Tatang Bisri
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 73 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Korelasi antara Panjang Garis Sternoakromion dan Titik Penyuntikan Blokade Pleksus Brakialis pada Anestesi Vertical Infraclavicular Block Menggunakan Pencitraan Ultrasonografi pada Pria Dewasa Yadi, Dedi Fitri; Redjeki, Ike Sri; Bisri, Tatang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.913 KB) | DOI: 10.15851/jap.v4n1.739

Abstract

Anestesi regional untuk operasi di daerah lengan bawah dapat dilakukan blokade pleksus brakialis vertikal infraklavikula. Penelitian ini bertujuan menemukan korelasi antara panjang garis sternoakromion dan letak penyuntikan menggunakan pencitraan ultrasonografi untuk vertical infraclavicular block (VIB) pada pria dewasa. Penelitian potong lintang dengan mengukur titik tengah garis antara fosa jugularis dan akromion pada 48 pria dewasa. Pencitraan ultrasonografi dilakukan menggunakan probe linear untuk menentukan letak penyuntikan. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Oktober 2011–Januari 2012. Hasil pengukuran didapatkan panjang garis sternoakromion kanan rata-rata 18,35±1,16 cm. dan kiri 18,39±1,22 cm. Titik tengah sternoakromion kanan rata-rata 9,18±0,59 cm dan kiri 9,19±0,61 cm. Jarak letak titik penyuntikan menggunakan ultrasonografi kanan 9,41±0,7 cm dan kiri 9,46±0,72. Terdapat korelasi positif (r kanan=0,874 dan r kiri=0,862) antara garis sternoakromion dan jarak letak titik penyuntikan menggunakan pencitraan ultrasonografi.Kata kunci: Blokade vertikal infraklavikular, letak penyuntikan blokade infraklavikular, pencitraan ultrasonografi Correlation between the Sternoacromion Line Length and Plexus Brachialis Vertical Infraclavicular Block Injection Site Using Ultrasonography Scan on Adult MalesAbstractSurgery on the lower part of the arm can be managed by brachial plexus vertical infraclavicular block. Needle placement for vertical infraclavicular block is not always at the midpoint of the sternoacromion line. The aim of this study was to find the correlation between sternoacromion length and needle placement using ultrasond scan for vertical infraclavicular block on adults males. This was a cross sectional study measuring the midlle point of sternoacromion line on 48 adult male volunteers whom never had any injury or operation on shoulder areas. Linear probe ultrasound was used to determine the needle placement. This study was conducted in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung within the period of October 2011–January 2012. Pearson correlation test and linear regression were used to analyze the data. Result of this study showed an average right strernoacromion length of 18.35±1.16 cm, an average left sternoacromion leght of 18.39±1.22 cm, an average midpoint right sternoacromion of 9.18±0.59 cm, and an average midmpoint left sternoacromion of 9.19±0.61. The average ultrasound right point was 9.41 cm and 9.46 cm for the left point. Hence, thereare significant correlations (r right=0.874, r left=0.862) between sternoacromion length and ultrasound injection point for vertical infraclavicular block.Key words: Injection site for infraclavicular block, ultrasound scan, vertical infraclavicular block DOI: 10.15851/jap.v4n1.739
Perbandingan Kombinasi Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Fentanil dengan Bupivakain 0,5% Isobarik dan Fentanil terhadap Kejadian Hipotensi dan Tinggi Blokade Sensorik pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal Okatria, Ahmado; Oktaliansah, Ezra; Bisri, Tatang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (462.221 KB)

Abstract

Anestesi spinal mejadi teknik pilihan untuk seksio sesarea karena lebih aman dan efisien dibanding dengan anestesi umum. Anestesi spinal pada wanita hamil menyebabkan hipotensi lebih berat dan cepat. Hipotensi berhubungan dengan ketinggian blokade simpatis yang dipengaruhi oleh barisitas anestetik lokal. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan kejadian hipotensi dengan tinggi blokade sensorik antara kombinasi bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg dan fentanil 25 µg dengan bupivakain 0,5% isobarik 12,5 mg-fentanil 25 µg pada anestesi spinal untuk seksio sesarea. Penelitian dilakukan di Central Operating Theatre (COT) Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung selama bulan April‒Mei 2015 dengan uji klinis acak tersamar ganda terhadap 40 pasien yang menjalani seksio sesarea dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) II. Kejadian hipotensi dan tinggi blokade sensorik dinilai setelah pemberian anestesi spinal. Data penelitian dianalisis menggunakan uji-t, Mann-Whitney, dan chi-kuadrat. Hasil penelitian bermakna jika nilai p<0,05. Kejadian hipotensi antara kelompok hiperbarik dan isobarik adalah 75% vs 100% (p=0,017). Tinggi blokade sensorik rata-rata antara kedua kelompok di T6 vs T4 (p=0,000). Kejadian hipotensi dan blokade sensorik lebih tinggi pada kombinasi bupivakain 0,5% isobarik 12,5 mg dan fentanil 25 µg dibanding dengan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg dan fentanil 25 µg.Kata kunci: Anestesi spinal, bupivakain hiperbarik, bupivakain isobarik, seksio sesareaComparison between Combination of Hyperbaric 0.5% Bupivacain with Fentanyl and 0.5% Isobaric Bupivacain with Fentanyl Use on Incidence of Hypotension and Sensoric Blockade Level in Caesarian Section with Spinal AnesthesiaSpinal anesthesia technic has been the technic of choice for caesarean section due to its safety and efficiency compared to general anesthesia. Spinal anesthesia in pregnancy causes hypotension in a heavier and more rapid manner. Hypotension is associated with the height of the sympathetic block influenced by the baricity of the local anesthetics. This study aimed to compare hypotension incidence and sensory blockade height between combination of 12.5 mg 0.5% hyperbaric bupivacaine with 25 µg fentanyl and 12.5 mg 0.5% isobaric bupivacaine with fentanyl 25 µg in spinal anesthesia for caesarean section. The study was performed at the central operating theatre (COT) of Dr. Hasan Sadikin General Hospital during April‒May 2015 using double blind randomized control trial method on 40 patients underwent caesarean section with American Society of Anesthesiologist (ASA) II physical status. The hypotension incidence and sensory blockade height were assessed after spinal anesthesia and measured by t-test, Mann Whitney, and Chi-square tests. Significancy was declared when p value <0.05. The hypotension incidence between the hyperbaric and isobaric groups were 75% vs. 100% (p value=0.017). The mean sensory blockade height was at T6 vs. T4 (p value=0.000). The hypotension incidence and sensory blockade are significantly higher in isobaric 12.5 mg 0.5% bupivacainewith 25 µg fentanyl compared to those in 12.5 mg hyperbaric 0.5% bupivacaine with fentanyl 25 µg.Key words: Caesarean section, hyperbaric bupivacaine, isobaric bupivacaine, spinal anesthesia  DOI: 10.15851/jap.v4n2.820
Perbandingan Pemberian Deksametason 10 mg dengan 15 mg Intravena sebagai Adjuvan Analgetik terhadap Skala Nyeri Pascabedah pada Pasien yang Dilakukan Radikal Mastektomi Termodifikasi Erlangga, M. Erias; Sitanggang, Ruli Herman; Bisri, Tatang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 3 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (361.629 KB)

Abstract

Deksametason merupakan kortikosteroid yang memiliki efek anti-inflamasi paling kuat. Penelitian ini bertujuan membandingkan deksametason 10 mg dengan deksametason 15 mg intravena prabedah terhadap nyeri pascabedah dan kebutuhan analgetik opioid. Penelitian ini merupakan uji acak terkontrol buta ganda pada 60 wanita dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I–II yang menjalani pembedahan radikal mastektomi termodifikasi dalam anestesi umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Desember 2013–April 2014. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 30 orang menerima deksametason 10 mg dan 30 orang menerima deksametason 15 mg yang diberikan 30 menit prabedah. Penilaian skala nyeri menggunakan nilai numeric rating scale (NRS) pada saat istirahat dan mobilisasi, pada jam ke-1, 2, 4, 12, dan 24 pascabedah. Pemberian analgetik tambahan opioid dilakukan bila nilai NRS>3. Analisis statistika data hasil penelitian menggunakan uji-t, chi-kuadrat, dan Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukan nilai NRS saat istirahat pada kelompok deksametason 10 mg dengan deksametason 15 mg tidak berbeda bermakna (p>0,05), sementara nilai NRS saat mobilisasi pada kelompok deksametason 10 mg lebih tinggi dibanding dengan kelompok deksametason 15 mg (p<0,05). Pemberian analgetik tambahan pascabedah tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kedua kelompok (p>0,05). Simpulan penelitian ini adalah pemberian deksametason 15 mg dapat diberikan karena mempunyai efek analgesia yang lebih baik.Kata kunci: Deksametason, numeric rating scale, nyeri pascabedahComparison between 10 mg and 15 mg of Intravenous Dexamethasone as Analgesia Adjunct on Post Operative Pain in Patients Undergo Modified Radical Mastectomy Dexamethasone is a glucocorticoid with the strongest anti-inflammatory property. The aim of this study was to compare the effect of 10 mg and 15 mg of intravenous dexamethasone on post operative pain and opioid analgetic need. This was a randomized double-blind study involving 60 females with physical status ASA I–II whom underwent modified radical mastectomy under general anesthesia at Dr. Hasan Sadikin General Hospital during December 2013–April 2014. Patients were divided into 2 groups where 30 patients received 10 mg dexamethasone and 30 patients received 15 mg dexamethasone 30 minutes prior to surgery. Pain assessment was performed using numeric rating scare (NRS) at rest and during activity, documented on the 1st, 2nd, 4th, 12th and 24th hour post operative. Additional analgesia was given if NRS >3. Data were analyzed statistically using Student’s t test, chi-square and Mann Whitney U test. Result showed that the difference between NRS at rest for 10 mg and 15 mg dexamethasone (p>0.05) was not significant, while the difference in NRS during activity at all time measurements were statistically significant (p<0.05). There was no statistical significant difference in additional opioid administered between the two groups (p>0.05). This study concludes that 15 mg dexamethasone has a better analgesia effect to reduce analgesic dose.Key words: Dexamethasone, numeric rating scale, post operative pain DOI: 10.15851/jap.v3n3.607
Penatalaksanaan Anestesi Untuk Drainase Abses Otak Pasien Dengan Tetralogi Of Fallot Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v1i2.87

Abstract

Tetralogi of Fallot (TOF), pertama kali diperkenalkan pada tahun 1888 oleh seorang dokter dari Prancis yang bernama Etienne-Louis Arthur Fallot. Tetralogi of Fallot (TOF) merupakan salah satu jenis cacat jantung bawaan sianotik yang paling banyak diketemukan. Tetralogi of Fallot (TOF) memiliki empat kelainan yaitu: (1) stenosis infundibulum pulmonari, (2) Ventricular Septal Defect (VSD), (3) overidding aorta, dan (4) hipertrofi ventrikel kanan. Pasien dengan penyakit kongenital jantung sianotik (right to left shunt) memiliki resiko terjadinya abses otak. Penyakit jantung sianotik terhitung sekitar 12.8-69,4% dari semua kasus abses otak dan insidensi tertinggi terjadi pada anak-anak. Kami melaporkan seorang anak laki-laki berusia 8 tahun, berat badan 16 kg dengan abses otak multiple yang disertai dengan cacat jantung bawaan sianotik Tetralogi of Fallot (TOF) yang akan dilakukan aspirasi abses. Pasien datang dengan suhu tubuh 39oC, GCS 13, Tekanan darah 90/50 mmHg, nadi 120 x/menit, SpO2 90% dengan simple mask 6 L/menit. Hasil lab menunjukan Hb14gr%, Hematokrit 41%, thrombosit 250.000/mm3. PT/aPTT 13,2/26,9. Sudah terpasang infus dari UGD, selanjutnya diberikan premedikasi midazolam 1 mg intravena, induksi dengan propofol, fentanyl, vecuronium, rumatan anestesi dengan oksigen–udara, sevoflurane. 12 Jurnal Neuroanestesia Indonesia Operasi berlangsung selama 1,5 jam, pemberian cairan dengan target normovolume, pascaoperasi dirawat di neurointensive care unit selama 3 hari. Puasa prabedah harus diperhitungkan sebaik-baiknya karena pasien harus tetap terhidrasi dengan baik. Pasien TOF dengan polisitemia, apabila terjadi dehidrasi akan meningkatkan viskositas dan sludging. Pasien ini sudah terhidrasi dengan baik dan cairan pengganti puasa diberikan melalui infus. Pasien harus dalam keadaan tenang dan rileks. Pasien diberikan premedikasi midazolam intravena. Premedikasi dengan suntikan intramuskuler harus dihindari karena kecemasan dan stress dapat menyebabkan “tet” spell. Premedikasi berat juga harus dihindari karena adanya depresi nafas yang menimbulkan hiperkarbia dapat meningkatkan Pulmonary Vascular Resistance (PVR) dan menimbulkan peningkatan shunting dari kanan ke kiri. Aspirasi abses serebri tidak dapat dilakukan dengan anestesi lokal karena akan meningkatkan kecemasan, tekanan darah pasien. Anestesi harus dilakukan dengan anestesi umum. Pengelolaan perioperatif pasien TOF yang dilakukan operasi ditempat lain (bukan operasi TOFnya) memerlukan pemahaman tentang patofisiologik TOF dan teknik neuroanestesi untuk mendapatkan outcome yang baik. Anesthesia Management For Brain Abscess Drainage Patient With Tetralogy Of FallotAbstract  Tetralogy of Fallot (TOF) was first described in 1888 by a French physician named Etienne-Louis Arthur Fallot. Tetralogy of Fallot (TOF) is one type of cyanotic congenital heart defect most widely found. Tetralogy of Fallot (TOF) has four abnormalities: (1) pulmonary infundibulum stenosis, (2) VSD (Ventricular Septal Defect), (3) overriding aorta, and (4) right ventricular hypertrophy. Patients with congenital cyanotic heart disease (right to left shunt) have a risk of brain abscess. The incidences of cyanotic heart disease is about 12.8-69,4% of all cases of brain abscess and the highest incidence occurs in children. We reported an 8-years old 16-kg boy with multiple brain abscesses accompanied with cyanotic congenital heart defect Tetralogy of Fallot (TOF) and whom abscess aspiration would be performed. Patients was present with body temperature 39oC, GCS 13, blood pressure 90/50 mmHg, pulse 120 beats/min, SpO2 90% with a simple mask using oxygenation of 6 L/min. Lab results showed Hb 14gr%, hematocrit 41%, platelet count 250.000/mm3, PT /aPTT: 13.2/26.9. Patient was mounted infusion from the emergency ward (ER), given 1 mg intravenous midazolam premedication, induction with propofol, fentanyl, vecuronium, maintenance with oxygen-air anesthesia and sevoflurane. The operation lasted for 1.5 hours, the infusion targeted to normal volume, postoperative care was given in the neurointensive care unit for 3 days. Pre-surgical fasting plan plays an important role because the patient must remains well hydrated. TOF patients with polycythemia when dehydrated, will increase the viscosity and sludging events. This patient was well hydrated and fasting replacement fluid therapy was given intravenously. Patients should be in a state of calm and relaxed. Patient was given intravenous midazolam premedication. Premedication with intramuscular injections should be avoided, since anxiety and stress may lead to "tet" spell. Heavy premedication should also be avoided because of respiratory depression leading to hypercarbia can increase the Pulmonary Vascular Resistance (PVR) and precipitate increased shunting from right to the left. Cerebral abscess aspiration can not be performed under local anesthesia because it increases the anxiety and the patient's blood pressure. Anesthesia should be performed under general anesthesia. Management of perioperative TOF patients who will underwent surgery elsewhere (not for TOF) requires deep understanding on TOF pathophysiology and neuro-anesthesia techniques to get a good outcome
Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Pasien dengan Intoksikasi Alkohol Firdaus, Riyadh; Lalenoh, Diana C.; Rahardjo, Sri; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 3 (2017)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v6i3.52

Abstract

Manajemen neuroanestesia untuk cedera kepala bertujuan untuk mengoptimalkan perfusi otak, memfasilitasi pembedahan dan mencegah cedera otak sekunder. Bagi pasien cedera kepala yang mengalami toksisitas alkohol, diperlukan perhatian khusus dalam mengevaluasi dan menentukan dosis obat anestesia. Walaupun GCS dapat digunakan sebagai modalitas penilaian pasien dengan intoksikasi alkohol, penilaian menggunakan FOUR adalah alternatif yang lebih baik. FOUR lebih spesifik dalam menilai penurunan kesadaran bila ada defek neurologi, bahkan bagi pasien yang terintubasi. Selama pembiusan, dosis perlu diperhatikan karena konsumsi alkohol jangka panjang dapat meningkatkan kebutuhan dosis obat anestesia. Sebaliknya, intoksikasi alkohol memerlukan dosis obat induksi yang lebih kecil. Seorang laki-laki usia 38 tahun dibawa ke IGD dengan penurunan kesadaran pasca trauma kepala sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien memiliki riwayat konsumsi alkohol. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, ditegakkan diagnosis Hematom Epidural. Pasien menjalani kraniotomi evakuasi Hematom Epidural selama 4 jam. Pascaoperasi pasien tidak dilakukan ekstubasi dan dirawat di perawatan ICU selama 7 hari.Use of Four Score in Anesthesia Management for Epidural Hematoma Evacuation in Patient with Alcohol IntoxicationAbstractNeuroanesthetic management for brain trauma aims to maintain optimal cerebral perfusion and facilitate surgery while preventing secondary brain injury. For patients with brain trauma under alcohol toxicity, careful monitoring is needed to assess and determine drug dosing. Although GCS is reliable for assessing conciousness in patients with alcohol intoxication, evaluation using FOUR is a reasonable alternative. FOUR is more spesific in identifying level of conciousness in neurologic defects, even in intubated condition. Throughout anesthesia, special attention should be given, as long term alcohol consumption may increase the dose needed for general anesthesia. However, a smaller dose of induction agent is needed in alcohol intoxication. We describe a case of a 38 years old male, who was admitted to emergency department with loss of conciousness following head trauma for 3 hours prior to admission. There was history of alcohol consumption. History and physical findings were consistent with epidural hematoma. Patient underwent craniotomy for epidural hematoma evacuation. The surgery took four hours. Post surgery, patient remained intubated and stayed in ICU for seven days.
Manajemen Anestesi pada Penderita Sindroma Pfeiffer dengan Posisi Sphinx Halimi, Radian Ahmad; Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v7i3.13

Abstract

Sindroma pfeiffer adalah kelainan genetik autosomal dominan berupa fusi prematur tulang kepala dan tubuh lainnya. Operasi rekonstruksi kraniofasial pada pasien dengan sindrom pfeiffer memberikan tantangan tersendiri bagi ahli anestesi. Pada laporan kasus ini, seorang anak perempuan berusia 18 bulan datang ke rumah sakit Hasan Sadikin Bandung dengan keluhan kelainan bentuk kepala sejak lahir. Kelainan tersebut disertai dengan proptosis mata, hipoplasia maksila bilateral, high arc palate, hipotelorisme dan hidrosefalus, namun tidak terdapat riwayat obstruksi jalan nafas. Pasien direncanakan dilakukan prosedur rekonstruksi kraniofasial dan tarsorhaphy dengan posisi modifikasi prone (posisi sphinx). Permasalahan yang terjadi selama operasi adalah obstruksi vena juguler, perdarahan dan kebocoran cairan serebrospinal pascaoperasi. Operasi berlangsung selama 19 jam. Pascaoperasi pasien dirawat di PICU dan dipindahkan ke ruangan perawatan biasa pada hari ke 4. Penanganan perioperatif pasien dengan sindroma pfeiffer yang akan menjalani prosedur operasi kraniofasial membutuhkan penanganan secara multidisiplin dan dibutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai fisiologi, potensi permasalahan intraoperasi, resiko dan komplikasi pascaoperasi untuk mencapai hasil luaran yang baikAnesthesia Management in Patients with Pfeiffer Syndrome with Sphinx PositionPfeiffer syndrome is a dominant autosomal genetic disorder characterized by premature fusion of head and other body bones. Craniofacial reconstruction surgery in patients with Pfeiffer syndrome presents a challenge for an anaesthesiologist. This case report discusses about 18 month old girl came to the Hasan Sadikin hospital in Bandung with complaints of clover head shape from birth. The other abnormalities consist of eye proptosis, bilateral maxilla hypophlasia, high arc palate, hypotelorism and hydrocephalus. There was no history of obstructive sleep apneau (OSA). The patient underwent craniofacial vault reconstruction procedure and a tarrsorhaphy with modified prone position (sphinx position). During the operation, there were problems occured such as jugular venous obstruction, bleeding and postoperative cerebrospinal fluid leakage. The procedure takes 19 hours long, and after the operation, the patient admitted to the PICU and being transferred to the ward on day-4. The perioperative treatment of patients undergoing craniofacial surgery requires a multidisciplinary treatment approach, and deep understanding of the physiology, potential intraoperative problems, risks and postoperative complications to achieve better outcomes.
Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Epidural Hemorrhage bersama dengan Operasi Fraktur Cruris Terbuka Subekti, Bambang Eko; Oetoro, Bambang J.; Rasman, Marsudi; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v6i1.38

Abstract

Cedera kepala merupakan masalah kesehatan utama, pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Epidural Hemorrhage (EDH) adalah salah satu bentuk cedera kepala yang sering terjadi. Epidural Hemorrhage umumnya terjadi karena robeknya arteri dan menyebabkan perdarahan di ruangan antara duramater dan tulang tengkorak. Kejadian cedera kepala ini biasanya juga dikuti dengan cedera di bagian tubuh lain yang juga memerlukan tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala saat ini difokuskan pada stabilisasi pasien dan menghindari gangguan intrakranial ataupun sistemik sehingga dapat menghindari cedera sekunder yang lebih buruk. Seorang laki-laki, 20 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran, fraktur femur tertutup dan fraktur cruris terbuka karena kecelakan lalu lintas. Setelah resusitasi dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju pernapasan 12 x/menit (reguler), tekanan darah 130/85 mmHg, laju nadi 78 x/menit (reguler). Pada pasien dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi hematoma dan debridement pada luka yang terbuka dengan anestesi umum dan dengan memperhatikan prinsip neuroanestesi selama tindakan bedah berlangsung.Anesthetic Management for Evacuation of Epidural Hemorrhage along with Surgery Open Fracture CrurisHead trauma is a major health problem and considered as the leading cause of disability and death worldwide. Epidural Hemorrhage (EDH) is commonly seen in head trauma. Epidural Hemorrhage usually occurs due to ripped artery that coursing the skull causing blood collection between the skull and dura. The incidence of head trauma is usually followed by injuries in other body parts that require surgery.Head trauma management is currently focusing on patient’s stability and prevention the intracranial and haemodynamic instability to prevent the secondary brain injury. A 20 years old male patient, admitted to the hospital with decreased level of consciousness, closed fracture femur and open fracture cruris after traffic accidents. On examination, no airway obstruction found, respiratory rate was 12 times/min (regular), blood pressure 130/85 mmHg, heart rate 78 bpm (regular). Patient was managed with emergency hematoma evacuation and debridement of wounds under general anesthesia and with continues and comprehensive care using neuroanesthesia principles.
Tatalaksana Anestesi pada Bedah Minimal Invasif Deep Brain Stimulation (DBS) Fithrah, Bona Akhmad; Fuadi, Iwan; Rahardjo, Sri; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v6i2.46

Abstract

Otak adalah organ terpenting dalam tubuh manusia. Pada neuroanestesi otak ini dimanipulasi dengan berbagai obat hingga dapat dilakukan pembedahan pada otak itu sendiri. Saat ini berkembang berbagai prosedur bedah syaraf yang bersifat minimal invasif. Dengan hadirnya pembedahan minimal ini diharapkan keluaran bedah syaraf semakin baik dan komplikasi minimal.  Salah satu prosedur bedah minimal invasif adalah Deep Brain stimulation (DBS). Prosedur ini memiliki beberapa hal yang harus dipertimbangkan yang bila tidak diperhatikan maka akan menyulitkan operator dan anestesi sendiri. Hal terpenting dari prosedur ini adalah keakuratan untuk menempatkan electrode pada nuclei yang akan dilakukan stimulasi. Anestesi hadir untuk memfasilitasi prosedur minimal invasif ini. Target anestesi pada bedah syaraf minimal invasif  tetap sama yaitu perfusi otak yang adekuat. Dan untuk mencapai perfusi otak yang adekuat ini tetap memerlukan persiapan pasien yang baik. Teknik anestesi yang dilakukan berbeda dengan anestesi rutin bedah syaraf. Tekhnik yang umum dikerjakan saat ini adalah monitored anesthesia care dengan local anesthesia, conscious sedation dan anestesi umum. Setiap tekhnik ini memiliki keuntungan, kerugian, pemilihan obat anestesi dan dapat disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. DBS sendiri setelah ditanamkan memiliki standar keamanan tersendiri yang harus dipatuhi agar tetap bekerja dengan baik. DBS saat ini dapat ditawarkan sebagai terapi alternatif bagi pasien parkinson yang gagal dengan terapi medikamentosa.  Anesthesia for Minimally Invasive Surgery Deep Brain Stimulation (DBS)Brain is the important part from human body. In neuroanesthesia brain is manipulated so surgery can conduct in the brain itsef. Nowadays there are several minimally invasive neurosurgery procedure. What we expect from the minimally invasive surgery is the outcome will be better and or with minimal complication. One of the minimally invasive procedure is Deep Brain Stimulation (DBS). This procedure have some concern to considered if not would complicate the surgeon and the anesthesiologist. Anesthesia come to facilitate this minimally invasive neurosurgery. The goal of anesthesia attending this minimal invasive procedure still the same with routine neurosurgery. which is to make sure adequate cerebral perfusion pressure. Anesthesia procedure litle bit different with common neurosurgery. Anesthesia procedure that recommend nowadays are monitored anesthesia care with local anesthesia, conscious sedation and general anesthesia. All the procedure have advantages and disadvantages, anesthesia drug chosen and customizing with hospital condition. After implanted DBS has certain procedure to be followed if not would endanger or destroyed the DBS itself. Nowadays DBS can be offered as an alternative therapy for the patients which failed with medical therapy.
Perbandingan Status Nutrisi Minggu Pertama pada Pasien Pascacedera Otak Traumatik Sedang dan Berat yang Dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Dinilai dengan Subjective Global Assessment (SGA) Saputra, Tengku Addi; Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v7i3.16

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Penilaian status nutrisi merupakan hal vital untuk menentukan rencana pemberian nutrisi dan memperbaiki luaran pasien dengan cedera otak traumatik (COT). Pada pasien COT terjadi hipermetabolisme, hiperkatabolisme, dan intoleransi glukosa yang dapat mempengaruhi luaran pasien. Penilaian status gizi dilakukan dengan Subjective Global Assessment (SGA). Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan status nutrisi antara pasien COT sedang dan berat yang dinilai dengan SGA.Subjek dan Metode: Penelitian observasional analitik cross sectional ini dilakukan pada 22 pasien COT yang dirawat di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung sejak November 2016 - Juli 2017, yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu COT sedang dan berat. Status nutrisi subjek penelitian dinilai dengan SGA selama 7 hari. Analisis data dilakukan dengan Chi Square, Kolmogorof-Smirnof dan Exact Fisher. Hasil: Terdapat perbedaan status nutrisi yang signifikan antara kelompok COT sedang dan berat pada hari perawatan ke-6 dan 7, dimana lebih banyak didapatkan malnutrisi berat pada kelompok COT berat (p<0,05).Simpulan: Pada penelitian ini malnutrisi lebih banyak terjadi pada pasien dengan COT berat, disebabkan oleh perlambatan pemberian nutrisi akibat disfungsi gastrointestinal yang terjadi pada pasien COT berat sehingga diperlukan strategi pemberian nutrisi khusus pada kelompok COT berat.Comparison of a One Week Nutritional Status between Moderate and Severe Traumatic Brain Injury Patient in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Assessed with Subjective Global Assessment (SGA)Background and Objective: Assessment of nutritional status is vital in determining nutritional plans and improving outcomes of traumatic brain injury (TBI) patients. Hypermetabolism, hypercatabolism, and glucose intolerance occur in patients with TBI can affect its outcome. The used nutritional status assessment is Subjective Global Assessment (SGA). The aim of this study was to compare nutritional status in moderate and severe TBI patients assesed with SGA.Subject and Method: This cross sectional observational analytic study was conducted on 22 TBI patients treated in RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung since November 2016 - July 2017, divided into 2 groups, moderate and severe TBI. Assessment of SGA in study subjects was conducted for 7 days. Data was analyzed with Chi Square, Kolmogorof-Smirnof and Exact Fisher test. Results: This study showed a significant difference in nutritional status between moderate and severe TBI groups during the 6th and 7th treatment days, whereas more severe malnutrition was found in the severe TBI group (p <0.05).Conclusion: Compares to patients with moderate TBI, malnutrition is more prevalent in patients with severe TBI, because of delayed of nutrient delivery due to gastrointestinal dysfunction occurring in severe TBI patients requiring specific nutritional strategies in severe TBI group.
Angka Morbiditas Pascaoperasi Tulang Belakang akibat Posisi Prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode November 2015–Desember 2016 Nugraha, Ade Aria; Sudjud, Reza Widianto; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 3 (2017)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v6i3.51

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Operasi tulang belakang mengalami peningkatan secara signifikan selama dekade terakhir. Posisi prone dibutuhkan sebagai akses pada operasi tulang belakang melalui pendekatan posterior. Operasi tulang belakang dengan posisi prone memiliki risiko terjadi cedera yang dapat menyebabkan morbiditas serius.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka morbiditas pascaoperasi tulang belakang dengan posisi prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung.Subjek dan Metode: Metode penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan rancangan potong lintang pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dan menjalani operasi tulang belakang dengan posisi prone dari bulan November 2015 sampai dengan bulan Desember 2016.Hasil: Hasil penelitian ini dari 99 subjek penelitian diperoleh 8 kasus (8,1%) cedera penekanan, 1 kasus (1%) cedera mata, dan 1 kasus (1%) cedera pada saraf tepi. Perubahan fisiologi dan efek penekanan akibat posisi prone serta keadaan selama operasi memengaruhi terjadinya morbiditas pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang.Simpulan: Kesimpulan dari penelitian ini adalah angka morbiditas pascaoperasi tulang belakang akibat posisi prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode November 2015–Desember 2016 sebanyak 10 kasus (10%).The Incidence of Patient’s Morbidity After Spinal Surgery with Prone Position in Dr. Hasan Sadikin General Hospital During November 2015–December 2016Background and Objective: The rate of spine surgeries has increased significantly over the past decade. Prone position is required as an access to spinal surgery through the posterior approach. Spinal surgery with prone surgery poses a risk of injury that can lead to serious morbidity. The purpose of this study was to determine the number of postoperative morbidity of the spine due to prone position in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung Subjects and Methods: The methods of this research is descriptive observational with cross sectional design and subjects of this study is patient undergo spine surgery in prone position in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung period November 2015 ─ December 2016. Results: Results of this study had shown that among 99 subjects, 8 cases (8.1%) were diagnosed with pressure ulcer, 1 case (1%) with eye injury, and 1 case (1%) with peripheral nerve injury. The physiological changes in a prone position, pressure effect and conditions during surgery might lead to morbidity in patients undergoing spinal surgery.Conclusion: The conclusion of this study is the rate of postoperative morbidity of the spine due to prone position in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung period November 2015–December 2016 as many as 10 cases (10%).