Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

THE POSITION OF RAILWAY LINES AND RAILWAY STATIONS IN PRIANGAN URBAN SPATIAL PLANNING IN THE 19TH TO 20TH CENTURIES Falah, Miftahul; Herlina, Nina; Muhsin, Mumuh; Sofianto, Kunto
Paramita: Historical Studies Journal Vol 28, No 1 (2018): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v28i1.12414

Abstract

In relation to urban spatial planning, it is thought-provoking and substantial to study the development of railway lines and stations in Priangan in the 19th to 20th century. The issues discussed in this research are how to build a railway line when it had to pass through urban areas? And how to locate a railway station in order to be easily accessed from all corners of the city without disrupting the users of land transportation routes. To examine the issues, a historical study is conducted by employing historical method comprising heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The result of the research demonstrates that the railway line passing through the urban areas was built in the areas with hardly any settlements; and in big cities, a bridge (viaduct) was specially built for a railway line in order not to obstruct the land transportation routes. The railway line, however, was not too far from the city center, so the railway station was built in a location easily accessible from and to all the corners of the city. Dalam kaitannya dengan tata ruang kota, pembangunan jalur dan stasiun kereta api di Priangan pada abad XIX-XX penting dan menarik untuk dikaji. Permasalahannya  adalah bagaimana jalur kereta api dibangun ketika harus melewati kawasan perkotaan?, dan bagaimana penempatan stasiun kereta api sehingga dapat dijangkau dan menjangkau seluruh pelosok kota tanpa mengganggu pengguna jalur transportasi darat? Untuk menjawab permasalahan tersebut, dilakukan penelitian sejarah dengan menerapkan metode sejarah yang meliputi empat tahap, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalur kereta api yang melewati kawasan perkotaan dibangun di kawasan yang masih jarang pemukiman dan di kota besar dibuatkan jembatan (viaduct) sehingga tidak mengganggu jalur transportasi darat. Namun demikian, jalur tersebut tidak terlalu jauh dari pusat kota sehingga stasiun kereta api dibangun di suatu lokasi agar dengan mudah dapat dijangkau dari dan ke pelosok kota.
Arti Penting Situs Astana Gede di Kabupaten Ciamis bagi Masyarakat Jawa Barat Sofianto, Kunto; Falah, Miftahul
MIMBAR PENDIDIKAN Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Universitas Pendidikan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17509/mimbardik.v5i1.24149

Abstract

 ABSTRAKSI: Tulisan ini membahas simbol dan identitas Kabupaten Ciamis di Jawa Barat, Indonesia, terutama berkenaan dengan situs “Astana Gede” (Makam Besar). Situs itu sangat penting untuk dipelihara agar jatidiri masyarakat Jawa Barat tidak tergerus oleh arus globalisasi yang semakin kuat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil kajian menunjukkan bahwa situs “Astana Gede”, yang pernah menjadi pusat kekuasaan Kerajaan Galuh pada masa Prabu Wastu Kancana (1371-1475), merupakan simbol dan identitas bagi masyarakat Ciamis. Pada masa sekarang, hal yang sangat dikhawatirkan adalah masyarakat Kabupaten Ciamis kurang paham mengenai arti penting eksistensi situs “Astana Gede”. Ada tiga faktor yang harus difahami masyarakat, yaitu faktor bangunan, ruang, dan rasa memiliki. Ketiga faktor itu harus dipelihara dan diimplementasikan oleh generasi penerus agar dapat memiliki pengetahuan tentang situs “Astana Gede” dan para pendahulunya. Hal itu juga, pada akhirnya, agar generasi muda dapat membangun dirinya dalam berbagai aspek di masa sekarang dan di masa yang akan datang. KATA KUNCI: Simbol; Identitas; Situs Astana Gede; Kerajaan Galuh; Masyarakat Ciamis dan Jawa Barat.ABSTRACT: “The Significance of Astana Gede Site in Ciamis Regency for West Java People”. This article discusses the symbols and identity of Ciamis Regency in West Java, Indonesia, especially with regard to the site of “Astana Gede” (Large Tomb). The site is very important to be maintained so that the identity of West Java people could not be eroded by globalization which is getting stronger. The research method used in this study is the historical method that consist of four steps, namely: heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The findings show that  “Astana Gede” site, as once a center of  Galuh Kingdom power in the time of King Wastu Kancana (1371-1475), is a symbol and identity of Ciamis people. Nowadays, it is very concerned that the people of Ciamis Regency has short on knowledge significance of “Astana Gede” site existence. There three factors that must be understood by the people, namely buildings factor, space, and  sense of belonging. These three factors must be maintained and implemented by the next generation so that may have knowledge of the “Astana Gede” site and their predecessors. It is also, finally, in order the younger generations are able to develop themselves in various aspects in the present and in the future.KEY WORD: Symbol; Identity; Astana Gede Site; Galuh Kingdom; People of Ciamis and West Java.  About the Authors:  Kunto Sofianto, Ph.D. adalah Dosen Senior pada Program Studi Sejarah FIB UNPAD (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran) Bandung; dan Dr. Miftahul Falah adalah Dosen Junior pada Program Studi Sejarah FIB UNPAD Bandung, Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Indonesia. Alamat emel: kunto.sofianto@unpad.ac.id dan miftahul.falah@unpad.ac.id Suggested Citation: Sofianto, Kunto Miftahul Falah. (2020). “Arti Penting Situs Astana Gede di Kabupaten Ciamis bagi Masyarakat Jawa Barat” in MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, Volume 5(1), March, pp.15-36. Bandung, Indonesia: UPI [Indonesia University of Education] Press, ISSN 2527-3868 (print) and 2503-457X (online). Article Timeline: Accepted (December 27, 2019); Revised (February 9, 2020); and Published (March 30, 2020).
Prabu Siliwangi Between History and Myth Muhsin Z., Mumuh; Falah, Miftahul
Paramita: Historical Studies Journal Vol 31, No 1 (2021): Maritime and Socio-Economic History of Indonesia
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v31i1.25049

Abstract

Abstract: Prabu Siliwangi is a historical figure, not a fairy tale or a mythical figure, although his figure is loaded with mythical things. Its existence is supported by several sources, both written and oral sources. Besides, the character of Prabu Siliwangi is also supported by social facts and mental facts. Prabu Siliwangi was the ruler who brought glory to the Sunda kingdom, so it is seen as the greatest king in the history of the Sunda kingdom stood. Nevertheless, from the manuscript, Carita Parahiangan (15th century), which contains information of the rulers of the Sunda kingdom, no king of Sunda is named Prabu Siliwangi. Then, who is Prabu Siliwangi? To answer the question, a historical study was conducted by implementing a historical research method that is operationally composed of four phases, namely Heuritsik, criticism, interpretation, and historiography. The results showed that Prabu Siliwangi was a historical figure-Legendary. The people in Tatar Sunda very emotionally remember the people. There are various opinions on the identification of this character. Some argue that this nickname refers only to one character, but some have the opinion of the four figures and more. From the various sources of the manuscript used in this article, the identification of Prabu Siliwangi led to Prabu Sri Baduga Maharaja (1482-1521), the ruler of the Sunda kingdom who is domiciled Pakwan Pajajaran. Abstrak: Prabu Siliwangi adalah seorang tokoh sejarah, bukan dongeng atau tokoh mitos walaupun sosoknya sarat dengan hal-hal yang bersifat mitos. Keberadaannya didukung oleh beberapa sumber, baik sumber tertulis maupun lisan. Selain itu karakter Prabu Siliwangi juga didukung oleh fakta sosial dan fakta mental. Prabu Siliwangi adalah penguasa yang membawa kejayaan kerajaan sunda, sehingga dipandang sebagai raja terbesar dalam sejarah kerajaan sunda berdiri. Namun demikian, dari naskah Carita Parahiangan (abad ke-15) yang memuat informasi tentang para penguasa kerajaan Sunda, tidak ada raja Sunda yang bernama Prabu Siliwangi. Lalu, siapakah Prabu Siliwangi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan studi sejarah dengan menerapkan metode penelitian sejarah yang secara operasional terdiri dari empat tahap yaitu heuritsik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Prabu Siliwangi adalah seorang tokoh sejarah-Legendaris. Orang-orang tersebut sangat diingat secara emosional oleh orang-orang di Tatar Sunda. Ada berbagai pendapat tentang identifikasi karakter ini. Ada yang berpendapat bahwa julukan ini hanya mengacu pada satu tokoh, tetapi ada pula yang berpendapat tentang empat tokoh dan banyak lagi. Dari berbagai sumber naskah yang digunakan dalam artikel ini, identifikasi Prabu Siliwangi mengarah pada Prabu Sri Baduga Maharaja (1482-1521), penguasa kerajaan Sunda yang berdomisili di Pakwan Pajajaran.  
PERS DI KOTA TASIKMALAYA, 1900-1942 Miftahul Falah
Sosiohumaniora Vol 14, No 2 (2012): SOSIOHUMANIORA, JULI 2012
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (21.218 KB) | DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v14i2.5483

Abstract

Pemerintahan Kota Tasikmalaya baru berdiri tahun 2001 sebagai pemekaran dari Kabupaten Tasikmalaya. Namun demikian, eksistensi Kota Tasikmalaya setidak-tidaknya telah dikenal dalam struktur Pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1820 seiring dengan pembentukan District Tassikmalaija op Tjitjariang. Sampai pertengahan Abad ke-20, dinamika masyarakat Kota Tasikmalaya ditandai dengan maraknya penerbitan berbagai surat kabar dan majalah yang dikategorikan sebagai pers Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pertumbuhan pers di Kota Tasikmalaya dalam kurun waktu 1900-1942? Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1900-1942, sekitar empat belas surat kabar dan dua majalah telah terbit di Kota Tasikmalaya. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Sunda dan sebagian lagi bahasa Indonesia. Sementara itu, usia terbit pers berkisar dari 6 bulan sampai 3 tahun karena lazimnya pers Indonesia, masalah modal menjadi kendala utama. Berbagai isu politik, ekonomi, kriminalitas, olah raga, peperangan, dan berbagai persoalan yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat Tasikmalaya merupakan pokok pemberitaan dari surat kabar. Selain itu, masalah-masalah keagamaan baik yang berkaitan dengan peribadatan maupun kehidupan sosial-politik menjadi pokok berita bagi dua majalah yang terbit di Kota Tasikmalaya, yaitu Al-Mawaidz dan Al-Imtisal. Namun demikian, beberapa surat kabar pun memberitakan masalah keagamaan seperti yang dilakukan oleh Ichtiar, Ksatrya, Pera Expres, dan Toembal.
RUANG TERBUKA HIJAU DALAM TATA RUANG KOTA BANDUNG AKHIR ABAD XIX HINGGA PERTENGAHAN ABAD XX Miftahul Falah
Sosiohumaniora Vol 21, No 2 (2019): SOSIOHUMANIORA, JULI 2019
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1536.438 KB) | DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v21i2.21020

Abstract

Dalam tata ruang kota, ruang terbuka hijau merupakan salah satu komponen pembentuk fisik kota dan keberadaannya menjadi salah satu indikator penilaian terhadap kualitas lanskap kota. Di Kota Bandung, ruang terbuka hijau cukup banyak baik yang dibangun pada masa kolonial maupun masa kemerdekaan, tetapi secara historis, belum banyak yang mengkaji. Bagaimana keletakan ruang terbuka hijau dalam konstelasi tata ruang Kota Bandung pada Abad XX? Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan itu, dalam kajian ini diterapkan metode sejarah yang dalam tataran operasional terdiri atas empat tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Untuk menganalisisnya, digunakan konsep morfologi kota yakni salah satu pendekatan dalam mengkaji kota dengan menekankan pada aspek perubahan fisik kota. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada masa Pemerintahan Gemeente Bandung (Pemerintah Kota Bandung), ruang terbuka hijau lebih banyak dibangun di wilayah Bandung Utara; hutan kota yang ada Kota Bandung yang dikenal dengan nama Jubileumpark memiliki area lebih luas dibandingkan dengan kondisi sekarang; taman-taman kota yang telah dibangun oleh Pemerintah Gemeente Bandung sebagian besar masih berfungsi setelah direvitalisasi oleh Pemerintah Kota Bandung; dan beberapa taman kota mengalami transformasi karena berbagai alasan, antara lain ketidaksesuaian dengan budaya lokal. 
PEMBANGUNAN SISTEM INFORMASI MONITORING KESEHATAN PASIEN TB RAWAT JALAN RUMAH SAKIT AL ISLAM BANDUNG Miftahul Falah; Faiza Renaldi; Fajri Rakhmat Umbara
Prosiding SNST Fakultas Teknik Vol 1, No 1 (2019): PROSIDING SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 10 2019
Publisher : Prosiding SNST Fakultas Teknik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (294.055 KB)

Abstract

Pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menjamur dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, teknologi informasi banyak digunakan sebagai media monitoring untuk berbagai kegiatan tidak terkecuali di bidang kesehatan. Manfaat dari teknologi informasi sebagai media monitoring dalam bidang kesehatan dapat membantu pihak rumah sakit untuk mencapai penanganan medis yang lebih baik serta meningkatkan pengambilan keputusan dan perencanaan dalam pelayanan terhadap pasien. Status kesehatan pasien TB rawat jalan yang tidak termonitori oleh pihak rumah sakit, tingginya angka putus berobat (drop out), dan tidak adanya data konsumsi obat yang sudah dilakukan oleh pasien TB rawat jalan sesuai dengan resep yang diberikan dokter mengakibatkan minimnya informasi terhadap status kesehatan pasien TB rawat jalan. Hal tersebut menjadi sebuah tolak ukur dalam keberhasilan layanan pengobatan pasien TB rawat jalan yang disediakan oleh pihak rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk memonitor status kesehatan  pasien rawat jalan dengan teknologi sistem informasi, yaitu dengan pembangunan sistem informasi monitoring pasien  yang membuat pihak rumah sakit dapat mengetahui status kesehatan pasien TB rawat jalan setiap harinya, keteraturan konsumsi obat yang dilakukan oleh pasien serta perkembangan kesehatan pasien selama melakukan proses rawat jalan.Kata kunci : pasien tb, rawat jalan sistem informasi monitoring. 
PERGESERAN MAKNA FILOSOFIS ALUN-ALUN KOTA BANDUNG PADA ABAD XIX – ABAD XXI Miftahul Falah; Agusmanon Yuniadi; Rina Adyawardhina
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 11, No 2 (2019): PATANJALA Vol. 11 No. 2, JUNE 2019
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1408.66 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v11i2.507

Abstract

Sebagai kota yang dibangun dengan mempertimbangkan aspek kosmologis, alun-alun merupakan salah satu elemen pembentuk Kota Bandung sejak menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Bandung pada 25 September 1810. Alun-alun Kota Bandung mengalami perubahan fungsi, dari titik batas ruang profan dan ruang sakral menjadi ruang terbuka publik sehingga makna filosofisnya mengalami pergeseran. Untuk memahami perubahan tersebut secara kronologis, dilakukan penelitian historis dengan menerapkan metode sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam perkembangannya, warga Kota Bandung tidak lagi memandang alun-alun sebagai salah satu elemen penyeimbang antara makrokosmos dan mikrokosmos, melainkan sebagai ruang terbuka publik tempat bersosialisasi seluruh warga kota. Fungsi Alun-alun Kota Bandung menunjukkan perubahan, dari sebuah lapangan terbuka dengan fungsi administratif kota tradisional hingga menjadi sebuah taman kota yang menjadi destinasi wisata di pusat kota sehingga memperlihatkan fungsi sosial-ekonomi.As a city that was built which takes the cosmological aspect into consideration, the square is one of the elements that formed the city of Bandung since becoming the capital of Bandung Regency on September 25, 1810. Its changing functions, which were traditionally perceived as a boundary of profane and sacred space into modern public open space, reflected a shifting in philosophical meaning. To understand the changes chronologically, this paper uses historical method which consists of four stages, namely, heuristics, critique, interpretation, and historiography. The results show that gradually the citizens of Bandung no longer look at the city square as one of the elements of the balance between the macrocosm and microcosm, but rather as a place for community gatherings. Its function changes from an open field with the administrative role of the traditional city into a city park that became a tourist destination in the city centre with socio-economic functions.
MORFOLOGI KOTA-KOTA DI PRIANGAN TIMUR PADA ABAD XX – XXI; Studi Kasus Kota Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya Miftahul Falah; Nina Herlina Lubis; Kunto Sofianto
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 9, No 1 (2017): PATANJALA Vol. 9 No. 1 MARCH 2017
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1093.076 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v9i1.342

Abstract

Tulisan ini akan mengkaji perubahan Morfologi Kota-Kota di Priangan Timur pada Abad XX-XXI dengan memfokuskan pada Kota Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya. Untuk mencapai tujuan itu, dalam penelitian ini digunakan metode sejarah yang meliputi empat tahap yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan morfologi kota dengan mengkaji tata ruang dan infrastruktur kota, simbol kota, bangunan, dan ruang terbuka di Kota Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Pada awalnya, struktur dan pola kota ketiganya menunjukkan kecenderungan yang sama karena mendapat pengaruh struktur kota tradisional. Akan tetapi, dalam perkembangannya menunjukkan perbedaan yang terlihat dari struktur dan pola kota Tasikmalaya yang cenderung mengabaikan struktur dan pola kota tradisional. Unsur-unsur kota kolonial di ketiga kota tersebut cukup nampak sehingga terjadi perpaduan antara kota tradisional dan kota kolonial yang salah satunya terlihat dari bangunan yang mendapat pengaruh budaya indis. This paper examines the morphology changes of Cities in East Priangan in the 20th and 21st  century by focusing on the city of Garut, Ciamis and Tasikmalaya. To achieve that goal, this study uses historical method which includes four stages of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The results showed that the growth of the city by studying morphology and spatial infrastructure of the city, a symbol of the city, buildings and open spaces in the city of Garut, Ciamis and Tasikmalaya shows a different trend. At first, the structure and pattern of the three cities showed the same tendency as under the influence of traditional city structures. However, in its development shows the differences seen from the structure and pattern of Tasikmalaya which tends to undermine the structure and pattern of traditional town. The elements of the colonial city in the three cities are quite visible, causing a blend of traditional and colonial city. One of which is visible from the building that received cultural influences of Indies.
PEMBAURAN ETNIS CINA DAN KAUM BUMIPUTRA DI KOTA GARUT (TINJAUAN HISTORIS) Kunto Sofianto; Widyo Nugrahanto; Agusmanon Yuniadi; Miftahul Falah
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 10, No 2 (2018): PATANJALA Vol. 10 No. 2, JUNE 2018
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (830.461 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v10i2.359

Abstract

Artikel ini membincangkan pembauran antara kaum bumiputra, terutama masyarakat Sunda dan etnis Cina di Kota Garut, Jawa Barat sejak zaman kolonial Belanda hingga post kemerdekaan Republik Indonesia (RI) 1945. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri empat tahap, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Untuk membantu eksplanasi tentang pembauran itu, penulis menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi, dan ilmu politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua faktor yang menyulitkan terjadinya pembauran antara kaum bumiputra dan kelompok etnis Cina. Faktor pertama, yaitu akar sejarah yakni status kelompok etnis Cina lebih tinggi daripada golongan bumiputra. Faktor kedua, perasaan Chinese Culturalism yang masih tertanam kuat di kalangan  kelompok etnis Cina. Akibatnya, perasaan itu mengarahkan mereka kepada sikap untuk senantiasa berorientasi kepada budaya leluhurnya yang memang sudah tua. Kedua faktor tersebut menyebabkan eksistensi masyarakat etnis Cina di Kota Garut, baik sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. This article discusses integration between indigenous, especially Sundanese people and group of Chinese ethnic in Garut City, West Java since the Dutch colonial era until the post independence of the Republic of Indonesia (RI) 1945. Method used in this research is  historical method consisting of four steps, namely heuristics, criticism, interpretation, and historiography. To assist the explanation of the assimilation, the author uses social sciences, especially sociology, anthropology, psychology, and political science. The conclusion of this research  appears to be two factors causing the difficulty of asimilation between Sundanese people and ethnic Chinese group. The first factor, the historical roots in which the Dutch Colonial Government classified Chinese ethnic group into higher position of legal and social than Sundanese people. The second factor, a strong sense of Chinese Culturalism that is still embedded in Chinese ethnic groups, namely a sense that always glorifies the culture of its ancestors. As a result, that a sense leads them to the attitude of always being oriented to the ancient culture of their ancestors. Both factors led to the existence of Chinese ethnic communities in Garut City, increasing prominently, both before and after Indonesian independence. 
TATA RUANG IBUKOTA TERAKHIR KERAJAAN GALUH (1371 - 1475 M) Budimansyah Budimansyah; Nina Herlina Lubis; Miftahul Falah
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 12, No 2 (2020): PATANJALA VOL. 12 NO. 2 Oktober 2020
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30959/patanjala.v12i2.596

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menguak tata ruang Galuh Pakwan sebagai ibukota terakhir Kerajaan Galuh, sejauhmana pola ruang kota tersebut berkaitan dengan nilai-nilai kelokalan sebagaimana tergambar dalam historiografi tradisional. Dalam penelitian ini metode sejarah akan dipergunakan sebagai fitur utama agar menghasilkan suatu hasil kajian yang komprehensif, dan menggunakan teori tata kota, serta metode deskriptif-kualitatif. Minimnya sumber terkait sejarah Galuh Pakwan, wawancara secara mendalam kepada para narasumber diharapkan bisa menjadi suatu bahan analisis historis. Berdasarkan fakta di lapangan, Galuh Pakwan sebagai ibukota kerajaan berawal dari sebuah kabuyutan. Pada masa pemerintahan Niskalawastu Kancana, kabuyutan tersebut dijadikan pusat politik dengan tetap menjalankan fungsi kabuyutannya. Seiring waktu, Galuh Pakwan menjelma menjadi sebuah kota yang tata ruangnya menunjukkan representasi dan implementasi konsep kosmologi Sunda. Galuh Pakwan terbentuk oleh pola radial-konsentris menerus, sebagai gambaran kosmologi Sunda sebagaimana terungkap dalam naskah-naksah Sunda kuna.The research is not only aimed at uncovering the spatial layout of Galuh Pakwan as the last capital of Galuh Kingdom, but also at exploring how well the relationship between the urban spatial patterns and the local values as depicted in the traditional historiography. Beside having the historical methods as the main feature to produce a comprehensive study result, the study also uses the urban planning theory, as well as the descriptive qualitative methods. The historical sources related to the history of the Galuh Pakuan are very limited. As a result, the in-depth interviews with the resource persons are expected to be appropriate as the observation material for historical analysis. Based on the facts found in the field, the Galuh Pakwan as the capital of the kingdom originated from a Kabuyutan. During the reign of Niskalawastu Kancana, Kabuyutan served as a political center while maintaining its original function as Kabuyutan. As the time passed, the Galuh Pakwan was transformed into a city whose spatial layout represented and implemented the Sundanese cosmological concept. The Galuh Pakwan was formed by a continuous radial-concentric pattern, as a description of Sundanese cosmology in the ancient Sundanese manuscript.