: Numeric rating scale, paracetamol, parecoxib, postoperative pain, preemptive analgesia, radical mastectomy DOI: 10.15851/jap.v4n2.825
Perbandingan Bupivakain Infiltrasi Subkutis dengan Kombinasi Bupivakain Intramuskular Rectus Abdominis dan Subkutis terhadap Mulai Pemberian dan Kebutuhan Analgetik Rescue Pascaoperasi Laparatomi Ginekologi Said Badrul Falah; Ezra Oktaliansah; Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (419.802 KB) | DOI: 10.15851/jap.v4n1.747

Abstract

Penanganan nyeri pascaoperatif kurang baik akan membuat pasien trauma terhadap pembedahan dan menimbulkan komplikasi lain. Penelitian ini bertujuan membandingkan pemberian bupivakain secara kombinasi intramuskular (IMSK) dan subkutis dengan pemberian subkutis saja (SK) terhadap mulai pemberian dan kebutuhan analgetik rescue pascaoperasi laparatomi ginekologi. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung bulan September–Desember 2014 terhadap 46 wanita (18–60 tahun) status fisik American Society of Anesthesiology (ASA) I–II yang menjalani pembedahan laparatomi ginekologi secara uji acak terkontrol buta ganda dalam anestesi umum. Pasien dibagi menjadi dua, yaitu 23 orang menerima bupivakain kombinasi pada otot rectus abdominis dan subkutis dan 23 orang menerima bupivakain infiltrasi subkutis saja. Penilaian skala nyeri menggunakan nilai numeric rating scale dan dilakukan pencatatan pada jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 12, dan 24 pascaoperasi. Pemberian analgetik rescue dilakukan bila nilai NRS ≥4. Data dianalisis dengan uji-t, chi-kuadrat, dan Mann-Whitney. Pada penelitian ini ditemukan waktu mulai pemberian analgetik rescue pada kelompok IMSK lebih lama (p<0,01) dan kebutuhan analgetik tambahan dalam 24 jam lebih sedikit (p<0,01) dibanding dengan kelompok SK. Simpulan, pemberian bupivakain secara kombinasi intramuskular dan subkutis lebih baik dibanding dengan pemberian subkutis saja terhadap waktu mulai pemberian dan kebutuhan analgetik rescue dalam 24 jam pascaoperasi laparatomi ginekologi.Kata kunci: Bupivakain, numeric rating scale, otot rectus abdominisComparison between Subcutis Bupivacaine Infiltration and Combined Intramuscular Rectus Abdominal and Subcutis Bupivacaine to on Total Need of Rescue Analgesics after Gynecologic LaparatomyAbstractInappropriate management of post-operative pain will cause trauma to the patient regarding the surgical experience and may possibly cause other complications. This study aimed to compare the administration of intramuscular and subcutis bupivacaine to subcutis only bupivacaine on the start and need for rescue analgesics. This study was conducted in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during the period of September–December 2014 on 46 females aged 18–60 years old with American Society of Anesthesiology (ASA) I–II who underwent gynecological laparatomy under general anesthesia. This was a randomized controlled study. Patients were dividedinto two groups of 23 patients with the first group received combination infiltration and the other received only subcutis administration. The pain scale used was the numerical rating scale measured -1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 12, and 24 hours after surgery. Rescue analgesics was given if NRS was more than 4. Data were analyzed using t-test, chi-square test, and Mann-Whitney test. Observations were performed on time span until there was a need for analgesics for the first time and additional analgesic needed in 24 hours. In this study, the time span until the first dose analgesics was needed was longer and the amount of required analgesics during 24 hours was lower in the combination group (p<0.01). In conclusion, the combination strategy has a better outcome regarding the time span to the start of rescue analgetic and 24 hours analgesic needs.Key words: Bupivacaine, numeric rating scale, abdominal recti muscle 
Gambaran Pola Kuman pada Bilah Laringoskop di Ruang Operasi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Edwin Haposan Martua; - Suwarman; Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 3 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (544.798 KB)

Abstract

Kebiasaan cara membersihkan bilah laringoskop dapat menyebabkan komplikasi karena potensial kontak dengan mikro-organisme patogen dan dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran kuman pada bilah laringoskop dengan metode pembersihan yang dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif observasional dengan cara melakukan pemeriksaan kultur kuman pada 19 bilah laringoskop sebelum digunakan dan yang sudah dibersihkan sesudah tindakan laringoskopi, serta 14 sumber air untuk membersihkan bilah laringoskop di ruang operasi RSHS Bandung pada tanggal Desember 2014–Januari 2015. Hasil penelitian ini ditemukan gambaran pola kuman komensal pada bilah laringoskop yang digunakan sebelum tindakan laringoskopi, yaitu Bacillus spp. 10 dari 19. Ditemukan gambaran pola kuman patogen pada bilah laringoskop yang sudah dibersihkan setelah tindakan laringoskopi di ruang operasi, yaitu Candida non albicans 1 dari 19, Acinobacter baumanii dan Staphylococcus haemolyticus 1 dari 19, serta Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas aeruginosa 1 dari 19. Simpulan, ditemukan kuman patogen pada bilah laringoskop yang sudah dibersihkan sesudah tindakan laringoskopi dan air yang digunakan untuk membersihkan bilah laringoskop di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung.Kata kunci: Bilah laringoskop, infeksi nosokomial, laringoskopi, pola kumanBacterial Mapping of Laryngoscope Blade at the Operating Theater of Dr. Hasan Sadikin General Hospital BandungAbstractThe habit of cleaning laryngoscope blades can cause complications due to potential contact with patogenic microorganisms that may cause nosocomial infections. The aim this study was to determine the microbial patterns on the laryngoscope blades cleaned using the cleaning methods applied in Dr. Hasan Sadikin General Hospital (RSHS) Bandung. This study was conducted using the descriptive observational method by taking samples of bacterial culture from 19 laryngoscope blades before laryngoscopy procedures and 19 cleaned laryngoscope after laryngoscopy, as well as from the 14 water sources that were used for cleaning laryngoscope blades in the operating theaters of RSHS Bandung in December 2014–January 2015. The results of this study revealed a commensal microbial pattern of Bacillus spp. on 10 of 19 laryngoscope blades before they were used in laryngoscopy precedures. It was revealed that among the laryngoscopes blade that had been cleaned after laryngoscopy in the operating room. 1 of 19 was found to have a non-Candida albicans pattern, 1 of 19 had Acinobacter baumannii and Staphylococcus haemolyticus pattern, and 1 of 19 had Klebsiella pneumoniae and Pseudomonas aeruginosa pattern. Hence, it can be concluded that pathogenic germs are found in laryngoscope bplades that have been cleaded after laryngoscopy and water that is used to clean them in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung.Key words: Bacterial mapping, direct laryngoscopy, laryngoscope blades, nosocomial infections DOI: 10.15851/jap.v4n3.899
Perioperative Goals Directed Therapy Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

EDITORIALAkhir-akhir ini keselamatan pasien/ patient safety merupakan pokok pembicaraan yang hangat dalam berbagai literatur dan acara – acara ilmiah, hal ini dikarenakan keselamatan pasien merupakan target utama outcome dari suatu pelayanan medis. Keselamatan pasien / patient safety merupakan parameter dari kualitas pelayanan medis yang diberikan. Pada penatalaksanaan pasien perioperatif, patient safety juga merupakan suatu permasalahan penting yang mendapat perhatian dari dokter – dokter yang terlibat.Jumlah tindakan anestesi diseluruh dunia setiap tahunnya dapat mencapai 240 juta tindakan, 10% tindakan tersebut dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi dengan angka mortalitas  mencapai 80%. Jumlah pasien dengan risiko moderat mencapai 40%, dan jumlah komplikasi minor mencapai 40% dimana komplikasi minor ini akan meningkatkan biaya dari suatu pembedahan. Sebagian besar komplikasi ini berhubungan dengan tindakan resusitasi yang tidak adekuat dan adanya hipoperfusi jaringan.  Berdasarkan fakta tersebut, monitoring terhadap keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menjadi bagian yang penting pada periode perioperatif.Untuk menjamin kecukupan O2 jaringan terdapat 2 faktor penting yang harus diperhatikan, yaitu: 1. tekanan perfusi yang adekuat yang akan menjamin aliran darah pada sistim kapiler (ditentukan oleh tekanan darah / Mean Arterial Pressure (MAP)),  2.Curah jantung yang adekuat sehingga akan menjamin kecukupan Delivery O2 ( DO2 = Cardiac Output x Hb x 1,3 x SpO2). Penerapan strategi preemptif dengan mempertimbangkan faktor – faktor tersebut yang merupakan bagian dari monitoring hemodinamik diduga dapat menurunkan angka mortalitas perioperatif.Survival jangka panjang dari pasien – pasien perioperatif dipengaruhi oleh usia dan komplikasi yang terjadi saat pembedahan,  oleh karena itu  short term goal directed therapy pada periode perioperatif dapat menurunkan angka mortalitas jangka panjang.Pada monitoring terhadap keseimbangan suplai dan kebutuhan O2, terdapat 2 parameter penting, yaitu: cardiac output (CO) dan MAP. MAP ditentukan oleh rumus sebagai berikut: MAP= ( CO x Systemic Vascular Resistance ) + (right arterial pressure – Central Venous Pressure), kalau diperhatikan dari rumus diatas, komponen CO adalah Stroke Volume (SV) x laju nadi, dan SV sendiri sangat dipengaruhi oleh volume intravaskuler yang optimal. Akan tetapi , volume intravaskuler berlebihan juga akan menyebabkan penurunan CO akibat dari terganggunya kontraktilitas. Bedasarkan kenyataan diatas tampaklah bahwa terapi cairan perioperatif memegang peranan penting sekali.Prinsip umum untuk meningkatkan percepatan pemulihan pascabedah dan mencegah komplikasi pascabedah, antara lain adalah dengan melakukan persiapan preoperatif berupa hidrasi adekuat, pemberian minuman bening ( clear fluid ) yang mengandung gula sebelum pembedahan, dan mencegah pemberian obat pencahar.Pada periode perioperatif diusahakan menggunakan teknologi yang tepat untuk pemberian cairan sehingga dapat digunakan individualisasi dari goal directed fluid therapy. Hindari pemberian cairan kristaloid yang berlebihan untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan dan natrium, jumlah cairan rumatan sebaiknya tidak melebihi 2 cc/ kgBB/ jam (termasuk obat-obatan) . Penggunaan cairan Ringer laktat dapat mencegah asidosis hiperkloremik.Pada periode pascabedah harus diusahakan pemberian cairan yang cukup, tidak berlebihan tetapi juga tidak kurang. Perhitungkan jumlah cairan rumatan dan cairan pengganti insensible loss secukupnya, dan usahakan keduanya dapat diberikan peroral. Apabila diperlukan resusitasi cairan maka dapat digunakan Goal Directed Fluid Therapy. Terdapat suatu strategi  perawatan pascabedah yang dinamakan Enhance recovery ( ER ) yang melakukan strategi manajemen cairan dengan target antara lain: suhu sentral normal, tidak ada tanda-tanda hipovolemia, hipoperfusi jaringan, dan hipoksia, tidak ada tanda-tanda hipervolemia atau kelebihan cairan, Hb > 7 gr%, tidak didapatkan koagulopati, dan penggunaan vasopresor minimal.Komplikasi perioperatif berhubungan dengan usia lanjut, status ASA yang tinggi, perdarahan, pembedahan yang lama, hipovolemia  dan hipoperfusi ( asidosis metabolik, kadar laktat darah > 2 mmol/l, saturasi vena sentral < 70%), penggunaan vasopresor dosis tinggi, pemberian cairan total > 3,5 liter, balans cairan positif mencapai > 2 liter pada hari pertama pascabedah. Bila didapatkan faktor-faktor tersebut diatas, merupakan salah satu indikator kemungkinan diperlukan perawatan ICU atau HCU pascabedah.ER dapat dicapai dengan individualisasi dari goal directed fluid therapy, tujuannya adalah mencegah hipovolemia dan hipervolemia. Indikator hipovolemia sentral antara lain;  kehilangan darah/ cairan, takikardia, hipotensi, perifer dingin, CVP rendah, CO rendah, stroke volume rendah, adanya pulse pressure variation yang besar saat ventilasi mekanik, preload responsiveness dan ScvO2 yang rendah, serta peningkatan kadar laktat. Hipovolemia sentral biasanya dapat diperbaiki dengan pemberian terapi cairan.Penggunaan Intraoperative fluid management technologies (dengan berbagai strategi) dianjurkan pada kondisi-kondisi sebagai berikut: pembedahan  besar dengan mortality rate hari ke 30 diduga > 1%, pembedahan besar dengan kemungkinan perdarahan > 500 cc, pembedahan intra abdominal, pembedahan intermediate (prediksi mortalitas hari ke 30 > 0,5%) pada pasien2 risiko tinggi (usia > 80 thn, riwayat hipertrofi ventrikel kiri, infark miokard, cerebro vascular accident, dan penyakit vaskuler arterial perifer), kehilangan darah yang tidak terduga dan memerlukan > 2 liter cairan untuk resusitasinya, pasien dengan gejala hipovolemia dan hipoperfusi yang persisten. Berdasarkan panduan diatas maka monitoring perioperatif dapat dilakukan dengan lebih terarah, efektif, dan efisien.  DOI: 10.15851/jap.v1n1.153
Perbandingan Efektivitas Anestesi Spinal Menggunakan Bupivakain Isobarik dengan Bupivakain Hiperbarik pada Pasien yang Menjalani Operasi Abdomen Bagian Bawah Jeffry F. Longdong; Ike Sri Redjeki; A. Himendra Wargahadibrata
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (390.881 KB)

Abstract

Penyebaran obat anestesi lokal pada anestesi spinal sangat ditentukan oleh barisitas obat anestesi lokal dan posisi pasien. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan anestesi spinal menggunakan bupivakain 0,5% isobarik hiperbarik terhadap lama kerja blokade sensoris dan tinggi blokade sensoris pada operasi abdomen bagian bawah. Penelitian eksperimental secara randomized control trial (RCT) pada 40 pasien dengan status fisik ASA I–II, usia 17–60 tahun yang menjalani operasi abdomen bagian bawah di ruang operasi bedah sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Januari sampai April 2011. Pasien dibagi dalam kelompok isobarik dan kelompok hiperbarik. Tinggi blokade sensoris, lama kerja blokade sensoris dicatat dan dilakukan uji statistik dengan student t-test, chi-kuadrat. Dari hasil penelitian didapatkan lama kerja blokade sensoris pada kelompok isobarik lebih panjang dibandingkan dengan kelompok hiperbarik (242,4 menit SB 28,04 vs 132,95 menit SB 11,33) dengan perbedaan yang bermakna (p<0,001). Tinggi blokade sensoris pada kelompok isobarik lebih rendah dibandingkan dengan bupivakain kelompok hiperbarik. Simpulan dari penelitian ini menunjukkan bupivakain isobarik mempunyai penyebaran lebih rendah dan lama kerja lebih panjang. Kata kunci: Abdomen bagian bawah, analgesia spinal, barisitas ,bupivakain, obat anestesi lokal, teknik anestesiEffectivity of Spinal Anaesthesia Using Isobaric Bupivacaine and Hyperbaric Bupivacaine on Patients Undergoing Lower Abdominal SurgeryDistribution of local anesthetics in spinal anesthesia is most determined by baricity and position. The study was conducted to explore the comparison of effect between spinal anesthesia technique using 0.5% isobaric bupivacaine with 0.5% hyperbaric bupivacaine on duration and level of sensory blocking action in lower abdominal surgery. This experimental study was conducted using randomized control trial (RCT)in 40 patients with physical ASA I–II status, aged 17–60 years, who underwent lower abdominal surgery in central operating theatre Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung within January to April 2011. The patients were divided into two groups, the hyperbaric group and the isobaric group. The recording included sensory blocking level, sensory blocking duration, and statistical analysis using Student t-test and chi-square test. . Sensory blocking levels in isobaric group were lower than those in hyperbaric group. The conlusion of the study indicates that isobaric bupivacaine has lesser distribution and longer duration of action.Key words: Anesthesia technique, baricity, bupivacaine, local anesthetics, lower abdomen, spinal analgesia  DOI: 10.15851/jap.v1n2.117
Waktu Pulih Sadar pada Pasien Pediatrik yang Menjalani Anestesi Umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Defri Aryu Dinata; Iwan Fuadi; Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1348.653 KB)

Abstract

Salah satu komplikasi utama pasca-anestesia pada pediatrik adalah keterlambatan pulih sadar. Penyebab keterlambatan pulih sadar pasca-anestesia adalah efek residual dari obat anestetik, sedatif, analgesik, durasi anestesi, dan hipotermia. Penelitian ini bertujuan mengetahui waktu pulih sadar pada pasien pediatrik yang menjalani anestesia umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan metode penelitian adalah observasional prospektif. Penelitian dilakukan pada bulan Mei–Agustus 2014 dengan sampel sebanyak 456 pasien pediatrik yang menjalani anestesia umum terdiri atas 3,9% neonatus, 24,6% infant, 17,3% batita, dan 54,2% anak. Parameter yang dicatat pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, berat badan, jenis anestesia inhalasi, dosis fentanil, durasi anestesia, dan suhu inti tubuh pasca-anestesia. Data penelitian dianalisis secara deskriptif dalam ukuran jumlah dan persentase. Hasil penelitian ini adalah angka kejadian keterlambatan pulih sadar pada pasien pediatrik sebanyak 96 kasus (neonatus 16 kasus, infant 51 kasus, batita 12 kasus, dan anak 12 kasus). Faktor yang memengaruhi waktu pulih sadar pada neonatus adalah hipotermia, pada infant adalah dosis fentanil >3 mg/kgBB, pada durasi anestesia >210 menit dan hipotermia, pada batita adalah hipotermia, dan pada anak adalah dosis fentanil >5 µg/kgBB dan hipotermia.  Simpulan, hipotermia merupakan faktor penyebab keterlambatan waktu pulih sadar pada semua kelompok usia.Kata kunci: Pasca-anestesi, pediatrik, waktu pulih sadar Recovery Time in Pediatric Patients Undergoing General Anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung    The most common causes of prolong awakening are residual effects of drugs either anesthetics, sedatives or analgesics, length of anesthesia, and hypothermia. This study aimed to determine the recovery time to consciousness in pediatric patients undergoing general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was an observational prospective study conducted in May until August 2014 on 456 patients consisting of 3.9% neonates, 24.6% infants, 17.3% toddlers and 54.2% children. Parameters recorded in this study were age, sex, weight, type of inhalation anesthetics, fentanyl dose, duration of anesthesia, and post-anesthesia temperature. Data were analyzed descriptively in number and percentage. The results showed that the average recovery time to consciousness in  neonatal patients was 50 minutes 40 seconds in which 88.3% of the neonatal age group suffered from post anesthesia hypothermia (core body temperature below 36⁰C). Factors that influenced recovery time in infants were fentanyl dose above 3 µg/kgBW, duration of anesthesia over 210 minutes, and hypothermia. The factors that caused delayed recovery were hypothermia in toddlers group and fentanyl doses above 5 µg/kgBW and hypothermia in children. Incidence of prolong awakening in pediatric patients undergoing general anesthesia in this study was 96 cases, consisting of 16 cases of neonates, 51 cases of infants, 12 cases of toddlers, and 17 cases of  children. In conclusion, the common factor causing delay in recovery in all age groups is hypothermia.Key words: Post-anesthesia, pediatric, recovery time DOI: 10.15851/jap.v3n2.576
Korelasi antara Panjang Garis Sternoakromion dan Titik Penyuntikan Blokade Pleksus Brakialis pada Anestesi Vertical Infraclavicular Block Menggunakan Pencitraan Ultrasonografi pada Pria Dewasa Dedi Fitri Yadi; Ike Sri Redjeki; Tatang Bisri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.913 KB) | DOI: 10.15851/jap.v4n1.739

Abstract

Anestesi regional untuk operasi di daerah lengan bawah dapat dilakukan blokade pleksus brakialis vertikal infraklavikula. Penelitian ini bertujuan menemukan korelasi antara panjang garis sternoakromion dan letak penyuntikan menggunakan pencitraan ultrasonografi untuk vertical infraclavicular block (VIB) pada pria dewasa. Penelitian potong lintang dengan mengukur titik tengah garis antara fosa jugularis dan akromion pada 48 pria dewasa. Pencitraan ultrasonografi dilakukan menggunakan probe linear untuk menentukan letak penyuntikan. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Oktober 2011–Januari 2012. Hasil pengukuran didapatkan panjang garis sternoakromion kanan rata-rata 18,35±1,16 cm. dan kiri 18,39±1,22 cm. Titik tengah sternoakromion kanan rata-rata 9,18±0,59 cm dan kiri 9,19±0,61 cm. Jarak letak titik penyuntikan menggunakan ultrasonografi kanan 9,41±0,7 cm dan kiri 9,46±0,72. Terdapat korelasi positif (r kanan=0,874 dan r kiri=0,862) antara garis sternoakromion dan jarak letak titik penyuntikan menggunakan pencitraan ultrasonografi.Kata kunci: Blokade vertikal infraklavikular, letak penyuntikan blokade infraklavikular, pencitraan ultrasonografi Correlation between the Sternoacromion Line Length and Plexus Brachialis Vertical Infraclavicular Block Injection Site Using Ultrasonography Scan on Adult MalesAbstractSurgery on the lower part of the arm can be managed by brachial plexus vertical infraclavicular block. Needle placement for vertical infraclavicular block is not always at the midpoint of the sternoacromion line. The aim of this study was to find the correlation between sternoacromion length and needle placement using ultrasond scan for vertical infraclavicular block on adults males. This was a cross sectional study measuring the midlle point of sternoacromion line on 48 adult male volunteers whom never had any injury or operation on shoulder areas. Linear probe ultrasound was used to determine the needle placement. This study was conducted in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung within the period of October 2011–January 2012. Pearson correlation test and linear regression were used to analyze the data. Result of this study showed an average right strernoacromion length of 18.35±1.16 cm, an average left sternoacromion leght of 18.39±1.22 cm, an average midpoint right sternoacromion of 9.18±0.59 cm, and an average midmpoint left sternoacromion of 9.19±0.61. The average ultrasound right point was 9.41 cm and 9.46 cm for the left point. Hence, thereare significant correlations (r right=0.874, r left=0.862) between sternoacromion length and ultrasound injection point for vertical infraclavicular block.Key words: Injection site for infraclavicular block, ultrasound scan, vertical infraclavicular block DOI: 10.15851/jap.v4n1.739
Korelasi Antara Kadar Laktat, Base Deficit Dan Saturasi Vena Sentral Dengan Skor Multiple Organ Dysfunction Hari Ke-3 Pada Pasien Pascabedah Dengan Hemodinamik Stabil Di Ruang Perawatan Intensif Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Ruby Satria Nugraha; Ike Sri Redjeki; Tatang Bisri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hingga kini belum ada indikator yang untuk menilai perfusi global yang adekuat. Pasien dengan hemodinamik stabil masih mungkin terjadi perubahan kadar laktat, base deficit, dan saturasi vena sentral, yang dapat digunakan untuk menilai adanya suatu hipoksia jaringan. Penelitian ini bertujuan mencari korelasi yang paling baik diantara ketiga parameter tersebut terhadap skor MOD hari ke-3 pada pasien pascabedah dengan hemodinamik stabil yang dirawat di Ruang Perawatan Intensif (RPI). Penelitian ini suatu penelitian observasional dengan desain potong lintang. Penelitian ini dilakukan pada 50 orang pasien risiko tinggi yang dirawat di RPI, laki-laki dan wanita, usia 18 – 65 tahun yang telah menjalani laparotomi eksplorasi dengan anestesi umum. Semua pasien dilakukan pemeriksaan kadar laktat darah, gas darah arterial dan gas darah vena sentral ketika pasien masuk, dan jam  ke-24. Selanjutnya pada hari ke-3 dilakukan skoring MOD yang mencakup fungsi neurologis, kardiovaskular, respirasi, ginjal, hematologis, dan hepar. Pada penelitian ini didapatkan koefisien korelasi rank Spearman antara laktat 1 dan skor MOD hari ke-3 adalah 0,579 dengan p<0,001,  base deficit 1 dengan skor MOD hari ke-3 adalah 0,811 dengan p<0,001,  sedangkan yang tidak bermakna adalah antara saturasi vena sentral 1 dengan skor MOD hari ke-3, dan antara saturasi vena sentral 2 dengan skor MOD hari ke-3, dengan koefisien koreasi rank Spearman masing-masing adalah 0,328 dan 0,260. Koefisien korelasi yang baik terdapat pada laktat dan base deficit dengan skor MOD hari ke-3, sedangkan saturasi vena sentral memiliki koefisien korelasi yang lemah. Laktat dan base deficit dapat digunakan untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan perfusi jaringan pada pasien risiko tinggi pascabedah dengan hemodinamik stabil.Kata kunci: laktat, base deficit, saturasi vena sentral, hipoksia jaringan, disfungsi organ.Correlation Between Lactate Level, Base Deficit, And Central Vein Saturation With Third-Day Multiple Organ Dysfunction Score On Haemodynamically Stable Postoperative Patient In Intensive Care Unit  Dr. Hasan Sadikin Bandung HospitalUntil now, there is no precise indicator to evaluate adequate global perfussion yet. On haemodynamically stable patient is possible to experience change in lactate value, base deficit, and central vein saturation, which can be used to assess tissue hypoxia. The aim of this study is to find the best parameter among those three parameters toward day-third-MOD (Multiple organ dysfunction) score on hemodinamically stable post surgery patients whose been hospitalized in ICU (Intensive care unit).This is a cross-sectional observational study. The subject of this study were 50 high-risk patients whose hospitalized in RPI, male and female between 18 – 65 years old who had been done explorative laparatomy procedures under general anesthesia. Blood lactate, arterial blood gas analysis and central vein blood gas analysis had been analysis on all subjects on admissions and on the 24th hours. On the third day, MOD score that covered neurologic, cardiovascular, respiration, renal, hematologic and liver function had been assessed. This study yielded rank Spearmen coeffisien correlation between blood lactate 1 and day-third-MOD score 0,572 (p<0,001), and base deficit 1 and day-third-MOD score was 0,811 (p<0,001). The value between central vein saturation  1 and day-third-MOD score, and central vein saturation 2 and day-third-MOD score were unsignificant, with rank Spearmen coeffisien correlation were 0,328 and 0,260. Good coeffisien correlation was found between blood lactate and base deficit with MOD score on third day, whilst central vein saturation had  weak coeffisien correlation. Blood lactate level and base deficit can be used to evaluate early tissue perfusion disturbances on hemodinamically stable high risk post surgery patients.Key words: lactate, base deficit, central vein saturation, tissue hypoxia, MOD score. DOI: 10.15851/jap.v1n1.154