Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS DI BIDANG USAHA E – COMMERCE Muhammad Syahri Ramadhan; Muhammad Syaifuddin; Theta Murty; Neisa Angrum Adisti; M Zainul Arifin; Rizka Nurliyantika; M Ardian Nugraha; Conie Pania Putri
Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan Vol 9, No 2 (2020): VOLUME 9 NOMOR 2 NOVEMBER 2020
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/rpt.v9i2.843

Abstract

Pada dasarnya perusahaan yang bergerak di bidang e – commerce ini sama seperti perusahaan yang kegiatan bisnisnya masih menggunakan cara – cara konvensional. Di samping itu perusahaan tersebut juga membutuhkan dana untuk melaksanakan kegiatan operasional perusahaan itu sendiri. Perusahaan yang bergerak di bidang e – commerce meskipun kegiatan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan bisnisnya tidak sebesar dengan perusahaan konvensional, namun perusahaan tersebut tetap saja membutuhkan anggaran untuk menjamin kelangsungan bisnis tersebut. Perusahaan yang bergerak bidang e – commerce tentunya selain mengandalkan kepada modal dasar yang dimiliki, namun perusahaan  pasti juga bergantung kepada sumber anggaran lainnya yaitu melalui kegiatan utang. Perusahaan apabila memanfaatkan pola utang ini, ada kemungkinan perusahaan di bidang e – commerce tersebut akan dapat dipailitkan jika ternyata perusahaan tersebut memenuhi syarat untuk dipailitkan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Masalah selanjutnya tentunya mengenai mekanisme penentuan harta kekayaan perusahaan di bidang e-commerce tersebut untuk dijadikan boedel/harta pailit. Hal ini mengingat aset perusahaan di bidang e-commerce selain berupa benda yang berwujud seperti gedung kantor, uang, kendaraan perusahaan dan semcamnya. Di sisi lain perusahaan juga mempunyai aset dalam bentuk yang tidak berwujud yaitu aplikasi sistem e-commerce itu sendiri.
KEWENANGAN MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS PADA PROSES PENYELIDIKAN SUATU PERKARA TINDAK PIDANA YANG MELIBATKAN NOTARIS Alfiyan Mardiansyah; Neisa Angrum Adisti; Iza Rumesten RS; Rizka Nurliyantika; Muhammad Syahri Ramadhan
Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan Vol 9, No 1 (2020): VOLUME 9 NOMOR 1 MEI 2020
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/rpt.v9i1.596

Abstract

Penelitian ini mengkaji tentang kewenangan Majelis Kehormatan Notaris pada proses penyelidikan suatu perkara tindak pidana yang melibatkan Notaris. Majelis Kehormatan Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini bersifat normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan sejarah, dan pendekatan konseptual. Kewenangan Majelis Kewenangan Notaris adalah memberikan persetujuan/penolakan untuk pemanggilan Notaris oleh aparat penegak hukum atau meminta fotokopi minuta akta Notaris dalam proses Penyidikan, Penuntutan dan Proses Peradilan dalam suatu perkara tindak pidana. Yang menjadi suatu permasalahan disini adalah jika aparat penegak hukum dalam tahap penyelidikan memerlukan keterangan Notaris / memerlukan fotokopi minuta akta dari Notaris, apakah Majelis Kehormatan Notaris berwenang untuk “menilai” setuju atau menolak” permohonan pemanggilan dari aparat kepolisian untuk memanggil Notaris dalam hal perkara tindak pidana tersebut. Hal tersebut menyebabkan kepastian hukum menjadi “tidak jelas” pada saat Penegak Hukum hendak meminta keterangan dari Notaris atau fotokopi minuta akta di Notaris dalam kaitan perkara tindak pidana yang sedang mereka tangani dalam proses penyelidikan. Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris yang ideal pada tahap penyelidikan suatu perkara tindak pidana yang melibatkan Notaris yang dapat disampaikan dalam permasalahan ini adalah dengan memasukkan tahap penyelidikan perkara tindak pidana kedalam kewenangan dari Majelis Kehormatan Notaris, dengan cara mengubah norma dari Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang tugas dan wewenang dari Majelis Kehormatan Notaris dengan menambahkan tahap “penyelidikan”, yang terdapat didalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal20 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asai Manusia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris.
LANGKAH PENANGGULANGAN KEUANGAN NEGARA DAN MENGHINDARI PENYALAHGUNAAN DANA BENCANA ALAM DI INDONESIA Zainul Arifin; Muhammad Syahri Ramadhan; Rizka Nurliyantika; yunial laili mutiari
Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan Vol 10, No 1 (2021): VOLUME 10 NOMOR 1 MEI 2021
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/rpt.v10i1.1187

Abstract

Dalam situasi tanggap darurat bencana, banyak sekali permasalahan yang terjadi meskipun telah banyak pedoman-pedoman yang diatur secara resmi baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan dibawahnya. Namun dalam pelaksanaannya tetap saja terjadi kealfaan atau kesalahan seperti terkait alokasi dana bantuan kurang akurat atau penumpukan dana bantuan karena simpang siurnya data informasi dan kurangnya koordinasi atau pantauan. Dengan banyaknya bantuan, nampak jelas dalam situasi bencana solidaritas relawan maupun lembaga pemerintah dan donor secara naluri kemanusiaanya berusaha untuk membantu. Dalam situasi bencana, misalnya kondisi tanggap darurat, dengan banyaknya bantuan dana tak lepas dari indikasi-indikasi penyimpangan dana, yang berlandaskan “cepat” dan yang terpenting adalah “tepat”. Namun kemudian banyak celah titik rawan korupsi dalam pengelolaan dana bantuan bencana alam seperti pengadaan barang dan jasa, sumbangan pihak ketiga, refocusing dan realokasi, laporan pertanggung jawaban keuangan serta pemulihan ekonomi nasional melalui penyelenggaraan bansos. Celah ini sering digunakan oleh pemangku kepentingan untuk curang sebab ada kelemahan dalam kontrol keuangan negara yang lebih mengutamakan keselamatan jiwa. Sehingga markup harga barang kebutuhan dasar pasca bencana digunakan guna mengakali dan mendapatkan keuntungan ditengah kesempitan. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang memfokuskan pada data-data literatur. Jenis penelitian ini merupakan suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum berdasarkan sisi normatifnya.
Legal Certainty of Cabotage Principle Regarding Sea Transportation in Indonesia Annalisa Y; Murzal Murzal; Rizka Nurliyantika
Sriwijaya Law Review Volume 5 Issue 1, January 2021
Publisher : Faculty of Law, Sriwijaya University, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/slrev.Vol5.Iss1.974.pp71-85

Abstract

Shipping between domestic ports must be transported by ships with Indonesian flags and operated by national shipping companies, meaning the cabotage principle. The aim is to prevent and reduce dependence on foreign ships carrying out Indonesia's maritime territory. However, in regulating and implementing the cabotage principle, it is not sure that it can be applied absolutely, which can be interpreted as not reflecting legal certainty. This study aims to analyze the legal certainty of implementation of the cabotage principle in Indonesian territorial waters. This research is a normative study that uses legal, historical, interpretation and case approaches. The case and interpretation approaches are used to examine the cabotage principle concept in legislation and several relevant cases brought to Indonesian courts. The results shows that the regulation of the cabotage principle on sea transportation is found in the form of laws, presidential regulations, presidential instructions and ministerial regulations. However, in other various regulations, the cabotage principle does not apply absolutely (semi-protectionist) or inconsequently. On the one hand, this is because it prohibits foreign ships from operating in Indonesian territory to carry passengers and/or goods between islands or ports. On the other hand, foreign ships are allowed for other activities that do not include carrying passengers and/or goods with certain conditions and approval from the government. The application of the cabotage principle based on judges' considerations in cases submitted to the State Administrative, Supreme and the Constitutional Courts has fulfilled legal certainty according to the Shipping Law. However, the protection of national Shipping must be prioritized, and the use of foreign ships should be considerably tightened unless Indonesian-flagged vessels are not insufficiently available.
Anomali Asas Non-Retroaktif dalam Kejahatan Genosida, Bertentangan dengan HAM? Nurhidayatuloh Nurhidayatuloh; Akhmad Idris; Rizka Nurliyantika; Fatimatuz Zuhro
Jurnal Konstitusi Vol 19, No 2 (2022)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (316.1 KB) | DOI: 10.31078/jk1923

Abstract

The crime of genocide is one of the most serious international crimes stipulated in the Rome Statute. Previously, genocide was regulated in the Convention on Genocide entered into force on 12 January 1951. The convention and the Rome Statute do not allow retroactivity. However, retroactivity appears in the Indonesian Law on the Human Rights Court and is strengthened through the Indonesian Constitutional Court's Decision. This study focuses on the neglect of the non-retroactive principle in the Law on Human Rights Courts and the extent to which the retroactive period. This research uses normative-legal method with a statutory and case approaches. The result shows that ignoring the non-retoactive principle is contrary to international law and international human rights regulations. Hence, the Constitutional Court's decision that strengthens retroactivity can be interpreted that the Court maintains human rights while at the same time violates human rights by not accurately interpreting the word “derogation” and “restriction” in Article 28J of the 1945 Constitution.
Anomali Asas Non-Retroaktif dalam Kejahatan Genosida, Bertentangan dengan HAM? Nurhidayatuloh Nurhidayatuloh; Akhmad Idris; Rizka Nurliyantika; Fatimatuz Zuhro
Jurnal Konstitusi Vol. 19 No. 2 (2022)
Publisher : Constitutional Court of the Republic of Indonesia, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31078/jk1923

Abstract

The crime of genocide is one of the most serious international crimes stipulated in the Rome Statute. Previously, genocide was regulated in the Convention on Genocide entered into force on 12 January 1951. The convention and the Rome Statute do not allow retroactivity. However, retroactivity appears in the Indonesian Law on the Human Rights Court and is strengthened through the Indonesian Constitutional Court's Decision. This study focuses on the neglect of the non-retroactive principle in the Law on Human Rights Courts and the extent to which the retroactive period. This research uses normative-legal method with a statutory and case approaches. The result shows that ignoring the non-retoactive principle is contrary to international law and international human rights regulations. Hence, the Constitutional Court's decision that strengthens retroactivity can be interpreted that the Court maintains human rights while at the same time violates human rights by not accurately interpreting the word “derogation” and “restriction” in Article 28J of the 1945 Constitution.
STUDI KOMPARASI TUGAS DAN WEWENANG NOTARIS DI INDONESIA DAN MALAYSIA Rizka Nurliyantika; Ros Amira bt Mohd Ruslan; Iza Rumesten; Muhammad Syahri Ramadhan; Neisa Angrum Adisti
Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan Vol 11, No 2 (2022): November 2022
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/rpt.v11i2.2471

Abstract

Kenotariatan mengenal dua stelsel hukum yakni Kontinental dengan sistem Civil Law dan Anglo-Saxon dengan sistem Common Law. Praktik notaris telah berkembang sesuai dengan waktu, tempat serta politik hukum dan kesadaran hukum di negara masing-masing. Indonesia dengan sistem hukum Civil Law, mengatur tugas dan wewenang notaris sesuai Undang-Undang Nomor  2  Tahun  2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Hal ini akan dikomparasikan dengan peraturan terkait Notary Public di Malaysia dalam hal tugas dan wewenang. Malaysia sebagai negara dengan system hukum Common Law memiliki perbedaan dalam mengatur tugas dan kewenangan Notary Public dan hal ini tertuang dalam Notaries Public Act 1959 (Revised 1973). Pada penelitian ini akan dianalisis bagaimana pengaturan jabatan notaris di Indonesia dan Malaysia serta bagaimana perbedaan tugas dan wewenang notaris di Indonesia dan Malaysia. Penelitian ini merupakan penelitian normative yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Penelitian hukum normatif dapat juga dikatakan sebagai suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Dari penelitian ini dihasilkan bahwa perbedaan tugas dan wewenang notaris di Indonesia dan Malaysia berkaitan dengan sistem hukum yg ditetapkan di dalam konstitusi dan disesuikan dengan kondisi masing-masing negara yang salah satunya adalah faktor kolonialisasi. 
TANDA TANGAN ELEKTRONIK DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL Tamara Mutiara Ramadani; Rizka Nurliyantika
SOL JUSTICIA Vol 5 No 1 (2022): SOL JUSTICIA
Publisher : Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Kader Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (457.295 KB) | DOI: 10.54816/sj.v5i1.479

Abstract

An international business contract is a common guideline for the parties to bind themselves to certain rights and obligations across national boundaries. These guidelines are usually closely related to trade transactions, which at present can be carried out remotely or electronically. The process of electronic commerce was a means of transactions without face-to-face between buyers and sellers until the emergence of electronic signatures. The institution that until now has played a role in harmonizing the law of electronic commerce transactions is the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL), which is a subsidiary organ of the United Nations (UN). Special arrangements for electronic signatures internationally are found in the UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce 1996 and the UNCITRAL Model Law on Electronic Signature 2001. Judging from the formation of these international regulations, this indicates that the international community is in dire need of regulations that are by technological developments, especially in the field of transactions. - international trade transactions. This study uses secondary data collected through the literature study method. The issue raised is how international contract law regulates electronic signatures and how is the legal protection for users of electronic signatures. From these two questions, it was found that the two Model Laws from UNCITRAL were not binding on the state. The state is free to follow the entire contents of the rules, in part, or even reject the whole. Model Law is a guideline to assist countries in making their national laws. Furthermore, the rules made by the ICC, ICSID, and UNCITRAL are believed to be able to solve problems related to international business contracts, including the topic of electronic signatures. Although the Model Law has also discussed how electronic signatures can apply to support electronic commerce.
The Implementation Challenges Of The Law Concerning Sexual Violence In Indonesia Rizka Nurliyantika; Aisyah Wardatul Jannah
Simbur Cahaya Volume 30 Nomor 1, Juni 2023
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/sc.v30i1.2775

Abstract

The law concerning the crime of sexual violence came into force on 22 April 2022 as law number 12, the year of 2022 has been waiting by most of the society in Indonesia with the hope that this regulation may reduce or even dispel the crime of sexual violence, which increased currently. However, some argue that some articles in the act contain a provision that contradicted religious norms and social morals even though some consider this act as a form of pure liberalization in Indonesia. The method of this research uses a normative juridical method and is supported by conceptual by analysing the view or concept of the jurist on and statute approach to defending the argumentation on the legal and data materials. The result shows that the act (UU TPKS) has a role as supplementary rules under Indonesian criminal code to settle the cases of sexual violence in Indonesia, and as legal protection to the victim of sexual violence. On the contrary, several challenge might occur in the implementation, such as internal problems from the legal enforcement itself, lack of implementing regulations and arises of the conservatism society which, holds a patriarchal understanding of how the populace considers sexual violence.