Sutarya Enus
Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

STABILISASI VITAMIN A (RETINOL) PADA SERUM OTOLOGUS SEDIAAN SERBUK KERING MENGGUNAKAN LIOPROTEKTAN SUKROSA Maksum, Iman P.; Indrayati, Lani; Enus, Sutarya
Chimica et Natura Acta Vol 4, No 2 (2016)
Publisher : Departemen Kimia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (381.655 KB) | DOI: 10.24198/cna.v4.n2.10680

Abstract

Peran vitamin A pada siklus penglihatan. Selain itu  vitamin A punya peranan penting termasuk metoblisme, pembentukan tulang, diferensiasi epithel, embriogenesis, dan immunokompeten. Vitamin A mempromosikan diferensiasi sel konjungtiva. Pada kasus dry eye faktor epilotropik berkurang, kerusakan  permukaan okuler  menyebabkan kerusakan kornea dan konjungtiva yang parah. Serum otologus mengandung komponen vitamin A yang cukup banyak. Penelitian ini dilakukan stabilisasi serum otologus dengan proses liofilisasi dan menggunakan lioprotektan sukrosa dan ditentukan kadar sediaan serum serbuk kering. Tujuan penelitian ini menentukan kadar vitamin A dengan metode HPLC pada serum otologus dalam sediaan serbuk kering dengan sukrosa pada variasi suhu (suhu ruang, suhu 4◦C dan suhu -20◦C) serta  variasi waktu penyimpanan (1 bulan, 3 bulan , dan 6 bulan). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vitamin A (retinol) pada serum serbuk kering dengan sukrosa tidak bertahan selama waktu penyimpanan. Uji one way Anova dengan Minitab menunjukkan tidak ada perbedaan antara serum dalam bentuk
Ekspresi Prethrombin-2 Manusia Recombinan dalamPichia pastoris dan Optimasi Kondisi Ekspresinya Gaffar, Shabarni; Upay, Purba; Maksum, Iman Permana; Hasan, Khomaini; Subroto, Toto; Enus, Sutarya; Soemitro, Soetijoso; Pertiwi, Wulan
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology Vol 4, No 1 (2017)
Publisher : Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (566.296 KB) | DOI: 10.15416/ijpst.v4i1.9766

Abstract

Pretrombin merupakan prekursor dari trombin yang memiliki aktivitas proteolitik. Trombin merubah fibrinogen menjadi benang fibrin yang salah satu aplikasinya adalah dapat digunakan sebagai lem untuk menggantikan teknik jahitan pasca bedah. Aplikasi trombin untuk pembuatan lem fibrin menuntut diproduksinya trombin rekombinan. Tujuan dari penelitian ini adalah ekspresi gen pretrombin-2 (PT2) manusia rekombinan menggunakan sistem ekspresi Pichia pastoris. Gen pengode PT2 dirancang sesuaidengan kodon preferensi P. pastoris. Fragmen PT2 diamplifikasi dengan metoda PCR dengan penambahan sisi restriksi EcoR1 pada ujung 5’ dan sisi restriksi SacII pada ujung 3’. Produk PCR yang berukuran 924 pb diligasi dengan vektor ekspresi pPICZaB untuk P. pastoris dan disubkloning dalam inang Escherichia coli. Urutan nukleotida dikonfirmasi dengan metoda dideoxy Sanger. Plasmid rekombinan pPICZaB-PT2 kemudian digunakan untuk mentransformasi P. pastoris SMD1168 defisien protease dengan metoda elektroporasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen PT2 berhasil diamplifikasi dan dikloning dalam E. coli. Analisis restriksi dan penentuan urutan DNA menunjukkan bahwa PT2 rekombinan 100% homologi dengan hasil rancangan. Hasil ekspresi PT2 oleh P. pastoris menggunakan metanol sebagai inducer memperlihatkan bahwa PT2 dengan berat molekul 35 kDa berhasil diekspresikan. Optimasi kondisi ekspresi melalui variasi konsentrasi metanol sebagai inducer dan sorbitol sebagai sumber karbon tambahan menunjukkan bahwa metanol 2% dan sorbitol 2% merupakan kondisi optimum ekspresi PT2.
Perbandingan Derajat Hiperemis Pascabedah Pterigium Inflamasi antara Teknik Lem Fibrin Otologus dan Teknik Jahitan Rifada, Maula; Prawirakoesoema, Loekman; Dalimoenthe, Nadjwa Zamalek; Enus, Sutarya
Majalah Kedokteran Bandung Vol 45, No 3 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1692.297 KB)

Abstract

Tandur konjungtiva bulbi merupakan baku emas pada pembedahan pterigium yang secara umum metode penempelannya dengan menggunakan jahitan, namun memiliki beberapa kekurangan, di antaranya waktu pembedahan cukup lama, menimbulkan reaksi inflamasi, dan kemungkinan komplikasi. Saat ini dikembangkan penggunaan lem fibrin untuk penempelan tandur konjungtiva bulbi sebagai alternatif prosedur pengganti jahitan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat hiperemis pascabedah pterigium inflamasi antara teknik lem fibrin otologus (LFO) dan teknik jahitan. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar tunggal yang dilaksanakan di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung dari bulan Oktober−Desember 2010. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok secara acak dan hasilnya terdapat 12 penderita kelompok LFO dan 14 penderita kelompok jahitan. Pemantauan dilakukan pada minggu pertama, kedua, dan keempat pascabedah serta dilakukan pengambilan foto lampu celah biomikroskop digital. Benang jahitan disamarkan menggunakan perangkat lunak penyunting foto dan satu orang pengamat menilai secara objektif derajat hiperemis pada foto digital. Analisis statistik dilakukan menggunakan Uji Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat hiperemis secara bermakna lebih kecil pada minggu pertama, kedua, dan keempat pada kelompok teknik LFO (derajat hiperemis 2,5; 2; dan 1,5) dibandingkan dengan kelompok teknik jahitan (derajat hiperemis 4; 3; dan 2) (p<0,05). Simpulan, penggunaan LFO untuk melekatkan tandur konjungtiva bulbi pada pembedahan pterigium inflamasi menghasilkan derajat hiperemis yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan jahitan. [MKB. 2013;45(3):174–9]Kata kunci: Lem fibrin otologus, pterigium inflamasi Comparison of Hyperemia Degree between Autologous Fibrin Glue and Suture Technique Post Inflammed Pterygium SurgeryConjunctival autograft is the gold standard in pterygium surgery which is regularly secured with suture, butthis method has few drawbacks of prolonged operating time, provoke ocular inflammation and potential risk for suture related complication. The use of fibrin glue has become an alternative procedure in conjuntival graft transplantation. The aim of this study was to compare hyperemia degree post inflamed pterygium surgery between autologous fibrin glue (AFG) and suture technique. This was a randomized, controlled, single blind clinical trial that conducted in National Eye Center, Cicendo Eye Hospital Bandung from October−December 2010. Subjects were randomly assigned to two groups and as result 12 patients belong to AFG group and 14 belong to suture group. Digital slit-lamp photographs were taken at 1st week, 2nd week and 4th week postoperatively for observation. Sutures were masked using photo-editing software and one masked observers objectively graded the digital photograph for degree of hyperemia. Statistical analysis was performed using Mann Whitney Test. The results of this study showed that the degree of hyperemia was significantly lower in AFG group (hyperemia degree 2.5, 2 and 1.5) than in suture group (hyperemia degree 4, 3 and 2) at 1st week, 2nd week and 4th week post operatively (p<0.05). In conclusion, the use of AFG for graft fixation in inflamed pterygium surgery produced significantly lower hyperemia degree. [MKB. 2013;45(3):174–9]Key words: Autologous fibrin glue, inflammed pterygium DOI: http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v45n3.148
Albumin Telur Sebagai Lem pada Operasi Cangkok Konjungtiva Kartiwa, R. Angga; Enus, Sutarya; Boediono, Arief; Miraprahesti, Retti N.
Majalah Kedokteran Bandung Vol 48, No 4 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15395/mkb.v48n4.925

Abstract

Cangkok konjungtiva sudah lama digunakan pada bidang oftalmologi. Metode yang digunakan saat ini untuk menempelkan cangkok konjungtiva adalah menggunakan teknik jahitan dan lem fibrin. Pada penelitian ini dilakukan uji coba menggunakan lem albumin pada cangkok konjungtiva kelinci sebagai alternatif lain selain menggunakan teknik jahitan dalam penempelan cangkok konjungtiva. Tujuan penelitian adalah membandingkan penyembuhan luka cangkok konjungtiva bulbi antara teknik lem albumin dan jahitan pada mata kelinci. Dilakukan animalexperimental study pada 32 mata (16 ekor kelinci) di PT. Bio Farma (Persero) dan laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dari bulan Maret 2014–Juli 2014, terbagi kelompok teknik lem albumin dan teknik jahitan. Dilakukan pemeriksaan meliputi perbandingan derajat perlekatan cangkok konjungtiva bulbi pada teknik lem albumin dan teknik jahitan yang diamati hari-1 pascabedah serta dilakukan pemeriksaan histologis secara mikroskopik untuk mendapatkan data celah luka yang diamati 10 menit dan hari-7 pascabedah. Analisis data dilakukan dengan Mann-Whitney test for small sample. Hasil penelitian memperlihatkan perlekatan cangkok konjungtiva bulbi secara bermakna lebih kuat pada teknik lem albumin (derajat 4) dibanding dengan teknik jahitan (derajat 2 dan 3) pada hari-1 pascabedah dengan nilai p=0,000 serta terdapat perbedaan celah luka (wound gap) bermakna antara teknik lem albumin (0–0,33 µm) dan jahitan (5,33–14 µm) (p=0,0005)pada cangkok konjungtiva dilihat sepuluh menit pascabedah dan pada hari-7 pascabedah untuk teknik lem albumin (0 µm) dan teknik jahitan (0,33–4 µm) dengan nilai p=0,0005. Simpulan penelitian ini adalah derajat perlekatan jaringan cangkok pada teknik lem albumin lebih baik dibanding dengan jahitan hari-1 pascabedah, sedangkan celah luka lebih kecil pada teknik lem albumin dibanding dengan teknik jahitan pada pengamatan 10 menit dan hari-7 pascabedah. [MKB. 2016;48(4):241–8]Kata kunci: Jahitan, lem albumin, penyembuhan luka konjungtivaEgg Albumin as Adhesive in Conjunctival Graft SurgeryCConjunctival graft has been frequently used in the field of ophthalmology. The frequently used methods to attach a conjunctival graft are suture technique and the use of fibrin glue. This study was to investigate albumin glue as an alternative to suture technique in attaching conjunctival grafts in rabbits. The aim of this study was to compare the conjunctival wound healing between albumin glue and suture technique in rabbit eye as a model. This was an experimental animal study that included 32 eyes (16 rabbits) conducted at PT. Bio Farma (Persero) and the Histology Laboratory, Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran from March 2014 to July 2104. The subjects in this study were divided into albumin glue group and suture technique group. The examinations were comparison of conjunctival graft attachment and histologic microscopic examination to assess the wound gap. Data analysis was performed statistically using Mann-Whitney test for small sample. The statistical analysis results showed that the graft attachment was significantly better when using albumin glue (grade 4) compared to suture (grade 2–3) on day-1 after surgery (p=0.000). The wound gap was smaller using albumin glue (0-0,33 µm versus 5,33-14 µm; p0.0005) 10 minutes after surgery and 0 µm versus 0.33–4 µm, p 0,0005, on day-7 after surgery. In conclusion, graft attachment using albumi n glue is better and the wound gap is smaller when using albumin glue compared to the suture technique. [MKB. 2016;48(4):241–8]Key words: Albumin glue, conjunctival wound healing, suture
PENURUNAN TEKANAN INTRAOKULAR PASCABEDAH KATARAK PADA KELOMPOK SUDUT BILIK MATA DEPAN TERTUTUP DAN TERBUKA Hapsari, Rakhma Indria; Prahasta, Andika; Enus, Sutarya
Majalah Kedokteran Bandung Vol 45, No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (803.401 KB)

Abstract

Penebalan lensa kristalina pada katarak senilis mengakibatkan hambatan pada jalur aliran akuos. Pascabedah katarak terjadi peningkatan kedalaman bilik mata depan (BMD) yang memiliki korelasi positif dengan pelebaran sudut BMD serta penurunan tekanan intraokular (TIO). Tujuan penelitian untuk menganalisis perbedaan penurunan TIO pascabedah katarak pada kelompok sudut BMD tertutup dan terbuka. Penelitian ini menggunakan desain pre-post test, untuk membandingkan penurunan TIO pascabedah katarak fakoemulsifikasi pada 26 mata dari 26 orang penderita, yang dibagi menjadi kelompok sudut BMD tertutup dan terbuka masing-masing berjumlah 13 mata. Tempat penelitian Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung periode Maret?Juni 2012. Pengambilan data berdasarkan urutan datang penderita yang direncanakan operasi katarak fakoemulsifikasi. Penilaian sudut bilik mata depan prabedah dilakukan menggunakan lensa gonio Sussman 4-mirror. Tekanan intraokular pascabedah diukur saat pemantauan minggu ketiga pascabedah. Penilaian TIO pra dan pascabedah dilakukan menggunakan alat ukur tonometri aplanasi Goldmann. Analisis statistik dilakukan menggunakan uji t. Hasil menunjukkan perbedaan penurunan TIO secara bermakna lebih besar pada kelompok sudut BMD tertutup (19,6%) dibandingkan dengan kelompok sudut BMD terbuka (11,3%) dengan nilai p=0,022. Simpulan, perbedaan penurunan TIO pascabedah katarak fakoemulsifikasi lebih besar pada kelompok sudut BMD tertutup dibandingkan dengan kelompok sudut BMD terbuka. [MKB. 2013;45(1):56?61]Kata kunci: Gonioskopi, katarak senilis, pascabedah fakoemulsifikasi, sudut bilik mata depan, tekanan intraokularIntraocular Pressure Reduction after Cataract Surgery between Groups with Angle-Closure and Open-Angle Anterior ChamberIncreased crystalline lens thickness in senile cataract causing resistance to aqueous humor outflow. Increased anterior chamber depth had a positive correlation with the widening of the anterior chamber angle and decreased of intraocular pressure (IOP) after cataract extraction. The purpose of this study was to compare IOP reduction after cataract surgery between angle-closure and open-angle group. This pre-post test design study was to compare IOP after phacoemulsification cataract surgery in 26 eyes of 26 patients divided into angle-closure and open-angle groups consisting of 13 eyes each. The study was conducted in Cicendo Eye Hospital Bandung in period of March until June 2012. Patients who planned to have phacoemulsification cataract surgery were recruited consecutively. The anterior chamber angle was measured before surgery using Sussman 4-mirror goniolens. The intraocular pressure were measured before and three weeks after surgery using Goldmann aplanation tonometer. Statistical analysis was done using t test. The results indicated that IOP reduction was statistically significant greater in the angle-closure group (19.6%) compared with open-angle group (11.3%) with p=0.022. In conclusion, IOP reduction after phacoemulsification cataract surgery was greater in the angle-closure group compared with open-angle group. [MKB. 2013;45(1):56?61]Key words: Anterior chamber angle, gonioscopy, intraocular pressure, phacoemulsification surgery, senile cataract DOI: http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v45n1.204
Peran Lem Fibrin Otologus pada Penempelan Tandur Konjungtiva Bulbi Mata Kelinci terhadap Ekspresi Gen Fibronektin dan Integrin Enus, Sutarya; Natadisastra, Gantira; Shahib, M. Nurhalim; Sulaeman, Rachmat
Majalah Kedokteran Bandung Vol 43, No 4
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penempelan jaringan dan penyembuhan luka pada cangkok konjungtiva lebih cepat pada teknik lem fibrin otologus (LFO) dibandingkan dengan teknik jahitan. Kedua proses tersebut memerlukan interaksi fibronektin (FN) dan integrin α5 yang mengaktivasi alur persinyalan intraselular. Tujuan penelitian untuk menentukan kekuatan ekspresi gen FN serta integrin α5 pada kelompok teknik LFO dan jahitan. Uji eksperimental hewan pada kelinci New Zealand White yang terbagi kelompok teknik LFO dan jahitan masing-masing 8 kelinci bertempat di Laboratorium Sentral (Biologi Molekuler) FK Unpad Bandung, periode Mei–Oktober 2008. Sampel jaringan untuk pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) diambil dari eksterpasi satu hari sesudah jaringan cangkok konjungtiva bulbi. Analisis data untuk uji hipotesis dengan Mann Whitney for small sample. Ekspresi gen messenger ribonucleic acid (mRNA) FN secara bermakna lebih kuat pada teknik LFO dibandingkan dengan teknik jahitan (1,9 vs 1,0; p=0,014). Tidak terdapat perbedaan bermakna ekspresi gen (mRNA) integrin α5 antara teknik LFO dan teknik jahitan (1,2 vs 1,0; p=0,235). Sebagai simpulan ekspresi gen FN lebih kuat pada teknik LFO dibandingkan dengan jahitan, sedangkan ekspresi gen integrin α5 pada teknik LFO lebih kuat dibandingkan dengan teknik jahitan namun secara statistik tidak bermakna satu hari pascabedah. [MKB. 2011;43(4):183–8].Kata kunci: Fibronektin, integrin α5, lem fibrin otologus, RT-PCRThe Role of Autologous Fibrin Glue on Attachment Rabbit Conjungtival Graft Based on Fibronectin and Integrin Gene ExpressionThe tissue attachment and wound healing in conjunctional transplantation was more rapid with autologous fibrin glue (AFG) than suture techniques. Both tissue attachment and wound healing process need interaction between fibronectin (FN) dan integrin α5 activating the intra cellular signal transduction pathway. The aim of this study was to evaluate the gene expression, i.e. FN and integrin in conjunctival transplantation, comparing between AFG and suturing techniques. Animal experimental study was done in New Zealand White rabbits, which divided into AFG and suturing technique at Laboratorium Sentral (Biologi Molekuler) FK Unpad Bandung during May–October 2008, each 8 rabbits, respectively. The tissue sample for reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) examination was taken from the tissue excision one day after conjunctival bulbi transplantation. Data analysis was tested using Mann Whitney for small sample. The FN gene expression power of messenger ribonucleic acid (mRNA) in the AFG technique was stronger than that in suturing technique (1.9 vs 1.0, p=0.014). There was no significant difference in integrin α5 gene expression of mRNA between AFG and suturing techniques (1.2 vs 1.0, p=0.235). In conclusions, FN gene expression in AFG technique is stronger than suturing technique. There is no difference in integrin α5 gene expression between two techniques, however there is a tendency of increased integrin α5 gene expression one day after surgery. [MKB. 2011;43(4):183–8].Key words: Autologous fibrin glue, fibronectin, integrin α5, RT-PCR DOI: http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v43n4.67
Kesesuaian Hasil Pengukuran Sudut Bilik Mata Depan antara Pentacam dan Ultrasound Biomicroscopy Zulkarnain, Maulina; Enus, Sutarya; Prahasta, Andika
Majalah Kedokteran Bandung Vol 46, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penilaian segmen anterior, khususnya pemeriksaan sudut bilik mata depan memegang peranan penting dalam mendiagnosis dan penatalaksanaan penyakit glaukoma. Pentacam dan ultrasound biomicroscopy (UBM) mampu mengukur sudut bilik mata depan secara kuantitatif dan objektif, namun pemeriksaan UBM lebih invasif sedangkan Pentacam tanpa kontak dengan permukaan bola mata. Tujuan penelitian untuk mencari kesesuaian antara Pentacam dan UBM dalam mengukur sudut bilik mata depan. Penelitian ini merupakan studi analitik deskriptif dengan uji kesesuaian antara dua metode pengukuran, dengan subjek penderita glaukoma dan bukan glaukoma di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, periode November–Desember 2010, berjumlah 42 mata dari 31 orang. Dilakukan pemeriksaan pada area nasal dan temporal sudut bilik mata depan menggunakan kedua alat tersebut. Uji kesesuaian menggunakan Bland and Altman dan uji hipotesis menggunakan uji-t berpasangan. Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna pada sudut terbuka, hasil pengukuran sudut bilik mata depan area nasal dan temporal antara Pentacam (37,51; 40,49; p=0,55) dan UBM (38,87; 40,76; p=0,22), namun limit of agreement yang didapatkan menunjukkan rentang yang luas, area nasal (dari 11,94 sampai -18,14) dan area temporal (dari 11,51 sampai -15,31) pada taraf kepercayaan 95%. Pada sudut tertutup terdapat perbedaan bermakna hasil pengukuran sudut bilik mata depan area nasal dan temporal antara Pentacam (27,33; 36,65; p<0,001) dan UBM (31,47; 37,34; p<0,001), sedangkan limit of agreement yang didapatkan menunjukkan rentang pada area nasal (dari 4,51 sampai -16,65) dan area temporal (dari 2,98 sampai -14,73) pada taraf kepercayaan 95%. Simpulan, pengukuran sudut bilik mata depan dengan menggunakan Pentacam memiliki kesesuaian yang tidak baik dibandingkan dengan UBM pada kelompok sudut terbuka, dan tidak memiliki kesesuaian pada kelompok sudut tertutup. [MKB. 2014;46(1):28–33]Kata kunci: Glaukoma, Pentacam, sudut bilik mata depan, ultrasound biomicroscopy Compatibility of the Outcomes in Measurement of the Anterior Chamber Angle between Using Pentacam and Ultrasound BiomicroscopyThe assessment of anterior segment, especially the examination of anterior chamber angle, plays an important role in diagnosing and managing glaucoma. Pentacam and ultrasound biomicroscopy (UBM) were able to measure the anterior chamber angle quantitatively and objectively; however, UBM examination is invasive, where as Pentacam is without contact with eye globe surface. The aim of this study was to seek the conformation between Pentacam and UBM in measuring the anterior chamber angle. The study was analytic descriptive study with the agreement of both measurements in 42 eyes of 31 patients with glaucoma and non-glaucoma Cicendo Eye Hospital Bandung, in period of November to December 2010. The examination used both instruments in nasal and temporal area of anterior chamber angle with equal illumination. The agreement test using Bland and Altman and hypothesis using paired t-test. Statistically, there were no significant differences in anterior chamber open angle of nasal and temporal area between using Pentacam (37.51; 40.49; p=0.55) and UBM (38.87; 40.76; p=0.22), while the limit of agreement indicated wide range in nasal area (11.94 to -18.14) and in temporal area (11.51 to -15.31) in 95% confidence interval. In closed angle of anterior chamber, there was a significant difference at nasal and temporal area between using Pentacam (27.33; 35.65; p<0.001) and using UBM (31.47; 37.34; p<0.001), while the limit of agreement showed (4.01 to -16.65) for nasal area (2.98 to -14.73) for temporal area in 95% confidence interval. In conclusion, the measurement of the anterior chamber in open-angle group using Pentacam indicated poor agreement with using UBM; and there is no agreement in closed angle group. [MKB. 2014;46(1):28–33]Key words: Anterior chamber angle, glaucoma, Pentacam, ultrasound biomicroscopy DOI: 10.15395/mkb.v46n1.224