Julian Frank Rouw
Sekolah Tinggi Teologi Kanaan Nusantara

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Syair Kristologi Tentang Ke-Allah-An Yesus Dalam Filipi 2:6-11 Rouw, Julian Frank; Sugiono, Sugiono
Veritas Lux Mea (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen) Vol 1, No 2 (2019): Agustus
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Kanaan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (102.204 KB)

Abstract

The Christology poem in the language of Philippians 2: 6-11 is one of the passages. This basic truth in the poetry of Christology states that the person and work of Jesus said that He truly was God in His essence (morphe) of pre-existence. Jesus God who became incarnate as a true human is the scheme of true humans. Recognition of Jesus' divinity over the universe as the basis of faith, that is, on the basis of death and change, Jesus has elevated and held a position full of humanity, both living and the dead (Rom. 14: 9). The acknowledgment of Jesus as God, because Jesus has essentially met and God of all gods and other gods, whether real or imaginary (1 Cor. 8: 5-6). This is what is confirmed in this poem of Christology. Syair Kristologi dalam Filipi 2:6-11 adalah salah satu perikop kunci ajaran mengenai ke-Allah-an Kristus.  Kebenaran dasar dalam Syair Kristologi ini yang menyatakan pribadi dan karya Yesus bahwa Dia adalah sungguh-sungguh Allah pada hakikat-Nya (morphe) pra-eksistensi-Nya.  Yesus Allah yang berinkarnasi menjadi manusia sejati (dalam bentuk schema) adalah manusia sejati.Pengakuan ke-Tuhan-an Yesus atas semesta sebagai pokok iman, yakni bahwa melalui kematian dan kebangkitan, Yesus telah diangkat dan menempati kedudukan yang penuh kekuasaan atas seluruh umat manusia, baik yang hidup dan yang mati (Rom. 14:9).  Pengakuan Yesus sebagai Tuhan, karena Yesus pada hakikatnya telah diangkat dan adalah Tuhan atas segala tuhan dan ilah lain, baik yang nyata atau hanya khayalan (1 Kor. 8:5-6).  Inilah yang ditegaskan dalam syair Kristologi ini.
Internalisasi Makna Kata “Di Bumi Seperti Di Surga” Dalam Matius 6:10c Dan Praktik Konkritnya Julian Frank Rouw
Integritas: Jurnal Teologi Vol 1 No 1 (2019): Integritas: Jurnal Teologi
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Jaffray Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47628/ijt.v1i1.7

Abstract

This article discusses the internalization of the meaning of the word "on earth as in heaven" in Matthew 6: 10c and its concrete practices. The author conducted a study of the text of Matthew 6: 10c and elaborated it with various relevant library sources. From the analysis of the text of Matthew 6: 10c, the church has a goal of bringing the message of Christ and the love of God, making it interesting and understandable, for all groups of people, especially those who are powerless and cannot voice their interests. The church also needs to be involved in the development of a society that is in accordance with God's will, so that it can bring shalom in the midst of society. Therefore, the church needs to be actively involved in contributing to building the community.
Paulus dan Perempuan Randy Frank Rouw; Julian Frank Rouw
Jurnal Jaffray Vol 17, No 2 (2019): Oktober 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Theologia Jaffray

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25278/jj.v17i2.336

Abstract

Artikel ini berfokus untuk menjawab beberapa pertanyaan meliputi: (1) Siapa rekan-rekan perempuan Paulus? (2) Apa ajaran Paulus untuk istri-istri? (3) Apa ajaran Paulus tentang perempuan dan pelayanannya? (4) Menurut Paulus, apakah perempuan dapat melayani sebagai penilik jemaat? (5) Menurut Paulus, apakah perempuan dapat melayani sebagai diaken? (6) Menurut Paulus, apakah ada perbedaan antara pelayanan laki-laki dan pelayanan perempuan? (7) Apa yang ditulis Paulus mengenai pelayanan perempuan? Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada perbedaan dalam pelayanan laki-laki dan pelayanan perempuan menurut Paulus. Ekspektasi Paulus, seorang penilik jemaat adalah seorang laki-laki dan bukan perempuan. Namun, perempuan dapat berperan dalam pelayanan diaken. Perempuan juga dapat mendidik perempuan lain yang lebih muda. Berkaitan dengan istri, Paulus menekankan akan ketundukan istri terhadap suami. Bukan bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ini penekanan Paulus bagi istri; istri tunduk kepada suami sebagai wujud perempuan yang takut akan Tuhan. Istri sadar bahwa suami adalah “sumber keberadaan” mereka.This article focus to answer a couple of question, include: (1) Who are Paul women partners? (2) What is Paul’s teaching about wives? (3) What is Paul’s teaching about a woman and her ministry? (4) According to Paul, can woman serve as an overseer? (5) Can a woman serve as a deacon? (6) Is there any difference ministry between man and woman? (7) What did Paul write about woman ministry? The conclusion is there are differences between man and woman ministry according to Paul. Paul’s expectation tells us that an overseer is a man and not a woman. However, a woman can be a deacon. A woman can teach another woman that younger. About wife, Paul tells us that wife should submit to her husband. About this, not discrimination. Paul’s emphasis on wives; the wife should submit to the husband as a form of their fear of God. The wife realizes that her husband is her “existence source.”
Kajian Konseptual Tentang Pemilihan Allah Dalam Roma 9 Julian Frank Rouw
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol 1, No 2 (2017): Juli
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (145.792 KB) | DOI: 10.46445/ejti.v1i2.76

Abstract

Julian Frank Rouw, Conceptual Review of God's Elections in Rome 9. Rejection of Israel as God's chosen nation, and justification of the Gentiles by faith is in the sovereignty of God. Paul explains God's act toward His chosen people in the past, in which Israel is distancing itself from God's mercy and neglecting its opportunity. In the present, Israel as a nation rejects the Messiah. In the future, Israel as a nation, will receive the Messiah and enjoy the promised blessings with the oath promise in the Old Testament. The key pressure of this context is that God's sovereignty is expressed in a vacuum, not a mere power. The choice of God's sovereignty is not based on an early knowledge of the choices and actions that humans will take in the future. However, God chooses to bless the unworthy through his faith (not on the basis of his achievement). God knows everything but He chooses to limit His choice in mercy and in promise. The human response must exist, but it follows and ultimately affirms the life-changing choice of God. On the sovereignty of God who has chosen who is chosen it can force us to draw the conclusion that God is 'unfair'. Paul has said that God's election is not bound to a lineage, that God is free to choose some of Abraham's offspring and reject some of the others. Julian Frank Rouw, Kajian Konseptual Tentang Pemilihan Allah Dalam Roma 9. Penolakan Israel sebagai bangsa Pilihan Allah, dan pembenaran orang-orang bukan Yahudi karena iman ada dalam kedaulatan Allah. Paulus menjelaskan tindakan Allah terhadap umat pilihan-Nya di masa lalu, dimana Israel sebagai menjauhkan diri dari kemurahan Allah dan mengabaikan kesempatannya. Di masa sekarang, Israel sebagai suatu bangsa menolak Mesias. Pada masa yang akan datang, Israel sebagai suatu bangsa, akan menerima Mesias dan menikmati berkat-berkat yang telah dijanjikan dengan janji sumpah di Perjanjian Lama. Tekanan kunci dari konteks ini adalah bahwa kedaulatan Allah dinyatakan dalam kemurahan, bukan kekuasaan semata-mata. Pilihan kedaulatan Allah tidak didasarkan atas pengetahuan dini akan pilihan-pilihan dan tindakan yang akan diambil oleh manusia di masa yang akan datang. Namun, Allah memilih untuk memberkati orang yang tidak layak melalui imannya (bukan atas dasar prestasinya). Allah mengetahui segala perkara namun Ia memilih untuk membatasi pilihan-Nya dalam kemurahan dan dalam janji. Tanggapan manusia harus ada, namun ini mengikuti dan akhirnya meneguhkan pilihan Allah yang mengubahkan kehidupan. Atas kedaulatan Allah yang telah memilih siapa yang dipilih hal itu dapat memaksa kita menarik kesimpulan bahwa Allah 'tidak adil'. Paulus telah mengatakan bahwa pemilihan Allah tidak terikat pada suatu garis keturunan, bahwa Allah bebas memilih sebagian keturunan Abraham dan menolak sebagiannya yang lain