Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

PELATIHAN PENGGALIAN SUMBER DAYA LOKAL MENUJU DESA ADAT SENDURO DI KABUPATEN LUMAJANG Azizah Alie; Yelly Elanda; Umar Sholahudin; Abdus Sair
Sawala : Jurnal pengabdian Masyarakat Pembangunan Sosial, Desa dan Masyarakat Vol 3, No 1 (2022): Sawala : Jurnal pengabdian Masyarakat Pembangunan Sosial, Desa dan Masyarakat
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/sawala.v3i1.37246

Abstract

Salah satu hambatan untuk membentuk desa adat adalah tidak adanya pendampingan kepada masyarakat sehingga masyarakat kesulitan memenuhi persyaratan yang harus diajukan untuk mengubah status desa menjadi desa adat. Desa adat merupakan daerah otonom yang memiliki nilai-nilai asli yang dianut oleh masyarakat setempat dan bercorak sosial religius. Oleh karena itu penting kiranya mengulik kembali nilai-nilai asli dan corak sosial religius masyarakat Senduro sebagai modal menuju desat adat melalui pelatihan penggalian sumber daya lokal.  Tujuan dari kegiatan pelatihan ini adalah mengidentifikasi sumber daya local yang dimiliki oleh desa Senduro, meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat desa melalui pelatihan, melibatkan masyarakat dalam proses pembentukan desa adat melalui pemberdayaan. Metode yang digunakan dalam proses pemberdayaan masyarakat ini dengan menggunakan pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal). Dengan menggunakan metode ini maka masyarakat terlibat secara langsung dalam proses penggalian sumber daya lokal yang dimiliki oleh desa. Identifikasi awal dari kegiatan pelatihan, tim penggali sumber daya lokal desa yang terdiri dari karang taruna, tokoh masyarakat dan pemerintah desa antusias dan mampu menangkap materi pelatihan dengan baik. Hal ini dapat terlihat dari proses diskusi dan tanya jawab antara peserta dan fasilitator. Hasil kegiatan pelatihan ini secara keseluruhan dapat dikatakan berhasil karena tim yang terlibat dalam penggalian sumber daya local mampu mengidentifikasi, menarasikan hasil temuannya dalam bentuk tulisan atau catatan.
Komodifikasi Agama pada Perumahan Syariah di Surabaya Yelly Elanda
Jurnal Al-Hikmah Vol 17 No 2 (2019): Ilmu Dakwah dan Pengembangan Masyarakat
Publisher : Fakultas Dakwah IAIN Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35719/alhikmah.v17i1.3

Abstract

Syariah housing has now penetrated the city of Surabaya. The syariahisation project is a form of the commodification of religion that marries business and religious symbols. The rise of syariah housing will result in spatial and social segregation. This paper will discuss the forms of the commodification of religion in syariah housing and the impact of the commodification of religion in syariah housing in the Surabaya area. This research uses descriptive qualitative method. Data collection techniques through literature studies by collecting all material or data that corroborate and are related to the study of sharia housing and the commodification of religion. The results of this study indicate that there are four forms of the commodification of religion in syariah housing. First, from the facilities offered by the use of religious labels in the form of an Islamic environment, there are regular studies, tahfidz houses, mosques, archery areas. Second, the marketing strategy by using a tagline that contains elements of Islam; inviting customers to the concept of religious seminars, using the names of housing that is closely attached to the nuances of Islam. Third, "Islamic" fashion used by marketing agents and models in the brochure. Fourth, syariah-based payment systems. With the concept of sharia housing this will have an impact on the formation of social identity and creating a gated community.
THE CULTURAL NEGOTIATION OF BEING SHIA AND MADURESE: How It Can be Reconciled? Abdus Sair; Yelly Elanda
Islamuna: Jurnal Studi Islam Vol. 8 No. 1 (2021)
Publisher : Madura State Islamic Institute (Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/islamuna.v8i1.4300

Abstract

The life of the Sampang Shia community in the refugee camps remains regretful. They are considered a heretical sect by the Indonesian Council of Religious Scholars (MUI), expelled and face complex social problems. Various policies have been attempted, but have not had an impact. This article aims at explaining the reasons for the emergence of discrimination and expulsion of the Sampang Shia community and how they negotiated as a hated Shia minority as well as a “good” Madurese community. Can they be reconciled? This article was written based on field research using a qualitative method with a narrative approach. The data were obtained by conducting in-depth interviews with leaders or figures as well as Shia refugees in the refugee camps. This article shows that the Shia community of Sampang was expelled because of a deviant discourse produced by the MUI. Meanwhile, their negotiation as Shia they hate is to remain a good Madurese; obey the kiai, continue to speak Madurese, continue to work as a cultural spirit, and continue to live life while looking for a cultural way back. [Kehidupan masyarakat Syiah Sampang di kamp pengungsian tetap disesalkan. Mereka dianggap aliran sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), diusir dan menghadapi masalah sosial yang kompleks. Berbagai kebijakan telah diupayakan, namun belum berdampak. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan alasan munculnya diskriminasi dan pengusiran komunitas Syiah Sampang dan bagaimana mereka bernegosiasi sebagai minoritas Syiah yang dibenci sekaligus komunitas Madura yang “baik”. Bisakah mereka berdamai? Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian lapangan dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan naratif. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan tokoh atau tokoh serta pengungsi Syiah di tempat pengungsian. Artikel ini menunjukkan bahwa komunitas Syiah Sampang diusir karena wacana menyimpang yang dihasilkan oleh MUI. Sedangkan negosiasi mereka sebagai Syiah yang mereka benci adalah tetap menjadi orang Madura yang baik; taat pada kiai, terus berbahasa Madura, terus berkarya sebagai spirit budaya, dan terus menjalani kehidupan sambil mencari jalan kebudayaan untuk kembali]
STRATEGI MASYARAKAT NELAYAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN SUBSISTENNYA DI DESA WISATA PASIR PUTIH DALEGAN GRESIK Yelly Elanda; Azizah Alie
Journal of Urban Sociology Volume 3 No 2 Tahun 2020
Publisher : Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/jus.v3i2.1234

Abstract

This article will talk about the subsistence crisis and the strategies undertaken by the fishing community of Dalegan Village to get out of the subsistence zone. The results of previous research have explained the occurrence of socio-economic changes in the Dalegan village community due to the opening of white sand beach tourism. However, that study has not specifically examined the condition of the Dalegan village fishing community. This article attempts to describe the subsistence conditions experienced by fishermen and how the fishermen's strategies are to meet their subsistence needs. This study uses a qualitative method with a narrative approach through interviews with fishermen in Dalegan Village. The results showed that the fishing community experienced an economic increase due to the opening of the white sand tourism village of Dalegan. However, the fishing community is still experiencing a subsistence crisis. The difficult conditions faced by fishermen are unfavorable natural conditions, insufficient capital, low human resources and inadequate technology. The strategy undertaken by fishermen to get out of the subsistence zone is by borrowing money from cooperatives; asking for help from neighbors, relatives and bosses; children and wives also work and fishermen switch to work in other sectors.Keywords: Fishermen Community, Subsistence Crisis, Tourism Village, Fisherman Strategy
REPRESENTASI MITOS KECANTIKAN DALAM KOLOM FEMALE Yelly Elanda
Journal of Urban Sociology Volume 1 No 1 Tahun 2018
Publisher : Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/jus.v1i1.563

Abstract

Media online banyak diminati oleh masyarakat karena kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh informasi. Media online Kompas.com misalnya memiliki kolom female dimana kolom tersebut banyak membahas masalah kecantikan. Melalui berita kecantikan, kolom female mengkonstruksi mitos kecantikan. Kolom tersebut juga mengkaitkan antara tubuh dan lingkungan sosialnya yakni dalam hal percintaan, pola asuh anak dan dalam hal karier untuk membentuk citra tubuh. Tulisan ini adalah mengetahui dan mengidentifikasi representasi mitos kecantikan dalam kolom female. Mengidentifikasi dan membongkar ideologi mitos kecantikan yang diwacanakan oleh kolom female melalui teks berita. Tulisan ini merupakan hasil penelitian dengan menggunakan analisis wacana kritis dengan model pendekatan perubahan sosial yang diutarakan oleh Norman Fairclough. Penelitian ini dilakukan hanya pada level mikro (level teks) yang terbit pada kolom female media online Kompas.com dari bulan oktober hingga desember 2014 dan januari hingga maret 2015 dengan 128 pemberitaan. Hasil penelitian ini adalah kolom female dalam media online Kompas.com yang senyatanya merupakan ruang untuk mengakomodir kepentingan perempuan justru membentuk wacana mitos kecantikan dengan menjadikan perempuan dan laki-laki sebagai objek konsumtif dan objek kenikmatan. Iron maiden digambarkan dengan sosok variatif dengan hanya mengandalkan kecantikan fisik, tanpa melihat inner beauty. Meskipun menghadirkan variasi mitos kecantikan, namun kolom female masih merujuk pada ras kaukasoid. Sosok yang berbeda dari iron maiden mendapatkan streotipe tertentu. Tulisan di kolom female hanya muatan dari kepentingan kapitalis dalam mengkonstruksi kecantikan secara subjektif. Berita dari kolom female masih memperlihatkan betapa kuatnya ideologi kapitalis dan budaya patriarkhi. Kata Kunci: Ideologi, Media, Mitos Kecantikan, Representasi, Wacana
KOMERSIALISASI RAMALAN TAROT OLEH TAROT READER DI KOTA SURABAYA Novena Clarissa Tiananda; Azizah Alie; Yelly Elanda
Jurnal Penelitian Mahasiswa Ilmu Sosial, Ekonomi, dan Bisnis Islam (SOSEBI) Vol 2 No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (286.056 KB) | DOI: 10.21274/sosebi.v2i1.5405

Abstract

Abstrak: Artikel ini berbicara tentang praktik komersialisasi yang dilakukan oleh para tarot reader dan latar belakang tarot reader dalam mengkomersilkan ramalan tarot tersebut. Penelitian ini menarik karena terjadi di kalangan anak muda dan wilayah perkotaan yang cenderung rasional namun dalam kehidupannya masih percaya terhadap ramalan. Hal ini menjadi dasar para tarot reader untuk mengkomersilkan ramalan tarot pada kaum muda di Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan naratif melalui wawancara dengan tarot reader dan pengguna jasanya (konsumen). Penelitian ini menggunakan teori kekuasaan dan pengetahuan Michael Foucault dimana peramal (tarot reader) menggunakan pengetahuannya untuk mengkomersilkan ramalan tarot. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya komersialisasi ramalan tarot dikarenakan adanya permintaan dari pengguna jasa, peluang usaha, kesadaran bahwa ilmu meramal tarot bisa menjadi sumber ekonomi atau penghasilan. Peramal tarot mempromosikan jasanya melalui media sosial dan konvensional (dari mulut ke mulut). Praktik komersialisasi yang dilakukan oleh tarot reader mulai dari proses dealing dengan pelanggan, proses peramalan, hingga penentuan tarif jasa didominasi oleh peramal (tarot reader). Kata Kunci: komersialisasi; ramalan tarot; tarot reader; kekuasaan, pengetahuan Abstract: This article talks about the commercialization practices carried out by tarot readers and the background of tarot readers in commercializing the tarot predictions. This research is interesting because it occurs among young people and urban areas who tend to be rational, but do not believe in predictions. This is the basis for tarot readers to commercialize tarot predictions for young people in Surabaya. This study uses a qualitative method with a narrative approach through interviews with tarot readers and service users (consumers). This study uses Michael Foucault's theory of power and knowledge where fortune tellers (tarot readers) use their knowledge to commercialize tarot predictions. The results of this study indicate that the commercialization of tarot divination is due to demand from service users, business opportunities, awareness that tarot fortune-telling can generate economic resources or income. Tarot fortune tellers promote their services through social media and conventional (word of mouth). Commercialization practices carried out by tarot readers, starting from the process of dealing with customers, to service fees are dominated by fortune-tellers (tarot readers). Keywords: commercialization, tarot divination, tarot readers, power, knowledge
The Construction of an Ideal Mother amid the Covid 19 Pandemic: Gender Injustice Experienced by Career Women while Working From Home Yelly Elanda
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 5, No 1 (2021): January - June 2021
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/humanisme.v5i1.3670

Abstract

During the COVID-19 pandemic, all activities must be carried out at home, whether working, studying, or worshiping. Working from home is currently known as WFH (Work From Home). WFH seems to be something they want and expects for workers who are still active outside the home. But what about the WFH actors themselves? The media, through their articles, have written a lot about the story of working mothers who are doing WFH. This discussion becomes intriguing when the construction of the ideal mother remains on patriarchal ideology, causing gender inequality. This paper uses a critical discourse analysis method by collecting articles about women who continue to carry out their roles as career women during the WFH period. Seventy-two articles appear in the google search engine when looking for WFH mothers during the covid 19 pandemics. However, from 72 articles, there are only 19 articles that talk about the stories of women who are doing WFH, tips and tricks on being a mother during WFH. In the article, the media constructs the ideal mother figure during the covid 19 pandemics. The ideal mother figure described by the media is a mother as a husband's servant, financial regulator, educator, child caretaker, and career woman. The construction of an ideal mother during this pandemic must carry out the four identities that are attached to her at once. The form of this identity is influenced by the ideology that coexists in society. These ideologies are patriarchal culture, ibuism, and capitalism.Masa pandemi covid 19 menyebabkan semua kegiatan harus dilakukan di dalam rumah, baik bekerja, belajar maupun beribadah. Bekerja di dalam rumah saat ini dikenal dengan istilah WFH (Work From Home). Bagi para pekerja yang masih terus beraktivitas di luar rumah, WFH seolah menjadi suatu hal yang diinginkan dan diharapkan. Namun bagaimana bagi pelaku WFH itu sendiri? Media melalui artikelnya banyak menulis tentang kisah ibu pekerja yang sedang melakukan WFH. Pembahasan ini menjadi menarik ketika ranah public dipaksa untuk dijalankan di ruang domestik. Tulisan ini menggunakan metode analisis wacana kritis dengan mengumpulkan artikel tentang ibu rumah tangga yang tetap menjalankan peran sebagai wanita karier selama masa WFH. Ada 72 artikel yang muncul dalam mesin pencari google ketika mencari ibu WFH masa pandemi covid 19. Namun dari 72 artikel hanya terdapat 19 artikel yang berbicara tentang curhatan para ibu rumah tangga yang sedang melakukan WFH, tips dan trik menjadi ibu selama WFH. Dalam artikel tersebut, media membentuk identitas mengenai sosok ibu ideal di tengah pandemi covid 19. Sosok motherhood  tersebut adalah ibu sebagai pelayan suami, pengatur keuangan, pendidik dan pengasuh anak, dan sebagai wanita karier. Seorang ibu ideal di tengah pandemi ini harus bisa menjalankan empat identitas yang telah melekat pada dirinya sekaligus. Pembentukan identitas tersebut dipengaruhi oleh ideologi yang ada pada masyarakat. Ideologi tersebut adalah budaya patriarkhi, ibuisme dan kapitalisme. 
The Construction of an Ideal Mother amid the Covid 19 Pandemic: Gender Injustice Experienced by Career Women while Working From Home Yelly Elanda
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 5, No 1 (2021): June 2021
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (256.6 KB) | DOI: 10.30983/humanisme.v5i1.3670

Abstract

During the COVID-19 pandemic, all activities must be carried out at home, whether working, studying, or worshiping. Working from home is currently known as WFH (Work From Home). WFH seems to be something they want and expects for workers who are still active outside the home. But what about the WFH actors themselves? The media, through their articles, have written a lot about the story of working mothers who are doing WFH. This discussion becomes intriguing when the construction of the ideal mother remains on patriarchal ideology, causing gender inequality. This paper uses a critical discourse analysis method by collecting articles about women who continue to carry out their roles as career women during the WFH period. Seventy-two articles appear in the google search engine when looking for WFH mothers during the covid 19 pandemics. However, from 72 articles, there are only 19 articles that talk about the stories of women who are doing WFH, tips and tricks on being a mother during WFH. In the article, the media constructs the ideal mother figure during the covid 19 pandemics. The ideal mother figure described by the media is a mother as a husband's servant, financial regulator, educator, child caretaker, and career woman. The construction of an ideal mother during this pandemic must carry out the four identities that are attached to her at once. The form of this identity is influenced by the ideology that coexists in society. These ideologies are patriarchal culture, ibuism, and capitalism.Masa pandemi covid 19 menyebabkan semua kegiatan harus dilakukan di dalam rumah, baik bekerja, belajar maupun beribadah. Bekerja di dalam rumah saat ini dikenal dengan istilah WFH (Work From Home). Bagi para pekerja yang masih terus beraktivitas di luar rumah, WFH seolah menjadi suatu hal yang diinginkan dan diharapkan. Namun bagaimana bagi pelaku WFH itu sendiri? Media melalui artikelnya banyak menulis tentang kisah ibu pekerja yang sedang melakukan WFH. Pembahasan ini menjadi menarik ketika ranah public dipaksa untuk dijalankan di ruang domestik. Tulisan ini menggunakan metode analisis wacana kritis dengan mengumpulkan artikel tentang ibu rumah tangga yang tetap menjalankan peran sebagai wanita karier selama masa WFH. Ada 72 artikel yang muncul dalam mesin pencari google ketika mencari ibu WFH masa pandemi covid 19. Namun dari 72 artikel hanya terdapat 19 artikel yang berbicara tentang curhatan para ibu rumah tangga yang sedang melakukan WFH, tips dan trik menjadi ibu selama WFH. Dalam artikel tersebut, media membentuk identitas mengenai sosok ibu ideal di tengah pandemi covid 19. Sosok motherhood  tersebut adalah ibu sebagai pelayan suami, pengatur keuangan, pendidik dan pengasuh anak, dan sebagai wanita karier. Seorang ibu ideal di tengah pandemi ini harus bisa menjalankan empat identitas yang telah melekat pada dirinya sekaligus. Pembentukan identitas tersebut dipengaruhi oleh ideologi yang ada pada masyarakat. Ideologi tersebut adalah budaya patriarkhi, ibuisme dan kapitalisme. 
KETAHANAN EKONOMI DAN DAYA LENTING IBU RUMAH TANGGA DI KAMPUNG KUE SURABAYA PADA MASA PANDEMI COVID 19 Maria Serlina Jaura; Azizah Alie; Yelly Elanda
Journal of Urban Sociology Volume 5 No 1 Tahun 2022
Publisher : Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/jus.v5i1.2063

Abstract

This article examines the economic resilience of families and the resilience of housewives during the covid 19 pandemic. The COVID-19 pandemic has shaken the economy of housewives in the cake village where the majority of their jobs are cake makers and sellers. The existence of a large-scale social restriction policy (PSBB) caused the turnover of cake sales to decline. The type of method used in this research is qualitative with a narrative approach. Data were obtained through observation and in-depth interviews with housewives who were involved in the production process (cake makers) and cake distribution (cake sellers). This study uses the theory of rational choice expressed by James Coleman. The results of this study indicate that the economic resilience of the family of housewives in the kue village was shaken due to the covid 19 pandemic. Housewives in the cake village only relied on the sales of cakes so that the family's economic resilience was increasingly vulnerable during the covid 19 pandemic. The resilience carried out by mothers households in the cake village during the covid 19 pandemic are (1) selling pastries so that the cake has a long expiration date; (2) relying on social media in marketing their products; (3) tighten belts or be frugal; (4) ask for help to their nearest social network.Keywords: Economic Resilience, Resilience, Kampung Kue, Covid 19 Pandemic
Implementasi Smart City di Indonesia Dalam Perspektif Gender Yelly Elanda; Ruslan Wahyudi; Azizah Alie
RESIPROKAL: Jurnal Riset Sosiologi Progresif Aktual Vol 4 No 2 (2022): Desember
Publisher : Prodi Sosiologi Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/resiprokal.v4i2.209

Abstract

Konsep smart city di Indonesia diperkenalkan sejak tahun, 2005. Istilah ini kemudian semakin sering dibahas sejak Surabaya, Jakarta dan Bandung mendapatkan penghargaan terkait konsep smart city. Sejak pandemi Covid-19, penggunaan teknologi menjadi semakin masif dalam kehidupan sehari-hari, terutama pada masyarakat perkotaan. Hal ini tentu dapat mendorong implementasi smart city di berbagai kota di Indonesia. Smart city merupakan konsep yang diharapkan dapat menjadi solusi atas berbagai masalah perkotaan. Konsep ini dinilai dapat meningkatkan kualitas hidup manusia, dan terciptanya sebuah kota yang inklusi. Namun ada hal yang acapkali terlupakan dalam mewujudkan kota yang inklusi, yakni hadirnya isu gender terkait implementasi smart city. Oleh karena itu, pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini ialah; apa definisi smart city dan bagaimana implementasinya di Indonesia? apakah implementasi smart city sudah responsif terhadap isu gender? dan apa yang harus dilakukan agar implementasi smart city menjadi inklusi gender? Penelitian ini menggunakan metode systematic literature review berdasarkan Prefered Reporting for Systematic Reviews and Meta Analysis (PRISMA). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi smart city terus didorong dan diterapkan di berbagai kabupaten dan/atau kota di Indonesia sesuai dengan kebijakan pemerintah mengenai program menuju 100 smart city. Konsep smart city di Indonesia pada umumnya memiliki tujuh indikator, tapi setiap kota atau kabupaten menerapkan konsep smart city yang berbeda berdasarkan pada potensi, kekhasan, tantangan dari masing-masing daerah. Implementasi smart city di Indonesia masih belum mengakomodir perspektif gender untuk menciptakan kota yang inklusi. Dalam mewujudkan kota yang inklusi gender di Indonesia, maka perlu mengadopsi pengarusutamaan gender pada setiap kebijakan yang terkait dengan implementasi smart city.