Hajjin Mabrur
IAI Bunga Bangsa Cirebon

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Transformasi Kebudayaan Dalam Prespektif Al-Quran Hajjin Mabrur
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam Vol 7 No 1 (2022): Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI Bunga Bangsa Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Kajian ini membahas tentang transformasi kebuadayaan dalam tinjauan Alquran. Kajian ini berangkat dari pentingnya penguatan kajian soal transformasi budaya dari perspektif Alquran yang selama ini jarang disinggung dalam konteks perubahan zaman. Melalui kajian ini diharapkan dapat memperkuat gagasan terkait dengan wacana perubahan menuju peradaban yang lebih berkemajuan. Kajian ini merupakan jenis penelitian pustaka, dengan cara melakukan telaah terhadap sejumlah literature yang berkaitan dengan transformasi budaya. Dalam menganalisis kajian pustaka ini, penulis menggunakan analisis isi (content analysis). Adapun sebagai sumber data yaitu teks-teks kepustakaan yang berkaitan dengan tema kajian ini. Hasil kajian ini menyimpulkan bahwa Alquran sangat merespon adanya perubahan budaya manusia kea rah yang lebih maju, sebagai bentuk pemberdayaan terhadap potensi akal dan daya pikir manusia. Namun demikian untuk membangu perubahan tersebut harus diawali oleh manusia sebagai subjek perubahan serta dioreintasikan untuk mewujudkan / internalisasi nilai-nilai wahyu Alquran di muka bumi. Abstract This study discusses the cultural transformation in a review of the Koran. This study departs from the importance of strengthening the study of cultural transformation from the perspective of the Koran which has rarely been mentioned in the context of changing times. Through this study, it is hoped that it can strengthen ideas related to the discourse of change towards a more advanced civilization. This study is a type of library research, by examining a number of literatures related to cultural transformation. In analyzing this literature review, the author uses content analysis. As for the data sources, namely library texts related to the theme of this study. The results of this study conclude that the Qur'an is very responsive to changes in human culture towards a more advanced direction, as a form of empowerment of the potential of human reason and thinking power. However, to build this change, it must be initiated by humans as the subject of change and oriented to realize/internalize the values ​​of the Qur'anic revelation on earth.
Al-Quran Sebagai Motor Penggerak Peradaban Dunia yang Paling Menakjubkan Hajjin Mabrur
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam Vol 5 No 2 (2020): Misykah : jurnal Pemikiran dan Studi Islam
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI Bunga Bangsa Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Al-Qur'an states itself as a human changer, both individual and communal, who brings people from darkness to bright light (QS. Ibrohim [14]: 1). The historical reality is related to the statement of the Al-Qur'an above that transformative al-Qur'an in building human civilization can be observed from the reality of Arab society which directly feels the presence of the verses of the al-Qur'an. There are stark contrasts in the Arab region, especially regarding the development of society between before and after the Qur'an was revealed. Before the Qur'an was revealed, the Arabs were nothing more than a community called jahiliyah. It consists of tribes that are predominantly nomadic, hostile to each other, far from knowledgeable, and left behind in the cultural field of the surrounding nations. However, after the Qur'an was revealed and Islam was broadcast, the conditions of the Arabs gradually changed and progressed. Arabs who had been divided and hostile to each other became "brothers" in a unique and universal bond that united Arabs as never before, even Arabs were able to establish an empirium that stretched from the Indian border to the white sands of the Atlantic Ocean coastline, an empirium the greatest known human history. What is also interesting is that wherever the liberation carried out by the Muslim troops in the spirit of Qur'anic values ​​is always followed by droves of the liberated population converting to Islam. And until now, what has really made a strong impression is that from Iraq to Morocco, a united Arab nation chain stretches, not only because they adhere to Islam but also in terms of the Arabic language, history, culture and civilization. Abstrak Al-Qur’an menyatakan dirinya sebagai perubah manusia baik individu maupun komunal yang membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya terang benderang (QS. Ibrohim [14] : 1). Kenyataan sejarah berkaitan dengan pernyataan Al-Qur’an di atas bahwa transformatif al-Qur’an dalam membangun peradaban umat manusia dapat diamati dari realitas masyarakat Arab yang secara langsung merasakan kehadiran ayat-ayat al-Qur’an. Terdapat perbedaan yang sangat kontras di wilayah Arab khususnya menyangkut perkembangan masyarakatnya antara sebelum dan sesudah al-Qur’an diturunkan. Sebelum al-Qur’an diturunkan, bangsa Arab tak lebih dari komunitas yang disebut jahiliyah. Terdiri dari suku-suku yang mayoritas hidup nomaden, saling bermusuhan, jauh dari ilmu pengetahuan, dan ketinggalan di lapangan kebudayaan dari bangsa-bangsa di sekitarnya. Namun setelah al-Qur’an diturunkan dan Islam disiarkan, kondisi bangsa Arab berangsur-angsur berubah melesat maju. Bangsa Arab yang tadinya terpecah-pecah dan saling bermusuhan menjadi “bersaudara” dalam ikatan yang unik dan universal yang menyatukan bangsa Arab yang sebelumnya tidak pernah terjadi, bahkan bangsa Arab mampu mendirikan sebuah empirium yang membentang dari perbatasan India hingga pasir putih tepi pantai Samudera Atlantik, sebuah empirium terbesar yang pernah dikenal sejarah manusia. Hal yang tidak kalah menarik pula adalah di mana pun pembebasan yang dilakukan oleh pasukan Muslim dengan semangat nilai-nilai Qur’aninya, selalu disusul dengan berbondong-bondongnya para penduduk yang dibebaskan tersebut masuk Agama Islam. Dan sampai saat ini, yang nyata masih kuat membekas adalah dari Irak hingga Maroko, terbentang rantai bangsa Arab yang bersatu, bukan semata karena menganut Agama Islam tapi juga dari sisi bahasa Arabnya, sejarah, kebudayaan, dan peradabannya..
Meluruskan Pemahaman Jihad Dan Cara Mengamalkannya Hajjin Mabrur
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam Vol 6 No 2 (2021): Misykah : jurnal Pemikiran dan Studi Islam
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI Bunga Bangsa Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Saat mendengar kata jihad yang tergambar dalam pikiran sebagian pihak dan imajinasi mereka adalah perang, pertumpahan darah, dan saling membunuh. Kondisi semacam ini menjadikan Islam yang merupakan agama yang sangat menjungjung tinggi perdamaian justru dianggap sebagai agama teroris yang eksistensinya dikhawatirkan mengancam ketentraman banyak pihak. Oleh karenanya pembahasan ini menjadi penting untuk meluruskan kembali pemahaman jihad yang salah kaprah di tengah masyarakat. Dalam tulisan sederhana ini penulis akan menggali makna jihad melalui analisis semiotika. konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Kata jihad secara semantik pada awalnya tidaklah berkaitan dengan perang karenanya makna jihad mencakup pemahaman yang luas. Sehingga jihad memiliki bentuk yang beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan umat Islam yang kesemuanya bertujuan untuk kemulyaan agama dan menegakkan kalimat Allah dimuka bumi, karenanya memberantas kebodohan, kemiskinan dan penyakit adalah jihad yang tidak kurang pentingnya dari pada mengangkat senjata. Ilmuwan berjihad dengan memanfaatkan ilmunya, karyawan berjihad dengan bekerja dan berkarya yang baik, guru dengan pendidikannya yang sempurna, pemimpin dengan keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya dan seterusnya. Jihad dalam makna seperti inilah yang perlu dimunculkan sebagai sebuah pemahaman bersama yang kemudian diisi dengan semangat amaliyyah. Abstarct When they hear the word jihad, what some people think and imagine is war, bloodshed, and killing each other. Such conditions make Islam, which is a religion that highly upholds peace, actually be considered a terrorist religion whose existence is feared to threaten the peace of many parties. Therefore, this discussion is important to realign the misguided understanding of jihad in society. In this simple paper the author will explore the meaning of jihad through semiotic analysis. The semiotic concept was introduced by Ferdinand de Saussure through the dichotomy of the sign system: signified and signifier or signifie and significant which is atomistic. This concept sees that meaning arises when there is an association or in absentia relationship between the 'signified' and the 'signifier'. A sign is the unity of a form of signifier (signifier) ​​with an idea or signified (signified). The word jihad is not semantically related to war at first because the meaning of jihad includes a broad understanding. So that jihad has various forms according to the needs of Muslims, all of which are aimed at the glory of religion and upholding the word of Allah on earth, therefore eradicating ignorance, poverty and disease is a jihad that is no less important than taking up arms. Scientists strive for jihad by utilizing their knowledge, employees strive for jihad by doing good works, teachers with perfect education, leaders with justice, entrepreneurs with honesty and so on. Jihad in this sense needs to be raised as a common understanding which is then filled with the spirit of amaliyyah.
Transformasi Kebudayaan dalam Prespektif Al-Quran Hajjin Mabrur
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam Vol 5 No 1 (2020): Misykah : jurnal Pemikiran dan Studi Islam
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI Bunga Bangsa Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Al-Qur'an is the guidance of mankind throughout the ages in living their lives in order to get happiness, prosperity, and glory as well as safety in this world and the hereafter. Al-Qur'an. If it is seen from who is speaking, it is fitting for mankind not to look for other references in all their activities except for the al-Qur'an, in the sense that all their activities are based on or are in line with the values ​​of the Qur'an. It is very appropriate to do this because it is Allah who is the Creator, the One who knows the human self both physically and mentally. History has proven that anyone who sticks to the practice of the Qur'an istiqomah they get good luck and glory, especially if those who stick to the practice of the Qur'an are a group of humans then extraordinary positive changes will occur soon. The Qur'an in technical practice guides mankind by placing 'amal as central to the meaning of human existence. This view puts humans in a dynamic position, the dynamics lies in human existence in the form of culture. Culture as a form of human existence is constantly in process, namely the process of asserting existence, both individually and collectively. As a holy book that is more concerned with charity than ideas, we will not find the equivalent word in Arabic, al-hadhoroh, or al-tsaqofah, because the word refers to culture as a product. On the other hand, the word charity as a human activity which refers to culture as a process is actually one of the main teachings. 'Charity or work is a rational and effective human effort that is used by him to control his environment and nature. 'Charity or cultural activity is a life activity that is realized, understood and planned and is closely related to values. We can see that culture in the Koran is seen more as a human process to manifest the totality of himself in life, which is called 'amal. Viewing culture as a process is putting culture as the existence of human life. From the description above, it can be concluded that the Qur'an has a central position and is very significant in the process of cultural transformation in its community. Abstrak Al-Qur’an adalah pedoman umat manusia sepanjang zaman dalam menempuh kehidupannya agar mendapatkan kebahagiaan kesejahteraan, kemulyaan, dan kejayaan serta keselamatan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an. jika dilihat dari siapa yang berbicaranya maka sudah sepatutnya umat manusia tidak mencari acuan lain dalam segala aktifitasnya kecuali kepada al-Qur’an, dalam artian segala aktifitasnya didasarkan atau sejalan dengan nilai-nilai al-Qur’an. Hal tersebut pantas sekali dilakukan karena yang berbicara adalah Allah Sang Maha Pencipta, Dzat yang paling mengetahui diri manusia baik lahirnya maupun batinnya. Sejarah telah membuktikan siapapun yang berpegang teguh dengan mengamalkan al-Qur’an secara istiqomah mereka mendapatkan keberuntungan dan kejayaan apalagi jika yang berpegang teguh mengamalkan al-Qur’annya adalah sekelompok manusia maka perubahan positif yang luar biasa akan segera terjadi. Al-Qur’an dalam praktek teknisnya membimbing umat manusia dengan meletakkan ‘amal sebagai sentral bagi makna keberadaan manusia. pandangan ini menempatkan manusia pada posisi yang dinamis, dinamikanya terletak pada eksistensi manusia yang berupa kebudayaan. Kebudayaan sebagai wujud eksistensi manusia terus menerus berada dalam proses, yaitu proses pernyataan keberadaan, baik yang bersifat individual, maupun kolektif. Sebagai kitab suci yang lebih mementingkan amal dari pada gagasan, maka kata padanan kebudayaan dalam bahasa arab yaitu al-hadhoroh, atau al-tsaqofah memang tidak akan kita temukan didalamnya, karena kata tersebut menunjuk kepada kebudayaan sebagai produk. Sebaliknya, kata amal sebagai kegiatan manusia yang menunjuk pada kebudayaan sebagai proses, justru merupakan salah satu ajaran pokok . ‘Amal atau karya adalah upaya manusia yang rasional dan efektif yang dipergunakan olehnya untuk menguasai lingkungan serta alamnya. ‘amal atau aktivitas budaya merupakan aktivitas hidup yang disadari, dimengerti dan direncanakan serta berkait erat dengan nilai-nilai. Kita dapat melihat bahwa kebudayaan dalam Al-Qur’an lebih dipandang sebagai proses manusia mewujudkan totalitas dirinya dalam kehidupan, yang disebut ‘amal. Memandang kebudayaan sebagai proses adalah meletakkan kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Dari gambaran di atas memberikan kesimpulan bahwa al-Qur’an memiliki posisi sentral dan sangat signifikan dalam proses transformasi budaya di lingkungan umatnya
Hadits dalam presfektif Ormas Persis Hajjin Mabrur
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam Vol 6 No 1 (2021): Misykah : jurnal Pemikiran dan Studi Islam
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI Bunga Bangsa Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The emergence of reform as an impact of modernism with the slogan "return to the Koran and the Sunnah" marks the emergence of considerable attention to hadith, which is marked by the existence of hadith books that are used as curriculum teaching materials in surau, madrasah and pesantren. However, this invitation was not agreed upon by all Muslim circles because there were many parties who thought that the invitation was intended only for those whose positions were not yet on the path of the teachings of the Koran and Sunnah or the hadith of the Prophet, peace be upon him. In contrast to PERSIS, which is a modern movement in the form of a social organization engaged in education and religion in Indonesia, which echoes the slogan above. Therefore, the discussion of hadith in PERSIS's view is important. In this simple article the writer tries to explore the EXACT view of the concept of hadith or sunnah, its position, the authenticity of hadith as a source of Islamic law, and its application in exploring the law of a problem or case. The EXACT view of the hadith in the author's observations can be seen from the things determined by the Council of Hisbah as well as those stated by A. Hasan regarding the hadith. From the author's investigation that in general there is nothing really new, let alone considered deviating from the general provisions agreed upon by the number of hadith scholars from the definition, the position of hadith in tasyri and its relationship with the Koran, the classification of hadith to the method of mengistinbath. law with hadith evidence, therefore the writer sees that PERSIS's assumption is very rigid in seeing a problem, especially if it is related to religion is not correct. Because in reality it is not as stiff as expected. Abstrak Munculnya pembaharuan sebagai dampak modernisme dengan slogannya “kembali kepada Al-Quran dan sunnah” menandai munculnya perhatian yang cukup besar terhadap hadis, yang ditandai oleh adanya kitab-kitab hadis yang dijadikan bahan ajar kurikulum di surau, madrasah, dan pesantren. Namun ajakan tersebut tidaklah disepakati oleh semua kalangan umat Islam karena ada banyak pihak yang menganggap ajakan tersebut lebih diperuntukkan hanya bagi yang posisinya memang belum berada pada jalur ajaran Al-Quran dan Sunah atau hadis Nabi, saw. Berbeda dengan PERSIS, yang merupakan salah satu gerakan modern yang berupa organisasi sosial yang bergerak pada bidang pendidikan dan keagamaan di Indonesia yang menggaungkan slogan di atas. Oleh karenanya pembahasan hadis dalam pandangan PERSIS menjadi penting. Dalam tulisan yang sederhana ini penulis mencoba menggali pandangan PERSIS terhadap konsep hadis atau sunah, kedudukannya, kehujjahan hadis sebagai sumber hukum Islam, dan penerepannya dalam menggali hukum suatu masalah atau kasus. Pandangan PERSIS terhadap hadis dalam pengamatan penulis dapat dilihat dari apa-apa yang ditetapkan oleh Dewan Hisbah maupun yang dikemukakan oleh A. Hasan terhadap hadis. Dari penelusuran penulis bahwa secara umum tidak terdapat hal yang benar-benar baru apalagi dianggap menyimpang dari ketentuan-ketentuan umum yang telah disepakati oleh jumhur ulama hadis dari mulai definisi, kedudukan hadis dalam tasyri dan hubungannya dengan Al-Quran, klasifikasi hadis sampai pada cara mengistinbath hukum dengan hujjah hadis, karenanya penulis melihat bahwa anggapan PERSIS sangat kaku dalam melihat suatu persoalan apalagi kaitannya dengan agama adalah tidak tepat. Karena pada kenyataanya tidaklah sekaku yang diperkirakan.
Rekonstruksi Epistemologi Pendidikan Agama Islam Saehu Abas; Hajjin Mabrur
Eduprof : Islamic Education Journal Vol 4 No 1 (2022): Eduprof : Islamic Education Journal
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI BBC

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47453/eduprof.v4i1.119

Abstract

This research discusses the reconstruction of epistemology of Islamic religious education; Hasan Hanafi's theocentric-anthropocentric thought study. His study was motivated by the epistemology of Islamic religious education which has been impressed still dominated by doctrinal education rather than education, tends to be textual rather than contextual and more densely theoretical than practical. This research aims to conduct an in-depth analysis and research study of the epistemological construction of Islamic religious education that has been formulated, and will further be studied and analyzed using the paradigm of Hasan Hanafi theory through the Theocentric-Anthropocentric theory. This research uses a type of qualitative research with an approach using library research methods. In accordance with the topic discussed, the researcher classified the data source into a primary data source taken from one of Hasan Hanafi's works, The Dirasah Islamiyah translated by Miftah Faqih into three volumes of books; (1) From Static Theology to Anarchists. (2) From Rationalism to Empiricism. (3) From Theocentric to Anthropocentric, and secondary data sources as advocates that have relevance to the discussion, both from books, thesis, thesis, desertation, journals, articles, and so on. Data collection techniques use observation techniques as well as documentation, and finally for data analysis techniques using content analysis techniques, inductive analysis, deductive analysis, descriptive analysis and interpretive analysis. The results showed that with the shift in the epistemological concept of Islamic religious education towards the theocentric-anthropocetic theory of Hasan Hanafi, it can lead to the creation of learners who reflect the values and insights of social-democratic knowledge as manifestations of the teachings of hablumminannas. Insight into knowledge of leadership, independence, and active awareness of his existence as a manifestation of human responsibility as khalifah fil ard. Insight into knowledge of the spirit of the progressive, productive soul of creative and innovative results as aifestasi of the value of the teachings of the sholikh likulli zaman wa makan. Insight into knowledge of unity in diversity as manifestation of the Islamic teachings of rahmatan lil ‘alamin. As well as the presence of the soul that has a culture of dialogue as from the time of the Prophet until the time of tabi'in is known as the mujadalah tradition. Abstrak Penelitian ini membahas tentang rekonstruksi epistemologi pendidikan agama Islam; kajian pemikiran Hasan Hanafi teosentris-antroposentris. Kajiannya dilatarbelakangi oleh epistemologi pendidikan agama Islam yang selama ini terkesan masih didominasi oleh pendidikan doktrinasi dari pada edukasi, cenderung tekstual dari pada kontekstual dan lebih padat teoritis dari pada praktis. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian analisis dan penelitian mendalam terhadap konstruksi epistemologi pendidikan agama Islam yang selama ini dirumuskan, dan selanjutnya akan dikaji dan dianalisis menggunakan paradigma berfirikir Hasan Hanafi melalui teori Teosentris-Antroposentris. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Sesuai dengan topik yang dibahas, maka peneliti mengklasifikasi sumber data menjadi sumber data primer yang diambil dari salah satu karya Hasan Hanafi, Dirasah Islamiyah yang diterjemahkan oleh Miftah Faqih kedalam tiga jilid buku; (1) Dari Teologis Statis ke Anarkis. (2) Dari Rasionalisme ke Empirisme. (3) Dari Teosentris Menuju Antroposentris, dan sumber data sekunder sebagai penujang yang memiliki relevansi terhadap pembahasan, baik dari buku, skripsi, tesis, desertasi, jurnal, artikel, dan sebagainya. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi serta dokumentasi, dan terakhir untuk teknik analisis data menggunakan teknik analisis konten, analisis induktif, analisis deduktif, analisis deskriptif dan analisis interpretatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan adanya pergeseran konsep epistemologi pendidikan agama Islam menuju teori teosentris-antropoosetris Hasan Hanafi, maka dapat mengarahkan kepada pencipataan peserta didik yang mencerminkan nilai dan wawasan pengetahuan sosial-demokratis sebagaimana manifestasi dari ajaran hablumminannas. Wawasan pengetahuan tentang kepemimpinan, kemandirian, serta kesadaran aktif akan eksistensi dirinya sebagaimana manifestasi dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah fil ard. Wawasan pengetahuan tentang semangat jiwa progresif, produktif dari hasil kreatif dan inovatif sebagai menifestasi dari nilai ajaran sholikh likulli zaman wa makan. Wawasan pengetahuan tentang persatuan dalam keberagaman sebagaimana manifestasi dari ajaran Islam rahmatan lil 'alamin. Serta kehadiran jiwa yang memiliki budaya dialog sebagaimana sejak masa Nabi hingga masa tabi’in dikenal dengan tradisi mujadalah.