Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Rekonstruksi Teori Komunikasi Politik Dalam Membangun Persepsi Publik Zahrotunnimah Zahrotunnimah; Nur Rohim Yunus; Ida Susilowati
STAATSRECHT: Indonesian Constitutional Law Journal Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : UIN JAKARTA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/siclj.v2i2.11186

Abstract

Abstract:Presidential elections are part of the democratic party event. However, the presidential elections in 2014 and 2019 were unique elections and took a lot of public attention. In addition to only being followed by two candidates, they also formed two big camps of supporters who shared high fanatics with each candidate. In this study, the extent to which political communication theory was built by the two candidates was examined, so as to convince potential voters. In various ways carried out to attract public sympathy for the feasibility of each candidate to become the leader of the country. Some people provide positive perceptions by giving appreciation, but others provide negative perceptions and consider their acts of political communication to be limited to mere imaging. Therefore, this study wants to answer these problems.Keywords: Political Communication, Public Perception, Presidential Election Abstrak:Pemilihan umum presiden merupakan bagian dari ajang pesta demokrasi. Akan tetapi pemilihan umum presiden di tahun 2014 dan 2019 merupakan ajang pemilu yang unik dan menyita banyak perhatian publik. Selain hanya diikuti oleh dua kandidat, juga membentuk dua kubu besar pendukung yang sama-sama memiliki fanatik yang tinggi kepada masing-masing kandidat. Dalam penelitian ini, dikaji sejauhmana teori komunikasi politik dibangun oleh kedua kandidat, sehingga dapat meyakinkan calon pemilihnya. Dengan berbagai cara dilakukan guna menarik simpati publik akan kelayakan masing-masing kandidat untuk menjadi pemimpin negeri. Sebagian masyarakat memberikan persepsi positif dengan memberikan apresiasi, akan tetapi sebagian lain memberikan persepsi negatif dan menganggap tindakan komunikasi politiknya hanya sebatas pencitraan belaka. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menjawab permasalahan tersebut.Kata Kunci: Komunikasi Politik, Persepsi public, Pemilu Presiden
Identity Politics' Issue In Indonesia Presidential Election 2019 Ida Susilowati; Zahrotunnimah Zahrotunnimah; Nur Rohim Yunus
JOURNAL of LEGAL RESEARCH Vol 1, No 2 (2019)
Publisher : Faculty of Sharia and Law State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jlr.v1i5.14966

Abstract

AbstractPresidential Election in 2019 has become the most interesting executive election throughout Indonesia's political history. People likely separated, either Jokowi’s or Prabowo’s stronghold. Then it can be assumed, when someone, not a Jokowi’s stronghold he or she certainly within Prabowo’s stronghold. The issue that was brought up in the presidential election campaign, sensitively related to religion, communist ideology, China’s employer, and any other issues. On the other side, politics identity also enlivened the presidential election’s campaign in 2019. Normative Yuridis method used in this research, which was supported by primary and secondary data sourced from either literature and social phenomenon sources as well. The research analysis concluded that political identity has become a part of the political campaign in Indonesia as well as in other countries. The differences came as the inevitability that should not be avoided but should be faced wisely. Finally, it must be distinguished between political identity with the politicization of identity clearly.Keywords. Identity Politics, 2019 Presidential Election
Pola Operasionalisasi Politik Identitas di Indonesia Zahrotunnimah Zahrotunnimah
ADALAH Vol 2, No 11 (2018)
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (621.976 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v2i11.9438

Abstract

Politik Identitas merupakan pemanfaatan manusia secara politis yang mengutamakan kepentingan sebuah kelompok karena persamaan identitas yang mencakup ras, etnis, dan gender, atau agama tertentu. Politik ini kerap digunakan di masa lampau. Sebagai Contoh Adolf Hitler yang meyakinkan orang-orang Jerman bahwa sumber krisis ekonomi dan kekalahan perang dunia adalah karena pengaruh orang-orang Yahudi. Dengan janji-janji manis untuk membesarkan Jerman pada saat itu, Hitler bersama partainya berhasil memenangkan pemilu di tahun 1932. Solusi yang ia tawarkan adalah melenyapkan orang Yahudi dan janji itulah yang dijual dan dibeli sebagian besar Rakyat Jerman. Sehingga mengakibatkan tragedi yang terjadi di Jerman pada saat Nazi berkuasa. Enam juta orang Yahudi menjadi korban kekejaman politik identitas dan itu menjadi salah satu peristiwa genosida terburuk yang tercatat dalam sejarah dunia.Di Indonesia politik Identitas lebih terkait dengan etnisitas, agama, ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili umumnya oleh para elit politik dengan artikulasinya masing-masing (Ma’arif, 2012: 55-100). Gerakan pemekaran daerah atau pergantian kekuasaan pemerintahan diantaranya menjadikan politik identitas sebagai salah satu alat politiknya. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik mereka, sehingga lebih banyak dipengaruhi oleh ambisi para elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin, yang hal ini merupakan masalah yang tidak selalu mudah dijelaskan.Lalu bagaimana pola-pola operasionalisasi politik identitas ini terjadi? Hal tersebut dapat terlihat pada realitas yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini, selain karenanya banyaknya benturan berbagai kepentingan dan fenomena ego sektoral masyarakat.Penulis mengurasi pola-pola operasionalisasi politik identitas ini ke dalam tiga komponen yaitu: Pertama, operasionalisasi politik identitas dimainkan peranannya secara optimal melalui roda pemerintahan. Hal ini sejalan dengan bergesernya pola sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan pengakuan politik dalam pemilihan kepala daerah oleh konstituen di daerah masing-masing. Disisi lain tentu memiliki nilai positif dalam hal ini bagaimana pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan memaksimalkan potensi daerah yang dimilikinya, akan tetapi di lain pihak tentu bisa menimbulkan keresahan apabila identitas politik kedaerahannya diangkat dalam panggung politik.Kedua, dimana wilayah agama sebagai lahan beroperasinya politik identitas. Wilayah kedua inipun banyak dilakukan di berbagai belahan dunia manapun. Akan tetapi dalam konteks Indonesia, politik identitas terkadang dilakukan oleh kelompok mainstream, yaitu kelompok agama mayoritas dengan kaum minoritas. Hal ini bisa saja sama terjadi dimanapun. Kemudian disusul dengan munculnya gerakan-gerakan radikal atau semi radikal yang mengatasnamakan agama tersebut. Ketiga, politik identitas pada ranah wilayah hukum. Dalam Wilayah ini ibarat pisau bermata dua. Karena yang dimaksud dengan wilayah hukum disini adalah wilayah paduan antara wilayah negara dan agama, karena masing-masing memiliki aturannya sendiri. Disisi lain, politik identitas beroperasi dengan cara pembagian kekuasaan, di mana identitas kelompok akan memasukkan kepentingan identitasnya secara partikular. Akan tetapi hal ini, kemungkinan tidak akan terjadi, jika kepentingan dari politik identitas etnis yang bersifat minoritas tidak terjembatani melalui pengakuan hak-haknya untuk berpartisipasi di wilayah pembuatan keputusan hukum secara bersama.Tentu tidak dapat dibayangkan betapa nilai keragaman di Indonesia akan sangat dipertaruhkan, dan benturan-benturan akan terus berkembang di kalangan masyarakat. Kecenderungan politik identitas telah mendistorsi wawasan kebangsaan yang secara perlahan dibangun oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian Multikulturalisme dalam ikatan persatuan dan kesatuan sebagai modal dasar tumbuhnya nasionalisme tidak pernah tuntas dalam proses pendefinisian tentang identitas ke-Indonesiaan.Semoga Tulisan ini memunculkan kesadaran bagi kita semua betapa mahal artinya sebuah perjuangan dalam menegakan pilar persatuan dan kesatuan Indonesia yang termaktub dalam sebuah ideologi Nasionalisme. Semoga cita-cita mulia para pemuda indonesia diawal perjuangannya dalam mendirikan bangsa ini tetap terpelihara dengan baik. Semoga tulisan ini bisa membawa kesadaran dan kedewasaan khususnya bagi penulis dan juga pembacanya. Wallahu’alamu bisshowaab. Kazan, 6 Oktober 2018.
Keniscayaan Politik Identitas Dari Suatu Bangsa dan Agama Zahrotunnimah Zahrotunnimah
ADALAH Vol 4, No 2 (2020): Keadilan Sosial & Politik
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (942.314 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v4i2.15529

Abstract

Abstract:The discussion of this simple article was inspired by a book entitled The Politics of Identity and the Future of Our Pluralism. The problem in this book is whether the identity politics in Indonesia will jeopardize the nationalist position and pluralism in Indonesia in the future? If dangerous in what form? How to handle it? The source of this book relies on the opinion of L. A Kauffman who first explained the nature of identity politics, and who first introduced the term political identity which is still unknown. However, in this book explained substantively, identity politics is associated with the interests of members of a social group who feel blackmailed and feel alienated by large currents in a nation or state.Keywords: Identity Politics, Nation, ReligionAbstrak:Pembahasan artikel sederhana ini terinspirasi dari buku berjudul Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Permasalahan dalam buku ini adalah apakah poitik identitas di Indonesia ini akan membahayakan posisi nasionalis dan pluralisme di Indonesia di masa yang akan datang? Jika berbahaya dalam bentuk apa? Bagaimana cara mengatasinya? Sumber buku ini bersandarkan pada pendapat L. A Kauffman yang pertama kali menjelaskan tentang hakekat politik identitas, dan siapa yang pertama kali memperkenalkan istilah politik identitas yang masih belum diketahui sampai saat ini. Tetapi, didalam buku ini dijelaskan secara substansif, politik identitas dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan merasa tersingkir oleh arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Kata Kunci: Politik Identitas, Bangsa, Agama   
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PANCA KARSA MELALUI KKN TERINTEGRITAS UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR TAHUN 2019 Oking Setia Priyatna; Zahrotunnimah .
Abdi Dosen : Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat Vol 4 No 1 (2020): Maret 2020
Publisher : LPPM Univ. Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (642.252 KB) | DOI: 10.32832/abdidos.v4i1.557

Abstract

KKN Tematik Terintegrasi merupakan KKN yang fokus berorientasi pada bidang program tertentu sesuai dengan permasalahan masyarakat dan arah kebijakan dan arah kebijakan pengembangan sumber daya yang diselenggarakan pemerintah pada wilayah tertentu (Kabupaten/Kota). KKN memiliki tujuan untuk mencapai ekselerasi dan efektifitas program pemberdayaan sumber daya manusia yang ditandai dengan semakin baiknya kualitas kehidupan masyarakat, dan partisipasi masyarakat dalam program tersebut. Kegiatan KKN dibagi menjadi beberapa tahap yaitu survey dan observasi ke desa sasaran, workshop, penyuluhan, pendekatan sasaran program, realisasi program, monitoring dan evaluasi kegiatan. Pelaksanaan KKN dimulai dari 7 Agustus sampai dengan 5 September 2019 di Desa Cibeber II Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Program KKN kelompok 7 dan 8 di Des Cibeber II merupakan program yang lebih menekan kepada peningkatan kualitas sumber daya. Kegitan Fisik Kelompok 7 & 8 yaitu Pemberian dan pemasangan papan nama bangunan, renovasi masjid dan madrasah diniyah, pengadaan perlengkapan masjid dan Madrasah Diniyah, dan kegiatan non fisik kelompok 7 & 8 antara lain Penyuluhan kesehatan (PHBS, Seks Education, Tensi, Cek Gula darah, Asam urat, tinggi badan dan berat badan) Kegiatan baca tulis hitung (Calistung) Belajar megajar disekolah, pengembangan UKM, pelaksanaan kegiatan madrasah, Seminar Ekonomi dan Hukum, Workshop Pendidikan, Lomba 17 Agustus, dan acara perpisahan KKN.
Kecebong Versus Kampret; Slogan Negatif Dalam Komunikasi Politik Pada Pemilihan Presiden 2019 Nur Rohim Yunus; Ida Susilowati; Zahrotunnimah Zahrotunnimah
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 6, No 4 (2019)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v6i4.13747

Abstract

As the largest democratic party in any region, presidential elections are often followed by campaigns as a means of political socialization in general elections. Likewise what happened in the 2019 presidential election in Indonesia. Unfortunately, the campaign found some negative propaganda through the slogans of each of the supporters of the two candidate pairs. Ironically, this slogan seems to divide the Indonesian people into two big camps with the name of an animal that is not suitable for humans. The term "Kecebong" for supporters of the Joko Widodo-Ma'ruf Amien camp and the term "Kampret" for supporters of the Prabowo Subianto-Sandiaga Shalahuddin Uno camp. The negative slogan "Kecebong Versus Kampret" was heard massively during the 2019 presidential election process. This study uses qualitative research methods with data collection based on some existing literature and mass media. The results show that this slogan is very familiar to the Indonesian public, especially on several social media such as Facebook, Instagram, Twitter and so on. This is clearly not in accordance with the norms of life of the Indonesian people when viewed from the perspective of Indonesian public ethics based on the Pancasila ideology.Keywords: Negative Slogan; The 2019 Presidential Election; Political Communication Abstrak:Sebagai pesta demokrasi terbesar di setiap Negara, pemilihan umum presiden senantiasa disertai kampanye sebagai bentuk sosialisasi politik dalam pemilihan umum. Begitu juga yang terjadi dalam pemilihan umum presiden 2019 di Indonesia. Sayangnya, dalam kampanye ditemukan beberapa propaganda negatif melalui slogan dari masing-masing pendukung kedua pasangan kandidat. Ironinya, slogan ini seakan membelah rakyat Indonesia menjadi dua kubu besar dengan nama hewan yang tak layak disematkan pada manusia. Sebutan “Kecebong” bagi pendukung kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amien dan sebutan “Kampret” bagi pendukung kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Shalahuddin Uno. Slogan negative “Kecebong Versus Kampret” begitu massif didengar selama proses pemilihan umum presiden 2019 berlangsung. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pengumpulan data berdasarkan pada beberapa literatur dan media massa yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa slogan ini sangat familiar di telinga masyarakat Indonesia, khususnya pada beberapa media sosial seperti facebook, Instagram, twitter dan lain sebagainya. Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan norma kehidupan masyarakat Indonesia jika ditinjau berdasarkan perspektif etika publik bangsa Indonesia yang berlandaskan Ideologi Pancasila.Kata Kunci: Slogan Negatif; Pilpres 2019; Komunikasi Politik
Langkah Taktis Pemerintah Daerah Dalam Pencegahan Penyebaran Virus Corona Covid-19 di Indonesia Zahrotunnimah Zahrotunnimah
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 7, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v7i3.15103

Abstract

Abstract Since the World Health Organization or WHO has declared the Corona Covid-19 virus a pandemic. Following up on this, the Indonesian government also stated that the Corona virus problem had become a non-natural national disaster. The President of the Republic of Indonesia and the Regional Government along with their staffs provided each other hand in hand to make some tactical steps as an effort to prevent the spread of Corona Covid-19 Virus in the community. From the ministerial level to the heads of the provinces, regencies and even the municipal government. This research uses content analysis method, where content analysis is limited to newspaper media that deliver information related to some tactical steps taken by each head of government, both in several regions and countries. The purpose of this study is to provide education to the public in facing global disasters and their prevention. The results showed that local governments have done a lot of communication strategies to their respective regional communities through coercive, informative, canalizing, educative, persuasive and redundancy techniques in packaging messages in the form of instructions, appeals to the public to prevent Covid-19 transmission in their respective regions. . However, there is still no coercive technique up to the stage of imposing sanctions for deterrent effects for offenders. The central government also has not yet maximized its role in using a comprehensive communication strategy for all local governments. This is because there is no national command from the central government which is known to be slow in preventing the transmission of Covid-19 which has become a global disaster.Keywords: Tactical Steps, Local Government, Corona Virus Abstrak:Sejak Badan kesehatan Dunia atau WHO telah menyatakan bahwa virus Corona Covid-19 sebagai pandemi. Menindaklanjuti hal tersebut, pemerintah Indonesia juga menyatakan masalah virus Corona sudah menjadi bencana nasional non alam. Presiden Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah beserta jajarannya memberikan untuk saling bahu membahu membuat beberapa langkah taktis sebagai upaya pencegahan penyebaran Virus Corona Covid-19 di masyarakat. Dari level menteri sampai kepala daerah Provinsi, Kabupaten bahkan Pemkot. Penelitian Ini menggunakan metode analisis isi, dimana content analisis dibatasi pada media surat kabar yang menyampaikan informasi terkait beberapa langkah taktis yang diambil oleh masing-masing kepala pemerintahan, baik di beberapa daerah maupun negara. Tujuan penelitian ini untuk memberikan edukasi kepada masyarakat dalam menghadapi bencana global dan pencegahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah banyak melakukan stategi komunikasi kepada masyarakat wilayahnya masing-masing melalui teknik koersif, informatif, canalizing, edukatif, persuasif dan redudancy dalam mengemas pesan berupa instruksi, himbauan kepada masyarakat untuk mencegah penularan Covid-19 di wilayahnya masing-masing. Akan tetapi masih belum melakukan teknik koersif sampai pada tahap memberikan sanksi untuk efek jera bagi pelanggarnya. Pemerintah pusat juga belum memaksimalkan perannya dalam menggunakan strategi komunikasi secara komprehensif bagi seluruh pemerintah daerah. Hal ini karena tidak adanya komando nasional dari pemerintah pusat yang dikenal lambat dalam mencegah penularan Covid-19 yang sudah menjadi bencana global.Kata Kunci: Langkah Taktis, Pemerintah Daerah, Virus Corona
Rekonstruksi Teori Komunikasi Politik Dalam Membangun Persepsi Publik Zahrotunnimah Zahrotunnimah; Nur Rohim Yunus; Ida Susilowati
STAATSRECHT: Indonesian Constitutional Law Journal Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : UIN JAKARTA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/siclj.v2i2.11186

Abstract

Abstract:Presidential elections are part of the democratic party event. However, the presidential elections in 2014 and 2019 were unique elections and took a lot of public attention. In addition to only being followed by two candidates, they also formed two big camps of supporters who shared high fanatics with each candidate. In this study, the extent to which political communication theory was built by the two candidates was examined, so as to convince potential voters. In various ways carried out to attract public sympathy for the feasibility of each candidate to become the leader of the country. Some people provide positive perceptions by giving appreciation, but others provide negative perceptions and consider their acts of political communication to be limited to mere imaging. Therefore, this study wants to answer these problems.Keywords: Political Communication, Public Perception, Presidential Election Abstrak:Pemilihan umum presiden merupakan bagian dari ajang pesta demokrasi. Akan tetapi pemilihan umum presiden di tahun 2014 dan 2019 merupakan ajang pemilu yang unik dan menyita banyak perhatian publik. Selain hanya diikuti oleh dua kandidat, juga membentuk dua kubu besar pendukung yang sama-sama memiliki fanatik yang tinggi kepada masing-masing kandidat. Dalam penelitian ini, dikaji sejauhmana teori komunikasi politik dibangun oleh kedua kandidat, sehingga dapat meyakinkan calon pemilihnya. Dengan berbagai cara dilakukan guna menarik simpati publik akan kelayakan masing-masing kandidat untuk menjadi pemimpin negeri. Sebagian masyarakat memberikan persepsi positif dengan memberikan apresiasi, akan tetapi sebagian lain memberikan persepsi negatif dan menganggap tindakan komunikasi politiknya hanya sebatas pencitraan belaka. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menjawab permasalahan tersebut.Kata Kunci: Komunikasi Politik, Persepsi public, Pemilu Presiden
Diskrimanasi Kelompok Liberal Terhadap Dakwah Orang Asli Firdhausy Amelia; Zahrotunnimah Zahrotunnimah
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 6, No 4 (2019)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v6i4.13717

Abstract

AbstractIn Malaysia, there are still a number of small minority groups living far from urban areas. They are called Orang Asli. The life system is still very simple and underdeveloped. This native place is often targeted by da'wah and other religious approaches each year. Until recently the emergence of a statement from the humanitarian group, namely Pro Human Rights (Proham), which refused to preach the native people. As well as criticizing the Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) for the involvement of indigenous propaganda. Then this issue received support from a group of liberals in Malaysia. They argue that these activities have usurped the right to freedom of religion. This statement shows that there are acts of discrimination against Islam. Because it is only addressed to the propaganda of Islam, does not offend and dispute other religions.Keywords: Liberals, Caucasians, Indigenous Peoples, Malaysia. AbstrakDi Negara Malaysia, masih ada sejumlah kelompok kecil minoritas yang hidup jauh dari perkotaan. Mereka ini disebut dengan Orang Asli. Sistem kehidupannya pun masih sangat sederhana dan terbelakang. Tempat orang asli ini sering dijadikan target dakwah dan pendekatan agama lain di setiap tahunnya. Hingga baru-baru ini munculnya pernyataan dari kelompok kemanusiaan, yaitu Pro Hak Asasi Manusia (Proham) yang menolak dakwah terhadap orang asli tersebut. Serta mengecam pihak Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) atas terlibatnya dakwah orang asli. Kemudian isu ini mendapat dukungan dari sekelompok orang liberal di Malaysia. Mereka berpendapat bahwa kegiatan tersebut telah merampas hak kebebasan beragama. Pernyataan yang dibuat ini menunjukkan adanya tindakan diskriminasi terhadap agama Islam. Karena hanya ditujukan kepada dakwah agama Islam, tidak menyinggung dan mempermasalahkan agama lainnya.Kata Kunci: Liberal, Dakwah, Orang Asli, Malaysia.
Hoax as Challenge to Democratic Elections in the Context of Honest and Fair Principle Ida Susilowati; Nur Rohim Yunus; Zahrotunnimah Zahrotunnimah
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 3, No 2 (2019): MIZAN
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v3i2.502

Abstract

AbstractIndonesia as one of the countries that adheres to a democratic system based on the ideology of Pancasila. As a democratic country, realizing democratic elections becomes an obligation. Democratic elections are one of the basic foundations towards a democratic state, where leaders and representatives of the people as parties are considered capable of implementing people's aspirations through public policy. As a manifestation of the government's efforts to realize democratic elections, legislations related to general elections are made, one of which is the principle of direct, general, free, secret, honest, and fair, abbreviated as LUBERJURDIL in the Indonesian form of language. In another context, globalization presents a new challenge for democratic elections, especially in the context of political socialization. The role of political socialization through mass media and social media is a challenge in realizing elections based on the principle of "honest and fair", this paper argues. The hoax phenomena become something that cannot be considered insignificant in democratic elections, especially with the principles of honesty and fairness. This article discusses the hoax phenomena in the 2019 general election in the context of honest and fair elections principles. Hoax is a new challenge for the people and government in achieving the main objectives of the nation and state through democratic elections.Keywords: General Election, Democracy, Hoax, Luberjurdil  AbstrakIndonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem demokrasi berdasarkan ideologi Pancasila. Sebagai negara yang demokratis, mewujudkan pemilu yang demokratis menjadi kewajiban. Pemilihan umum yang demokratis adalah salah satu fondasi dasar menuju negara yang demokratis, di mana para pemimpin dan perwakilan rakyat sebagai partai dianggap mampu melaksanakan aspirasi rakyat melalui kebijakan publik. Sebagai manifestasi dari upaya pemerintah untuk mewujudkan pemilihan umum yang demokratis, dibuatlah undang-undang yang terkait dengan pemilihan umum, salah satunya adalah prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, disingkat LUBERJURDIL dalam bentuk bahasa Indonesia. Dalam konteks lain, globalisasi menghadirkan tantangan baru untuk pemilihan umum yang demokratis, terutama dalam konteks sosialisasi politik. Peran sosialisasi politik melalui media massa dan media sosial merupakan tantangan dalam mewujudkan pemilu berdasarkan prinsip "jujur dan adil", makalah ini berpendapat. Fenomena hoax menjadi sesuatu yang tidak bisa dianggap tidak signifikan dalam pemilihan demokratis, terutama dengan prinsip kejujuran dan keadilan. Artikel ini membahas fenomena tipuan dalam pemilihan umum 2019 dalam konteks prinsip pemilihan yang jujur dan adil. Hoax adalah tantangan baru bagi rakyat dan pemerintah dalam mencapai tujuan utama bangsa dan negara melalui pemilihan yang demokratis.Kata kunci: Pemilihan Umum, Demokrasi, Hoax, Luberjurdil