Artikel ini membahas urgensi Retorika sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan yang semakin hari semakin mendapat tempat strategis dalam Kurikulum Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Materi yang dibahas meliputi sejarah dan konsep Retorika. Sebagai seni berbicara, Retorika dapat dimanfaatkan pada proses pembelajaran di kelas. Pembelajaran yang tidak memanfaatkan Retorika dapat menimbulkan kebosanan sehingga perhatian anak didik tidak tercurah pada bahan yang disajikan. Pengajar yang cakap memanfaatkan Retorika dalam tugasnya akan disenangi anak didiknya. Kata kunci: retorika, seni berbicara, pembelajaran bahasa PENDAHULUAN Retorika memegang peranan penting dalam kegiatan berbicara. Hal ini sudah lama disadari di belahan bumi bagian Barat. Berdasarkan peninggalan tertulis bangsa Yunani ternyata masalah ini sudah dikenal sejak abad ke-5 sebelum Masehi. Studi Retorika ini akhirnya mempengaruhi perkembangan kebudayaan Eropa dari zaman ke zaman sampai dengan abad ke-7 Masehi. Bertahun-tahun Retorika dianggap negatif oleh sebagian ilmuwan karena seolah-olah Retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal, arti asli dari Retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran (to be victorious lords in the battle of minds). Retorika menjadi mata ajar poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan (Rakhmat, 2007: v). Kemampuan bicara bisa merupakan bakat. Namun, kepandaian bicara yang baik memerlukan pengetahuan dan latihan. Orang sering memperhatikan cara dan bentuk pakaian yang dikenakannya, agar kelihatan pantas, tetapi ia sering lupa memperhatikan cara dan bentuk pembicaraan yang diucapkannya supaya kedengaran baik. Retorika sebagai “ilmu bicara” sebenarnya diperlukan semua orang. Menyadari penting dan manfaat retorika dalam keterampilan berbahasa, Retorika dimasukkan ke dalam Kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) pada tahun ajaran 1994/1995. Sampai dengan sekarang mata kuliah ini masih eksis sebagai mata kuliah pokok yang wajib diikuti oleh mahasiswa. Melalui mata kuliah Retorika mahasiswa diharapkan dapat memahami; 1) konsep dasar Retorika; 2) hakikat, sejarah, klasifikasi, metode, dan pendidikan Retorika; 3) menjelaskan penggunaan bahasa sebagai seni secara lisan dan tulis; 4) mampu dan terampil menggunakan bahasa sebagai seni dalam wacana lisan dan tulis untuk berbagai kebutuhan praktis. PEMBAHASAN Sejarah Retorika Istilah Retorika muncul pertama kali di Yunani sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi. Saat itu merupakan masa kejayaan Yunani sebagai pusat kebudayaan barat dan para filsufnya saling berlomba untuk mencari apa yang mereka anggap sebagai kebenaran. Pengaruh kebudayaan Yunani ini menyebar sampai ke dunia timur seperti Mesir, India, Persia, Indonesia, dan lain-lain. Retorika mulai berkembang pada zaman Socrates, Plato, dan Aristoteles. Selanjutnya, Retorika berkembang menjadi suatu ilmu pengetahuan dan yang dianggap sebagai guru pertama dalam ilmu Retorika adalah Georgias (480–370 S.M.). Uraian sistematis Retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 S.M., rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara. Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah Retorika, yang diberi nama Techne Logon (seni kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang teknik kemungkinan. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Misalnya, seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan kita bertanya, "Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri." Contoh lain, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama". Akhirnya, Retorika memang mirip “ilmu silat lidah". Tokoh-tokoh Retorika klasik yang menonjol antara lain adalah Gorgias, Lycias, Phidias, Protogoras, dan Isocrates. Kelompok ini menyebut aliran Retorika mereka sebagai kaum Sofis. Menurut aliran ini Retorika merupakan alat untuk memenangkan suatu kasus lewat bertutur seperti kepandaian memainkan ulasan, kefasihan berbahasa, pemanfaatan emosi penanggap tutur, dan keseluruhan tutur harus ditujukan untuk mencapai kemenangan. Aristoteles memberikan pengertian yang berbeda dan berlawanan dengan kaum Sofis. Menurut filsuf terkenal ini, Retorika adalah ilmu yang mengajarkan orang keterampilan menemukan secara persuasif dan objektif. Aliran pertama Retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji Retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental). George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya "mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan". Aliran Retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan antara Retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio dan ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan. Pada abad kedua puluh, Retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern, khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah Retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speaking. Konsep Retorika Retorika adalah suatu gaya atau seni berbicara, baik yang dicapai berdasarkan bakat alami (talenta) maupun melalui keterampilan teknis. Seni berbicara ini bukan hanya berarti berbicara secara lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Beretorika juga harus dapat dipertanggungjawabkan disertai pemilihan kata dan nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa lawan bicara yang dihadapi. Retorika dapat diartikan secara “etimologi” dan “terminologi”. Secara etimologi (asal kata), Retorika berasal dari bahasa latin (Yunani kuno) yaitu Rhetorica yang artinya seni berbicara dan dari bahasa Inggris Rhetoric yang berarti kepandaian berpidato atau berbicara. Secara terminologi (istilah) dalam bahasa Inggris Retorika dikenal dengan istilah “the art of speaking” yang artinya seni di dalam berbicara atau bercakap. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikemukakan Retorika adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari atau mempersoalkan tentang bagaimana cara berbicara yang mempunyai daya tarik yang mempesona, sehingga orang yang mendengarkannya dapat mengerti dan tergugah perasaannya. Berikut ini definisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar di bidang Retorika: 1) Richard mengatakan bahwa Retorika adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana kita menggarap wicara-tutur kata secara epistomologi untuk membina saling pengertian dan kerja sama; 2) Socrates mengemukakan bahwa Retorika mempersoalkan tentang bagaimana mencari kebenaran dengan dialog sebagai tekniknya, karena dengan dialog kebenaran dapat timbul dengan sendirinya; 3) Plato mengungkapkan bahwa Retorika adalah kemampuan di dalam mengaplikasikan bahasa lisan yang merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan sempurna; 4) Kertapati mengartikan Retorika sebagai kemampuan seseorang untuk menyatakan pikiran dan perasaannya dengan menggunakan lambang-lambang bahasa (Agung, 1989:3). Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli terlihat semuanya mengacu dan memberi penekanan kepada kemampuan menggunakan bahasa lisan (berbicara) yang baik dengan memberikan sentuhan gaya (seni) didalam penyampaiannya dengan tujuan untuk memikat/menggugah hati pendengarnya dan mengerti dan memahami pesan yang disampaikannya. Salah satu yang dipelajari dalam Retorika adalah bagaimanana seseorang memahami persepsi. Persepsi adalah proses yang terintegrasi dalam individu yang terjadi sebagai reaksi atas stimulus yang diterimanya. Sebuah konsensus (kesamaan persepsi kolektif pada satu isu tertentu) yang tercapai melalui diskusi sosial akan menimbulkan opini publik, sedangkan pada diri individu sendiri, opini bisa bersifat laten atau manifes. Opini yang bersifat laten disebut sikap. Sikap adalah suatu predisposisi terhadap sesuatu objek, yang di dalamnya termasuk sistem kepercayaan, perasaan, dan kecenderungan perilaku terhadap obyek tersebut. Sikap bisa dipelajari, bersifat stabil, melibatkan aspek kognisi dan afeksi, dan menunjukkan kecenderungan perilaku. Asal konsep Retorika adalah persuasi. Definisi persuasi adalah; (1) Tindakan untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang dengan menggunakan kata-kata lisan/tertulis, (2) suatu usaha untuk menanamkan opini baru, dan (3) Suatu usaha yang dilakukan secara sadar, untuk mengubah sikap, kepercayaan, dan perilaku orang dengan transmisi pesan. Titik tolak Retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi atau memberi informasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Oleh karena itu, pembicaraan setua umur bangsa manusia. Bahasa dan pembicaraan ini muncul, ketika manusia mengucapkan dan menyampaikan pikirannya kepada manusia lain. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan berbicara. Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, Retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar dan mengesankan. Ini berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif, jelas supaya mudah dimengerti, singkat untuk menghemat waktu dan sebagai tanda kepintaran, dan efektif karena apa gunanya berbicara kalau tidak membawa efek. Dalam konteks ini sebuah pepatah cina mengatakan”, orang yang menembak banyak, belum tentu seorang penembak yang baik. Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara” (Hendrikus, 1999:7). Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni berbicara ini dapat dicapai dengan mencontoh para atau tokoh-tokoh yang terkenal dengan mempelajari dan mempergunakan hukum-hukum Retorika dan dengan melakukan latihan yang teratur. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan tahapan berikut. 1) Inventio (penemuan) Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, Retorika tidak lain merupakan "kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada". Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak. Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli Retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos). Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar yaitu entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: "en" di dalam dan "thymos" pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap (sebagian premis dihilangkan), tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. 2) Dispositio (penyusunan) Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan. 3) Elocutio (gaya) Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk "mengemas" pesannya. Aristoteles memberikan nasihat, “gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.” 4) Pronuntiatio (penyampaian) Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipokrit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan-gerakan, anggota badan (gestus moderatio cum venustate). PENUTUP Objek studi Retorika sudah berusia setua kehidupan manusia. Setiap orang tentu memanfaatkan Retorika menurut kemampuannya masing-masing. Khusus dalam bidang pendidikan, para pendidik dalam tugasnya sadar atau tidak telah memanfaatkan Retorika. Pemanfaatan tersebut di antaranya tampak dari usaha-usaha memberikan jawaban terhadap sejumlah pertanyaan. Misalnya, bahan pelajaran yang bagaimanakah yang diperlukan anak didik? Bagaimanakah cara penyajian pembelajaran yang menarik dan menyenangkan? Bagaimanakah cara merangsang anak didik agar terdorong untuk berpikir, merasa, dan berbuat secara efektif? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini merupakan bentuk nyata aplikasi ilmu Retorika. DAFTAR PUSTAKA Agung, Arman. 1989. Laporan Program Pembelajaran Pendidikan Kader (Materi Retorika). IKIP Gunung Sari Baru: Ujung Pandang. Arsjad, Maidar G. dan Mukti US. 1993. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Bettinghaus, Erwin P. 1980. Persuasive Communication. New York: Holt, Rinehart and Winston. Hendrikus, Dori Wuwur. 1999. Retorika (Terampil berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi). Kanisius. Yogyakarta. Rakhmat, Jalaluddin. 1992. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Smith, Donald K. 1969. Man Speaking: A Rhetoric of Public Speech. New Jersey: Dodd Mead.