Articles
Pemurnian Sistem Presidensil dan Parlemen Dua Kamar di Indonesia Sebagai Gagasan Perubahan UUD 1945
Nugraha, Harry Setya
Jurnal Hukum Novelty Vol 8, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Ahmad Dahlan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (785.635 KB)
Dalam tatanan ideal, konstitusi suatu negara haruslah sejalan dengan nilai-nilai konstitusionalisme. Namun realitanya saat ini, konstitusi negara Indonesia(UUD NRI 1945) masih belum sejalan dengan nilai-nilai konstitusionalisme itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari biasnya bangunan presidensialisme di Indonesia serta tidak jelasnya sistem kamar parlemen yang diterapkan di Indonesia, apakah berkayuh pada sistem parlemen tiga kamar ataukah pada sistem parlemen dua kamar. Tulisan hukum ini ditulis untuk mengkaji bagaimana desain ideal sistem pemerintahan presidensil dan kamar parlemen di Indonesia. Pada bagian akhir tulisan hukum ini, disimpulkan bahwa terdapat 5 gagasan yang perlu menjadi materi perubahan dalam UUD NRI 1945 dalam rangka mewujudkan sistem presidensil yang lebih murni. Selain itu, dalam upaya mempertegas parlemen dua kamar di Indonesia, langkah pertama yang harus dilakukan adalah merubah paradigma MPR yang semula dianggap sebagai sebuah lembaga yang memiliki keanggotaan tersendiri, menjadi MPR yang merupakan forum sidang gabungan antara DPR dan DPD. Selanjutnya, agar sistem parlemen dua kamar yang digagas menjadi lebih ideal, DPR dan DPD haruslah diposisikan dalam strata yang sama dalam hal fungsi dan kewenangannya
Anomali Hubungan Pusat Dan Daerah Dalam Praktik Penyelenggaraan pemerintahan Daerah
Harry Setya Nugraha
Jurnal de jure Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Dejure
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Balikpapan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36277/jurnaldejure.v13i2.570
Artikel ini membahas penyebab terjadinya anomali hubungan pusat dan daerah dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Metodologi yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Artikel ini berkesimpulan bahwa terdapat lima kondisi yang menjadi penyebab terjadinya anomali hubungan pusat dan daerah dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kondisi tersebut adalah pertama, inproporsionalitas pembagian urusan pemerintahan konkuren yang patut diduga melanggar prinsip otonomi seluas-luasnya; kedua, Peraturan Pemerintah yang mengatur soal kewenangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat tidak memperjelas pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud; ketiga, realita vis a vis antara Menteri dan Gubernur; keempat, persoalan hirarkisitas kedudukan Perda terhadap peraturan menteri atau sebaliknya; dan kelima, adalah soal perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Untuk menciptakan keseimbangan hubungan antara pusat dan daerah, terdapat setidaknya lima tindakan solutif yang dapat dilakukan baik oleh pemerintah daerah secara mandiri maupun bersama-sama dengan pemerintah pusat.
POLITIK HUKUM PENGATURAN NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2018
Harry Setya Nugraha;
Dimar Simarmata;
Imentari Siin Sembiring
Justisi: Jurnal Ilmu Hukum Vol 3 No 1 (2018): Justisi: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Buana Perjuangan Karawang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36805/jjih.v3i1.504
Abstrak Artikel ini mengkaji tentang hadirnya berbagai pengaturan mengenai Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilihan Kepala Dearah (Pilkada) yang kemudian membuat penulis bertanya tentang: apa yang menjadi politik hukum pengaturan tentang netralitas ASN dalam Pilkada dan apa pentingnya netralitas ASN tersebut dalam pelaksanaa Pilkada. Tulisan ini merupakan tulisan hukum yuridis-normatif dengan sumber hukum sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statue apporoach) dengan mengkaji berbagai regulasi atau pengaturan mengenai netralitas ASN dalam Pilkada Serentak khususnya Tahun 2018. Tulisan ini berkesimpulan, pertama: politik hukum dari pengaturan menganai netralitas ASN adalah dalam rangka menjaga integritas, profesionalitas, dan netralitas ASN demi terwujudnya Pilkada yang demokratis. Kedua: pengaturan mengenai netralitas ASN menjadi penting guna mencegah penyalahgunaan wewenang baik oleh ASN maupun oleh calon kepala daerah yang bersangkutan. Kata Kunci: Netralitas, ASN, Pemilihan Kepala Daerah Abstract This article analyzes the presence of various regulations regarding the neutrality of civil servant apparatus in the regional election which makes the author ask about what became the politics of law of regulating of the neutrality of civil servant apparatus in the regional election and what was the importance of neutrality of civil servant apparatus in the regional election. This article is a normative juridicial legal writing with secondary legals sources consisting of primary, secondary, and tertiary legal materials. The approach used by the statue apporoach that analyzes of the regulations of neutrality of civil servant apparatus in regional election especially in 2018.The conclution of this paper are, first: the politics of law of regulations of the neutrality of civil servant apparatus was in order to maintain the integrity, professionalism, and neutrality of civil servant apparatus to created democratic regional elections. Second: the regulations of the neutrality of civil servant apparatus was important to prevented abuse of power by both civil servant apparatus and the regional head candidates concerned. Keywords: Neutrality, civil servant apparatus, regional head election
MPR DAN URGENSI GARIS BESAR HALUAN NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
Harry Setya Nugraha
Veritas et Justitia Vol. 5 No. 1 (2019): VERITAS ET JUSTITIA
Publisher : Faculty of Law, Parahyangan Catholic University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25123/vej.v5i1.3293
This article, using a normative-juridical approach, discusses the issue whether Indonesia should re-introduce and re-instate the Guidelines of State Policy which was abolished in 1998, into the existing constitutional system. The author discusses a number of reasons of why re-instatement should be considered necessary. One important finding is that a new model of the Guidelines of State Policy should be made and utilised as a binding directive for state and government institutions at the central as well as regional and local level of governance.
Pemurnian Sistem Presidensil dan Parlemen Dua Kamar di Indonesia Sebagai Gagasan Perubahan UUD 1945
Harry Setya Nugraha
Jurnal Hukum Novelty Vol 8, No 1 (2017)
Publisher : Universitas Ahmad Dahlan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (785.635 KB)
|
DOI: 10.26555/novelty.v8i1.a5526
Dalam tatanan ideal, konstitusi suatu negara haruslah sejalan dengan nilai-nilai konstitusionalisme. Namun realitanya saat ini, konstitusi negara Indonesia(UUD NRI 1945) masih belum sejalan dengan nilai-nilai konstitusionalisme itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari biasnya bangunan presidensialisme di Indonesia serta tidak jelasnya sistem kamar parlemen yang diterapkan di Indonesia, apakah berkayuh pada sistem parlemen tiga kamar ataukah pada sistem parlemen dua kamar. Tulisan hukum ini ditulis untuk mengkaji bagaimana desain ideal sistem pemerintahan presidensil dan kamar parlemen di Indonesia. Pada bagian akhir tulisan hukum ini, disimpulkan bahwa terdapat 5 gagasan yang perlu menjadi materi perubahan dalam UUD NRI 1945 dalam rangka mewujudkan sistem presidensil yang lebih murni. Selain itu, dalam upaya mempertegas parlemen dua kamar di Indonesia, langkah pertama yang harus dilakukan adalah merubah paradigma MPR yang semula dianggap sebagai sebuah lembaga yang memiliki keanggotaan tersendiri, menjadi MPR yang merupakan forum sidang gabungan antara DPR dan DPD. Selanjutnya, agar sistem parlemen dua kamar yang digagas menjadi lebih ideal, DPR dan DPD haruslah diposisikan dalam strata yang sama dalam hal fungsi dan kewenangannya
Pemberian Legal Standing kepada Perseorangan atau Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik
Allan Fatchan Gani Wardhana;
Harry Setyanugraha
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 20 No. 4: Oktober 2013
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20885/iustum.vol20.iss4.art2
Political party and corruption in Indonesia can be allegorized as two sides of a coin, both of which relate closely to each other. Law No. 2 of 2008 in conjunction with Law No. 2 of 2011 on Political Party mentions one of the reasons of the political party dismissal, namely conducting an activity which violates the regulations of law. The proposition to dismiss a political party comes only from the Government. This fact closes the opportunity of other parties like individual or community group to propose a political party dismissal. The problems studied in this research are: First, the reason why an individual or a community group should be given the legal standing in the proposition of the political party dismissal. Second, the relevance of the legal standing provision to an individual or a community group in the proposition of the political party dismissal. Third, what attempt that can be conducted to provide the legal standing for an individual or a community group in the proposition of the political party dismissal. The method used in this research is normative juridical method employing law material approach. The result of the research concludes that: First, the urgency to provide the legal standing for an individual or a community group in the proposition of the political party dismissal to interpret the implementation of the people sovereignty in the law state principle. Second, by the provision of legal standing for an individual or a community group, the citizen monitoring toward the political parties will be more effective. Third, the attempt that can be conducted to provide legal standing for an individual or a community group in the provision of the political party dismissal is by revising the Constitutional Court Law.
Redesain Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia
Harry Setya Nugraha
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 22 No. 3: Juli 2015
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20885/iustum.vol22.iss3.art5
The implementation of Presidential election in Indonesia cannot be regarded as democratic since the designof dispute settlement of the Presidential Election by the Constitutional Court is not planned ideally. Thus, this study examines some research problems underlying the issue: first, what is the urgency of redesigning the authority of the Constitutional Court in resolving disputes of Presidential Election in Indonesia? and second, how is the ideal concept of dispute settlement in order to achieve a democratic election? The method used in this research is normative juridical of legislation approach and concept approach. The result of the study revealed that: first, it is highly urgent to redesign the authority of the Constitutional Court in the dispute settlement of PHPU of President and Vice President in Indonesia to democratize the election as well to find alternative solutions to the elections that could provide legal certainty, fairness and expediency. Second, redesigning the authority of the Court in resolving disputes of the Presidential PHPU includes the expansion of the definition of disputed election results; designing the benchmark of structured systematic and massive electoral violations; and redesigning the time given by the Court in resolving electoral disputes.
Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik di Indonesia
Sri Hastuti Puspitasari;
Zayanti Mandasari;
Harry Setya Nugraha
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 23 No. 4: OKTOBER 2016
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20885//iustum.vol23.iss4.art2
This research is to analyze the issues of: first, the urgency of extension of petition of the dispersion of political party in Indonesia. Second, it is related to ius constituendum of the procedure of petition of dispersion in Indonesia. The research method used was the juridical normative method using the philosophical approach, regulation approach, and sociological approach. The result of the research concluded that first: the urgency of the extension of the petition for the dispersion of political party breaking the General Election both in terms of the reason of its petition and the parties involved as the petitioner is in order to create a democratic general election in Indonesia. Second, the procedure of the court session of political party dispersion for doing the violation in general election through 5 phases of court session: 1) examining the introduction to examining the administrative completeness of the petitioner. 2) the further court to listen the petitum of the petitioner; 3), The further court session is to listen the explanation of the one reported; 4) the court of evidence including the document evidence, fact evidence and listen to the witnesses of the experts and other related parties and 5) it is about the court of reading the decision.
Konstruksi Hukum Kewenangan Mahkamah Konstitusi Untuk Memutus Constitutional Complaint
Harry Setya Nugraha
Amanna Gappa VOLUME 29 NOMOR 2, 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Di tengah perdebatan akademik yang masih terjadi soal kewenangan memutus perkara constitutional complaint oleh Mahkamah Konstitusi, penelitian ini mencoba menguraikan alasan perlunya kewenangan untuk memutus perkara constitutional complaint dan bagaimana konstruksi hukum yang dapat dibangun untuk dapat menjadi dasar bagi MK dalam memutus constitutional complaint. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan konseptual, serta analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat empat alasan mendasar perlunya MK diberikan kewenangan untuk memutus constitutional complaint di Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat tiga alternatif yang dapat dilakukan: Pertama, melakukan perubahan formal terhadap landasan konstitusional Mahkamah; Kedua, melakukan perubahan terhadap konstruksi Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (judicial interpretation); Ketiga, melakukan pemaknaan atau penafsiran terhadap Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
The Competency of Administrative Court in Adjudicating State Financial Losses Report Dispute in Indonesia
Helmi Helmi;
Fauzi Syam;
Harry Setya Nugraha;
Retno Kusniati
Sriwijaya Law Review VOLUME 4 ISSUE 1, JANUARY 2020
Publisher : Faculty of Law, Sriwijaya University, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.28946/slrev.Vol4.Iss2.298.pp41-51
The debate on the absolute competency of the State Administrative Court in Indonesia to set the dispute over the State Financial Losses Report (LHPKKN) is proved to have caused dissenting opinion. The judgments between one administrative court to other court in Indonesia cause main problem of achieving justice and legal certainty. This research examines the issue of absolute competence of the Administrative Court in adjudicating disputes on the State Financial Losses Report published by the Financial and Development Monitoring Agency (BPKP). This article uses normative legal research and implement the statute approach, conceptual approach, and case approach. These approaches are used to discern and analyze several related legal materials or documents scientifically. The aims and objectives of this research are to find a legal solution on how this classic issue has to be approached and solved. As a result, it is found through this article that the Administrative Court has absolute competence in deciding disputes on the Report on the Calculation of State Financial Losses issued by the Financial and Development Monitoring Agency, which is supported by several fundamental reasons.