p-Index From 2019 - 2024
7.045
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya GEMA TEOLOGIKA : Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Kurios Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Fidei: Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika BIA': Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Jurnal Ilmiah Religiosity Entity Humanity (JIREH) VISIO DEI: JURNAL TEOLOGI KRISTEN Pengarah: Jurnal Teologi Kristen Manna Rafflesia PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen SANCTUM DOMINE: Jurnal Teologi Jurnal Amanat Agung JURNAL TERUNA BHAKTI Studia Philosophica et Theologica Tumou Tou EDULEAD: Journal of Christian Education and Leadership BONAFIDE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen POIMEN Jurnal Pastoral Konseling LOGIA : Jurnal Teologi Pentakosta Vox Dei : Jurnal Teologi dan Pastoral Kinaa: Jurnal Kepemimpinan Kristen dan Pemberdayaan Jemaat Mahabbah: Journal of Religion and Education CARAKA: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika Ra'ah Predica Verbum KAMASEAN: Jurnal Teologi Kristen Melo: Jurnal Studi Agama-agama Mitra Sriwijaya: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen THRONOS: Jurnal Teologi Kristen CHARISTHEO: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Danum Pambelum: Jurnal Teologi dan Musik Gereja Voice of HAMI: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen JURNAL MISIONER MANTHANO: Jurnal Pendidikan Kristen Jurnal SMART (Studi Masyarakat, Religi, dan Tradisi) Rerum: Journal of Biblical Practice Jurnal Efata: Jurnal Teologi dan Pelayanan Tevunah: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen
Claim Missing Document
Check
Articles

MEMAKNAI PENYELAMATAN ZIPORA ATAS RENCANA TUHAN MEMBUNUH MUSA Panjaitan, Firman
BIA': Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual Vol 2, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Toraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (668.9 KB) | DOI: 10.34307/b.v2i2.71

Abstract

In the Bible it is often found a difficult part to understand, especially in this paper about the plan of the Lord who wanted to kill Moses. Even if you look deeper, Moses is a person sent by the LORD to free the nation of Israel from occupation in Egypt. This section needs to be examined more deeply, so that it can be searched for what is the basis of this action of the Lord, and at the same time what theological meanings are contained in this section, which are also relevant to present life. Through word study research efforts, it can be found that the plan of the Lord to kill Moses was not a playful plan, but it was a truly serious plan. But all these plans could be failed because Zipporah, the wife of Moses, succeeded in making atonement with the LORD through the foreskin of Moses 'son who was affixed to Moses' pubic. This indicates that the Lord's plan occurred because Moses was negligent in keeping his holiness, which is to circumcise his child. Holiness is the most important thing in carrying out all forms of service and call of God. If this holiness was ignored, then it could be that the Lord's plan to send someone turned into the anger of the LORD against the one sent.Abstrak: Dalam Alkitab seringkali dijumpai bagian yang sulit untuk dipahami. Terkait dengan tulisan ini, bagian yang sangat sulit itu adalah tentang rencana TUHAN yang hendak membunuh Musa. Padahal kalau dilihat lebih dalam lagi, Musa adalah orang yang diutus oleh TUHAN untuk membebaskan bangsa Israel dari kerja paksa di Mesir. Bagian ini perlu untuk diteliti lebih dalam lagi, agar dapat dicari apa yang menjadi dasar dari tindakan TUHAN ini, dan sekaligus ditarik makna teologi apa yang terkandung dalam bagian ini, yang juga relevan bagi kehidupan sekarang. Melalui studi kata, maka dapat dijumpai bahwa rencana TUHAN membunuh Musa bukanlah rencana yang main-main, tetapi merupakan rencana yang memang sungguh-sungguh. Namun semua rencana itu dapat digagal-kan karena ada Zipora, istri Musa, yang berhasil mengadakan upaya ?pendamaian? dengan TUHAN melalui kulit khatan anak Musa yang ditempelkan ke ?kemaluan? Musa. Ini menandakan bahwa rencana TUHAN itu terjadi karena Musa telah lalai dalam menjaga kekudusan dirinya, yaitu menyunatkan anaknya. Kekudusan meru-pakan hal terpenting dalam menjalankan segala bentuk pelayanan dan panggilan TUHAN. Apabila kekudusan ini diabaikan, maka bisa saja rencana TUHAN mengutus seseorang berubah menjadi kemarahan TUHAN terhadap yang diutus. 
Resensi Buku: Bergulat di Tepian—Pembacaan Lintas Tekstual Dua Kisah Mistik (Dewa Ruci dan Yakub di Yabok) untuk Membangun Perdamaian Panjaitan, Firman
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 5 No 2 (2020): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2020.52.629

Abstract

Membangun Nisbah Kehidupan Rumah Tangga: Tafsir Kolose 3:18-4:1 Panjaitan, Firman
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 6 No 1 (2021): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2021.61.659

Abstract

AbstractHousehold codes are often characterized by a patriarchal pattern that allows hierarchical relations between husband-wife and parent-child, including in terms of work. The hierarchy creates a condition of ordinationsubordination, which suggests that there are strong and weak parties. This resulted in the idea that the strong owns the weak. Colossians 3:18-4:1criticizes the household rules constructed according to the philosophical views that developed at that time. Using historical-criticism methods, especially textual criticism, namely studies that specialize in research on text or words, this article suggests that the phrase “in God” is a reference for a household code based on an equality principle. This research also reveals that the relationships constructed in Colossians 3:18-4:1 negatethe hierarchical model. AbstrakAturan kerumahtanggaan sering kali diwarnai dengan pola patriarkhi yang mengizinkan adanya hierarki dalam nisbah antara suami-istri dan orang tua-anak, termasuk juga dalam hal bekerja. Hierarki menimbulkan kondisi ordinasi-subordinasi, yang mengesankan ada pihak yang kuat dan lemah, dan dampak yang terjadi adalah munculnya status kepemilikandari yang kuat terhadap yang lemah. Kolose 3:18-4:1 hendak mengkritik aturan kerumahtanggaan yang telah terbangun selama ini akibat pengaruh pandangan filsafati yang berkembang pada saat itu. Dengan menggunakan metode historis-kritis,khususnya kritik teks, yaitu studi yang mengkhususkan pada penelitian terhadap teks atau kata, artikel ini hendak memperlihatkan bahwa aturan kerumahtanggaan dan kerja yang dibangun harus didasarkan pada ekualitas/kesejajaran, dan kata kunci dalam membangun kesejajaran itu adalah frasa “di dalam Tuhan”. Penelitian ini menghasilkan sebuah temuan yang menunjukkan bahwa nisbah yang dibangun dalam Kolose 3:18-4:1 mengenai aturan kerumahtanggaan dan kerja “di dalam Tuhan” adalah nisbah yang menafikan hierarki.
Dialog Imajiner Kaum Tertindas: Tafsir Kejadian 3:1-6 dalam Konsep Carnivalesque Bakhtin Firman Panjaitan
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 6, No 1 (2020): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v6i1.88

Abstract

Dialog antara ular dengan perempuan dalam Kejadian 3:1-6 sering kali dipahami sebagai bentuk ketidakmampuan manusia melawan godaan ular, yang mengakibatkan hubungan manusia dengan Allah menjadi jauh. Bahkan dalam beberapa pandangan dogmatis lain dikatakan bahwa akibat kejatuhan tersebut ‘gambar dan rupa Allah’ dalam diri manusia menjadi rusak, meskipun teks tidak pernah menunjukkan hal tersebut. Tulisan ini hendak melihat Kejadian 3:1-6 melalui konsep Carnivalesque yang digagas oleh seorang filsuf modern, Mikhail M. Bakhtin. Dalam metode penelitian yang berfokus pada studi pustaka, diperoleh pengertian bahwa konsep Carnivalesque sangat menekankan unsur perjumpaan manusia dengan sang liyan sebagai bentuk kehidupan yang bermakna. Secara khusus konsep Carnivalesque juga menyoroti perjumpaan antara kelompok the haves not, yang memiliki cara berkomunikasi secara unik yang menghadirkan makna konotatif, karena setiap bahasa lisan dan tubuh menghadirkan maknanya sendiri-sendiri. Model perjumpaan dengan nada dan bahasa simbolis ini yang dipakai untuk menganalisis percakapan antara ular dengan perempuan. Hasil yang diperoleh dalam analisis tersebut tidak mengarah pada keterpisahan antara manusia dengan Allah, melainkan muncul kesadaran terhadap pentingnya dialog antara Allah dengan manusia, tanpa dibayangi oleh ketakutan, agar tercipta relasi yang lebih baik antara Allah dengan manusia.
Kepemimpinan Yesus Kristus sebagai Model Dasar Kepemimpinan Kristen Berdasarkan Matius 20:20-28 Firman Panjaitan
KINAA: Jurnal Kepemimpinan Kristen dan Pemberdayaan Jemaat Vol. 1 No. 2 (2020): Kinaa: Jurnal Kepemimpinan Kristen dan Pemberdayaan Jemaat. Vol 1, No 2, Desemb
Publisher : IAKN TORAJA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34307/kinaa.v1i2.14

Abstract

Abstract: The leadership crisis is an actual problem in Indonesia, which can be seen from the arrest of several leaders by the Corruption Eradication Commission due to the weak leadership model of the leaders. The leadership of Jesus Christ is the answer to the current leadership crisis. In the midst of a leadership model that relies on power, position and tends to be self-oriented, Jesus' leadership model which is oriented towards a leader-servant pattern and is altruistic in nature becomes the way to answer the leadership crisis. The critical interpretation’s method of the Bible which search for the meaning of the passage based on the existing text and ‘sitz im leben’, especially to Matthew 20:20-28, found a leadership model of Jesus that deserves to be followed and at the same time can be used as a guide for developing an appropriate and effective leadership model. The results of the study show that the leadership model of Jesus Christ in Matthew 20: 20-28 is leadership that has a vision and leadership ethics for the Kingdom of God, namely a leadership model that is pro-people and life (altruistic). Through the leadership model of Jesus Christ, one can lead effectively, efficiently and down to earth.   Keywords: Christian; Ethics of the Kingdom of God; Jesus Christ; Leadership; Leader-Servant; Vision.     Abstrak: Krisis kepemimpinan adalah masalah aktual di Indonesia, yang terlihat dari peristiwa tertangkapnya beberapa pemimpin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi akibat lemahnya model kepemimpinan dari para pemimpin. Menghadapi hal ini, penulis melihat bahwa model kepemimpinan Yesus Kristus merupakan jawaban terhadap krisis kepemimpinan yang sedang terjadi. Di tengah model kepemimpinan yang mengandalkan kekuasaan, jabatan dan cenderung berorientasi pada diri sendiri, maka model kepemimpinan Yesus yang berorientasi pada pola pemimpin-pelayan dan bersifat altruistik menjadi sebuah ‘angin segar’ untuk menjawab krisis kepemimpinan. Dengan menggunakan metode tafsir kritis yang mencari makna perikop berdasarkan teks dan sitz im leben yang ada, khususnya Matius 20:20-28, ditemukan sebuah model kepemimpinan Yesus yang layak diteladani dan sekaligus dapat dijadikan panduan untuk mengembangkan model kepemimpinan yang tepat dan efektif. Hasil penelitian memerlihatkan bahwa model kepemimpinan Yesus Kristus dalam Matius 20:20-28 adalah kepemimpinan yang memiliki visi dan etika kepemimpinan Kerajaan Allah, yaitu model kepemimpinan yang berpihak pada sesama dan kehidupan (bersifat altruistik). Melalui model kepemimpinan Yesus Kristus, seseorang dapat memimpin dengan efektif, efesien dan membumi.   Kata Kunci: Etika Kerajaan Allah; Kepemimpinan; Kristen; Pemimpin–Pelayan; Visi; Yesus Kristus
FINDING A LIVING GOD: Learn from Stanley J. Samartha Firman Panjaitan
MAHABBAH: Journal of Religion and Education Vol 3, No 1 (2022): MAHABBAH: Journal of Religion and Education, Vol.3, No.1 (January 2022)
Publisher : Scriptura Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47135/mahabbah.v3i1.30

Abstract

The religious concept of God has essentially "killed" the real existence of God. The understanding of God has been narrowed through religious dogmas so that God no longer lives universally but is limited to religious dogmas that try to live it in its own religious way. Departing from this problem, this article aims to discuss efforts to find God who lives in the existence of human life. By using literature studies, especially examining Samartha's views on the power of syncretism to build an attitude of pluralism, the findings are that syncretism is a means to animate universal values in religion. Syncretism is the power to foster synergy between culture and religion, so as to form a grounded contextual understanding of the rules of the good life. Likewise with God. Through contextualization based on syncretism, God who has been killed by religious dogmas is brought back to life, so that it can greet life in accordance with the context in which God lives. God is seen universally and at the same time becomes a solid foundation for every religion in the world.
NILAI SEBUAH NAMA BAGI PEREMPUAN Firman Panjaitan; Dwi Ratna Kusumaningdyah
VISIO DEI: JURNAL TEOLOGI KRISTEN Vol 3 No 1 (2021)
Publisher : SEKOLAH TINGGI TEOLOGI STAR'S LUB LUWUK BANGGAI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35909/visiodei.v3i1.175

Abstract

Gender injustice is visible in the sexual division of labor and the mention of a married woman. Generally, the personal name of a married woman will be lost, replaced by her husband's name. This replacing name shows that there is also a pattern of ordination-subordination relationships between men and women in the family. This issue will focus on the discussion in this article, aiming that gender equality can be created starting from the smallest unit in society, namely the family. Using the phenomenological method, which departs from existing facts and then analyzes them with literature studies, this article shows that a person's name refers to a person. If someone's name replaces with another name, the person's identity will be lost and replaced by a new identity based on the new name. Then, if a married woman changes her name with her husband's name, the new name will lose her individuality. The results show that gender education has been carried out by each family through small things, especially in instilling the value of a personal name for a woman so that this will be a force to develop gender justice in society.
KEADILAN DALAM HUKUM LEX TALIONIS: TAFSIR TERHADAP KELUARAN 21:22-25 Firman Panjaitan; Marthin S. Lumingkewas
Pengarah: Jurnal Teologi Kristen Vol 1 No 2 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.539 KB) | DOI: 10.36270/pengarah.v1i2.13

Abstract

The Lex Talionis law is often understood as a law that applies maximum revenge. Through this law, all forms of retaliation are legalized and even justified. The study in Exodus 21: 22-25 just wants to show the opposite of the above understanding. According to the word talion, indeed the Lex Talionis law presupposes complete retaliation. But through interpretation and excavation, especially on Exodus 21: 22-25, the main elements found in Lex Talionis’ law are found; which does not refer to a complete attempt to retaliate, but instead points to the aspect of God's justice in response to every legal case that applied between humans. Thus, the Lex Talionis law is no longer seen as a law of retaliation, but a law of justice that allows this type of law to be implemented in today's life. The results of the study using narrative interpretation methods and combined with textual criticism resulted in an understanding that Lex Talionis law had practical implications, especially regarding the value of sosial justice that could be submitted to the perpetrators of injustice through the courts, so justice would be expected.
Hukuman Tuhan Terhadap Narsisisme Kolektif Jonathan Hizkia Hosea Salendur; Firman Panjaitan
Pengarah: Jurnal Teologi Kristen Vol 3 No 2 (2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36270/pengarah.v3i2.77

Abstract

Perjanjian Lama merupakan sebuah kitab yang berbicara secara khusus mengenai hubungan Tuhan dengan manusia yang telah diikat dengan perjanjian. Ikatan perjanjian antara Tuhan dengan manusia harus dijaga dengan kesetiaan yang diwujudnyatakan melalui tindakan hidup yang didasarkan atas keadilan dan kebenaran Tuhan. Jika manusia tidak hidup dalam kesetiaan tersebut, maka perjanjian dengan Tuhan akan terpatahkan dan hal ini menimbulkan tindakan dan reaksi Tuhan terhadap pematahan perjanjian tersebut. Tindakan Tuhan bisa berupa peringatan dan bahkan hukuman kepada manusia yang telah mematahkan perjanjian. Salah satu bentuk dari ketidaksetiaan terhadap perjanjian adalah kesombongan dan menganggap diri mampu melakukan segala sesuatu dengan didasarkan atas kekuatan diri sendiri. Dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan kritis teks, maka perikop Obaja 1:1-5 dikupas untuk mendapatkan makna pesan perikop dan kemudian diimplementasikan ke kehidupan masa kini. Hasil penelitian menemukan bahwa kesombongan akan mendatangkan hukuman dari Tuhan, namun hukuman ini sebenarnya merupakan bentuk lain dari kasih Tuhan guna menegur dan mengembalikan manusia ke jalan Tuhan.
Penderitaan sebagai Jalan Mistik Menuju Kesatuan Hidup bersama Kristus: Belajar dari Perjalanan Paulus Ke Sorga (2 Korintus 12:1-10) Firman Panjaitan
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya Vol 5, No 2 (2021)
Publisher : UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (415.68 KB) | DOI: 10.15575/rjsalb.v5i2.12677

Abstract

Suffering is the secret of human life. Generally, people view suffering as God's reaction to human sin. This view is corrected by Paul in 2 Corinthians 12: 1-10, which emphasizes that suffering is not God's punishment but God's way of maintaining human humility in facing life. By using the rhetorical critique method, which is a method that explores understanding by creating a single literary genre from many inter-textualities, both in biblical texts and extra-biblical texts, this researcher finds a message that suffering is actually a 'mystical path’ to experience encounter and union with God. In union with God, humans realize that they are part of life as a whole, so they must share and care for each other based on the understanding that all human beings are part of Divine life. Thus 2 Corinthians 12: 1-10 affirms that suffering is not a negative thing and needs to be complained about, but must be grateful for the understanding that this is the ‘mystical path’ of humans towards the unity of life with Christ and fellow humans.