Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

KONDISI KESETARAAN GENDER DALAM PROMOSI JABATAN ESELON II PEREMPUAN DI PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2018 Secillia Fammy R; Heru Nurasa; Ida Widianingsih; Ahmad Buchori
Jurnal Administrasi Publik Vol 10, No 2 (2019): JURNAL ADMINISTRASI PUBLIK
Publisher : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.609 KB) | DOI: 10.31506/jap.v10i2.6793

Abstract

Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 1 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tetapi terdapat kecenderungan Peraturan gubernur tersebut belum di implementasikan dengan baik terutama di dalam roda pemerintahan Jawa Barat, hal ini diperkuat dengan rendahnya jumlah pejabat structural eselon II perempuan Provinsi Jawa Barat. Sejalan dengan itu maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana sebenarnya gambaran gender equality dalam promosi jabatan eselon II perempuan di Provinsi Jawa Barat, dengan tujuan tergambarnya kondisi gender equality dalam promosi jabatan eselon II perempuan di Provinsi Jawa Barat, apakah memang tercapai kesetaraan gender atau sebenarnya terjadi ketidaksetaraan gender. Hal ini dikaji dengan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian yaitu fenomenologi dengan mengelaborasi teori sociopsychological yang dikemukakan oleh Newman (1993) dan dimensi gender equality yang dikemukakan oleh Riant Nugroho (2008:60) terhadap promosi jabatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa masih terjadi ketidaksetaraan gender dalam promosi jabatan eselon II perempuan di Jawa Barat. Selain itu ketidaksetaraan gender ini di pengaruhi oleh dimensi gender equality dimana dari empat dimensi gender equality, dimensi akses, partisipasi dan control merupakan dimensi yang paling mempengaruhi dalam promosi jabatan eselon II perempuan di Jawa Barat. Hal ini disebabkan masih adanya pandangan negatif dari pimpinan terhadap perempuan yang menyebabkan para calon pejabat eselon II perempuan “minder” dan memutuskan tidak berpartisipasi dalam promosi jabatan, system pengambilan keputusan untuk pejabat yang tidak melibatkan kaum perempuan dan kecenderungan perempuan yang memilih keluarga dibandingkan karir.
KAJIAN KINERJA INDUSTRI BPRS DI INDONESIA Ahmad Buchori; Bambang Himawan; Edi Setijawan; Nyimas Rohmah
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Vol 5 No 4 (2003)
Publisher : Bank Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (174.499 KB) | DOI: 10.21098/bemp.v5i4.318

Abstract

Keberadaan bank syariah di Indonesia telah diakui secara formal dengan diberlakukannya Undang-undang No.7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI), BI memiliki peran yang sangat strategis yaitu sebagai pengatur sekaligus pengawas bank, termasuk BPRS. Sebagai pelaksanaan salah satu fungsi pengawasan, Bank Indonesia telah menerapkan standar tingkat kesehatan berdasarkan CAMEL yang berlaku bagi bank umum syariah maupun BPRS. Penggunaan CAMEL yang lazim diterapkan terhadap bank umum (commercial bank) dalam menilai kinerja BPRS, tampaknya kurang sesuai mengingat terdapat kekhususan tujuan pendirian dan operasional BPRS.Tujuan pendirian BPRS adalah untuk melayani masyarakat ekonomi lemah dan pengusaha kecil baik di pedesaan maupun di perkotaan yang umumnya tidak terjangkau oleh bank umum. Sedangkan dari sisi operasional, berdasarkan undang-undang, terdapat beberapa pembatasan bagi BPRS seperti tidak diperkenankannya menerima simpanan berupa giro, ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dan penyertaan modal. Lebih jauh dilihat dari karakteristiknya yang relatif sama dengan lembaga keuangan mikro (LKM), terdapat pendapat yang menyatakan bahwa BPRS dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis LKM. Beberapa ahli dalam bidang lembaga keuangan mikro telah mengungkapkan suatu kerangka pengukuran kinerja tersendiri bagi LKM, antara lain penggunaan metode Performance Indicators (PI). Kerangka pengukuran tersebut terdiri dari kumpulan rasio keuangan yang secara operasional sangat signifikan dalam menilai kinerja suatu LKM.Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran deskriptif yang komprehensif mengenai kinerja BPRS di Indonesia dengan menggunakan metode Performance Indicators (PI), guna pengembangan BPRS yang lebih sesuai dengan visi dan misi Bank Indonesia sebagai otoritas pengatur dan pengawas bank. Disamping itu, penggunaan PI sebagai alat ukur penilaian kinerja BPRS diharapkan akan memberikan wacana pemikiran atas adanya alternatif metode penilaian kinerja BPRS untuk penyempurnaan perangkat pengawasan BPRS.
Inkonsistensi Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Perkawinan Halangan Menurut Pasal 279 KUHP Di Provinsi Aceh Ahmad Buchori; Mohd. Din; Sulaiman Sulaiman
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol 23, No 1 (2023): Februari
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/jiubj.v23i1.3124

Abstract

Obstacle marriage is a criminal act prohibited in Article 279 of the Criminal Code, categorized as a crime of origin of marriage. Law enforcement against perpetrators of criminal acts mentioned in Article 279 of the Criminal Code is still experiencing inconsistencies, considering that crimes against the head of marriage have different interpretations from law enforcers. The purpose of this study is to look at the law enforcement process against criminal acts as an impediment to marriage in Aceh and to find out the reasons for the inconsistency of law enforcement against marriage crimes. The method in this study uses an empirical approach, which this approach combines legal and empirical (field) studies. Data collection techniques in this study using interviews. The results of the study indicate that law enforcement carried out by law enforcement officers such as the police, prosecutors and courts still have different understandings of the elements of criminal acts in Article 279 of the Criminal Code. This difference can be seen from the understanding of Article 279 of the Criminal Code regarding barriers to marriage. The lack of consistency in the law enforcement process for violations of Article 279 is because the law in Indonesia does not adhere to a legally binding system of jurisprudence in imposing criminal charges so each judge can interpret the article differently. In this regard, policymakers should provide clear conditions regarding violations of the origin of marriage in Article 279 of the Criminal Code, so there is no interpretation among law enforcement officers.