Daniel Lucas Lukito
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi Daniel Lucas Lukito
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 2 No 2 (2001)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT (Southeast Asia Bible Seminary)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (15.539 KB) | DOI: 10.36421/veritas.v2i2.75

Abstract

Menurut kronologi sejarah, gereja Protestan mulai bereksistensi pada peristiwa Reformasi abad ke-16. Sekalipun ketika itu Martin Luther—dan juga kemudian John Calvin—menentang ajaran gereja Katolik Roma, mereka tidak bermaksud mendirikan gereja yang baru. Tujuan dari Reformasi itu sendiri adalah untuk menyerukan sebuah amanat agar gereja kembali kepada dasar ajaran dan misi yang sesungguhnya; gereja disadarkan dan dibangunkan agar berpaling pada raison d’etre dan vitalitasnya di bawah terang Injil. … Tulisan ini mencoba melihat teologi Reformasi dari segi hakikat/esensinya serta kaitan/relevansinya dengan iman Kristen pada masa kini. Karena keterbatasan ruang, penulis lebih banyak memfokuskan pembahasan pada pandangan J. Calvin (1509-1564) tentang esensi Reformasi itu sendiri, karena di dalam pemikiran Calvin-lah kita dapat menemukan pemikiran dasar tentang teologi Reformasi dalam struktur yang lebih mendalam dan sistematis.
Kekeliruan Pengartian Konsep Anugerah dalam Teologi dan Pelayanan Praktis Daniel Lucas Lukito
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 3 No 2 (2002)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT (Southeast Asia Bible Seminary)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (19.869 KB) | DOI: 10.36421/veritas.v3i2.90

Abstract

Berkali-kali dalam perjalanan ke luar kota, ketika menghubungi handphone seseorang atau ketika HP saya berdering, lawan bicara di seberang sering kali bertanya: “Pak Daniel, sekarang ada di mana?” atau “Pak Daniel, sekarang sudah sampai di mana?” Pertanyaan yang bunyinya seperti itu sangat berkesan bagi saya, karena di dalamnya, secara sadar atau tidak, terkandung adanya sebuah indikasi yang tersirat dari kecenderungan zaman modern ini, yaitu manusia dengan mobilitasnya yang tinggi nyaris boleh dikatakan berada di mana-mana. Manusia telah menjadi makhluk yang hampir menuju ke arah lingkup yang omnipresent melalui kemajuan telekomunikasi, revolusi teknologi, dan informasi superhighway yang ajaib. Itu baru satu alat, yaitu handphone. Belum lagi segala kelengkapan modern lainnya seperti komputer, internet, video, teleconference system, teknologi laser, genetika dan lain sebagainya yang disebutkan oleh Jacques Ellul sebagai kecenderungan manusia menjadikan teknologi sebagai sebuah kunci atau “decisive factor.” Dalam situasi kehidupan yang seperti itu saya jadi tergoda untuk berpikir: Apakah manusia atau orang percaya masih membutuhkan yang namanya “anugerah”—atau paling sedikit, apakah dalam kehidupan yang serba modern dan seakan-akan segala sesuatu dapat diraih dalam genggaman tangan, manusia (dan sekali lagi, termasuk orang percaya atau mungkin juga para hamba Tuhan) masih menganggap anugerah sebagaimana arti yang sebenarnya? Jikalau manusia semakin hari menjadi semakin autonomous atau mandiri, apakah ia akan terus dapat menghayati makna dan pengertian yang tepat tentang anugerah seperti yang dimaksudkan dalam Alkitab? Sebagai orang beriman, apalagi pelayan Tuhan, kita semua menyadari bahwa yang menjadikan kekristenan berbeda dengan agama lain adalah kepercayaan tentang anugerah. Kehidupan Kristen dimulai dan dilanjutkan dalam anugerah. Tanpa anugerah kekristenan menjadi kehilangan makna dan relevansi. Karena itu tidak ada yang lebih berarti dalam iman Kristen yang sehat selain pengertian orang percaya yang benar, tepat dan menyeluruh mengenai konsep anugerah. Namun demikian saya menjadi sedih dan kuatir akhir-akhir ini karena adanya orang Kristen yang bukan hanya salah mengartikan anugerah Allah secara benar dan tepat, tetapi juga boleh dikatakan “menghina Roh kasih karunia” (Ibr. 10:29). Mungkin pertanyaan yang langsung muncul setelah ini adalah: Apa buktinya kalau dikatakan bahwa konsep anugerah telah disalahmengertikan? Apa tandanya bahwa anugerah itu direndahkan? Apa contoh konkret bahwa anugerah Allah telah didevaluasikan oleh orang Kristen sendiri? Baiklah saya akan mulai penulisan artikel ini dengan definisi yang rinci dan kesimpulan mengenai arti yang alkitabiah dari istilah “anugerah.” Setelah itu artikel ini akan membahas beberapa kekeliruan pengartian konsep tersebut dalam berteologi dan kenyataan praktis. Pada bagian akhir saya akan memberikan kesimpulan untuk konteks pelayanan dan bergereja.
Mengapa Ajaran Teologi Seseorang Dapat Berubah? Daniel Lucas Lukito
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 4 No 2 (2003)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT (Southeast Asia Bible Seminary)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (19.702 KB) | DOI: 10.36421/veritas.v4i2.115

Abstract

Selesai mengisi tiga kali kebaktian Minggu di sebuah gereja di Surabaya, saya ditemani makan malam oleh dua orang majelis dari gereja tersebut. Di tengah-tengah santap malam tersebut salah seorang majelis bertanya kepada saya, “Pak Daniel, tahu tidak bahwa si anu (ia menyebut nama seorang hamba Tuhan) sekarang ikut ajaran yang aneh-aneh (ia juga menyebut nama ajaran atau lebih tepatnya sebuah aliran yang belakangan ini agak santer)?” Setelah saya menjawab, ya saya tahu, majelis itu bertanya lebih lanjut, “Lho, kok bisa ya? Hamba Tuhan yang studi baik-baik dan setahu saya orang itu punya pengajaran yang cukup baik kok bisa ikut pengajaran yang sumbang seperti itu?” Pertanyaan seperti ini bukan pertama kalinya dialamatkan kepada saya; sudah berkali-kali, di berbagai tempat, oleh segala macam orang, baik yang hamba Tuhan, majelis, mahasiswa teologi bahkan awam. Mereka umumnya menjadi bingung ketika mendengar adanya pendeta atau lulusan teologi yang terbina dengan baik-baik mengalami pergeseran dalam ajarannya. Sekalipun menghebohkan dan membingungkan, sebenarnya perubahan ajaran teologi seseorang bukanlah hal yang baru. Perubahan itu juga bukan disebabkan pendidikan teologi seseorang hanya strata satu atau kurang mendalam. Sebab misalnya orang yang terdidik sampai gelar doktoral seperti Clark H. Pinnock dan yang sudah menulis banyak buku juga mengalami pergeseran dalam pengajarannya. Demikian pula apa yang terjadi pada Donald G. Bloesch, Norman Geisler, Jack Deere dan seterusnya. Walaupun ada juga orang yang berubah dari teologi yang tidak baik (misalnya dari teologi Liberalisme) menjadi teologi yang ortodoks (sebagai contoh apa yang terjadi pada Thomas C. Oden ), namun demikian agaknya orang yang teologinya berubah menjadi ngawur jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang berubah menjadi baik. Karena itu artikel ini mencoba melihat beberapa kemungkinan sebab-sebab seseorang dapat bergeser ajarannya. Saya memakai kata “kemungkinan” dengan pengertian walaupun ada beberapa sebab yang akan ditulis dalam artikel ini tetapi sebab-sebab itu belum tentu persis salah satu saja yang menyebabkan seseorang menjadi berubah. Ada kemungkinan beberapa sebab terjadi sekaligus, atau bisa juga ada sebab yang terselubung yang sulit dianalisis kecuali orang yang mengalaminya menulis buku, artikel, atau paling sedikit dapat dianalisis khotbah atau kesaksiannya. Jadi, istilah “kemungkinan” tidak berarti penulis ragu-ragu mengenai poin yang akan dibahas berikut ini, tetapi lebih kepada adanya kasus variabel yang berbeda-beda pada setiap orang.