Tunggul Banjaransari
Film & TV Universitas Dian Nuswantoro

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

Hal-Hal yang Absen dalam Pencatatan Mengenai Film Nasional Tunggul Banjaransari
Rekam : Jurnal Fotografi, Televisi, Animasi Vol 15, No 2 (2019): Oktober 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/rekam.v15i2.2046

Abstract

ABSTRAKPenulisan narasi besar mengenai Film Nasional lebih sering dilakukan daripada penulisan narasi kecil mengenai film-film di Indonesia. Seperti halnya dilakukan oleh para penulis buku berjudul Merayakan Film Nasional (yang ditulis oleh Adrian Jonathan Pasaribu, Hikmat Darmawan, dan Totot Indrarto). Tujuan yang dilakukan tentunya tidak lagi melihat Film Nasional sebatas teritorial saja, melainkan mendorong pembaca dan pembuat film untuk melepas beban-beban makna Nasional. Hingga mulai merepresentasikan bentuk-bentuk film Pascanasional melalui aspek fungsional dan relasional-nya. Tetapi, jika hanya bergantung pada narasi besar saja, upaya pemaknaan tersebut justru melanggengkan praktik imaji orientalis Barat pada film-film di Indonesia. Oleh karena itu, penulis hendak melengkapi narasi kecil yang tidak muncul pada buku Merayakan Film Nasional. Penulisan narasi kecil tersebut, dilakukan melalui tiga model analisis: 1) proses re-intepretasi mitos pada masyarakat kontemporer dalam film di Indonesia, 2) model re-intepretasi realitas sebagai sebuah aksi protes dan komikal dalam film di Indonesia, dan 3) unsur-unsur yang mendorong terjadinya hibrida teks pada film terkini, sebagai upaya mengubah wajah film di Indonesia yang lebih beragam. ABSTRACTThe writings on national Film historical in Indonesia has been going more often than the ones discussing those works on the periphery. The book titled Merayakan Film Nasional, written by Adrian Jonathan Pasaribu, Hikmat Darmawan, and Totot Indrarto, remains to focus on the first category. Instead of aim to look at Indonesia National Film based on the territory, the book encourages the readers and Indonesian filmmakers to disengage from the burden of “National”. Additonally, the book also attempts to represent the Post-Colonial Films thorugh its function and relations aspects. Nevertheless, it is problematic when the access for National Film references only open for the big ones since its limits the interpretation and perpetuates the practice of orientalism perspective on Indonesian films.In This case, I will try to complete the periphery side which didn’t exist on Merayakan Film Nasional. There are 3 methods to analyzing National Film into the periphery aspects: 1) Re-intepretation the myth of contemporary society which framed on Indonesia Film. 2) The reality-model as the based to combining between protest and comical form in Indonesian film. 3) The elements that make hybrid-text happen in contemporary film, as the way to changes the image of Indonesian film.