Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Pengelolaan Hara Terpadu pada Lahan Sawah Tadah Hujan sebagai Upaya Peningkatan Produksi Beras Nasional Antonius Kasno; Diah Setyorini; I Wayan Suastika
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 14, No 1 (2020)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v14n1.2020.15-24

Abstract

Abstrak. Beras merupakan makanan pokok bagi bangsa Indonesia dan strategis bagi keamanan pangan nasional. Produksi beras dapat ditingkatkan melalui ektensifikasi lahan, peningkatan mutu intensifikasi dan indeks pertanaman padi. Lahan sawah tadah hujan berpotensi besar untuk menjadi lahan pertanian produktif jika tingkat kesuburan tanahnya ditingkatkan melalui penerapkan pemupukan berimbang sesuai karakteristik tanahnya. Lahan sawah non irigasi seluas 3,30 juta ha, salah satunya adalah sawah tadah hujan. Pengembangan lahan sawah tadah hujan menjadi sangat relavan dengan peningkatan kebutuhan pangan nasional. Makalah ini bertujuan untuk menelaah pengelolaan lahan sawah tadah hujan untuk meningkatkan produksi padi nasional. Faktor pembatas yang sering dihadapi antara lain ketersediaan air hujan yang sulit diprediksi serta kesuburan tanah yang rendah akibat kandungan C-organik dan N-total yang rendah. Kegagalan panen dapat terjadi akibat akibat kekurangan air pada awal tanam musim hujan maupun saat menjelang panen pada musim kedua. Perbaikannya dapat dilakukan dengan tanam gogo rancah pada musim tanam pertama, dan sistem culik pada musim tanam ke dua. Pemberian bahan pembenah tanah seperti kompos jerami, pupuk kandang, biochar dan kapur pertanian/dolomit terutama untuk tanah yang bereaksi masam ditujukan untuk meningkatkan kesuburan tanah sebelum dilakukan pemupukan. Teknologi pemupukan berimbang yang dapat diterapkan pada lahan sawah tadah hujan, antara lain Urea 250-300 kg ha-1, SP-36 50-75 kg ha-1, dan KCl 50 kg ha-1, pemberian bahan organik minimal 2 t ha-1, serta pengembalian jerami sisa hasil panen ke dalam tanah. Pemupukan berimbang dapat meningkatkan hasil padi dari 1,8-3,5 t ha-1 menjadi 5,0-5,8 t ha-1. Abstract. Rice is a staple food for the Indonesian people and a strategic comodity for national food security. Rice production can be increased through land extensification, improved quality of intensification and rice cropping index. Rainfed lowland rice fields could be very potentially productive for agriculture  when the level of soil fertility is improved by applying balanced fertilization that based on the soil characteristics. Non-irrigated rice field area is 3.30 million ha, including the rainfed rice fields. The development of rainfed rice fields is very relevant to the increasing national food needs. The goal of this paper is to examine the management of rainfed lowland rice fields to increase the national rice production. Some of the limiting factors are the unpredictable rainwater availability and low soil fertility due to low C-organic and N-total content. Harvesting failures could be caused by water stress at the beginning of the planting stage in the rainy season or just before harvesting in the second season. This could be prevented by planting upland scaffolding in the first planting season, and the kidnap system in the second growing season. The application of soil enhancers is intended to increase soil fertility before fertilizer application, such as straw compost, manure, biochar and agricultural lime or dolomite especially for acidic soils. Balanced fertilization technology that can be applied to rainfed lowland rice fields are Urea 250-300 kg ha-1, SP-36 50-75 kg ha-1, and KCl 50 kg ha-1, providing organic material at least 2 t ha-1, and the return of the remaining crop straw to the ground. Balanced fertilization can increase rice yield from 1.8-3.5 t ha-1 to 5.0-5.8 t ha-1.
Indikator Kualitas Tanah pada Lahan Bekas Penambangan Achmad Rachman; Sutono sutono; Irawan Irawan; I Wayan Suastika
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 11, No 1 (2017)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v11n1.2017.1-10

Abstract

Abstrak. Lahan dalam kawasan tambang-tambang mineral mengalami perubahan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah serta lansekap yang sangat signifikan sebagai akibat dari berbagai aktifitas penambangan seperti land clearing, pembangunan fasilitas pendukung kegiatan penambangan, lalu lintas kendaraan berat, penggalian, penimbunan bahan galian, pengolahan hasil tambang atau bahan mineral, dan lainnya. Sangat penting untuk mengembalikan kualitas tanah seperti kondisi sebelum kegiatan penambangan sehingga lahan dapat difungsikan kembali untuk pertanian. Makalah ini membahas metode penilaian indeks kualitas tanah sehingga dapat dievaluasi dampak berbagai perlakuan reklamasi. Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan indeks kualitas tanah untuk tujuan tersebut memberikan hasil yang baik, mudah dilaksanakan dan mudah dipahami oleh pengguna. Pemilihan indikator kunci (minimun data set) dan nilai ambang batasnya, pada batas mana tanah dapat berfungsi optimal, sangat menentukan akurasi penetapan indeks kualitas tanah. Penskoran dan pembobotan dilakukan terhadap setiap individu indikator kunci yang kemudian diintegrasikan untuk mendapatkan satu nilai indeks kualitas tanah. Indikator kunci untuk mengevaluasi kualitas tanah pada lahan bekas tambang disarankan sebagai berikut: kandungan bahan organik tanah (SOM), reaksi tanah (pH), berat isi tanah (BD), kapasitas air tersedia (AWC), agregasi (WSA), dan respirasi tanah, namun dapat ditambahkan indikator lain sesuai tujuan evaluasi dan kondisi geografis lahan yang akan dievaluasi. Penilaian kualitas tanah dapat juga dilakukan menggunakan metode Scorecard. Evaluasi kualitas tanah pasca penambangan sebaiknya dilakukan sebelum pelaksanaan reklamasi untuk menentukan prioritas sifat-sifat tanah yang perlu perhatian lebih sehingga perlakuan reklamasi lebih terarah dan terukur dan selama pelaksanaan reklamasi untuk mengetahui arah perubahan yang terjadi.Abstract. Land in the mining areas undergo changes in soil physical, chemical, and biological properties as well as landscape as a result of various mining activities namely land clearing, construction of facilities to support the operations, movement of vehicles, excavation, storage of overburden dump materials backfilling of excavated material, and mineral mined processing. It is essential to restore soil quality similar to the condition before mining operation so that it can be utilized for agriculture purposes. This paper discusses method for assessing soil quality index to allow evaluation of the impact of different reclamation treatments. Studies indicated that the use of soil quality index gave good result, easy to perform, and easy to understand by the end user. Selection of key indicators (minimum data set) and its threshold values, in which soil is functioning optimally, is essential for the accuracy of soil quality index determination. Scoring and weighing of the individual soil indicator was performed before integrating all key indicators to obtain a soil quality index. Key indicators for evaluating soil quality of reclaimed mine soils is recommended to include soil organic matter (SOM), soil reaction (pH), bulk density (BD), available water capacity (AWC), water stable aggregate (WSA), and soil respiration, however, other indicators could be added depending upon the goal of assessment and geographical condition of land that is subject to evaluation. Qualitative assessment of soil quality can also be conducted using scorecard method. Evaluation of post-mining soil quality should be conducted before any reclamation activities to priorities soil properties that need more attention, so that reclamation treatments will be more focus and measurable and on on-going reclamation to monitor the trend of change.
Indikator Kualitas Tanah pada Lahan Bekas Penambangan Achmad Rachman; Sutono sutono; Irawan Irawan; I Wayan Suastika
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 11, No 1 (2017)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (471.554 KB) | DOI: 10.21082/jsdl.v11n1.2017.1-10

Abstract

Abstrak. Lahan dalam kawasan tambang-tambang mineral mengalami perubahan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah serta lansekap yang sangat signifikan sebagai akibat dari berbagai aktifitas penambangan seperti land clearing, pembangunan fasilitas pendukung kegiatan penambangan, lalu lintas kendaraan berat, penggalian, penimbunan bahan galian, pengolahan hasil tambang atau bahan mineral, dan lainnya. Sangat penting untuk mengembalikan kualitas tanah seperti kondisi sebelum kegiatan penambangan sehingga lahan dapat difungsikan kembali untuk pertanian. Makalah ini membahas metode penilaian indeks kualitas tanah sehingga dapat dievaluasi dampak berbagai perlakuan reklamasi. Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan indeks kualitas tanah untuk tujuan tersebut memberikan hasil yang baik, mudah dilaksanakan dan mudah dipahami oleh pengguna. Pemilihan indikator kunci (minimun data set) dan nilai ambang batasnya, pada batas mana tanah dapat berfungsi optimal, sangat menentukan akurasi penetapan indeks kualitas tanah. Penskoran dan pembobotan dilakukan terhadap setiap individu indikator kunci yang kemudian diintegrasikan untuk mendapatkan satu nilai indeks kualitas tanah. Indikator kunci untuk mengevaluasi kualitas tanah pada lahan bekas tambang disarankan sebagai berikut: kandungan bahan organik tanah (SOM), reaksi tanah (pH), berat isi tanah (BD), kapasitas air tersedia (AWC), agregasi (WSA), dan respirasi tanah, namun dapat ditambahkan indikator lain sesuai tujuan evaluasi dan kondisi geografis lahan yang akan dievaluasi. Penilaian kualitas tanah dapat juga dilakukan menggunakan metode Scorecard. Evaluasi kualitas tanah pasca penambangan sebaiknya dilakukan sebelum pelaksanaan reklamasi untuk menentukan prioritas sifat-sifat tanah yang perlu perhatian lebih sehingga perlakuan reklamasi lebih terarah dan terukur dan selama pelaksanaan reklamasi untuk mengetahui arah perubahan yang terjadi.Abstract. Land in the mining areas undergo changes in soil physical, chemical, and biological properties as well as landscape as a result of various mining activities namely land clearing, construction of facilities to support the operations, movement of vehicles, excavation, storage of overburden dump materials backfilling of excavated material, and mineral mined processing. It is essential to restore soil quality similar to the condition before mining operation so that it can be utilized for agriculture purposes. This paper discusses method for assessing soil quality index to allow evaluation of the impact of different reclamation treatments. Studies indicated that the use of soil quality index gave good result, easy to perform, and easy to understand by the end user. Selection of key indicators (minimum data set) and its threshold values, in which soil is functioning optimally, is essential for the accuracy of soil quality index determination. Scoring and weighing of the individual soil indicator was performed before integrating all key indicators to obtain a soil quality index. Key indicators for evaluating soil quality of reclaimed mine soils is recommended to include soil organic matter (SOM), soil reaction (pH), bulk density (BD), available water capacity (AWC), water stable aggregate (WSA), and soil respiration, however, other indicators could be added depending upon the goal of assessment and geographical condition of land that is subject to evaluation. Qualitative assessment of soil quality can also be conducted using scorecard method. Evaluation of post-mining soil quality should be conducted before any reclamation activities to priorities soil properties that need more attention, so that reclamation treatments will be more focus and measurable and on on-going reclamation to monitor the trend of change.
Pengelolaan Hara Terpadu pada Lahan Sawah Tadah Hujan sebagai Upaya Peningkatan Produksi Beras Nasional Antonius Kasno; Diah Setyorini; I Wayan Suastika
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 14, No 1 (2020)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (769.663 KB) | DOI: 10.21082/jsdl.v14n1.2020.15-24

Abstract

Abstrak. Beras merupakan makanan pokok bagi bangsa Indonesia dan strategis bagi keamanan pangan nasional. Produksi beras dapat ditingkatkan melalui ektensifikasi lahan, peningkatan mutu intensifikasi dan indeks pertanaman padi. Lahan sawah tadah hujan berpotensi besar untuk menjadi lahan pertanian produktif jika tingkat kesuburan tanahnya ditingkatkan melalui penerapkan pemupukan berimbang sesuai karakteristik tanahnya. Lahan sawah non irigasi seluas 3,30 juta ha, salah satunya adalah sawah tadah hujan. Pengembangan lahan sawah tadah hujan menjadi sangat relavan dengan peningkatan kebutuhan pangan nasional. Makalah ini bertujuan untuk menelaah pengelolaan lahan sawah tadah hujan untuk meningkatkan produksi padi nasional. Faktor pembatas yang sering dihadapi antara lain ketersediaan air hujan yang sulit diprediksi serta kesuburan tanah yang rendah akibat kandungan C-organik dan N-total yang rendah. Kegagalan panen dapat terjadi akibat akibat kekurangan air pada awal tanam musim hujan maupun saat menjelang panen pada musim kedua. Perbaikannya dapat dilakukan dengan tanam gogo rancah pada musim tanam pertama, dan sistem culik pada musim tanam ke dua. Pemberian bahan pembenah tanah seperti kompos jerami, pupuk kandang, biochar dan kapur pertanian/dolomit terutama untuk tanah yang bereaksi masam ditujukan untuk meningkatkan kesuburan tanah sebelum dilakukan pemupukan. Teknologi pemupukan berimbang yang dapat diterapkan pada lahan sawah tadah hujan, antara lain Urea 250-300 kg ha-1, SP-36 50-75 kg ha-1, dan KCl 50 kg ha-1, pemberian bahan organik minimal 2 t ha-1, serta pengembalian jerami sisa hasil panen ke dalam tanah. Pemupukan berimbang dapat meningkatkan hasil padi dari 1,8-3,5 t ha-1 menjadi 5,0-5,8 t ha-1. Abstract. Rice is a staple food for the Indonesian people and a strategic comodity for national food security. Rice production can be increased through land extensification, improved quality of intensification and rice cropping index. Rainfed lowland rice fields could be very potentially productive for agriculture  when the level of soil fertility is improved by applying balanced fertilization that based on the soil characteristics. Non-irrigated rice field area is 3.30 million ha, including the rainfed rice fields. The development of rainfed rice fields is very relevant to the increasing national food needs. The goal of this paper is to examine the management of rainfed lowland rice fields to increase the national rice production. Some of the limiting factors are the unpredictable rainwater availability and low soil fertility due to low C-organic and N-total content. Harvesting failures could be caused by water stress at the beginning of the planting stage in the rainy season or just before harvesting in the second season. This could be prevented by planting upland scaffolding in the first planting season, and the kidnap system in the second growing season. The application of soil enhancers is intended to increase soil fertility before fertilizer application, such as straw compost, manure, biochar and agricultural lime or dolomite especially for acidic soils. Balanced fertilization technology that can be applied to rainfed lowland rice fields are Urea 250-300 kg ha-1, SP-36 50-75 kg ha-1, and KCl 50 kg ha-1, providing organic material at least 2 t ha-1, and the return of the remaining crop straw to the ground. Balanced fertilization can increase rice yield from 1.8-3.5 t ha-1 to 5.0-5.8 t ha-1.