BAMBANG JOYO SUPENO
Associate Professor, Faculty Of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

PRINCIPLE OF EQUALITY BEFORE THE LAW AND DIVERSION ON CRIMINAL JUSTICE SYSTEM FOR CHILDREN IN INDONESIA BAMBANG JOYO SUPENO
UNTAG Law Review Vol 4, No 1 (2020): UNTAG LAW REVIEW (ULREV)
Publisher : Faculty of Law Universitas 17 Agustus 1945 Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.581 KB) | DOI: 10.36356/ulrev.v4i1.1527

Abstract

Restorative justice is the ultimate goal of Law Number 11 of 2012 concerning the Criminal Justice System for Children, so that children in conflict with the law must obtain Diversion. Article 7 paragraph (2) and Article 9 paragraph (2) the SPPA Law isdiscriminatory and unjust, both for perpetrators and victims of criminal acts, because there are restrictions, exceptions and disregard for Diversion provisions. In concretto, in 2014-2018 the use of Diversion (49.61%) was lower than formal justice (50.39%), the data showed that some children who were in conflict with the law did not get Diversion. Based on the analysis of concept the principle of equality before the law in ideal-norm thinking, it is necessary to reconstruct the provisions of Diversion in the SPPA Law, namely (a) The principle of equality before the law must be used as a determining indicator in the formulation and process of Diversion law enforcement. (b) Provisions on child-oriented Diversion as the subject of criminal acts will determine justice in the application of Diversion for every child in conflict with the law. (c) Diversion provisions which are oriented towards acts, sanctions and value of losses as a requirement for the application of Diversion, will cause discrimination in the application of Diversion.
PENEGAKKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) Sigit Hariyawan; Bambang Joyo Supeno
Jurnal JURISTIC Vol 1, No 01 (2020): Jurnal JURISTIC
Publisher : Jurnal JURISTIC

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penegakkan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) hingga saat ini masih dihadapkan pada berbagai kendala, baik yang bersumber dari hukum materiil ataupun kendala yang bersifat hukum formil, yaitu hambatan atau kendala yang dihadapi oleh penyidik. Permasalahan dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimana penegakkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) oleh Kepolisian Republik Indonesia?, (2) Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh dalam penegakkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) oleh Kepolisian Republik Indonesia? Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa (1) Polri dalam melaksanakan kewenangannya dalam penegakkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap tindak pidana ujaran kebencian (hate speech). (2) Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penegakkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) oleh Kepolisian Republik Indonesia: faktor hukum; faktor penegak hukum, meliput keterbatasan kuantitas dan kualitas penyidik; faktor sarana dan prasarana, yaitu keterbatasan sarana yang mendukung penyidikan tindak pidana ujaran kebencian melalui media sosial facebook; faktor masyarakat, meliputi adanya ketidaksukaan terhadap pemerintahan dan kebencian terhadap etnis tertentu; dan faktor budaya, meliputi multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia, kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam mencegah tindak pidana ujaran kebencian (hate speech), serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk saling menghargai diantara Suku, Agama dan Ras.