Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Polymorphics SSR Markers of Chilli Parental and Breeding Lines in Chilli Resistance to Pepper Yellow Leaf Curl Virus (PYLCV) Ifa Manzila; M. Syukur; Tri Puji Priyatno; Reflinur; Chotimatul Azmi; Astri Widia Wulandari; Neni Gunaeni; Nur Azizah
Jurnal Hortikultura Indonesia Vol. 12 No. 2 (2021): Jurnal Hortikultura Indonesia
Publisher : Indonesian Society for Horticulture / Department of Agronomy and Horticulture

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/jhi.12.2.126-137

Abstract

Chili genotype (IPBC12 accession) has been known to carry a dominant resistance gene against PYLCV. It could be used as a gene donor for the assembly of PYLCV resistant chili varieties. PYLCV is one of the important pathogenic viruses in chili cultivation in Indonesia. Identification of polymorphic SSR markers in crossing populations between IPBC12 and Yuni variety was performed to obtain the markers that can be used for progenies selection and linked with chili resistance to PYLCV. A total of 20 SSR markers were used for polymorphis analysis on two parents, then the polymorphic markers were tested on F1 and F2 populations. The research obtained four polymorphic markers in the two parentals, and among these four polymorphic markers, three markers ( (CaBR61, CaBR64, and CaBR98) showed consistently polymorphic on segregated populations. Based on polymorphic marker analysis, 14 of F1 progenies were confirmed as breeding lines between IPBC12 accessions and Yuni varieties. The marker that consistently detects allele inheritance from both parents in the F1 progenies is CaBR61 which is a potential selection marker for F1 progenies. Marker analysis of the F2 lines did not found linked-marker with PYLCV-resistance trait. Further analysis is needed using sufficient and evenly distributed markers in the chili genome to map PYLCV resistance genes in breeding populations of IPBC12-Yuni varieties. Keywords: Capsicum annuum, IPBC12 accession, marker-assisted selection, Yuni variety
Identifikasi Gejala dan Kisaran Inang Enam Isolat Begomovirus Cabai di Indonesia (Symptom and Host Range Identification of Six Chilli Begomovirus Isolate in Indonesia) Redy Gaswanto; Muhamad Syukur; Sri Hendrastuti Hidayat; Neni Gunaeni
Jurnal Hortikultura Vol 26, No 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v26n2.2016.p223-234

Abstract

Perkembangan infeksi Begomovirus pada cabai di Indonesia tidak menutup kemungkinan adanya isolat baru yang berbeda gejala dan kisaran inangnya. Tujuan penelitian adalah melakukan identifikasi isolat Begomovirus cabai dari beberapa sentra produksi di Indonesia berdasarkan gejala dan kisaran inangnya. Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Rumah Kasa Virologi Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang, dari Bulan Mei 2013 sampai dengan Agustus 2013. Isolat Begomovirus cabai diperoleh dari enam daerah, yaitu Leuwikopo-Bogor, Brebes, Magelang, Kediri, Blitar, dan Karangploso-Malang. Isolat Begomovirus cabai tersebut diisolasi dan dipelihara pada benih tanaman cabai sehat varietas Tanjung-2 dengan cara ditularkan melalui serangga vektor Bemisia tabaci nonviruliferous. Deteksi isolat Begomovirus cabai secara polymerase chain reaction (PCR) menggunakan sepasang primer universal pAL1v1978/pAR1c715. Identifikasi gejala dan kisaran inang dilakukan pada sembilan jenis tanaman indikator, yaitu cabai, tomat, terung, kacang panjang, buncis, mentimun, babadotan, caisim, dan bayam duri. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Amplifikasi PCR menggunakan primer universal pAL1v1978/pAR1c715 terhadap enam isolat Begomovirus cabai berhasil memperoleh fragmen DNA berukuran 1.600 kb. Isolat Begomovirus cabai asal Brebes, Magelang, Kediri, Blitar, dan Karangploso berhasil ditularkan pada tanaman indikator cabai, tomat, terung, mentimun, kacang buncis, kacang panjang, dan babadotan, namun tidak berhasil ditularkan pada tanaman caisim dan bayam duri. Pada tanaman cabai, isolat Begomovirus asal Brebes lebih virulen 3,3–10% untuk tingkat kejadian penyakit dengan masa inkubasi lebih cepat 2,7–3,7 hari dibandingkan isolat Begomovirus asal Bogor, Magelang, Kediri, Blitar, dan Malang. Untuk kepastian perbedaan enam isolat Begomovirus cabai secara molekuler, disarankan untuk analisis perunutan DNA.KeywordsBegomovirus; Gejala; Kisaran inang; VirulenAbstractPossibility Begomovirus infection on chilli in Indonesia continually could appear a new isolate. The research was aimed at identifying chilli Begomovirus isolate from some chilli area in Indonesia according to their symptom dan host range. The research was conducted at virology’s Laboratory and Screen Net House of the Indonesian Vegetable Research Institute (IVEGRI), from May to August 2013. Chilli Begomovirus isolates from six area were collected, namely: Leuwikopo-Bogor, Brebes, Magelang, Kediri, Blitar, and Karangploso-Malang. All isolates were isolated and maintained to the healthy chilli seedling of Tanjung-2 variety transmitted by insect vector B. tabaci nonviruliferous. The molecular isolate detection by polymerase chain reaction (PCR) using a pair of universal primers pAL1v1978/pAR1c715. Nine indicator plants were used to identify their symptom and host range, namely chilli, tomato, eggplant, yardlong bean, bean, cucumber, ageratum, caisim, and wild spinach. A randomized block design was used with three replications. Amplification on six chilli Begomovirus isolates. Isolates from Brebes, Magelang, Kediri, Blitar, and Karangploso were succesfully transmitted to various indicator plants, i.e chilli, tomato, eggplant, cucumber, bean, yardlong bean, and ageratum weed, but failed on caisim and wild spinach. Isolate from Brebes was 3.3–10.0% more virulent (disease incident parameter) and 2.7–3.7% days shorter (incubation time parameter) than isolate from Bogor, Magelang, Kediri, Blitar, and Malang. DNA sequencing analysis is recommended to be done. Further DNA sequencing was recommended to confirm the moleculer diffferences among the six chilli Begomovirus isolates.
Deteksi Penyakit Virus Pada Bawang Merah Asal Kabupaten Brebes dan Cirebon dan Daerah Pencarnya Menggunakan Teknik RT-PCR (Detection of Viral Diseases on Shallot from Brebes and Cirebon Districts and their Spread Using the RT-PCR Techniques) Neni Gunaeni; Asih K Karyadi; Witono Adiyoga
Jurnal Hortikultura Vol 28, No 2 (2018): Desember 2018
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v28n2.2018.p229-238

Abstract

Bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) merupakan salah satu komoditas penting sayuran. Salah satu masalah yang dihadapi dalam budidaya bawang merah adalah adanya penyakit yang disebabkan oleh virus yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas hasil. Penelitian bertujuan mengetahui kelompok virus yang menginfeksi bawang merah dan daerah pencarnya di Kabupaten Brebes dan Cirebon. Kegiatan dilakukan dengan pengambilan sampel tanaman pada bulan September 2013 (musim kemarau) dan April 2014 (musim hujan). Identifikasi virus dilakukan di Laboratorium Virologi Balai Penelitian Tanaman Sayuran menggunakan teknik RT-PCR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tingginya insiden gejala virus bergantung pada pola tanam, penggunaan varietas, umur tanaman, dan kondisi lingkungan di sekitar tanaman, (2) umumnya petani di Kabupaten Brebes dan Cirebon menanam bawang merah varietas Bima Curut, (3) daerah pencar kelompok Potyvirus, Allexivirus, dan Carlavirus cukup luas di Kabupaten Brebes dan Cirebon, (4) terdeteksi dari kelompok sampel Kabupaten Brebes Potyvirus 92,30%, Allexivirus 92,50%, dan Carlavirus 99%, dan (5) terdeteksi dari kelompok sampel asal Kabupaten Cirebon Potyvirus 96,43%, Allexivirus 96,15%, dan Carlavirus 93%. Implikasi dari infeksi ketiga kelompok virus tersebut pada tanaman bawang merah dapat menurunkan produksi 21,57–54,90%.KeywordsAllium cepa var. ascalonicum; Deteksi; Potyvirus; Allexivirus; CarlavirusAbstractShallot (Allium cepa var. ascalonicum) is one of the important vegetable commodity. The problems encountered in the cultivation of shallot is the disease caused by a virus which can reduce the quality and yield quantity. This study aimed to determine the group of viruses that infect shallot and geographycal distribution in Brebes and Cirebon Districts. The activities carried out by plant sampling in September 2013 (dry season) and April 2014 (rainy season). Identification of virus carried in the Virology Laboratory of Indonesian Vegetables Research Institute to perform testing using RT-PCR. The results showed that: (1) the high incidence of viral symptoms depend on cropping patterns, use of improved varieties, plant age, environmental conditions around the plant, (2) generally famers in Brebes and Cirebon Districts planted Bima Curut varieties, (3) geographycal distribution Potyvirus group, Allexivirus, and Carlavirus quite extensive in Brebes and Cirebon regions, (4) detected viruses from samples of Brebes District : Potyvirus group 92.30%, Allexivirus 92.50%, and Carlavirus 99%, and (5) detected viruses from samples of Cirebon District : Potyvirus group 96.43%, Allexivirus 96.15%, and Carlavirus 93%. The implications of the infection of the above three groups of viruses on the plant can decrease the production of shallots 21.57–51.90%.
Uji Ketahanan terhadap Tomato Yellow Leaf Curl Virus pada Beberapa Galur Tomat Neni Gunaeni; Eti Purwati
Jurnal Hortikultura Vol 23, No 1 (2013): Maret 2013
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v23n1.2013.p65-71

Abstract

Infeksi virus tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi tomat di Indonesia. TYLCV termasuk ke dalam kelompok Gemini virus yang ditularkan oleh kutukebul (whitefly = Bemisia tabaci). Pengendalian virus TYLCV yang aman dan menguntungkan ialah dengan penggunaan varietas tahan yang merupakan salah satu cara pengendalian hayati penyakit virus. Cara ini mempunyai kelebihan dibandingkan pengendalian menggunakan pestisida dan kultur teknis. Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat ketahanan 30 galur tomat terhadap virus TYLCV. Penelitian dilakukan di Rumah Kasa Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Lembang pada ketinggian 1250 m dpl.. Penelitian dilakukan dari Bulan Agustus sampai dengan Desember 2008. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga galur tomat termasuk ke dalam kelompok agak tahan (moderate resistance) yaitu Mirah, 5048, dan 1927 dengan intensitas serangan virus berkisar 11,85–18,98%. Delapan galur tomat termasuk ke dalam kelompok  agak rentan (moderate susceptible) yaitu 1176, 823, CL-6064, 1941, 2208, 4377, 4507, dan 1184 dengan intensitas serangan virus berkisar antara 20,55–29,81%. Empat belas  galur tomat termasuk ke dalam kelompok rentan (susceptible) yaitu CLN 2026 – 3, CLN – 399, LV 3644, Oval, 5016, 1450, 1923,  1426, 3075, 2204, 4574, 2245, 4968, dan 4491 dengan intensitas serangan virus berkisar 30,92–49,94%. Lima galur tomat termasuk  ke dalam kelompok sangat rentan (highly susceptible) yaitu 1217, TKU, 4444, 5014, dan PETO#86 dengan intensitas serangan virus berkisar 51,85–69,14%. Virus TYLCV berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan bobot buah tomat.
Pengaruh Perangkap Likat Kuning, Ekstrak Tagetes erecta, dan Imidacloprid Terhadap Perkembangan Vektor Kutukebul dan Virus Kuning Keriting Pada Tanaman Cabai Merah Neni Gunaeni; Wiwin Setiawati; Yeni Kusandriani
Jurnal Hortikultura Vol 24, No 4 (2014): Desember 2014
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v24n4.2014.p346-354

Abstract

Penyakit virus kuning keriting disebabkan oleh virus Gemini merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman cabai merah. Virus ini menjadi penting pada tanaman cabai karena tanaman inang alternatifnya banyak dan vektor pembawanya yaitu serangga Bemisia tabaci yang polyfag dan selalu ada pada setiap musim. Usaha pengendalian yang banyak dilakukan para petani saat ini yaitu pengendalian terhadap vektor virus dengan menggunakan insektisida yang dilakukan secara rutin dan terjadwal. Alternatif cara pengendalian yang efektif yaitu aman bagi lingkungan dan harganya relatif murah. Cara pengendalian penyakit virus tular kutukebul dapat dilakukan melalui penekanan populasi vektor virus. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan cara pengendalian penyakit virus kuning keriting dan populasi vektor virus yang efektif dan ramah lingkungan serta pengaruhnya terhadap hasil tanaman cabai. Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Lembang dengan ketinggian 1.250 m dpl. dan tipe tanah Andosol pada bulan Juni sampai Desember 2010. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan empat ulangan dan tujuh perlakuan untuk mengendalikan kutukebul yaitu (1) perangkap likat kuning, (2) ekstrak nabati Tagetes erecta konsentrasi 12,50%, (3) insektisida berbahan aktif imidacloprid 0,02%, (4) kombinasi perangkap likat kuning + ekstrak nabati tagetes, (5) kombinasi perangkap likat kuning + bahan insektisida imidacloprid, (6) kombinasi tagetes + imidacloprid, (7) kombinasi perangkap likat kuning + ekstrak nabati tagetes + bahan aktif imidacloprid, dan (8) tanpa perlakuan (kontrol). Varietas cabai yang digunakan adalah Lembang-2. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan (perangkap + tagetes + imidacloprid), (tagetes + imidacloprid), dan (perangkap + imidacloprid) berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman, dapat menekan vektor, insiden, dan intensitas gejala virus kuning keriting serta hasil panen dibandingkan perlakuan tunggal dan kontrol (tanpa perlakuan) sebesar 15,56–21,61%. Implikasi dari penelitian ini diharapkan dapat mengurangi bahan kimia pertanian dan pemanfaatan sumberdaya alam (nabati) untuk menekan perkembangan vektor kutukebul dan virus kuning keriting pada tanaman cabai merah.
Pengaruh Varietas dan Cara Aplikasi GA3 terhadap Pembungaan dan Hasil Biji Bawang Merah di Dataran Tinggi Sulawesi Selatan Nani Sumarni; Neni Gunaeni; Sartono Putrasamedja
Jurnal Hortikultura Vol 23, No 2 (2013): Juni 2013
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v23n2.2013.p153-163

Abstract

Masalah utama dalam produksi biji bawang merah (TSS) di Indonesia ialah kemampuan berbunga dan menghasilkan biji TSS masih rendah dan faktor iklim terutama panjang hari yang pendek (<12 jam) dan rerata temperatur udara yang cukup tinggi (>18oC) di Indonesia kurang mendukung terjadinya inisiasi pembungaan. Aplikasi giberelin (GA3) dapat menggantikan seluruh atau sebagian fungsi temperatur rendah dan hari panjang untuk inisiasi pembungaan. Penelitian lapangan dilakukan di dataran tinggi Malino, Sulawesi Selatan dari Bulan Februari sampai Oktober 2012, untuk mengetahui pengaruh varietas-varietas bawang merah Balitsa dan cara aplikasi GA3 terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah. Rancangan percobaan yang digunakan ialah petak terpisah dengan empat ulangan. Petak utama ialah dua varietas bawang merah Balitsa (Mentes dan Pancasona). Anak petak ialah empat cara aplikasi GA3 (tanpa, perendaman bibit dalam GA3, penyemprotan tanaman dengan GA3 pada umur 3 dan 5 minggu setelah tanam, dan kombinasi perendaman bibit dan penyemprotan tanaman dengan GA3). Konsentrasi GA3 yang digunakan ialah 200 ppm. Sebelum ditanam, umbi bibit berukuran besar (5 g/umbi) diberi perlakuan vernalisasi (10oC) selama 4 minggu. Pemupukan yang diberikan ialah 1000 kg/ha NPK 16-16-16 dan 15 t/ha pupuk kandang. Tanaman tagetes ditanam di sekeliling petak-petak percobaan untuk menarik serangga polinator. Naungan plastik transparan dipasang setelah tanaman bawang merah berbunga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara varietas dan cara aplikasi GA3 terhadap pertumbuhan tanaman, pembungaan, pembuahan/polinasi, dan hasil biji bawang merah. Varietas bawang merah Pancasona menghasilkan jumlah tanaman yang berbunga dan jumlah umbel bunga per petak tidak berbeda nyata dengan varietas Mentes, namun jumlah umbel bunga yang berbuah dan hasil biji TSS per petaknya nyata lebih tinggi. Cara aplikasi GA3 paling baik dan efisien terhadap pembungaan, pembuahan, dan hasil biji bawang merah (TSS) ialah perendaman umbi bibit selama 30 menit pada larutan 200 ppm GA3. Hasil biji TSS paling tinggi terdapat pada varietas Pancasona dengan cara perendaman umbi bibit sebelum tanam pada larutan 200 ppm GA3 selama 30 menit, yaitu sebesar 205,66 g/12 m2 atau setara 137,11 kg/ha (efisiensi lahan 80%). Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi petani untuk mandiri memproduksi benih bawang merah yang sehat dan berdaya hasil tinggi.
EFEK ANTIVIRAL RIBAVIRIN DALAM PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN EKSPLAN BAWANG PUTIH CV. LUMBU HIJAU, CV. LUMBU KUNING DAN CV. TAWANGMANGU Asih K. Karjadi; Neni Gunaeni
Agrin Vol 22, No 2 (2018): Agrin
Publisher : Jenderal Soedirman University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (206.383 KB) | DOI: 10.20884/1.agrin.2018.22.2.445

Abstract

Tanaman bawang putih (Allium sativum L) termasuk dalam genus Allium yang diperbanyak secara vegetatifmelalui umbi. Virus merupakan salah satu penyakit penting yang perlu dipecahkan pada pembiakan vegetatif ini.Teknik inkonvensional kultur jaringan yang dikombinasikan dengan kemoterapi dapat membantu menghilangkanpenyakit virus. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari beberapa konsentrasi antiviral ribavirin dimedia MS terhadap pertumbuhan dan perkembangan shoot tip Bawang putih cv Lumbu Hijau, cv. Lumbu Kuning,cv. Tawangmangu. Percobaan dilakukan di laboratorium kultur jaringan, Balai Penelitian Tanaman Sayur(Balitsa), pada bulan Mei hingga Juli 2015. Sasaran penelitian adalah untuk menghasilkan tanaman bebas virusdengan menggunakan teknik kultur jaringan yang dikombinasikan dengan kemoterapi. Varibel yang diamatiadalah pertumbuhan dan perkembangan planlet bawang putih. Hasil dari penelitian (1) Kontaminasi kulturumumnya disebabkan oleh bakteri dan jamur dengan persentase 10 % sampai dengan 30%. (2) Penambahanantiviral ribavirin, semakin tinggi konsentrasi persentase tumbuh dan berkembang semakin rendah untuk ketigakultivar (3) Pengamatan secara visual penambahan antiviral ribavirin dan kultivar tidak berpengaruh pada jumlahtunas, rata-rata dari satu eksplan tumbuh satu tunas untuk ketiga kultivar (4). Penambahan antiviral ribavirin dankultivar tidak mempengaruhi pertumbuuhan daun, akar ketiga kultivar (5).Hasil pengujian virus dengan teknikDAS ELISA persentase kultur yang terinfeksi 54.55% sampai dengan 100 %.Kata kunci: bawang putih (Allium sativum L); antiviral ribavirin; kultivarABSTRAKThe garlic (Allium sativum L) belonging to the genus Allium, propagated in vegetative through bulb. Inthe plants propagated by vegetative technique, virus is an important disease to be solved. The tissue culturetechniques in combination with chemotheraphy could eliminate virus diseases. The experiment carried out in thelaboratory tissue culture, Balai Penelitian Tanaman Sayur (Balitsa) on May untill July 2015. The experiment aimsto observe the effect of several antiviral ribavirin concentration in MS medium on growth and development shoottip cv. Lumbu hijau , cv. Lumbu kuning , cv. Tawangmangu. It’s main goal is to produce virus-free plants usingtissue culture techniques combined with chemotheraphy. The variables observed were the growth and developmentof garlic plantlets. The results of the experiment are; (1). Culture contamination were generally caused by bacteriaand fungi with a percentage of 10% to 30%. (2) In the high concentration of antiviral ribavirin gave results ondecreasing growth and development of the three garlic cultivar (3) On visual observation, cultivar and antiviralribavirin has no effect on the number of shoots, each explants were growing one shoot. (4). The added of antiviralribavirin and cultivar does not affect on growth the three garlic cultivar . (5) The results of the test virus byserological test DAS ELISA techniques the percentage of infected culture were 54.55% to 100%.Key word : Garlic (Allium sativum L); Antiviral ribavirin; cultivar
PENGARUH PEMANASAN DAN ASAL EKSPLAN PADA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN BAWANG MERAH (Allium ascolonicum L.) Asih K. Karjadi; Neni Gunaeni
Agrin Vol 22, No 1 (2018): Agrin
Publisher : Jenderal Soedirman University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (239.946 KB) | DOI: 10.20884/1.agrin.2018.22.1.455

Abstract

Tanaman bawang merah (Allium ascolonicum L) termasuk dalam genus Allium sp yang diperbanyak secaravegetatif melalui umbi. Perbanyakan benih bawang sudah dilakukan secara in vitro (konvensional), untuk tujuanpeningkatan mutu atau hanya perbanyakan tanaman . Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur JaringanBalai Penelitian Tanaman Sayuran, pada bulan Februari sampai Agustus 2014. Untuk menghasilkan tanamanbebas penyakit terutama virus dapat digunakan teknik kultur jaringan yang dikombinasikan dengan perlakuanpemanasan. Penelitian bertujuan untuk melihat pengaruh pemanasan dan sumber eksplan terhadap pertumbuhandan perkembangan eksplan bawang merah.. Perlakuan pemanasan bahan eksplan bawang merah dilakukan secarabertahap selama 4 minggu, masing-masing 1 minggu untuk suhu (30, 33, 35 dan 37 oC). Media yang dipergunakanuntuk penumbuhan eksplan adalah MS + MS vits + sucrose 30 g/l + IAA 2 mg/l + Kinetin 2 mg/l + GA3 0.01mg/l agar gelgro 2 g/l pH 5.7. Penelitian terdiri dari 2 kegiatan yaitu Perlakuan pada cv. Pikatan, dan pada cv.Bima Brebes. Sebagai eksplan dipergunakan yaitu (1/3 bulb/ umbi) dan (shoot tip/ jaringan meristematik denganbeberapa daun primordia). Perlakuan eksplan yang digunakan yaitu tanpa pemanasan dan dengan pemanasan.Pertumbuhan dan perkembangan dari planlet diamati pada penelitian ini. Hasil dari penelitian menunjukkanbahwa perlakuan pemanasan bahan eksplan bawang merah cv. Bima Brebes, belum menurunkan persentase planletyang terinfeksi virus. Eksplan (1/3 bulb) dan (shoot tip), mempunyai pertumbuhan eksplan diatas 50%. Umumnyasemakin kecil eksplan persentase planlet abnormal semakin tinggi. Kontaminasi kultur umumnya disebabkanbakteri dan jamur yang terbawa dari eksplan (endogen). Perlakuan pemanasan bahan eksplan bawang merah secaravisual tidak berpengaruh pada persentase pertumbuhan dan persentase kultur terkontaminasi.Kata kunci: Bawang merah, Allium ascolonicum L, pemanasan, asal eksplanABSTRACTRed onion plants (Allium ascolonicum L) are included in the genus Allium sp which is propagatedvegetatively through tubers. Propagation of onion seeds has been done in vitro (conventionally), for the purposeof quality improvement or only plant propagation. The research was carried out at the Tissue Culture Laboratory,Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) from February to August 2014. To produce plants free of mainly viraldiseases can be used tissue culture techniques combined with heating treatment. Research aims were to look atthe effect of heating and explants on the growth and development of red onion explants. The treatment of the onionexplants was heated gradually for 4 weeks, 1 week each for temperatures (30, 33, 35 and 37 oC). The media usedfor the growth of explants is MS + MS vits + sucrose 30 g / l + IAA 2 mg / l + Kinetin 2 mg / l + GA3 0.01 mg / lso that gelgro 2 g / l pH 5.7. The study consisted of 2 activities, namely, treatment at cv. Pikatan, and at cv. BimaBrebes. As explants it is used (1/3 bulb / tuber) and (shoot tip / meristematic tissue with several leaves ofprimordia). The explants treatment used are without heating and by heating. Growth and development of plantletswas observed in this study. The results showed that the heating treatment of explants onions cv. Bima Brebes, hasnot reduced the percentage of plantlets infected with the virus. Explants (1/3 bulb) and (Shoot tip), have explantsgrowth above 50%. Generally the smaller explants the higher percentage of abnormal plantlets. Culturecontamination is generally caused by bacteria and fungi that are carried away from explants (endogenous). Thetreatment of heating the onion explants material visually had no effect on the percentage of growth and percentageof contaminated culture.Keywords: red onion, Allium ascolonicum L, heating treatment, source of explant
Pengaruh tumpangsari cabai dan tomat terhadap perkembangan hama utama dan hasil cabai (Capsicum annuum L.) Neni Gunaeni; Astri W Wulandari; Redy Gaswanto
Jurnal Agro Vol 9, No 1 (2022)
Publisher : Jurusan Agroteknologi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/16028

Abstract

Tumpangsari cabai dan tomat merupakan salah satu sistem kultur teknis dalam pengendalian hama terpadu. Tujuan penelitian untuk mendapatkan sistem penanaman cabai yang paling tepat dalam menekan perkembangan hama utama dan meningkatkan hasil cabai. Penelitian dilakukan di Balitsa. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Desember 2018, metode percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok diulang empat kali dengan perlakuan: (A). Cabai dan tomat ditanam bersamaan (B). Tomat ditanam satu minggu setelah cabai (C). Tomat ditanam dua minggu setelah cabai (D). Tomat ditanam tiga minggu setelah cabai (E). Cabai ditanam monokroping tanpa menggunakan mulsa plastik hitam perak (F). Cabai monokroping dengan menggunakan mulsa plastik hitam perak. Hasil penelitian: Tumpangsari cabai dan tomat berpengaruh baik dalam menekan populasi kutu daun 14,65%-48,91%, kutu kebul 18,30%-27,16%, trips 11%-41,44%, dan dapat meningkatkan hasil cabai 90%-127% dibandingkan cabai monokroping dan 10%-31% cabai monokroping dengan mulsa plastik hitam perak. Implikasi dari hasil penelitian sistem tanam tumpangsari cabai dan tomat dapat menghambat perkembangan populasi hama utama cabai karena dapat bersifat sebagai barrier dan repellen. Perlakuan terbaik adalah tomat ditanam 1 dan 2 minggu setelah cabai.ABSTRACTChilli and tomatoes intercropping is a technical culture system in integrated pest control. The study aimed to find the most appropriate chilli planting system to suppress the development of major pests and increase chilli yields. The research was conducted at the IVEGRI. The study was conducted from April to December 2018, and the experimental method using an RBD was repeated four times. Treatments: (A). Chilli and tomato planted together (B). Tomatoes were planted one week after chilli (C). Tomatoes are planted two weeks after chilli (D). Tomatoes are planted three weeks after chilli. (E). The chilli was grown monocrop without silver black mulch (F). Chilli was grown monocrop with silver black mulch. The results: Chilli and tomato intercropping had a good effect on suppressing aphids population 14,65%-48,91%, white flying 18,30%-27,16%, trips 11%-41,44%, and could increase chilli yields 90%-127% compared to monocropped chilli and 10%-31% monocropped chilli with silver black mulch. The implications of the research results on chilli and tomato intercropping systems can inhibit the development of the main pest population of chilli because they act as a barrier and repellant. The best treatment is tomato planted 1 and 2 weeks after chilli. Tumpangsari cabai dan tomat merupakan salah satu sistem kultur teknis dalam pengendalian hama terpadu. Tujuan penelitian untuk mendapatkan sistem penanaman cabai yang paling tepat dalam menekan perkembangan hama utama dan meningkatkan hasil cabai. Penelitian dilakukan di Balitsa. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Desember 2018, metode percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok diulang empat kali dengan perlakuan: (A). Cabai dan tomat ditanam bersamaan (B). Tomat ditanam satu minggu setelah cabai (C). Tomat ditanam dua minggu setelah cabai (D). Tomat ditanam tiga minggu setelah cabai (E). Cabai ditanam monokroping tanpa menggunakan mulsa plastik hitam perak (F). Cabai monokroping dengan menggunakan mulsa plastik hitam perak. Hasil penelitian: Tumpangsari cabai dan tomat berpengaruh baik dalam menekan populasi kutu daun 14,65%-48,91%, kutu kebul 18,30%-27,16%, trips 11%-41,44%, dan dapat meningkatkan hasil cabai 90%-127% dibandingkan cabai monokroping dan 10%-31% cabai monokroping dengan mulsa plastik hitam perak. Implikasi dari hasil penelitian sistem tanam tumpangsari cabai dan tomat dapat menghambat perkembangan populasi hama utama cabai karena dapat bersifat sebagai barrier dan repellen. Perlakuan terbaik adalah tomat ditanam 1 dan 2 minggu setelah cabai.
EFEK UKURAN, WAKTU PEMANASAN DALAM PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L) SECARA INKONVENSIONAL Asih K. Karjadi; Nurmalita Waluyo; Neni Gunaeni
Gunung Djati Conference Series Vol. 18 (2023): Prosiding Seminar Nasional Biologi (SEMABIO) Tahun 2022
Publisher : UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1271.024 KB)

Abstract

Garlic (Allium sativum L.) is included in the genus Allium sp., propagated vegetatively through clove. In plants that are propagated vegetative, viral systemic diseases will be carried over to the next generation. In conventional methods/ tissue culture techniques combined with size and heat treatment the explant material can used as virus elimination. The activity research conducted at the Balitsa tissue culture laboratory from April to July 2018. The purpose of the study was to see the effect of size, heat treatment of explant material on the growth and development of garlic variety Tawang Mangu. The treatments were (1) explant size E1 = 1/3 clove, E2 = shoot tip, E3 = meristem tissue, (2) heat treatment 37oC, T1 = without treatment, T2 = heat treatment for 2 weeks, T3 = heat treatment for 4 weeks, T4 = heat treatment 6 weeks. The composition of the growing media: MS + MS vits + sucrose 30 g/l + IAA 2 mg/l +Kinetin 2 mg/l + GA3 0.01 mg/l + Gel gro 2 g/l, pH 5.7. The results of the study (1) were visually observed that the smaller the size of the explants and the length of heat treatment, the lower the percentage of explants that grew normally. (2) Percentage of contamination 33.33 – 60% caused by bacteria or fungi. (3) The percentage of infected plantlet with virus with DAS ELISA technique were 40 – 66.67%.