This Author published in this journals
All Journal EGALITA Al-Ulum
Mohammad Hasan Basri
Postgraduate Student of Temple University, USA

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

ISLAMIC FUNDAMENTALISM AS A SIGNIFIER OF THE SIXTH PHASE OF GLOBALIZATION Basri, Mohammad Hasan
Al-Ulum Vol 11, No 2 (2011): Al-Ulum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Artikel ini mengkaji fundamentalisme Islam melalui perspektif historis pada globalisasi yang ditawarkan oleh Roland Robertson, teori tentang fundamentalisme Islam dan hubungannya dengan keterlibatan pemuda di Indonesia. Secara teori fundamentalisme Islam dibagi menajdi dua: Pertama adalah “kesinambungan dan perubahan”, perkembangan fundamentalisme dalam Islam adalah baik kontinuitas dan juga perubahan dalam sejarah Islam. Teori kedua adalah “tantangan dan kesempatan”. Asumsi dasar dari teori ini adalah bahwa krisis di negara muslim modern sosial, politik, dan budaya memperkuat gerakan fundamentalisme Islam. Maju teknologi dalam komunikasi, informasi, dan jaringan transportasi negara di seluruh dunia; berbagai acara, kejadian, dan fenomena akan menyebar dengan cepat dari satu negara ke negara lain. ---------------------This article examines Islamic fundamentalism through a historical perspective on globalization offered by Roland Robertson, the theory of Islamic fundamentalism and its relation to the involvement of youth in Indonesia. In theory, Islamic fundamentalism is divided into two classifications. First is the "continuity and change", the development of fundamentalism in Islam is both continuity and change in Islamic history. The second theory is the "challenges and opportunities". The basic assumption of this theory is that the crisis in the modern Muslim world, accumulation social, political, and cultural are consider the main factors influence Islamic fundamentalism. Advanced technology in communications, information, and the countrys transportation networks around the world; variety of shows, events, and the phenomenon will spread rapidly from one country to another. 
INTERRELIGIOUS DIALOGUE AND THE PROBLEM OF TRUTH CLAIMS Basri, Mohammad Hasan
Al-Ulum Vol 11, No 1 (2011): Al-Ulum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (116.389 KB)

Abstract

Artikel ini mengeksplorasi mengapa klaim kebenaran muncul dan menjadi masalah serius di antara agama-agama, dan bagaimana mengatasinya berikutnya terutama untuk membangun dialog antaragama di era pluralisme. Ia mencoba untuk meneliti masalah klaim kebenaran dan bagaimana menyelesaikannya dalam rangka dialog. Makalah ini dimaksudkan untuk mewujudkan langkah-langkah mengatasi masalah klaim kebenaran di antara agama-agama dan berusaha untuk saling pengertian untuk membangun pandangan pluralistik dalam bingkai dialog antaragama. Untuk mengatasi masalah klaim kebenaran dalam dialog agama, ada tiga langkah yang dapat dilakukan yaitu: pertama, pandangan eksklusif. Kedua pandangan, inklusif. Langkah terakhir adalah pandangan pluralistik. ---------------This article explores why the truth claims emerge and become a serious problem among religions, and how to handle it next to build inter-religious dialogue, especially in the era of pluralism. He tried to examine the issue of truth claims and how to solve them within the framework of dialogue. This paper is intended to implement concrete steps to overcome the problem of truth claims among religions and strive for mutual understanding to build a pluralistic view of interreligious dialogue in the frame. To overcome the problem of truth claims in religion dialogue, there are three steps that can be done: first, an exclusive view. Both views, inclusive. The final step is a pluralistic outlook.
FEMININE DIMENSION IN ISLAM AND THE ERA OF MASCULINIZATION TOWARD NATURE Basri, Mohammad Hasan
EGALITA EGALITA (Vol 6, No 1
Publisher : Pusat Studi Gender UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (786.806 KB) | DOI: 10.18860/egalita.v0i0.2121

Abstract

The development process which is running in several countries tends to ignore the aspect of natural balance. It leads to undesirable impact toward natural -ecosystem sustainability process and human beings’ life. In Vandana Shiva language, this recent development process is “masculinization” process toward nature. Nature which is symbolized as mother earth is exploited destructively causing natural destruction and ecological crisis. In this paper, writer tries to find the root of problemform eco-feminism perspective through several theories on human and nature relationship related to feminism concept in Islam. There are two main reasons for recent exploitative and destructive development towards nature. First, human beings act as single authoritarian and single entity. Second, in Islamic theological perspective, recent development model is masculine -based and it ignores feminine aspects in Islam that it applies rigid and dominating approaches.Proses pembangunan yang berlangsung di berbagai negara saat ini cenderung mengabaikan aspek keseimbangan alam. Hal tersebut berdampak tidak saja berakibat buruk terhadap proses keberlangsungan ekosistem alam, akan tetapi juga mengancam terhadap keberlangsungan hidup manusia. Dalam bahasa Vandana Shiva, proses pembangunan saat ini ada proses “maskulinisasi” terhadap alam. Alam yang disimbolkansebagai “mother earth” kemudian dieksploitasi secara dekstruktif sehingga menimbulkan kerusakan alam dan krisis ekologi. Dalam tulisan ini, penulis mencoba mencari akar persoalan tersebut dari perspektif ecofeminism melalui beberapa teori tentang hubungan manusi dan alam dikaitkan dengan dimensi feminitas dalam Islam. Ada dua hal penting yang mendasari mengapa saat ini pembangunan cenderung ekploitatif dan destruktif terhadap alam. Pertama, manusia merasa sebagai penguasa alam dan melihat dirinya sebagai entitas tunggal. Kedua, dalam perspektif teologis Islam, model pembangunan selama ini masih bersifat “maskulin” dan tidak memperdulikan aspek-aspek feminin dalam Islam, sehinggapendekatan yang digunakan masih bersifat rigid dan mendominasi.