Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

PENANGGULANGAN KOMUNITAS PUNK DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN KRIMINAL DI KOTA BANDA ACEH Ridayani Ridayani; Mohd. Din; M. Saleh Syafei
Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 4: November 2016
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (157.683 KB)

Abstract

Abstract: In December 2011, the world highlighted the arrest and fostering of 64 Punk communities (five of them were women) in Aceh. They were arrested in the city of Banda Aceh by Wilayatul Hisbah (Sharia Police; WH), Local Government of Aceh and sent to the State Police (Polresta) Banda Aceh. Punk community in Banda Aceh increased significantly and must be addressed, but there were no specific rules on governing the punk community in Aceh. Therefore, it was necessary to study how the juridical principle on the response of the punk community in Banda Aceh city and then how the criminal policy pursued by the city authorities could tackle the punk community in Banda Aceh. The methods used to obtain the data in this research were literature reviews and field research. The results showed that the legal basic or juridical principle used to combat the punk community in Banda Aceh was still limited to the provisions of Article 11 Paragraph 3 of Regulation Number 5 Year 2000 and the criminal policy. Efforts of the city government in the response to the punk community in Banda Aceh was by sending them in to the State Police School (SPN) Seulawah, Aceh Besar or the office of Satpol PP and WH, Province of Aceh.Keywords: Punk community, criminal policy, managing Abstrak: Desember 2011, dunia menyoroti penangkapan dan pembinaan 64 komunitas Punk (lima diantaranya perempuan) di Aceh. Mereka ditangkap di kota Banda Aceh oleh Wilayatul Hisbah (WH) Polisi Syariah Pemerintah Daerah (Pemda) Aceh, dan dititipkan pada Kepolisian Resort Kota (Polresta) Banda Aceh. Komunitas  punk di Kota Banda Aceh meningkat secara signifikan dan harus ditanggulangi, namun di Aceh belum ada aturan khusus mengatur tentang komunitas punk, karena itu perlu diteliti tentang bagaimana landasan yuridis dalam penanggulangan komunitas punk di kota Banda Aceh, kemudian bagaimana kebijakan kriminal yang ditempuh pemerintah kota dalam menanggulangi komunitas punk di kota Banda Aceh. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Hasil dari penelitian ini adalah landasan hukum atau landasan yuridis yang digunakan untuk menanggulangi komunitas punk  di kota Banda Aceh masih terbatas pada ketentuan Perda  Pasal 11 ayat 3 Nomor 5 Tahun 2000 dan kebijakan kriminal. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah kota dalam penanggulangan komunitas punk di kota Banda Aceh adalah dengan pembinaan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar, dan pembinaan di kantor Dinas Satpol PP dan WH Provinsi Aceh.Kata kunci : Komunitas punk, kebijakan kriminal, penanggulangan
Perlindungan Hukum Melalui Restitusi Terhadap Anak Korban Kejahatan Seksual (Penelitian Di Kabupaten Aceh Jaya) Erlin Ritonga; Mohd. Din; Sulaiman Sulaiman
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum Vol 8, No 2 (2021): JURNAL ILMIAH PENEGAKAN HUKUM DESEMBER
Publisher : Universitas Medan Area

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31289/jiph.v8i2.5599

Abstract

This research aims to provide legal protection for child victims of crime through restitution as mandated in the law. Presidential Regulation (Perpres) Number 75 of 2020 concerning the Implementation of the Rights of Child Victims and Witness Children. The Presidential Regulation is a direct mandate of Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System. In terms of suffering or material loss experienced by the victim as a result of a criminal act committed by another person, it is appropriate that the perpetrator of the criminal act (the other person) provides compensation. Restitution to victims of crime in the context of the relationship between the perpetrator and the victim, is a manifestation of the resocialization of the responsibility of the perpetrator as a citizen. Through the resocialization process, it is intended and expected to instill a sense of social responsibility in the perpetrator, so that the value of restitution in this case does not lie in its efficacy in helping victims, but serves as a tool to make the perpetrators of criminal acts more aware of their "debt" (due to their actions) to the victim
PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) (Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Pengadilan Militer I-01 Banda Aceh) Ti Nur Zaida; Mohd. Din
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 5, No 3: Agustus 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak-Proses penyidikan yang diadili pada Peradilan Militer dilakukan oleh penyidik khusus yang mana telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer adalah a. atasan yang berhak menghukum b. polisi militer c. oditur militer. Penelitian ini bertujuan menjelaskan terkait proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik khusus dalam tindak pidana yang dilakukan oleh anggota prajurit tni serta upaya dan kendala yang dihadapi dalam menanggulangi tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh tni. Penelitian ini menerapkan metode penelitian yuridis empiris, dengan memadukan bahan bacaan hukum serta data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dengan mewawancarai responden dan informan. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa proses penyidikan pada kasus kejahatan yang dilakukan oleh anggota prajurit tni adalah Polisi Militer (POM), Atasan yang Berhak Menghukum (ANKUM), dan Oditur. Upaya dalam menanggulanginya berupa upaya preventif dengan memberikan pengawasan serta penyuluhan hukum tentang kewajiban serta larangan yang harus di patuhi serta upaya represif dengan memeberikan hukuman tambahan guna agar memiliki efek jera terhadap pelaku. Dari hasil penelitian ini disarankan agar setiap anggota prajurit tni dibekali dengan sosialisasi hukum agar tidak melakukan kejahatan tindak pidana mengingat tni adaalh alat keamanan negara. Kata Kunci : proses, penyidikan, proses penyidikan
PELAKSANAAN HUKUMAN CAMBUK SETELAH BERLAKUNYA PERGUB NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT (SUATU PENELITIAN DI WILAYAH HUKUM BANDA ACEH) Annisa Fitri; Mohd. Din
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 5, No 2: Mei 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

 Abstrak – Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa alasan masih dilaksanakannya hukuman cambuk di luar LAPAS, apakah pelaksanaan hukuman cambuk di dalam LAPAS mencapai tujuan pidananya dan hambatan pelaksanaan hukuman cambuk di dalam LAPAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan masih dilaksanakannya hukuman cambuk di luar Lapas ialah dikarenakan oleh filosofi dari sanksi cambuk ini adalah supaya orang mengetahui dan dapat disaksikan orang banyak agar pelanggar jarimah merasa malu dengan perbuatan yang telah dilakukan dan tidak mengulangi kesalahan tersebut, untuk memberi pelajaran bagi pelanggar jarimah dan juga menjadi pembelajaran bagi masyarakat. Pada pelaksanaan hukuman cambuk di dalam LAPAS ini sudah mencapai tujuan pidananya karena terhukum masih tetap dapat di hukum cambuk sebagaimana semestinya. Namun untuk orang yang akan menyaksikan proses pelaksanaan hukuman cambuk sangatlah terbatas. Hambatan pelaksanaan hukuman cambuk di dalam LAPAS mengenai fasilitas yang kurang memadai dari Lembaga Pemasyarakatan yang tidak dapat menampung banyak jumlah orang yang ingin hadir untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman cambuk yang tidak memenuhi ketentuan dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat Pasal 262.Kata Kunci: Pelaksanaan Hukuman, Cambuk, Peraturan Gubernur, Hukum Acara Jinayat.
PENYITAAN DAN PENYIMPANAN BENDA SITAAN PERKARA JARIMAH MAISIR (Suatu Penelitian Di Wilayah Hukum RUPBASAN Klas I Banda Aceh dan Baitul Mal Kota Banda Aceh) Fatin Fatin; Mohd. Din
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 5, No 3: Agustus 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak - Pasal 50 Qanun Hukum Acara Jinayat menyebutkan bahwa menyimpan dan merawat benda sitaan negara dalam perkara maisir, merupakan tugas pokok dan kewenangan dari pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara ( RUPBASAN) atau Baitul Mal. Namun dalam kenyataannya masih banyak benda sitaan yang disimpan terpisah digudang masing- masing instansi penegak hukum sesuai. Tujuan Penelitian untuk mengetahui penyebab benda sitaan perkara jarimah maisir tidak disimpan pada RUPBASAN Klas I Banda Aceh, perlakuan untuk mengefektifkan pangaturan benda sitaan dalam perkara jarimah maisir agar dapat disimpan pada RUPBASAN Klas I Banda Aceh dan baitul Mal Kota Banda Aceh. Data yang didapat dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Berdasarkan penelitian, penyebab benda sitaan perkara jarimah maisir tidak tidak disimpan pada RUPBASAN Klas I banda Aceh adalah masih banyaknya benda sitaan yang disimpan terpisah di gudang masing- masing institusi sesuai tahapan yang sedang berjalan dalam proses dan masing- masing dari institusi yang terkait merasa sebagai pihak yang berkuasa terhadap benda sitaan tersebut. Perlakuan untuk mengefektifkan pengaturan benda sitaan dalam perkara jarimah maisir agar dapat disimpan pada RUPBASAN Klas I Banda Aceh dan Baitul Mal Kota Banda Aceh dengan lebih menguatkan koordinasi serta komitmen antara institusi terkait atas benda sitaan di RUPBASAN Klas I Banda Aceh serta pihak Mahkamah Syar’iyah dan kejaksaan harus berkoordinasi dengan Baitul Mal atas klasifikasi benda sitaan dan kewenangan pelelangan atas barang rampasan. Sarankan dari penelitian ini agar diperhatikan kembali implementasi dari ketentuan yang berlaku baik secara administratif maupun praktiknya.Kata kunci: Penyitaan, Penyimpanan, Benda Sitaan, Jarimah Maisir
TINDAK PIDANA PENEBANGAN KAYU SECARA ILLEGAL DI KAWASAN HUTAN ( Studi Penelitian Di Wilayah Bener Meriah ) Muhammad Yani; Mohd. Din
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 5, No 4: November 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak- Pencegahan tindak pidana illegal logging diatur dalam Undang-undang  Nomor 18 tahun 2013, pasal 82 yaitu orang perseoragan dengan sengaja melakukan penebangan pohon di hutan sebagaimana yag dimaksud dalam  pasal 12 huruf a, pasal 12 huruf b, dan pasal 12 huruf c, di pidana paling lama 5 (lima) tahun serta denda Rp. 2.500.000.000. Tujuan dari penulisan artikel ilmiah ini untuk menjelaskan upaya pencegahan yang dilakuakan oleh pihak kepolisian dalam mencegah tindak pidana illegal logging di kawasan Bener Meriah, menjelasakan faktor hambatan penyidik kepolisian dalam melakukan tindak pidana illegal logging di kawasan hutan Bener Meriah. Metode yang dilakukan menggunakan penelitian kepustakaan dan lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca buku teks, peraturan perundang-undangan. Penelitian lapangan dilakukan dengan mewawancarai responden dan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya penanggulangan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam mencegah tindak pidana illegal logging di kawasan Bener Meriah melalui dua pendekatan, yaitu upaya-upaya pencegahan (preventif), dan upaya penanggulangan (represif). Upaya tersebut dapat juga dilakukan dengan upaya penal dan non penal, dimana setiap upaya tersebut melibatkan dari pihak aparat penegak hukum maupun dari pihak masyarakat, sehingga kejahatan-kejahatan yang terjadi dapat berkuang. Hambatan penyidik kepolisian dalam melakukan tindak pidana illegal logging seperti: terbatasnya jumlah penyidik kepolisian di kawasan hutan Bener Meriah, rendahnya kesadaran hukum masyarakat disekitar hutan, keterbatasan dana operasional penyidikan dan pencegahan illegal logging, lemahnya pengawasan hutan dan koordinasi antara aparat penegak hukum,serta juga berasal dari masyarakat itu sendiri, dikarenakan belum optimalnya peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan tindak pidana illegal logging. Disarankan bahwa pihak kepolisian sudah melakukan segala upaya untuk melakukan koordinasi dalam meningkatkan keamanan dan kenyamanan kepada masyarakat. Akan tetapi masih kurangnya sosialisasi dan kerjasama yang dibangun bersama masyarakat, sehingga masih kurang rasa kepercayaan dan rasa tidak ingin tahu mengenai peraturan-peraturan yang berlaku dan faktor yang berasal dari internal maupun eksternal seharusnya memberikan kerjasama dan koordinasi yang baik antara pihak kepolisian dengan masyarakat agar supaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan kepolisian dapat berjalan dengan baik serta tingkat kejahatan dimasyarakat dapat berkurang.Kata Kunci : Tindak Pidana, Penebangan kayu, Illegal.
Sanksi Pidana terhadap Kuasa Bendahara Umum Daerah yang Tidak Menyetorkan Pajak ke Kas Negara Ramadiyagus Ramadiyagus; Mahdi Syahbandir; Mohd. Din
JURNAL MERCATORIA Vol 11, No 2 (2018): JURNAL MERCATORIA DESEMBER
Publisher : Universitas Medan Area

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31289/mercatoria.v11i2.1782

Abstract

Sanksi pidana bagi pemotong pajak termasuk Kuasa Bendahara Umum Daerah yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong ke Kas Negara diatur Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 beserta perubahannya, namun dalam prakteknya masih terdapat putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana dengan menggunakan aturan-aturan pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan pidana yang seharusnya diterapkan kepada Kuasa Bendahara Umum Daerah yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungutnya ke Kas Negara. Metode penelitian yang digunakan adalah hukum normatif dengan pendekatan kasus. Pengumpulan data dengan data sekunder, serta analisis data dilakukan secara deskriptif-analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, untuk mengetahui ketentuan pidana yang seharusnya diterapkan kepada Kuasa Bendahara Umum Daerah yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungutnya ke Kas Negara dapat dilihat dari corak kesengajaan yang dilakukan, apabila kesengajaan tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut tersebut dengan tujuan untuk memperkaya/menguntungkan diri sendiri/orang lain/korporasi, maka perbuatan tersebut termasuk tindak pidana korupsi.
Perluasan Pertanggungjawaban Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak Chairul Bariah; Mohd Din; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 3: Desember 2017
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.809 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i3.9640

Abstract

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan anak yang berkonflik dengan hukum selanjutnya disebut anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Maka dilihat dari usia anak tersebut haruslah mendapatkan perlakuan yang khusus terhadap anak yang melakukan tidak pidana. Sebagaimana dalamUndang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai hakim.Padadasarnya konsep pertanggungjawaban dari sebuah perbuatan pidana adalah ditanggung oleh pelakunya tanpa membebani pihak lain yang turut bertanggungjawab, namun dalam hal penyelesaian tindak pidana harus melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait, sehingga terdapat perluasan konsep pertanggungjawaban pidana. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mengkaji sejauh mana orang tua dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan konsep pertanggungjawaban pidana terhadap orang tua dalam tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan apakah ada hubungan antara diversi dengan pertanggungjawaban terhadap orang tua. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan penelitian hukum kepustakaan.The Act Number 11, 2012 on the Juvenile Justice System state that a child who is in conflictwith the law hereinafter called as a child who ages 12 (twelve) years old, but not yet 18 (eightteen) year of age alleged to have committed a crime. Therefore, it is seen from the age of the child it should be treated specifically for youth offenders, it can be seen from the obligation for the judge to conduct a diversion for the child’s case. As mention in the The Act on Juvenile Justice System that the judge is obliged to conduct a diversion for a maximum of 7 (seven) days after being stipulated by the head of the district court sitting as a judge. Basically, the concept of criminal liability from the criminal act is borne by its perpetrator without burdening the other party responsible, but in the case of the settlement of the crime must involve the perpetrator, the victim, the family of the perpetrator or victim, and other related parties, and hence there is an extension of the concept of criminal liability. This research aims to explain and explore to which extent parents could be held liable for crimes committed by juvenile and the concept of criminal liability of parents towards crimes committed by their childrenand whether there is a relationship between diversion with responsibility to parents.This is doctrinal legal research or library research.
Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual Pada Anak Dalam Sistem Peradilan Jinayat Khairida Khairida; Syahrizal Syahrizal; Mohd. Din
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (356.629 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12282

Abstract

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  35 Tahun 2014 tentang Perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana dalam Undang-Undang tersebut menjelaskan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak, namun ketentuan pidana bagi pelaku pelecehan terhadap anak dalam Undang-Undang tersebut masih sangat lemah sebagai dasar untuk menangani kasus pelecehan terhadap anak. Qanun  Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang  Hukum Jinayat, memberikan pengertian tentang Pelecehan Seksual pada Bab I ketentuan umum Pasal (1) ayat ke - 27 yaitu:  Pelecehan seksual adalah perbuatan asusila atau perbuatan cabul yang sengaja dilakukan seseorang didepan umum atau terhadap orang lain sebagai korban baik laki-laki maupun perempuan tanpa kerelaan korban. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Penegakan Hukum Pelecehan Seksual pada Anak, dalam Sistem Peradilan Jinayat, hubungan sistem Peradilan Jinayat dengan Sistem Peradilan Pidana Anak. Penulisan karya ilmiah ini  menggunakan jenis  penelitian  hukum  normatif, di mana penelitian hukum yang menggunakan sumber data primernya merupakan norma-norma yang berlaku baik yang berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan Perundang-Undangan, Qanun, dengan pendekatan library research. Disarankan kepada Pemerintah perlu secepatnya membuat langkah-langkah strategis, rencana aksi dan penerapan sanksi yang tegas terhadap prilaku seks yang menyimpang. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) perlu membuat aturan lebih lanjut termasuk aturan acaranya agar permasalahan ini menjadi lebih jelas dan pasti sehingga terhdap korban mendapatkan suatu kepastian hukum dan nasibnya menjadi lebih jelas serta terpenuhi hak-haknya.The Act Number 35, 2014 which is the revision of the Act Number 23, 2002 on the Child Protection which in the Act explains the obligation to provide protection to children, but the criminal provisions for perpetrators of child abuse in the Act are still very weak as a basis for dealing with child abuse cases. The Law Number 11, 2012 on the Juvenile Justice System in the first chapter of the General Provision, precisely in Article (1) paragraph (1, 2, 3, 4 and 5) states that; The Child Criminal Justice System is the whole process of settling children's cases against the law, from the investigation stage to the guidance stage after undergoing criminal. Qanun Aceh (local law) Number 6, 2014 on Jinayat Law (Islamic Criminal Law), provides understanding on Sexual Harassment in Chapter I general provisions of Article (1) of the 27th verse: Sexual harassment is an immoral act or obscene acts committed personally in public or against another person as a victim both men and women without the victim's willingness. This study aims to find out how Law Enforcement of Sexual Harassment in Children, in Jinayat Jurisdiction System, Relation of Jinayat Justice System with Child Criminal Justice System and To know the fulfillment of children. The paper applies normative legal research, in which legal research using its primary data sources are the norms that apply both in the form of the Criminal Code (KUHP) and the Laws and Regulations, Qanun, with the approach of library research. It is recommended that to the Government should establish strategic measures, action plans and the imposition of strict sanctions against deviant sexual behavior. The House of Representatives of Aceh (DPRA) needs to make further rules including the rules of the show so that this matter becomes clearer and more certain that the victim gets a legal certainty and his fate becomes clearer and fulfilled his rights.
Legal Consequences For A Notary Public With Double Professions As A Rector Of A Private University Based On Law On Office Of Notary Public Rabi'ah Adawiyah Phonna Effendy Jaraputri; Sri Walny Rahayu; Mohd. Din; Muhammad Suhail Ghifari
Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran Vol 23 No 1 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/sjhp.v23i1.8611

Abstract

Abstract: This research discusses juridical consequences for a notary with double professions as a rector of a private university according to Law on office of notary public. The purpose of this research is to explore and analyze the juridical consequences and sanctions for a notary with double professions as a rector or lecturer of a private university according to Law on office of notary public and code of ethics. This is normative legal research. This research shows that Article 17 Letter f of UUJN explicitly mentions the prohibition for a notary to has double professions as a manager or an employee of a State-owned Enterprise, a Municipally-owned Corporation, or a private company. A notary public who becomes a rector or lecturer at a private university is not assumed to violate the provision of Article 17 letter f UUJN. However, a notary with double professions can get administrative sanction in the form of a written warning, temporary layoff, honorably or dishonorably discharge.Keywords: Doubling for a notary; Rector of Private University  Abstrak: Penelitian ini membahas mengenai konsekuensi yuridis bagi notaris yang merangkap jabatan sebagai pimpinan perguruan tinggi swasta menurut undang-undang jabatan notaris. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis mengenai konsekuensi yuridis serta penerapan sanksi bagi notaris yang merangkap jabatan sebagai pimpinan atau dosen di perguruan tinggi swasta menurut undang-undang jabatan notaris dan kode etik. Jenis Penelitian ini ialah penelitian yuridis normatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa dalam Pasal 17 huruf f UUJN secara eksplisit disebutkan bahwa adanya larangan bagi pengemban profesi Notaris untuk merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai BUMN, BUMD atau badan usaha swasta. Seseorang yang mengemban jabatan Notaris menjadi pimpinan dan dosen pada Perguruan Tinggi Swasta tidak melanggar ketentuan Pasal 17 huruf f UUJN. Serta terkait notaris yang melakukan rangkap jabatan dapat dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau tidak hormat.Kata Kunci: Rangkap Jabatan Notaris, Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta.