Hak beragama telah dipertalikan dengan setiap orang sejak lahir, entah dia orang merdeka atau budak, kulit hitam atau putih, lelaki ataupun perempuan. Manifestasi iman tersebut terungkap secara hebat di dalam komunitas jemaat warga kulit hitam selama Masa Kebangkitan Kedua (Second Awakening) di abad ke-18 tatkala banyak orang Afrika masuk kekristenan dalam berbagai denominasi. Di tengah-tengah masa kebangkitan itulah Frederick Douglass lahir di Desa Talbot pada tahun 1818, dari seorang ibu budak warga kulit hitam dan seorang ayah yang diduga majikan warga kulit putih. Kelahiran Douglass ke dalam sistem perbudakan ini memberinya sebuah perspektif kritis atas iman dan efeknya terhadap setiap persoalan sosial, khususnya menyangkut perbudakan. Lebih penting lagi, Douglass mampu secara tajam mengemukakan interpretasiinterpretasi dan ideologi-ideologi kontradiktif mengenai agama/iman sampai ke tingkat yang menempatkan dia pada sebuah jalan dari status budak ke penghapus perbudakan (abolisionis). Harus dicatat bahwa kendatipun Douglass menganggap urusan iman/agama sebagai urusan yang sangat pribadi, namun keyakinan-keyakinannya dibentuk, dituntun, dan dapat didengar dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisannya. Penting untuk menggali kehidupan Douglass sebagai seorang budak dan memeriksa apa pengaruh dari Gereja kulit hitam dan agama terhadap tindakan-tindakannya. Kehidupan Douglass sebagai seorang pejuang penghapusan perbudakan akan ditelusuri seraya memberikan perhatian yang intens/mendalam terhadap peranan agama dan Gereja kulit hitam terhadap kematangannya. Kata-kata kunci: Kekristenan, perbudakan, kebebasan, Gereja hitam, agama, cinta Allah