Sulistya Ekawati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

TIPOLOGI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA Kushartati Budiningsih; Sulistya Ekawati; Gamin Gamin; Sylviani Sylviani; Elvida Yosefi Suryandari; Fentie Salaka
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 12, No 3 (2015): Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Publisher : Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4559.056 KB) | DOI: 10.20886/jakk.2015.12.3.283-298

Abstract

Typology of Forest Management Unit (FMU) arranged through clustering based on its characteristics. These characteristics are FMU managers, participation of stakeholders and their business potential. The survey approach used by sending questionnaires to 86 FMU models that already have organization as primary data collection. Literatures are used as suporting data. Based on questionnaires collected from 35 FMU there are three types of FMU such as type A (index 3.66 -5.00), type B (index 2.33 to 3.66) and type C (index 1.00 to 2.33). The characteristics of type A are good understanding of FMU concept, sufficient number of employees and the employees have good capabilities, high stakeholders support, and good forest business potential. The characteristics of type B are enough understanding of the FMU concept, not enough employees and their capabilities, enough stakeholders support and there are forest business potential. The characteristics of types C are less understanding of the concept, the number and capability of human resources is not enough, lack of stakeholder support, and lack of forest business potential. Most FMUs (97%) belong to type B and type C. It means that the FMU still need assistance from the government in its development.
KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN DALAM DESENTRALISASI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG: STUDI KASUS DI TIGA KABUPATEN DALAM DAS BATANGHARI Sulistya Ekawati
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 8, No 2 (2011): Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Publisher : Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jakk.2011.8.2.152-166

Abstract

Evaluasi dari Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Kabupaten merupakan bagian penting dalam desentralisasi. Salah satu instrument dalam evaluasi tersebut adalah mengukur kinerja. Tulisan ini bertujuan untuk mengukur kinerja Pemerintah Kabupaten dalam mengelola hutan lindung di wilayahnya serta merumuskan saran untuk perbaikan pengelolaan hutan lindung ke depan. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten dalam DAS Batanghari. Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur persepsi responden dengan skala likert dan pengukuran status program (Parker, 1996). Hasil penelitian menunjukkan kinerja pengelolaan hutan lindung menurut persepsi responden sebelum dan sesudah desentralisasi mempunyai kategori yang sama yaitu pada tingkat sedang. Adanya desentralisasi tidak mengubah kinerja pengelolaan hutan lindung oleh pemerintah kabupaten. Kinerja Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Solok Selatan berdasarkan status program mempunyai beberapa program pengelolaan hutan lindung, tetapi baru dalam tahap sangat awal ( )), sedangkan Kabupaten Sarolangun mempunyai hanya satu program pengelolaan hutan lindung. Kinerja desentralisasi pengelolaan hutan lindung perlu ditingkatkan dengan program-program pengelolaan hutan yang lebih komprehensif mulai dari perencanaan sampai dengan pemanfaatan. Pemerintah Pusat perlu menyusun mekanisme dan instrument untuk mengukur apakah Pemerintah Kabupaten sudah menjalankan kewenangan yang diserahkan kepadanya dengan baik dan mendukung kapabilitas Pemerintah Kabupaten agar dapat menjalankan beberapa program yang belum dijalankan. pilot stage
KONDISI TATA KELOLA HUTAN UNTUK IMPLEMENTASI PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN (REDD+) DI INDONESIA Sulistya Ekawati; Mega Lugina; Kirsfianti L. Ginoga
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 10, No 1 (2013): Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Publisher : Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jakk.2013.10.1.72-87

Abstract

One critical element for the success of REDD+implementation is its governance. The study aims to identify and analyze the existing REDD+ institutions from good governance point of view. The study are located in Central Lombok and Berau Districts, where REDD+ Demontration Activities already existed. In general, the study used qualitative methods, supported with scoring methode. The results show that REDD+ institutions have not fully reflected the three pillars of good governance, that there are still lack of community representation. Indicator of professionalism is at the highest score, while the indicator of participation is at the lowestscore. The institutions also have notapplied the principles of good governance yet. Allexisting REDD+ institutions are still temporary, that didn't represent a learning organization and tends overlapping functions. The research suggests several things: (i) Strengthening forest governance on the existing REDD+ institution carried out through strengthening the pillars of society and strengthening the principles of participation, (ii) Involvement of the communities should be enhanced in the institutional structure of REDD, (iii) Comprehensive assessment of the principles of good governance in the REDD+ institution at implementation stage that include payment distribution mechanism for emission reduction activities already undertaken, (iv) The function of the facilitate needs to be strengthened and (v) The structure institutions follow a REDD + strategies.
Analysis Of Tenurial Conflict In Production Forest Management Unit (Pfmu) Model Poigar Arif Irawan; Kristian Mairi; Sulistya Ekawati
Jurnal Wasian Vol 3, No 2 (2016): Jurnal Wasian
Publisher : Balai Penerapan Standar Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPLHK)Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jwas.v3i2.1595

Abstract

This Research aims to determine (1) History, actors and the causes of conflict in terms of the social aspect of economic, cultural and institutional happened in PFMU Model Poigar (2) Recommendations settlement to parse tenurial conflicts PFMU Model Poigar. Data analysis method used is a qualitative approach. The results showed that land claims by communities began of forest utilization activities to meet basic needs. Tenurial conflicts PFMU Model Poigar is a structural conflict. Some of the main actors should receive priority attention is the processing community land in the area and local employers. Some of the basic causes of conflict tenurial PFMU Model Poigar is a lack of understanding about the existence of related parties PFMU Model Poigar, the dualism of authority, lack of community empowerment, and law enforcement is still weak.Based on consideration of the history, the actors involved and the cause of the conflict, then some of the recommendation of this study is the institutional strengthening KPHP Poigar model, the development of that partnership, and law enforcement.
PERANAN KAYU DAN HASIL BUKAN KAYU DARI HUTAN RAKYAT PADA PEMILIKAN LAHAN SEMPIT: KASUS KABUPATEN PATI Setiasih Irawanti; Aneka Prawesti Suka; Sulistya Ekawati
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 9, No 3 (2012): Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpsek.2012.9.3.113-125

Abstract

Kabupaten Pati dipilih sebagai lokasi studi karena memiliki potensi hutan rakyat sengon. Hutan rakyat disini meliputi tegalan dan pekarangan rakyat yang ditanami kayu-kayuan dengan teknik agroforestri. Lokasi studi difokuskan di tiga desa, yakni Desa Giling Kecamatan Gunungwungkal, Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu, dan Desa Payak Kecamatan Cluwak. Unit analisis pada tingkat individu adalah rumahtangga petani dan pada tingkat sosial adalah dusun. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pencatatan data sekunder, diskusi kelompok terarah, dan penelusuran wilayah. Jumlah sampel rumah tangga sebanyak 15 KK/dusun, peserta diskusi kelompok terarah untuk laki-laki tani dan perempuan tani masing-masing sebanyak 10-15 orang/dusun. Analisis data menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Hutan rakyat sengon dibangun di lahan tegalan dan pekarangan secara tumpangsari dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, tanaman penghasil buah-buahan, dan tanaman kehutanan, sehingga diperoleh HK dan HBK. Program pemerintah KBR, BLM-PPMBK, dan KBD berperan memperkaya lahan rakyat dengan tanaman kayu dan mendorong peningkatan produksi HK dan HBK. Kontribusi pendapatan hasil kayu paling tinggi terjadi di Desa Payak (67%) sedangkan kontribusi pendapatan dari HBK yang tinggi terjadi di Desa Giling dan Gunungsari (71% - 87%). Jenis HBK yang mempunyai kontribusi pendapatan besar yakni tanaman buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% - 55,41%). Kontribusi pendapatan dari tanaman semusim di Desa Payak relatif tinggi dibandingkan kedua desa lainnya. HBK berperan penting dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat pada pemilikan lahan yang sempit karena dapat memberi pendapatan pada petani selama menunggu panen kayu. Selain itu, bila tanaman kayu dicampur dengan berbagai jenis tanaman penghasil HBK maka petani dapat memperoleh pendapatan secara berkesinambungan karena panen HBK terjadi secara bergilir. Dengan pertimbangan tersebut, pada wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh petani relatif sempit maka pembangunan Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Rakyat atau Hutan Kemasyarakatan direkomendasikan menggunakan teknik agroforestri dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, tanaman hijauan pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan yang dapat menghasilkan berbagai jenis HBK.
MANFAAT EKONOMI DAN PELUANG PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT SENGON DI KABUPATEN PATI Setiasih Irawanti; Anek Prawesti Suka; Sulistya Ekawati
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 9, No 3 (2012): Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpsek.2012.9.3.126-139

Abstract

Studi ini bertujuan untuk menganalisis manfaat ekonomi, hambatan pengelolaan dan peluang pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Pati. Kabupaten Pati dipilih karena memiliki potensi hutan rakyat sengon yang merupakan jenis cepat tumbuh dengan permintaan pasar yang tinggi. Lokasi studi difokuskan di tiga desa, yakni Desa Giling Kecamatan Gunungwungkal, Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu dan Desa Payak Kecamatan Cluwak. Pengumpulan data menggunakan metode pencatatan data sekunder, wawancara individu, dan diskusi kelompok terarah. Analisis data menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tanaman sengon dibudidayakan secara campuran dengan tanaman lain sehingga diperoleh hasil panen secara bergilir dalam jangka harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Luas lahan yang dikelola dengan sistem campuran sekitar 35% - 60% dari luas tiap desa dan menjadi sumber mata pencaharian bagi sekitar 70% penduduknya. Rata-rata pendapatan petani per tahun tertinggi adalah di Desa Payak sebesar Rp 32.740.801,-, diikuti dengan Desa Gunungsari sebesar Rp 23.977.133,-, dan terendah adalah Desa Giling sebesar Rp 14.018.795,-. Pendapatan tersebut bersumber dari hasil kayu, bukan kayu, dan ternak. Kontribusi tertinggi berasal dari hasil bukan kayu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan tanaman sengon dialokasikan sebagai tabungan. Kini terjadi kecenderungan konversi lahan sawah menjadi tegalan dan konversi tanaman ubikayu ke tanaman sengon karena alasan biaya lebih murah dan pemeliharan lebih mudah. Rekomendasi dari studi ini adalah: (1) diperlukan promosi hutan rakyat sengon, (2) diperlukan pelatihan cara mengatasi penyakit karat puru, (3) diperlukan pelatihan mengukur dan menghitung volume kayu, (4) diperlukan upaya mempermudah akses petani ke pasar kayu atau industri pengolahan kayu, dan (5) membangun demplot hutan rakyat sengon.
Analysis Of Tenurial Conflict In Production Forest Management Unit (Pfmu) Model Poigar Arif Irawan; Kristian Mairi; Sulistya Ekawati
Jurnal Wasian Vol 3, No 2 (2016): Jurnal Wasian
Publisher : Balai Penerapan Standar Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPLHK)Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (355.713 KB) | DOI: 10.20886/jwas.v3i2.1595

Abstract

This Research aims to determine (1) History, actors and the causes of conflict in terms of the social aspect of economic, cultural and institutional happened in PFMU Model Poigar (2) Recommendations settlement to parse tenurial conflicts PFMU Model Poigar. Data analysis method used is a qualitative approach. The results showed that land claims by communities began of forest utilization activities to meet basic needs. Tenurial conflicts PFMU Model Poigar is a structural conflict. Some of the main actors should receive priority attention is the processing community land in the area and local employers. Some of the basic causes of conflict tenurial PFMU Model Poigar is a lack of understanding about the existence of related parties PFMU Model Poigar, the dualism of authority, lack of community empowerment, and law enforcement is still weak.Based on consideration of the history, the actors involved and the cause of the conflict, then some of the recommendation of this study is the institutional strengthening KPHP Poigar model, the development of that partnership, and law enforcement.