Titin Fatimah
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Palu

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

GION MATSURI: PROSESI BUDAYA, PARTISIPASI KOMUNITAS DAN PELESTARIAN WAJAH KOTA KYOTO Fatimah, Titin
Nalars Vol 13, No 1 (2014): NALARs Volume 13 Nomor 1 Januari 2014
Publisher : Nalars

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Gion Matsuri adalah satu dari tiga festival terbesar di Jepang yang diselenggarakan tiap bulan Juli. Prosesi dalam festival yang berlangsung selama sebulan tersebut melibatkan masyarakat lokal sebagai penyelenggara utama. Artikel ini bertujuan untuk melihat apa dan bagaimana Gion Matsuri, sejauh mana keterlibatan masyarakat/ komunitas lokal dalam penyelenggaraannya serta kaitannya dengan upaya pelestarian wajah kota/ townscape sebagai bagian dari pelestarian lansekap kota secara keseluruhan. Kota menjadi panggung utama tempat festival ini digelar, oleh karena itu karakter khas Kyoto berupa bangunan tradisional/ machiya townhouse sangatlah penting. Berbagai upaya pelestarian telah ditempuh. Sayang sekali, pesatnya pembangunan yang tak terkontrol menyebabkan wajah kota Kyoto berubah banyak. Populasi machiya semakin menurun, tergantikan dengan menjamurnya bangunan-bangunan baru yang berpotensi merusak karakter kota Kyoto. Upaya pelestarian sudah ditempuh oleh pemerintah, namun beberapa peraturan yang sudah dibuat untuk melindungi karakter lansekap kota belum menyentuh pada esensi karakter kota secara keseluruhan. Padahal tantangan perubahan sosial ekonomi budaya terus berlangsung seiring tuntutan zaman. Untuk itu perlu upaya sinergis antara pemerintah, swasta dan masyarakat/ komunitas untuk mengkondisikan laju pembangunan tetap bisa selaras dan harmonis dengan karakter kota Kyoto.Kata kunci: Gion Matsuri, Kyoto, Festival, Komunitas, Lansekap Kota, Wajah Kota, Karakter Kota ABSTRACT. Gion Matsuri is an annually festival in Kyoto, organized in every July and renowned as one of the three biggest festivals in Japan. The processions take place through the whole month where local community take part as main organizer. This article aims to describe what is Gion Matsuri, how local community involved in organizing the festival, and the relation with the effort of townscape conservation as part of the whole urban landscape. The festival takes place in the historic city centre as its main stage, therefore traditional wooden architecture is important as the Kyoto’s character. A number of efforts on townscape conservation have been carried out, but unfortunately uncontrollable development have caused the big changes on Kyoto townscape. The population of machiya townhouses, the Kyoto’s unique traditional wooden architecture, has decreased. The new built buildings that replaced those traditional ones potentially destroy the character of Kyoto towscape. Government had took some efforts to protect the townscape, but the issued regulations does not yet touch the whole character of Kyoto townscape. Whereas, social economy and culture that are continuesly changing is a big challenge for conservation. Therefore, sinergic effort among the government, private sector and local community is needed to condition the development pace to be harmonious with the character of Kyoto City.Keywords: Gion Matsuri, Kyoto, Festival, Community, Urban Landscape, Townscape, City Character
PEMETAAN BUDAYA DI KAWASAN PEDESAAN: STUDI KASUS DESA GIRITENGAH, BOROBUDUR Fatimah, Titin; Solikhah, Nafiah; Jayanti, Theresia Budi; Indrawati, Klara Puspa
Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Publisher : Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmstkik.v2i2.3008

Abstract

Indonesia's cultural diversity is an extraordinary potential that needs to be maintained and preserved. Cultural mapping is an effort to document the cultural potential that exists in an area both urban and rural. This research focuses on the mapping process in rural areas in the Borobudur Area, one of the 10 priority tourist destinations established by the Ministry of Tourism. The tourism trend that is developing in Borobudur now is not only focused on the temple, but also to explore the surrounding villages, thus demanding the readiness of each village for the development of sustainable rural tourism. This study aims to find a cultural mapping method that is suitable for rural conditions, by doing a case study in one of the villages in the Borobudur area, which is Giritengah Village, identifying and mapping the cultural potential of the village, so that it can be used as a basis for developing sustainable village tourism planning. This study uses qualitative method with participatory approach. Data was collected through field observations, interviews with community leaders and local residents, literature studies, and Focus Group Discussions. The result of the study shows that cultural mapping in rural areas still follows the steps of standard cultural mapping procedures, however, in the implementation it was adjusted to the conditions of the local community, especially their culture and local wisdom.Keywords: cultural mapping; rural; Giritengah; Borobudur Keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia merupakan potensi luar biasa yang perlu dijaga dan dilestarikan. Pemetaan budaya merupakan salah satu upaya untuk mendokumentasikan potensi budaya yang ada di suatu tempat/kawasan baik perkotaan maupun pedesaan. Penelitian ini fokus pada proses pemetaan di kawasan pedesaan di Kawasan Borobudur, salah satu dari 10 destinasi wisata prioritas yang ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata. Tren wisata yang berkembang di Borobudur saat ini adalah tidak hanya fokus ke candinya, tapi mulai merambah ke desa-desa sekitarnya, sehingga menuntut kesiapan setiap desa untuk pengembangan pariwisata pedesaan yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan metode pemetaan budaya yang cocok dengan kondisi pedesaan, dengan mengambil studi kasus di salah satu desa di Kawasan Borobudur yakni Desa Giritengah, mengidentifikasi dan memetakan potensi budaya yang dimiliki desa tersebut, sehingga bisa dijadikan dasar untuk penyusunan perancanaan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable village tourism planning). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan partisipatif. Perolehan data dilakukan melalui observasi lapangan, interview terhadap tokoh masyarakat dan warga setempat, studi literatur, dan Focus Group Discussion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemetaan budaya di kawasan pedesaan tetap mengikuti langkah-langkah prosedur baku pemetaan budaya, namun dalam pelaksanaan di lapangan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat, terutama budaya dan kearifan lokalnya.