Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Perlindungan Hukum bagi Dokter dalam Menangani Keadaan Medis Darurat Berdasarkan Implied Concent Mahsun Ismail
Islamadina : Jurnal Pemikiran Islam ISLAMADINA, Volume 20, No. 1, Maret 2019
Publisher : Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (315.292 KB) | DOI: 10.30595/islamadina.v0i0.4380

Abstract

Dokter sebagai komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan. Oleh sebab itu, dokter dalam menangani pasien yang sedang gawat darurat harus bertindak cepat, tepat, dan bermutu untuk menolong pasien tersebut agar dapat menyelamatkan nyawa pasien dari kematian atau pun kecacatan. Maka, sebelum memberikan tindakan medis para dokter kepada pasien berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, seorang dokter harus mendapatkan persetujuan tindakan medis dari pasiennya (informed consent), karena tanpa hal tersebut, dokter dapat dipersalahkan secara hukum atas tindakan medisnya. Secara umum persetujuan tindakan medis yang diberikan oleh pasien kepada dokter untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi menjadi dua bentuk, yaitu: dengan suatu pernyataan (expressed) yang meliputi persetujuan secara lisan dan persetujuan tertulis, serta persetujuan dengan isyarat (implied concent) yang meliputi dalam keadaan biasa dan dalam keadaan gawat darurat. Implied concent merupakan persetujuan tindakan medis yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa persyaratan yang tegas, sehingga implied concent ini adalah peristiwa sehari-hari, seperti, pasien datang ke rumah sakit untuk mengetahui tekanan darah, pengambilan contoh darah, pemeriksaan badan, pemeriksaan pernapasan dengan stetoskop, pengukuran tensinya, dan sebagainya. Artinya, implied concent adalah persetujuan yang dianggap diberikan oleh pasien, umumnya diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Sedangkan dalam keadaan terjadi sengketa medis antara pasien dengan dokter agar langsung diproses melalui jalur hukum, terlebih dahulu dimintakan pendapat dan mediasi dari Majelis Kehormatan Disiplin Kekdoteran Indonesia untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam pelaksanaan tindakan medis dan menetapkan sanksi bagi dokter yang dinyatakan bersalah.
Efektivitas Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam Penegakan Hukum Ilegal, Unreported And Regulated Fisihing In Indonesia Mahsun Ismail; Gatot Subroto
VOICE JUSTISIA : Jurnal Hukum dan Keadilan Vol 5 No 1 (2021): Maret 2021
Publisher : Universitas Islam Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sumber daya perikanan Indonesia sangat besar untuk dimanfaatkan dan dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan perikanan berkelanjutan yang memuat tujuan social, ekonomi, dan ekologi perlu dilakukan mengingat adanya tindakan “tragedy of the open access” dalam pengelolaan sumber daya perikanan di beberapa tempat, eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya perikanan, maupun tindakan pencurian ikan yang selama ini terjadi. Salah satu institusi untuk melakukan penegakan hukum salah satunya adalah pejabat pegawai negeri sipil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi penyidik pegawai negeri sipil perikanan dalam sistem peradilan pidana alur penegakan hukum penyidik pegawai negeri sipil dalam melakukan penyidikan tindak pidana perikanan. penelitian normative, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Untuk hasil penelitian menyimpulkan. Pertama, Bahwa penyidik pegawai negeri sipil perikanan merupakan bagian dari aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyelidikan-penyidikan dalam proses penegakan hukum pidana berdasarkan ketentuan KUHAP, Undang-Undang Perikanan, maupun Undang-Undang Kepolisian, serta PP Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 27 Tahun 1983. Kedua, proses penyidikan tindak pidana perikanan tidak hanya penyidik pegawai negeri sipil yang dapat melakukan proses penyidikan melainkan juga terdiri dari unsur penyidik Polri dan Penyidik TNI AL. Kedudukan dan kewenangan penyidik pegawai negeri sipil perikanan dalam melakukan tugas dan wewenangnya berada dibawah berkoordinasi dan pengawasan penyidik Polri
Kebijakan Hukum Pidana Cyberpornography Terhadap Perlindungan Korban Mahsun Ismail
JURNAL HUKUM EKONOMI SYARIAH Volume 1, No. 2, Oktober 2018
Publisher : Prodi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (957.952 KB) | DOI: 10.30595/jhes.v1i2.3734

Abstract

Tindak pidana cybercrime merupakan persoalan yang tidak mudah dalam penegakan hukum maupun perlindungan terhadap korban cyber khususnya dalam tindak pidana cyberpornography. Kebijakan hukum pidana masih berorientasikan terhadap kepentingan pelaku namun kepentingan korban cyberpornography kurang mendapatkan perhatian dari para penegak hukum karena sudah dianggap telah diwakili kepentingannya oleh Negara (jaksa). kebijakan Hasil dari penelitian ini menggambarkan bagaimana pentingnya  penerapan asas rights to be forgotten terhadap korban cyberpornography sehingga kepentingan korban untuk terbebas dari stigma negative atas kejadian yang dialaminya.
Telaah Terhadap Konstruksi Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana Mahsun ismail
JURNAL HUKUM EKONOMI SYARIAH Volume 1, No. 1, April 2018
Publisher : Prodi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (480.672 KB) | DOI: 10.30595/jhes.v1i1.3714

Abstract

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Tujuan dari sistem peradilan pidana  mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah diadili, mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Namun disisi lain tidak jarang hak-hak tersangka kadangkala dikesampingkan dengan adanya tindakan diskriminasi maupun tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang menjurus pada self-incrimination. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemenuhan terhadap hak-hak tersangka merupakan ciri dari proses hukum yang adil yang berpijak pada rule of law.