Nakhoda adalah pemimpin tertinggi di kapal, mempunyai wewenang serta tanggung jawab yang sangat luas terhadap kapal, keselamatan orang dan semua barang, serta inventaris yang ada di dalam kapal, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan laut. Dalam memenuhi tanggung jawabnya itu, maka sudah seharusnya Nakhoda bertindak dan bersikap selayaknya sebagai wakil pemilik kapal. Namun, terkadang tanggung jawab tersebut diabaikan, karena ada Nakhoda kapal yang telah bertindak tidak seharusnya dan berbuat tidak profesional, dengan tidak memperdulikan ketentuan hukum yang berlaku. Penelitian ini didasarkan pada penelitian yuridis normatif yang berbasis pada ilmu hukum normatif. Data yang diperoleh dan diolah adalah data sekunder yang berasal dari sumber kepustakaan. Teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori internal tentang hukum dengan mengkaji undang-undang, putusan pengadilan dengan pembuktian melaui pasal-pasal dalam peraturan tersebut. Analisa data logis normatif, dari yurisprudensi dengan logika berfikir deduktif dalam penyajian secara deskriptif untuk menarik kesimpulan yang telah ada. Penelitian ini membahas mengenai akibat hukum dari transaksi ilegal BBM di laut hasil manipulasi operasional kapal oleh Nakhoda. Pasal 40 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2008, menyatakan bahwa perusahaan pelayaran sebagai pengangkut barang, bertanggung jawab sepenuhnya terhadap muatan kapal yang dinyatakan dalam dokumen muatan, dan ini menjadi tanggung jawab Nakhoda untuk menjaganya selama pelayaran. Tetapi dalam beberapa kasus, terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Nakhoda, dengan melakukan hal-hal yang merugikan pihak pengusaha pelayaran dan pemilik muatan bahkan juga negara, seperti kasus manipulasi operasional kapal, hingga pencurian dan penjualan bahan bakar kapal secara ilegal di laut sehingga berakibat pada perbuatan pelanggaran hukum. Atas perbuatan hukum yang dilakukan, maka sudah sepatutnya apabila pelakunya dijatuhi hukuman, sesuai dengan ketentuan pidana Pasal 374 juncto 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan atau Pasal 53 huruf d Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, sebagai bentuk kejahatan profesi yang dilakukannya.