Tri Handoko Seto
Unknown Affiliation

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

PERANAN BAHAN SEMAI HIGROSKOPIS DALAM PENYEMAIAN AWAN Tri Handoko Seto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 1 No. 1 (2000): June 2000
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v1i1.2101

Abstract

Dalam setiap kegiatan penyemaian awan, faktor yang sangat menentukan adalahpenggunaan bahan semai. Berbagai jenis bahan semai telah dibuat untuk keperluan ini. Akan tetapi secara mendasar terdapat dua jenis bahan semai, yaitu bahan semaihigorskopis untuk penyemaian awan panas dan bahan semai inti es yang digunakandalam penyemaian awan dingin. Bahan semai higroskopis banyak digunakan di daerahtropis sedangkan bahan semai inti es bayak digunakan di daerah lintang tinggi sesuaidengan karakteristik awan yang biasa tumbuh di masing-masing daerah tersebut. Tulisan ini mengkaji peranan atau kinerja bahan semai higroskopis dalam awan panas. Kajianliteratur ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi berbagai pengambilan keputusan atau kebijakan yang berkaitan dengan penyemaian awan panas.The main factor on every cloud seeding activity is seeding agent. Many kinds of seeding agent were produced for this need, but basically there are two kinds of seeding agent: hygroscopic seeding agent for warm cloud seeding activity and ice nuclei seeding agent for cold cloud seeding activity. Hygroscopic seeding agent has been using mostly in tropic region and ice nuclei has been using mostly in high latitude region because of cloud characteristic that usually grow on that regions. This article assesses how hygroscopic seeding agent works in warm cloud. Hopefully, this literature assessment can be used to be a reference to make decisions in conducting warm cloud seeding activity.
MENGAPA HANYA SEDIKIT AWAN KONVEKTIF YANG TUMBUH DI ATAS DAERAH BANDUNG PADA PERIODE 10 DESEMBER 1999 S.D 04 JANUARI 2000? Tri Handoko Seto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 1 No. 1 (2000): June 2000
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v1i1.2106

Abstract

Dalam rangka mengembangkan kemampuannya secara ekstensif, Unit Pelaksana TeknisHujan Buatan BPPT melakukan penelitian teknologi modifikasi cuaca untuk antisipasibanjir. Penelitian ini dilaksanakan dalam kurun waktu musim basah (10 Desember s.d. 04 Januari 2000) di Bandung Jawa Barat dengan harapan dapat diperoleh data yang cukup banyak mengingat setiap data harus memenuhi criteria adanya awan konvektif dengan syarat-syarat tertentu. Akan tetapi dalam kenyataannya, dari 25 hari kerja efektif hanya diperoleh 6 (enam) data yang berarti hanya ada 6 (enam) hari yang dijumpai adanya pertumbuhan awan yang konvektif sesuai persyaratan minimal. Hal ini tentu menjadi pertanyaan yang perlu dijawab secara saintifik. Berdasarkan kajian data meteorologi secara Synoptic nampak bahwa sebenarnya massa udara yang masuk kedaerah target adalah massa udara basah setelah sebelumnya melewati Samudera Hindia. Massa udara ini memasuki wilayah Indonesia dengan membentuk konvergensi untuk kemudian bergerak menuju tekanan rendah di Utara dan Selatan Wilayah Indonesia. Awan-awan konvektif tumbuh didaerah target ketika terdapat depresi-depresi kecil disekitar Pulau Jawa.To develop its technology capability extensively, weather Modification Technical Service Unit (UPT Hujan Buatan) BPPT has done weather modification research forflood anticipation. This research was done on the wet season (December 10 1999 until January 04 2000) in Bandung West Java with hopefully that it be able to be gotten many data because every data has to require criteria existence of convective clouds with many requirements. But in the fact, from 25 effective days, there was only 6 (six) days that were met convective cloud growth according to minimum requirements. The question is what happened at that period? This article tries to answer that question scientifically. Synoptic meteorological data shown that wet air mass come into target area after blow through Hindia Ocean. Those wet air masses come into Indonesia region and form convergence and than blow to low pressure in both of North and South of Indonesia region. Convective clouds grew on the target when there were little depressions around Java Island.
PENGAMATAN OSILASI MADDEN JULIAN DENGAN RADAR ATMOSFER EQUATOR (EAR) DI BUKITTINGGI SUMATERA BARAT Sebuah Studi Pendahuluan Tri Handoko Seto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 3 No. 2 (2002): December 2002
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v3i2.2168

Abstract

Variasi intra musim, yang merupakan salah satu variasi yang dominan di wilayah tropis,telah dipelajari menggunakan radar atmosfer ekuator yang terpasang di Bukittinggi Sumatera Barat, Indonesia. Dari data satelit yang diperoleh dari GMS IR yang dirata-ratakan untuk wilayah 5 LS – 5 LU selama bulan April hingga Juni 2002, penjalaransuper cluster ke arah timur dengan osilasi 40-50 hari (seperti yang diusulkan olehMadden dan Julian, 1971) teramati dengan jelas. Dari pengamatan radar secara kontinyu telah diidentifikasi pola hubungan yang baik antara variasi intra musim yang berupa aktivitas pertumbuhan awan dengan angin zonal yang teramati oleh radar, yangkeduanya memiliki osilasi 40-50 hari. Ketika super cluster berada di sebelah barat dansekitar posisi radar maka angin zonal terutama pada ketinggian 2 – 8 km ditandai dengan baratan lemah atau timuran. Sebaliknya pada saat super cluster sudah bergerak menjauh di sebelah timur posisi radar maka angin zonal terutama pada ketinggian 2 – 8 km ditandai dengan baratan kuatIntraseasonal variations (ISV), which is one of the most dominant variations in the tropics, have been studied using the Equatorial Atmosphere Radar (EAR) in West Sumatera, Indonesia. From black body temperature (TBB) obtained from GMS IR data averaged over 5S-5N during April-June 2002, eastward propagation super cloud cluster having 40-50 day oscillation (as proposed by Madden and Julian, 1971) clearly appeared on that period. From continuous observations of the EAR installed in Bukittinggi West Sumatera, we identified a good agreement between TBB and zonal winds that have also 40-50 day oscillation. Namely, when enhanced convection exists in the west side of the EAR site, easterly or weak westerly winds are observed with the EAR. Conversely, when enhanced convection exists in the east side of EAR site, westerly winds are observed.
DISTRIBUSI TEMPORAL DAN SPASIAL TEKANAN UDARA TERKAIT PERTUMBUHAN AWAN DI DAS LARONA, SULAWESI SELATAN Tri Handoko Seto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 12 No. 2 (2011): December 2011
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v12i2.2191

Abstract

Telah dilakukan análisis temporal dan spasial data tekanan udara dan curah hujan menggunakan data hasil pengukuran dengan AWS dan penakar hujan manual di DASLarona, Sulawesi Selatan. Dari hasil analisis temporal nampak bahwa tekanan udarapermukaan cenderung turun saat pertumbuhan awan. Penurunan tekanan menjadi energi yang digunakan untuk menarik massa udara di sekitarnya. Ketika terjadi hujan maka tekanan udara menjadi tinggi akibat adanya pendinginan masa udara. Dari analisisspasial nampak bahwa daerah yang memiliki tekanan lebih rendah cenderung memilikicurah hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah di sekitarnya. Hasilpenelitian ini bisa dijadikan referensi bahwa ketika terjadi pertumbuhan awan di suatulokasi maka aliran udara akan masuk menuju lokasi pertumbuhan awan. Semakin kuat pertumbuhan awannya maka semakin kuat tarikan massa udara dari sekitarnya. Dalam teknologi modifikasi cuaca, usaha memperkuat pertumbuhan awan mungkin bisa dijadikan salah satu strategi untuk menarik massa udara atau awan-awan yang lebih kecil ke area dengan pertumbuhan awan yang kuat. Namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hipotesa ini.Temporal and spatial data analysis of air pressure and rainfall data using AWS andrain gauges in the watershed of Larona, South Sulawesi has been done. From theresults it appears that surface air pressure tends to fall when clouds develop. Pressuredecreasing became energy which is used to draw air mass from the vicinity. When itrains then the air pressure increased due to the cooling of the air. From the spatialanalysis it appears that areas with lower pressure tend to have higher rainfall than thesurrounding areas. The results of this study can be used as a reference that when thereis cloud growth in a location, air flow will go to the location of cloud growth. The stronger cloud’s growth the stronger pull of the surrounding air mass. In weather modification technology, strengthen the growth of cloud technique may be used as one strategy to attract the mass of air or clouds of smaller clouds to the area with strong growth. But it still needs to do further research to prove this hypothesis.
TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA UNTUK MENGURANGI CURAH HUJAN PADA SEA GAMES 2011 DI PALEMBANG Tri Handoko Seto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 13 No. 2 (2012): December 2012
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v13i2.2570

Abstract

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) telah diaplikasikan untuk mengamankan SEA GAMES 2011 di Palembang, SUmatera Selatan dari ancaman hujan berlebih
DESAIN KONSEPTUAL GROUND-BASED GENERATOR (GBG) OTOMATIS DAN KONSEP OPERASIONAL BERBASIS WIRELESS SENSOR NETWORK (WSN) Purwadi Purwadi; Tri Handoko Seto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 15 No. 1 (2014): June 2014
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v15i1.2651

Abstract

IntisariDilatarbelakangi oleh beberapa permasalahan operasional Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dengan wahana pesawat terbang dan juga permintaan TMC yang semakin meningkat, maka dilakukan pengembangan teknologi Ground-Based Generator berupa desain konseptual Ground-Based Generator (GBG) otomatis dan konsep operasional berbasis wireless sensor network (WSN). Dari kajian teori, teknologi GBG efektif diterapkan dilereng pegunungan, sehingga konsep pengembangan teknologi ini dimaksudkan untuk operasional TMC waduk PLTA di Indonesia yang sebagian besar dikelilingi oleh daerah aliran sungai (DAS) berupa pegunungan. Di dalam tulisan ini dijelaskan 4 topografi waduk PLTA yang telah lama menggunakan jasa TMC yaitu DAS Riamkanan, DAS Larona, DAS Koto Panjang, dan DAS Singkarak. Data topografi yang menunjukkan kelayakan suatu DAS dapat diterapkan GBG diperoleh dari Digital Elevation Model (DEM) dan ditampilkan dengan software Global Maper. Selanjutnya, rancangan GBG otomatis di ilustrasikan dalam sketsa gambar. GBG otomatis memiliki fitur; autoloading flare, rak penyimpanan flare, solar panel, dan dikontrol dengan mikroprosesor. Dengan menerapkan konsep WSN, pengoperasian GBG dapat dilakukan secara terpusat untuk beberapa DAS sekaligus, sehingga kegiatan TMC mejadi lebih efektif dan efisien. AbstractMotivated by some operational problems of Weather Modification Technology (TMC) with airplane medium and also increasing the demand of TMC, then the development of Ground-Based Generator technology in the form of conceptual design of automatic Ground-Based Generator (GBG) and operational concepts based wireless sensor network (WSN) is done. From the study of theory, GBG effectively applied on mountain slope, so the concept of development of this technology is intended for TMC operation in hydroelectric (PLTA) dam in Indonesia that were mostly surrounded by watersheds (DAS) in the form of mountains. This paper describe four hydroelectric dams topography which has long used the TMC service (Riam Kanan DAS, DAS Larona, DAS Koto Panjang, and DAS Singkarak). The topographic data that indicate the feasibility of applied GBG in a watershed is obtained from the Digital Elevation Model (DEM) and displayed with Global Mapper software. Furthermore, the design of automatic GBG is illustrated in sketch drawings. The designed GBG has automatic features; autoloading flares, flare storage racks, solar panels, and controlled by a microprocessor. By applying the concept of WSN, GBG operation can be performed centrally for multiple DAS at once, so that the activities of TMC becoming more effective and efficient.
TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA -SEBUAH USULAN- Tri Handoko Seto; Budi Harsoyo; F. Heru Widodo
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 15 No. 1 (2014): June 2014
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v15i1.2654

Abstract

IntisariMasalah pangan bagi suatu negara adalah suatu hal yang sangat krusial mengingat pangan adalah kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Iklim yang fluktuatif berpengaruh terhadap produksi beras. Saat terjadi anomali iklim di Indonesia yang berakibat pada kekeringan yang berkepanjangan, produksi beras nasional terganggu akibat kurangnya pasokan air irigasi. Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) adalah suatu upaya manusia untuk memodifikasi cuaca dengan tujuan untuk mendapatkan kondisi cuaca seperti yang diinginkan. Penerapan TMC di Indonesia yang sudah dilakukan sejak tahun 1977 memiliki berbagai tujuan, antara lain menambah curah hujan untuk mengatasi kekeringan, serta pengisian air waduk/danau untuk kebutuhan irigasi dan PLTA. TMC pernah diterapkan pada tahun 2007 untuk menambah cadangan air guna meningkatkan produksi beras di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung terkait program pemerintah untuk meningkatkan produksi beras nasional sebanyak 2 juta ton. Pada saat itu, TMC berhasil menyumbang peningkatan sebesar 25 %. Berbekal pengalaman tersebut maka TMC diusulkan untuk dilaksanakan di 10 provinsi penghasil beras tertinggi nasional setiap tahun. Penerapan TMC ini diperkirakan dapat meningkatkan produksi beras nasional sehingga tidak diperlukan impor beras bahkan menjadikan Indonesia menjadi surplus beras.AbstractFood problem for a country is a very crucial thing because food is a basic necessity for human life. Climate variability affects rice production. When climate anomalies occurred in Indonesia that resulted in prolonged drought, national rice production disrupted due to the lack of irrigation water supply. Weather Modification Technology (TMC) is a human attempt to modify the weather in order to get the weather conditions as needed. TMC implementation in Indonesia, which has been conducted since 1977 has a variety of purposes, such as rainfall enhancement to overcome the drought, as well as replenishing water reservoirs/lakes for irrigation and hydropower. TMC had applied in 2007 to increase water reserves in order to increase rice production in West Java, Central Java, East Java, and Lampung related government programs to increase national rice production by 2 million tons. At that time, TMC successfully accounted for an increase of 25 %. Based on that experience, TMC is proposed to be implemented in 10 top rice-producing provinces every year. TMC is expected to increase national rice production so as not necessary to import rice even make Indonesia a rice surplus.
PEMANFAATAN TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Samba Wirahma; Tri Handoko Seto; Ibnu Athoillah
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 15 No. 1 (2014): June 2014
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v15i1.2656

Abstract

IntisariTanaman Kelapa Sawit (Elais sp) adalah sumber utama minyak nabati sesudah kelapa di Indonesia. Tanaman tersebut merupakan komoditi andalan ekonomi Indonesia karena selain merupakan penghasil devisa, kelapa sawit merupakan salah satu alternatif upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembukaan lapangan pekerjaan dan lapangan usaha. Distribusi tanaman kelapa sawit di Indonesia dapat dijumpai di setiap pulau seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Pada tahun 2013, dari total luas perkebunan kelapa sawit sebesar 9,14 juta hektar, sekitar 65% berada di pulau Sumatera, disusul Kalimantan (31%), Sulawesi (3%), kemudian Jawa dan Papua di bawah satu persen. Tanaman kelapa sawit tergolong ke dalam tanaman xerophyte yang dapat beradaptasi dengan kondisi air yang kurang, walaupun demikian tanaman tetap akan mengalami gejala stres air pada saat musim kemarau yang berkepanjangan. Salah satu upaya untuk mengantisipasi musim kemarau panjang dan kebakaran lahan yaitu dengan melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Penerapan TMC di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1979 dengan berbagai tujuan, yaitu menambah curah hujan untuk mengatasi kekeringan, pengisian air waduk untuk irigasi dan PLTA; mengurangi curah hujan untuk mengatasi banjir; longsor; dan mengurangi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Simulasi proyeksi curah hujan dengan skenario pelaksanaan TMC 120 hari dilakukan di wilayah Riau, Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara sebagai daerah dengan luas perkebunan sawit terbesar di Indonesia. Hasil dari simulasi tersebut adalah menghitung besarnya jumlah curah hujan tahunan yang dapat dihasilkan apabila dilakukan TMC 120 hari pada bulan April-Mei 2014 dan Agustus-September 2014 dengan asumsi tingkat pertambahan hujan ketika berada pada periode penyemaian awan sebesar 30%. Berdasarkan hasil simulasi curah hujan dengan skenario pelaksanaan TMC 120 hari, untuk wilayah Riau akan didapatkan penambahan curah hujan sebesar 198 mm/tahun, wilayah Kalimantan Tengah sebesar 254 mm/tahun dan wilayah Sumatera Utara sebesar 233 mm/tahun. Abstract Palm (Elais sp) is the main source of vegetable oil after coco in Indonesia. This plant is mainstay commodity of Indonesia because in addition to foreign exchange earner, palm oil is one alternative efforts to improve the welfare of society through the opening of employment and business field. Distribution of palm oil plantations in Indonesia can be found in every island like Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Java. In 2013, total area of palm oil plantations amounted to 9.14 million hectares, approximately 65% were on the island of Sumatra, Kalimantan followed (31%), Sulawesi (3%), then Java and Papua under one percent.  Palm oil plants belonging to the plant xerophyte that can adapt to conditions that are less water, however the plant will continue to experience symptoms of water stress during the long dry season. One effort to anticipate the long dry season and forest fires by performing the Weather Modification Technology. Application of this technology in Indonesia have been carried out since 1979 with a variety of purposes, namely to rain enhancement to overcome drought, filling water reservoirs for irrigation and hydropower; reduce rainfall to overcome floods; landslides; and reduce smog from forest fires and land.  Simulation of rainfall projection with applying weather modification technology for 120 days in Riau, Central Kalimantan, and North Sumatra as the area with the largest palm oil plantations in Indonesia. Result of this simulation is to calculate the amount of annual rainfall if weather modification for 120 days applied in April-May 2014 and AugustSeptember 2014, assuming growth rate when cloud seeding period is 30%. Based on this simulation resulted for Riau regoin will get additional rainfall 198 mm/year, Central Kalimantan Region 254 mm/year and North Sumatra Region 233 mm/year
KORELASI ANTARA DATA CURAH HUJAN PENAKAR MANUAL DAN TRMM (TROPICAL RAINFALL MEASURING MISSION) GIOVANNI TOVAS. (STUDI KASUS TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA UNTUK MENANGGULANGI KABUT ASAP KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI RIAU TAHUN 2014) Alfan Muttaqin; Tukiyat Tukiyat; Purwadi Purwadi; Tri Handoko Seto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 15 No. 2 (2014): December 2014
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v15i2.2670

Abstract

Intisari  Telah dilakukan kajian tentang korelasi antara data curah hujan yang terukur di Pos Meteorologi dan data curah hujan yang terukur pada TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission). Data curah hujan merupakan data curah hujan rata – rata harian dibeberapa titik yang ada di Provinsi Riau. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data hujan dari tanggal 16 Maret sampai dengan 28 April 2014. Pengujian korelasi dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson dengan asumsi bahwa data terdistribusi normal. Dari hasil perhitungan dengan korelasi Pearson didapatkan nilai korelasi sebesar 0,52. Korelasi yang terhitung sebesar 0,52 masuk kedalam kategori CUKUP. Selain pengujian korelasi, data curah hujan juga dianalisa dengan uji perbandingan streamline yang terbentuk pada diagram kartesius. Tanpa melihat besarnya nilai curah hujan tetapi dengan melihat pola terbentuknya streamline terlihat tanggal 16 Maret sampai dengan tanggal 21 Maret 2014 pola yang terbentuk cenderung berkebalikan dimana ketika data curah hujan pada Posmet turun curah hujan pada TRMM justru malah naik. Sementara mulai tanggal 22 Maret 2014 sampai akhir tanggal 28 April 2014 terlihat tren stream line yang cenderung berpola mirip walaupun ada beberapa titik yang saling berkebalikan sehingga secara umum terlihat polanya mirip.Abstract  Studied correlation between data rainfall in Post Meteorological (Posmet) and rainfall data on TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) have been done. Precipitacion  is average rainfall data at the daily average some point in Province of Riau. Data used in this study is  data from 16 March to 28 April, 2014. Correlation testing was done by using Pearson Product Moment correlation with assumption that data were normally distributed. From the calculation of Pearson correlation obtained correlation value is 0.52. Correlations were calculated is 0.52, category ENOUGH. In addition to testing the correlation, data rainfall were also analyzed with a streamlined comparison test were formed on Cartesian diagram. Without seeing the value of rainfall but by looking at the pattern formation of streamlined look dated March 16 until March 21, 2014 established pattern which tends to reverse when the rainfall data Posmet down on TRMM rainfall actually even go up. While the start date of March 22, 2014 until the end date of 28 April 2014 visible trends that tend to stream line pattern is similar, although there are a few points of each other so that in general the pattern looks similiar. 
APLIKASI MOBILE ZAPPELINE SEBAGAI MEDIA TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA (TMC) DAN PENIPISAN POLUTAN UDARA (ASAP) Purwadi Purwadi; Faisal Sunarto; Alfan Muttaqin; Tri Handoko Seto
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 15 No. 2 (2014): December 2014
Publisher : BPPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jstmc.v15i2.2671

Abstract

IntisariTelah dilakukan kajian aplikasi mobile zappeline sebagai media teknologi modifikasi cuaca (tmc) dan media penipisan polutan udara (asap) pada sebuah truk Mitsubishi Colt Diesel berukuran 5,960 x 1,970 meter. Dengan kendaraan tersebut, direkomendasikan dimensi zappeline berbentuk bangun ruang eliptical dengan jari-jari diagonal a dan b masing-masing 3,25 dan 0,65 meter. Selanjutnya, karakteristik aerodinamik dan fisika dihitung dengan memecahkan beberapa persamaan fisika secara numerik pada kondisi atmosfer standart yaitu internasional standart of atmosphere (ISA). Pada kondisi standart ISA, maksimal beban pada ketinggian 1500 meter (5000 feet) sebesar 5,67 kg dan mampu mencapai ketinggian tersebut dalam waktu 1221.93 sekon (+/- 20 menit). Selanjutnya dilakukan perhitungan drag zappeline relatif terhadap udara yang disajikan dalam sebuah grafik yang dapat digunakan bahan pertimbangan dalam desain pendorong zappeline dan perhitungan kekuatan tali.   AbstractStudies of mobile zeppeline aplication as a medium of weather modification technology and media thinning air pollutants (smoke) on a Mitsubishi Colt Diesel truck with dimensions of 5,960 x 1,970 meters have been done. With these vehicles, an elliptical zappeline shape geometry are recommended with diagonal radii a and b, 3.25 and 0.65 meters, respectively. Then, the aerodynamics and physics characteristic are calculated by solving some physics equations numerically at standard atmospheric conditions of the international standard atmosphere (ISA). In the ISA standard conditions, the maximum load at 1500 meters altitude (5000 feet) is 5.67 kg and it is capable to reach that altitude in 1221.93 seconds (+/- 20 minutes). Furthermore, calculation of the air drag relative are presented in a graph that can be used in the design considerations of driving force zappeline and calculation of rope tension. Â