Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Barbiturat dan Obat Pelumpuh Otot: Masih Bermanfaat untuk Menangani Hipertensi Intrakranial? Harahap, M. Sofyan
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 3 (2013)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hipertensi intrakranial dapat menyebabkan cedera otak sekunder dan meningkatkan morbiditas serta mortalitas. Untuk mempertahankan tekanan intrakranial agar senantiasa dalam batas normal, maka cairan serebrospinal dan darah mempunyai kemampuan untuk mengurangi volume intrakranial sampai 30%. Hipertensi intrakranial didefinisikan sebagai tekanan intrakranial di atas 20 mmHg yang menetap lebih dari 20 menit pada dewasa. Pada otak yang sedang mengalami proses patologis, autoregulasi akan terganggu dan interaksi antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP) dan aliran darah otak sangat bergantung pada derajat kerusakan yang ada. Perubahan MAP akan mengakibatkan perubahan aliran darah otak (ADO) walaupun MAP masih pada rentang normal. Pengelolaan hipertensi intrakranial terdiri dari terapi umum yaitu optimalisasi drenase vena serebral, pengelolaan jalan nafas, sedasi dan analgesia, mengatasi demam, mengelola hipertensi, anemia dan mencegah kejang. Terapi spesifik adalah pemberian sedasi dan paralisis, terapi hiperosmolar, hiperventilasi, koma barbiturat, hipotermia dan pemberian steroid (hanya untuk tumor otak). Tiopental menurunkan ADO dan metabolisme otak yang setara dengan keadaan isoelektrik pada rekaman electro encephalo graphy (EEG). Pelumpuh otot menghambat kontraksi otot sehingga akan mengurangi kebutuhan energi, mengurangi produksi CO2, memperbaiki perfusi otak, dan mempertahankan TIK  Barbiturates and Neuromuscular Blocking Agent: Still Valuable to Treat Intracranial Hypertension? Intracranial hypertension may cause secondary brain injury and have the potential to increase morbidity and mortality. In keeping the intracranial pressure within normal limit, cerebrospinal liquor and also the blood have the ability to reduce intracranial volume to 30%. Intracranial hypertension is defined as intracranial pressure above 20 mmHg for more than 20 min in adult patients. During the pathological process caused by various aetiologies, autoregulation process is impaired and interaction between mean arterial pressure (MAP) and cerebral blood flow will depend on the severity of impairement. Meaning that changes of mean arterial pressure within normal autoregulation range will influence the cerebral blood flow accordingly. Management of Intracranial hypertension consist of general and specific approaches. General approach includes optimal cerebral venous drainage, airway management, sedation and analgesia, fever, anemia and hypertension treatment and seizure prevention. Specific approach includes paralysis and sedation, hyperosmolar therapy, hyperventilation, barbiturate coma, hypothermia and steroid for tumor cases only. Tiopental decreases CBF and cerebral metabolism which is equivalent to an isoelectric electro encephalo graphy (EEG). Muscle relaxant prevents muscle contraction therefore reducing energy consumption, CO2 production, improve cerebral perfusion, and maintain ICP.
Penurunan Kadar Glutamat pada Cedera Otak Traumatik Pascapemberian Agonis Adrenoseptor Alpha-2 Dexmedetomidin sebagai Indikator Proteksi Otak Bisri, Tatang; Harahap, M. Sofyan; Akbar, Ieva B; Prihatno, MM Rudi
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Dexmedetomidin untuk kasus-kasus neurotrauma masih kontroversi, antara yang setuju dan menolak. Dexmedetomidin sebagai agonis adrenoseptor α2 memiliki beberapa keuntungan dalam kaitannya dengan kemampuannya sebagai neuroprotektan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek neuroproteksi dari dexmedetomidin yang dilihat dari pengaruhnya terhadap penurunan kadar glutamat.Subjek dan Metode Penelitian single blind randomized controlled trial dilakukan pada 16 orang yang datang ke IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan GCS ≤8 pada Mei–Desember 2013. Subjek dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok dexmedetomidin dan NaCl 0,9%. Pembedahan dilakukan dalam rentang waktu 9 jam pascatrauma. Pemeriksaan kadar glutamat dengan menggunakan metode ELISA. Analisis data menggunakan uji-t dan uji Mann-Whitney.Hasil: Kelompok yang mendapatkan dexmedetomidin menunjukkan bahwa pemberian dexmedetomidin 0,4 μg/kgBB/jam secara kontinyu, menunjukkan penurunan kadar glutamat yang diukur mulai dari awal perlakuan hingga jam ke-24 sebanyak 27,9% (p=0,025), dari jam ke-24 hingga jam-72 sebanyak 9,6% (p=0,208), serta dari awal perlakuan hingga jam ke-72 sebanyak 57,1% (p=0,036). Kelompok yang tidak mendapatkan dexmedetomidin mengalami peningkatan kadar glutamat.Simpulan: Pemberian dexmedetomidin 0,4 μg/kgBB/jam dapat menurunkan kadar glutamat pada pasien cedera otak traumatik dengan GCS ≤ 8. Decreased Level of Glutamate after Administration of Dexmedetomidine (Alpha-2 Adrenoreceptor Agonist) as Neuroprotective Indicator in Traumatic Brain InjuryBackground and Objective: The usage of Dexmedetomidine in neurotrauma cases is still controversial, between the pros and cons. Dexmedetomidine as α2-adrenoceptor agonist has several benefits in concomitant with its properties as neuroprotector. This study aims to evaluate the neuroprotection effect of dexmedetomidine based on the decline in glutamate level.Subject and Method: This single blind randomized controlled trial was done in 16 TBI patients with GCS ≤ 8, recruited from May-December 2013. Subjects were equally divided into 2 groups: dexmedetomidine and 0.9% NaCl group. Surgery was performed within 9 hours post TBI. Glutamate level was examined using ELISA method. Data were analyzed using t-test and Mann-Whitney test.Result: This study showed that glutamate levels in patient who received continuous intravenous dexmedetomidine 0.4 mcg / kg / h were decreased, starting from baseline to 24 h (27.9%, p=0.025), 24 to 72 h (9.6%, p= 0.208) and baseline to 72 h (57.1%, p= 0.036). All patients in NaCl 0.9% group experienced an increase in glutamate level.Conclusion: Administration of dexmedetomidine 0.4 mcg/kg/h in TBI patient with GCS ≤ 8 could decrease glutamate level.
Anestesi Untuk Pasien dengan Perdarahan Intrasereberal yang Dilakukan Kraniektomi Dekompresi Darurat Harahap, M. Sofyan; Sasongko, Himawan
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perdarahan intraserebral (intracerebral hemorrhage/ICH) adalah penyakit yang cukup sering terjadi, dan dapat diklasifikasikan menjadi dua berdasar sudut pandang, yaitu anatomis dan etiologis. Secara etiologis, dapat dibedakan menjadi perdarahan primer atau sekunder. Kraniektomi dekompresi akan menurunkan TIK secara cepat dan menetap serta menghindari terjadinya herniasi otak. Posisi telungkup atau tengkurap yang dilakukan pada pasien selama tindakan anestesi akan berhubungan dengan perubahan fisiologis maupun komplikasi yang dapat timbul terhadap pasien. Seorang wanita usia 49 tahun dengan perdarahan intraserebelum, yang akan dilakukan tindakan darurat kraniektomi dekompresi. Premedikasi yang diberikan adalah midazolam dan ondansetron. Induksi anestesi menggunakan propofol, fentanyl dan vekuronium. Pemeliharaan anestesi dengan sevofluran 1,5-2,0 vol%, oksigen dan vekuronium. Semua tindakan ini bertujuan untuk proteksi otak. Selama pembedahan dilakukan pemantauan tekanan darah, laju nadi, saturasi O2 dan elektrokardiografi. Pembedahan dilakukan pada posisi tengkurap. Selama 120 menit pembedahan, hemodinamik stabil. Pascaoperasi, pasien diekstubasi dan dikirim ke High Care Unit (HCU). Selama pengelolaan di HCU, hemodinamik stabil dan setelah 2 hari perawatan, pasien dipindahkan ke bangsal perawatan biasa. Salah satu cara untuk menangani pasien dengan perdarahan intrasereberal akibat trauma adalah dengan kraniektomi dekompresi. Tujuannya adalah untuk menurunkan tekanan intrakranial dan mencegah terjadinya herniasi otak. Evaluasi perioperasi dan perhatian yang baik sebelum, selama dan sesudah pembedahan, akan menghasilkan kondisi yang baik dengan angka kesakitan dan kematian yang minimal.Anesthesia for Patient with Intracereberal Hemorrhage Underwent Decompressive Craniectomy EmergencyIntracerebral hemorrhage (ICH) is a common disease, and can be classified by anatomical or etiological aspect. According to etiological aspects can be differenced by primary or secondary hemorrhages. Decompessive craniectomy will decreased intracranial pressure at once and prevent brain herniation. Prone position patient during anaesthesia is associated with physiological changes and also with number of complications. A forty nine years old female with intracereberal hemorrhage, undergone emergency decompressive craniectomy. Premedication with midazolam and ondancetron was given. Induction of anesthesia used propofol, fentanyl, and vecuronium. Maintenance of anesthesia used oxygen, sevoflurane 1.5-2.0 vol% and rocuronium. All this maneuver is for brain protection. Monitoring of BP, HR, SpO2 and ECG was done. During 120 minutes of surgery, hemodynamic was stable. Post operation, patient was extubated and admitted to High Care Unit (HCU). During management in HCU, hemodynamic was stable and after 2 days, patient moved to the ward. Decompressive craniectomy is one methode to handle patient with intracereberal hemorrhage. The purpose is to decreased intracranial pressure and prevent brain herniation. Perioperative evaluation and good attention before procedure, will produce outcome with minimal adverse effect and less mortality.
Hipotermia untuk Proteksi Otak Oetoro, Bambang J.; Harahap, M. Sofyan; Bisri, Dewi Yulianti; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Proteksi otak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemi. Iskemia adalah gangguan hemodinamik yang akan menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai suatu tingkat yang akan menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel. Iskemi serebral dan atau hipoksia dapat terjadi sebagai konsekuensi dari syok, stenosis atau oklusi pembuluh darah, vasospasme, neurotrauma, dan henti jantung. Hipotermia dibagi menjadi hipotermia ringan (33-36OC), hipotermia sedang (28-32OC), hipotermia dalam (11-20OC), profound (6-10OC), dan ultraprofound (<5OC).Teknik hipotermia di bagi kedalam 3 fase yaitu: fase induksi, fase rumatan dan fase rewarming. Teknik hipotermia yang dianjurkan adalah hipotermia ringan hingga sedang dan penggunaannya segera setelah cedera otak traumatika dan tidak lebih dari 72 jam. Hipotermia dapat mempengaruhi sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, infeksi dan fungsi saluran cerna, sistem ginjal, asam basa dan hematologi. Efek hipotermia sebagai proteksi adalah efek terhadap metabolism dan aliran darah otak, excitotoxicitas, oxidative stress dan apoptosis, inflamasi, blood-brain barrier (BBB), permeabilitas pembuluh darah dan pembentukan edema, dan terhadap mekanisme ketahanan hidup sel. Mekanisme proteksi otak dengan hipotermi belum sepenuhnya dimengerti dengan jelas, hanya sebagian saja diketahui bagaimana mekanismenya. Rewarming adalah proses pemulihan temperatur ini ke temperatur inti normal. Rewarming harus dilakukan sangat pelahan untuk mengurangi kejadian komplikasi seperti hipertemia, hiperkalemia dan kerusakan sel. Hypothermia for Brain ProtectionCerebral protection is the preemptive use of theurapeutic intervention to avoid or decrease neurologic damage cause by ischemia. Ischemia is defined as perfussion insufficient to the level will be cause irreversible brain damage. Cerebral ischemia and or hypoxia as consequency of shock, stenosis or vascular occlusion, vasospasm, neurotrauma, and cardiac arrest. Hypothermia were divided into mild hypothermia (33-36OC), hypothermia was (28-32oC), hypothermia in the (11-20oC), profound (6-10°C), and ultraprofound (<5oC). Hypothermia technique is classified into 3 phases namely: an induction phase, maintenance phase and the phase of rewarming. The recommended technique of hypothermia is mild to moderate hypothermia and its use soon after brain injury traumatika and not more than 72 hours. Hypothermia can affect the cardiovascular system, respiratory system, gastrointestinal tract infections and function, renal system, acid-base and hematologic. Effect of hypothermia as brain protective are effect on cerebral blood flow and metabolism, on excitotoxicity, oxidative stress and apoptosis, inflammation, blood-brain barrier (BBB), permeability of blood vessels and form of edema, and the mechanisms of cell survival. Mechanism of brain hypothermia protection as a whole is not clearly known mechanism, only in part be obvious how mthe mechanism. Rewarming is the core body temperature returns to normal core body temperature. Rewarming should be done very slowly to reduce the incidence of complication as hyperthermia, hyperkalemia and cell damage.
Krisis Tiroid Pascakraniotomi Mikro pada Makroadenoma Hipofise disertai Akromegali Putri, Yasmine Kartika; Harahap, M. Sofyan
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 3 (2016)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v5i3.75

Abstract

Tumor Hipofise sering terjadi pada dewasa dan mewakili 10% tumor intrakranial. Akromegali adalah sindrom klinik yang disebabkan oleh produksi hormon pertumbuhan yang berlebihan dan diketahui sebagai penyakit yang jarang, yang ditandai oleh sekresi yang berlebihan hormon pertumbuhan (GH, growth hormone) dan faktor pertumbuhan seperti insulin (IGF-1/Insulin Growth Factor-1). Insiden keseluruhan akromegali diperkirakan mencapai 3 sampai 5 kasus baru per juta populasi. Akromegali dapat muncul bersamaan dengan gangguan tiroid. Lini pertama pengobatan untuk akromegali adalah operasi transsphenoidal. Manajemen perioperatif operasi hipofise membutuhkan penanganan oleh tim bedah saraf, neuroanaesthesiologists dan ahli endokrin. Semua pasien dengan adenoma hipofise memerlukan evaluasi endokrin menyeluruh pada periode pre-operatif dan di follow-up saat periode post-operatif. Seorang wanita 50 tahun masuk Rumah Sakit dengan keluhan kedua tangan dan kaki membesar, telapak kaki menebal dan bengkok, rahang dan hidung membesar. Riwayat pengobatan hipertiroid ± 3 tahun. Dari pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) kepala dengan kontras didapatkan makroadenoma hipofise. Pasien menjalani prosedur operasi craniotomi mikro transsphenoidal. Pasca operasi pasien dirawat di ICU dan mengalami perburukan dan pada akhirnya meninggal di hari kedua perawatan ICU oleh karena krisis tiroid.Thyroid Crisis Post Microcraniotomy of Macroadenoma Pituitary Accompanied AcromegalyPituitary tumors are common in adults and represents 10% of intracranial tumors. Acromegaly is a clinical syndrome caused by the production of excess growth hormone and it is known as a rare disease, which is characterized by excessive secretion of growth hormone (GH) and growth factors such as insulin (IGF-1, Insulin Growth Factor-1). The overall incidence of acromegaly is estimated at 3 to 5 new cases per million population. Acromegaly can coexist with thyroid disorders. First-line treatment for acromegaly is transsphenoidal surgery. Perioperative management of pituitary surgery requires treatment by a team of neurosurgeons, neuroanaesthesiologists and endocrinologists. All patients with pituitary adenoma requires a thorough pre -operative endocrine evaluation and a follow- up in post- operative period. A 50 years old woman entered a hospital with complaints of swollen both hands and feet, thicken and crooked foot, enlarging of jaw and nose. She had a history of ± 3 years hyperthyroid treatment. Magnetic resonance imaging (MRI) examination of the head with the contrast obtained macroadenoma pituitary. Patiens underwent micro- surgery procedures of craniotomi transsphenoidal. Post-surgery, Patient being observed in the ICU and her condition was deteriorated and she eventually died on the second day due to thyroid crisis.
Manajemen Anestesi untuk Awake Craniotomy pada Space Occupying Lesion Lobus Frontalis Kiri Ferdyansyah, Ferry; Harahap, M. Sofyan
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v7i3.21

Abstract

Tumor intrakranial adalah suatu lesi ekspansif yang membentuk massa dalam ruang tengkorak. Kami melaporkan manajemen anestesi pada pasien dengan tumor intrakranial yang menjalani prosedur awake craniotomy. Seorang laki-laki berumur 39 tahun, berat badan 60 kg dengan riwayat epilepsi ditemukan space occupying lession pada lobus frontalis kiri setelah dilakukan CT-scan kepala. Prosedur awake craniotomy untuk pengangkatan tumor dilakukan karena lokasi tumor berada di dekat area Broca. Awake craniotomy dilakukan dengan kombinasi anestesi intravena (i.v) dexmedetomidin dan blok scalp. Premedikasi midazolam 2 mg i.v dan oksigenasi 3 liter/menit nasal diberikan dari awal proses operasi. Pasien diberikan dexmedetomidine loading dose 1 mcg/kgBB dalam 15 menit dan fentanyl 1 mcg/kgBB i.v sebelum dilakukan blok scalp dengan injeksi bupivacain isobarik 0,5% dicampur pehacain 1:1, total 40 ml untuk kedua sisi kepala. Infiltrasi larutan bupivacain-pehacain tambahan diberikan 2,5 ml pada setiap titik pin holder fiksasi kepala dipasang. Pemeliharaan anestesi dijaga dengan infus kontinyu dexmedetomidin 0,5-0,7 mcg/KgBB/jam i.v selama pasien terbangun dan propofol 0,05 – 0,1 mg/kgBB/menit i.v ditambahkan apabila pasien ditidurkan. Mannitol 1 g/kgBB i.v diberikan 15 menit sebelum duramater dibuka. Proses kraniotomi berjalan 4 jam. Selama operasi berlangsung pasien tidak mengalami perubahan hemodinamik yang signifikan, tekanan darah rata-rata 95–69 mmHg, laju nadi 56–63 x/mnt, SpO2 100% dengan VAS 0-1. Pasca operasi, pasien stabil dan pindah ke ruangan setelah diobservasi selama 1 jam di ruang pemulihan.Anesthesia Management for Awake Craniotomy on Left Frontal Lobe Solid Occupiying LesionIntracranial tumors are an expansive lesion that forms masses in the skull space. We report anesthesia management in patients with intracranial tumors who undergo awake craniotomy procedures. A 39-year-old male weighing 60 kg with a history of epilepsy found space occupying lession in the left frontal lobe after a head CT scan. The awake craniotomy procedure for removal of the tumor is done because the location of the tumor is near the Broca area. Awake craniotomy is performed with a combination of dexmedetomidine intravenous (i.v) and scalp block. Premedication with 2 mg midazolam i.v and oxygenation of 3 liters / minute nasal was given from the beginning of the surgery. The patient was given dexmedetomidine loading dose of 1 mcg/kg in 15 minutes and fentanyl 1 mcg/kg i.v before scalp block was done with 0.5% isobaric bupivacain injection mixed with 1: 1 Pehacain, a total of 40 ml for both sides of the head. Additional infiltration of bupivacain-pehacain solution was given 2.5 ml at each point the head fixation pin holder was installed. Maintenance of anesthesia is maintained with a continuous infusion of dexmedetomidine 0.5-0.7 mcg/Kg/h i.v as long as the patient is awake and propofol 0.05 - 0.1 mg/kg/minute i.v is added when the patient is put to sleep. Mannitol 1 g/kg i.v is given, 15 minutes before the duramater is opened. The craniotomy process runs 4 hours. During surgery, the patient does not experience significant hemodynamic changes, Mean Blood Pressure is 95-69 mmHg, heart rate 56-63 x/min, SpO2 100% with VAS 0-1. After surgery, the patient was stable and moved to the ward after being observed for 1 hour in the recovery room.
Tatalaksana Anestesi Pada Posisi Telungkup untuk Laminektomi Pengangkatan Tumor Saleh, Siti Chasnak; Satriyanto, M. Dwi; Oetoro, Bambang J.; Wargahadibrata, A. Hmendra; Harahap, M. Sofyan
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tindakan anestesi dengan posisi telungkup sering diperlukan guna memfasilitasi akses operasi pada berbagai tindakan bedah termasuk bedah saraf, antara lain pada tindakan pembedahan tulang belakang. Selain perubahan fisiologis, dapat juga terjadi beberapa komplikasi pada posisi telungkup yang harus mendapat perhatian khusus, sehingga diperlukan pemahaman yang baik akan masalah ini. Kasus: Telah dilakukan laminektomi guna pengangkatan tumor intra-ekstradura setinggi vertebra lumbal 4 sampai sakrum 2 dalam posisi telungkup pada seorang pasien laki-laki berusia 18 tahun. Pengaturan posisi dari telentang ke telungkup prabedah maupun pengembalian posisi dari telungkup ke telentang pascabedah, mendapat perhatian khusus. Status hemodinamik selama tindakan anestesi berlangsung dengan baik. Pascabedah, pasien di observasi di ruang pulih selama beberapa jam, kemudian dipindahkan ke ruang rawat setelah skor modifikasi dari Aldrete mencapai 10.Anesthesia Management In Prone Position For Laminectomy Tumor RemovalAnesthesia procedure in the prone position was often necessary in order to facilitate access to a variety of surgical operations, including neurosurgery among others, the spine surgery. In addition to physiological changes, some complications can also occur in the prone position that should receive special attention, so it requires a good understanding of this issue.  Case: Laminectomy was being done for removal of the tumor intra-ekstradura at 4th lumbar vertebra to 2nd sacrum vertebra in the prone position in a male patient aged 18 years. Arrangement of the supine position to prone position preoperative and return to the supine position of the postoperative, gets special attention. emodynamic status during anesthesia procedure was progressing well. Postoperative, patients in the observation in the recovery room for several hours, then transferred to the ward after modified Aldrete score reached 10.