John Mansford Prior
Dosen Teologi Kontekstual Pada Program Pascasarjana STFK Ledalero, Maumere - Flores

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Agama Pusat, Agama Pinggiran. Siapa Yang Menentukan Jatidiri Jemaat? Prior, John Mansford
Jurnal Orientasi Baru VOLUME 07, TAHUN 1993
Publisher : Jurnal Orientasi Baru

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1084.856 KB)

Abstract

---
Agama Pusat, Agama Pinggiran. Siapa Yang Menentukan Jatidiri Jemaat? John Mansford Prior
Jurnal Orientasi Baru VOLUME 07, TAHUN 1993
Publisher : Jurnal Orientasi Baru

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

---
EDITORIAL - TOLAK TIPU, LAWAN LUPA: PEMBANTAIAN MASSAL 1965-1966 John Mansford Prior
Jurnal Ledalero Vol 14, No 1 (2015): Tolak Tipu, Lawan Lupa
Publisher : Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2310.348 KB) | DOI: 10.31385/jl.v14i1.6.3-10

Abstract

Waktu duduk di bangku SMP/SMA (1958-1963), sejarah politik masih disoroti dari perspektif para penguasa seperti kaisar dan raja, presiden dan perdana menteri. Dan memang pada masa itu penuturan sejarah politik sering digariskan oleh pihak yang berkuasa, pihak yang menang. Tapi, ketika mempelajari sejarah sosial di sekolah yang sama, kami diantar ke dalam getir gerak rakyat yang tertekan-tertindas, seperti pemberontakan kaum tani pada abad ke-13, urbanisasi besar-besaran pada abad ke-18, tuntutan serikat-serikat buruh dan pendirian koperasi kredit perdana pada abad ke-19, dan pembentukan Partai Buruh pada awal abad ke-20. Gurunya lain-lain; jelas juga pelajaran yang satu mempertanyakan pelajaran yang lain. Sejarah sosial mengikis kehebatan para raja sambil memperdepankan posisi rakyat biasa, dengan segala hasrat, strategi dan taktik juangnya. Dalam bahasa Alkitab: bukan sejarah dari perspektif raja Daud dan Solomo (sudut Deuteronomistik), tetapi sejarah sebagaimana disoroti nabi Amos, Hosea dan Yesaya (pihak nurani rakyat). Sebetulnya, sebagian besar sejarah masyarakat Allah dalam Alkitab ditulis dari pihak rakyat yang kalah. Tentu Bupati, Gubernur dan Presiden main peran dalam masyarakat. Namun, sejarah lebih teranyam oleh rupa-rupa kisah dari masyarakat biasa. Maka timbul pertanyaan: kajian sosial dan analisis politik mestinya dinilai dari pihak mana, pihak siapa? Pihak yang berkuasa atau pihak rakyat yang dikuasai? Bisakah kita menulis kembali sejarah NTT, umpamanya, dari sisi mereka yang kalah, bahkan dari perspektif mereka yang pernah disingkirkan, mereka yang dikalahkan, dibisukan, dan selama ini dilupakan? Sanggupkah kita menolak tipu dan melawan lupa dan membaca ulang sejarah kita dengan nurani rakyat yang murni? Pada tahun 2012 sutradara Joshua Openheimer menayangkan film Jagal. Selama dua jam penuh sejumlah pelaku premen dengan bangga merekonstruksi pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan pada tahun 1965/1966 “atas nama negara”. Para psikolog menyatakan bahwa manusia mampu membunuh sesamanya hanya jika sasarannya sudah distigmatisasi dan di-dehumanisasi. Manusia tidak bisa membunuh sesamanya begitu saja, akan tetapi kita siap menghabisi obyek-obyek dan benda-benda yang kotor lagi najis, rela melibatkan diri dalam aksi “pembersihan lingkungan”. Nyatanya, pemutaran film Jagal berhasil membuka tabir yang selama lima puluh tahun menutup peristiwa pembantaian tragis-brutal tahun 1965/1966 dari ingatan kita, dari memoria bangsa kita. Jelas, sejarah resmi tahun 1960an disusun oleh para pemenang, oleh Orde Baru, bukan oleh mereka-mereka yang dikorbankan supaya Suharto bisa naik tahta. Mana ada buku sekolah yang mengingatkan kita bahwa rezimnya dikonsolidasikan dalam lautan darah, dan didirikan di atas jenazah ratusan ribu korban.
IMIGRAN DAN PERANTAU YANG “GAGAL” DAN PULANG KAMPUNG: Sebuah Firman yang Membangkitkan dari Kitab Rut John Mansford Prior
Jurnal Ledalero Vol 14, No 2 (2015): HIV : Pesawat Tempur Siluman NTT
Publisher : Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (793.006 KB) | DOI: 10.31385/jl.v14i2.19.287-305

Abstract

This essay details how an “intuitive reading” of the Book of Ruth by a group of HIV carriers from Flores island, Indonesia, renewed their faith. The men caught the virus as economic migrants and then proceeded to give it to their wives on returning home sick. Rejected by family and by many members of the clergy, they have formed their own support group. Coming from the interior, most were not regular church goers before contacting the virus. Some years ago they began reading the Scriptures regularly once a month. They easily identified with Naomi and Ruth, with their failed migration, and with the tactics they were forced to use in order to survive on returning to Bethlehem. Members of the HIV support group, largely unsupported by the institutional Church or by their extended families, have discovered in reading the Bible together a liberating Word that has rekindled a deep personal faith in the God of compassion. Kata-kata kunci: HIV, perantau, migran, ODHA, Support Group, Syering, Kitab Suci, Rut.
KEHADIRAN, KESABARAN, KETEKUNAN MISI DALAM SEBUAH PUSAT PERDAGANGAN MANUSIA John Mansford Prior
Jurnal Ledalero Vol 13, No 1 (2014): MANUSIA MEMPERDAGANGKAN MANUSIA
Publisher : Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.7 KB) | DOI: 10.31385/jl.v13i1.64.21-44

Abstract

This essay looks at human trafficking as the underbelly of an unregulated global economy. Using data collated by the UN and studies undertaken by independent research institutes, the global pattern of trafficking is outlined before focusing on Southeast Asia, a key hub in this modern form of slavery. Key characteristics and motivations are delineated with reference to UN definitions and legislation in Southeast Asia. Attention is given to the global need for cheap labour, sex workers and the widespread trafficking of children. Then, the phenomenon is seen through the eyes of faith drawing on four key biblical attitudes: upholding human dignity (protection), reaching to the heart (prevention), naming the sin (prosecution), and extending Gospel community (partnering). Kata-kata Kunci: Ekonomi global, perdagangan manusia, perdagangan perempuan dan anak-anak, undang-undang Asia Tenggara, perlindungan, pencegahan, jaringan berbasis iman.
REFORMASI PANTEKOSTAL SEBAGAI PEREMAJAAN KEKRISTENAN PALING RADIKAL SEJAK PEMBARUAN JOHN CALVIN John Mansford Prior
Jurnal Ledalero Vol 15, No 2 (2016): Lima Ratus Tahun Reformasi Protestan
Publisher : Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (316.986 KB) | DOI: 10.31385/jl.v15i2.42.323-346

Abstract

The Pentecostal Churches and Charismatic movements within the mainstream Churches are by far the fastest growing sectors of Christianity. In particular, migrants are attracted from their mainstream ecclesial roots to a myriad of Pentecostal communities in urban settings, to congregations that are small and welcoming, but also to the mega-Churches. This essay looks at key characteristics of urban migrants and the significant elements of the Pentecostal/charismatic communities that attract them as new members. Particular attention is given both to the evolving political dimension of these communities and to the “gender paradox” whereby women are more likely to join Pentecostal/Charismatic Churches where they discover a renewed dignity and identity while these very Churches are largely governed by men. Examples are given as diverse as that among Protestant urban migrants in mainland China, and Catholic domestic and international migrants within and from the Philippines. The essay concludes with an analysis that looks at the data as a reflection of modernity and its consequent challenge to mainstream Churches that have as yet failed to adapt. Keywords: Pentecostal Church, Charismatic Movement, the immigrants,Chinese immigrants, migrant Filipino, gender paradox of modernity ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Gereja-gereja Pantekostal, juga gerakan Karismatik dalam Gereja-Gereja arus utama, merupakan sektor kekristenan yang sedang bertumbuh secara paling pesat. Secara khusus, para migran yang tercabut dari akarnya dalam Gereja mereka di tempat asal, mengarah ke komunitas-komunitas Pantekostal di daerahdaerah perkotaan, baik dalam jemaat-jemaat kecil, maupun dalam Gereja-Gereja mega. Esai ini memperlihatkan ciri-ciri kunci dari migran perkotaan dan unsur-unsur yang signifikan dari kalangan Pantakostal/ Karismatik yang menarik mereka sebagai anggota baru. Perhatian khusus diberikan kepada dimensi politik yang berkembang dan pada “paradoks gender” di mana perempuan lebih mungkin bergabung dalam Gereja Pantekostal/gerakan Karismatik, di mana mereka menemukan martabat dan jatidiri baru. Walau demikian, sebagian besar Gereja Pantekostal masih diatur oleh kaum lelaki. Beragam contoh ditampilkan, seperti yang terjadi di kalangan migran perkotaan Protestan di Cina daratan, dan juga di kalangan migran domestik dan internasional Katolik dari Filipina. Esai ini diakhiri dengan analisis yang memperlihatkan data yang mencerminkan modernitas, dan karena itu tantangan bagi GerejaGereja arus utama yang sampai kini gagal menghadapnya. Kata-kata kunci: Gereja Pentakostal, Gerakan Karismatik, kaum perantau, perantau Cina, migran Filipina, gender paradoks, modernitas
MENAFSIR LGBT DENGAN ALKITAB John Mansford Prior
Jurnal Ledalero Vol 19, No 1 (2020): Jurnal Ledalero
Publisher : Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (251.556 KB) | DOI: 10.31385/jl.v19i1.196.55-71

Abstract

In his latest book the biblical theologian Gerrit Singgih looks in detail at verses in the Bible about same sex relationships that ring negative and also the few more positive examples of same sex relations. This article contrasts Singgih’s exegesis with that of Rome, both in documents from the Congregation for the Doctrine of the Faith and in the Catechism of the Catholic Church, and also in the Catechism of the Indonesian bishops. Rome states that finding oneself with “homosexual tendencies” is morally neutral while also declaring it “objectively bad.” According to Rome every sexual act has to be open to life and so homosexual relations are sinful. However, this is demonstrably wrong, as for instance, for infertile or elderly married couples. The writer concludes that he is in full agreement with Gerrit Singgih who interprets the negative verses in the Bible within the context of biblical times.  Keywords: LBGTQ+, Hermenutic Pattern, Creative Interpretation, Neutral Status, Natural Law. 
EDITORIAL HIV: Pesawat Tempur Siluman NTT John Mansford Prior
Jurnal Ledalero Vol 14, No 2 (2015): HIV : Pesawat Tempur Siluman NTT
Publisher : Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (304.711 KB) | DOI: 10.31385/jl.v14i2.14.211-216

Abstract

Seorang kenalan yang mengidap infeksi HIV pernah berkata,“Berstatus positif saya terima selaku berkat, berkat dari Tuhan yang paling baik bagi saya!” Bisakah, seorang penyintas HIV menyambut hasil tes positif bagai “berkat paling baik bagi saya”? Bukan bagai kutukan, bukan laksana pedang yang akan menohok dirinya seterusnya, seumur hidup? Tandasnya lagi, “Sebelum saya mengidap HIV saya hidup sembarangan, tapi kini saya hidup serba tertib. Dulu saya hanya ingat diri dan mengejar kenikmatan seketika, kesenangan sesaat, kepuasan sepintas. Kini saya bekerja keras untuk ibuku dan anak-anak kami yang masih kecil, yang sangat membutuhkan kehadiran saya.” Gaya hidupnya serta hasrat jiwanya sudah berbalik 180 derajat. Status positif menjadi berkat bagi dia, lebih lagi bagi istri dan anak-anak mereka.
SPOTLIGHT Pemenang Oscar “Film Terbaik” MEMBONGKAR KORUPSI SISTEMIK DALAM INSTITUSI GEREJA John Mansford Prior
Jurnal Ledalero Vol 15, No 1 (2016): Korupsi
Publisher : Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (316.846 KB) | DOI: 10.31385/jl.v15i1.30.94-118

Abstract

This essay begins as a reflection on the Oscar award winning documentary Spotlight which relates how an investigative team of journalists at The Boston Globe in 2002 uncovered the extent of the sexual abuse of minors by clergy in the Archdiocese of Boston, and its systematic cover-up by Church and civic leaders. The investigation moved from a study of individual cases to the corrupt culture endemic in a hierarchical Church run by a caste of “celibate” males. The scandal is global, and remains with us today. The essential shift from the priority of avoiding scandal (and thus covering-up) to the placing of the victim at the centre, has yet to become consistent policy. Spotlight’s relevance to the Indonesian Church’s culture of silence is clear. Urgency demands acknowledgement of past and present failure, and immediate action to protect minors, punish offending priests, and put bishops who cover-up on trial. The clericalistic culture, so frequently condemned by Pope Francis, needs dismantling.
Pada masa itu...Dr. Herman Embuiru, SVD Rektor Seminari St. Paulus Ledalero 1978-1984 Pendobrak yang Tak Kenal Kompromi John Mansford Prior
Jurnal Ledalero Vol 16, No 1 (2017): Seratus Tahun Sesudah Perang Dunia Pertama
Publisher : Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (330.75 KB) | DOI: 10.31385/jl.v16i1.58.89-109

Abstract

Tokoh-tokoh yang diperkenalkan dalam rubrik “Pada Masa Itu...” meninggalkan jejaknya sebagai pelopor dalam salah satu bidang akademik. Ada dua pengecualian, Johann Bouma (Jurnal Ledalero Vol.15, No.2, Desember 2016, hlm. 366-389) dan kini Herman Embuiru. Bukan mata kuliah Pancasila, Homiletika, atau Islamologinya yang paling berkesan, melainkan jejaknya sebagai pemimpin komunitas Ledalero yang merintis jalan baru, sehingga kita dapat mengatakan bahwa ada garis patahan antara ‘masa sebelum Embuiru’ dan ‘masa sesudah Embuiru’. Meski ia tidak pernah mendapat posisi resmi dalam kepengurusan STFK, dan masa tugasnya di Seminari berakhir 30an tahun lalu, namun Embuiru adalah tanda atau pembatas era yang mencetak babak baru dalam pendidikan STFK Ledalero yang masih berlangsung sampai hari ini.