Ilyas Ismail
Department Of Agrarian Law, Faculty Of Law, University Of Syiah Kuala, Banda Aceh 23111, Indonesia

Published : 29 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 29 Documents
Search

DESENTRALISASI KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 Ismail, Ilyas; Abdurrahman, Abdurrahman; Jafar, Muhammad; Azhari, Azhari
Jurnal Media Hukum Vol 17, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Law No. 11, 2006 concerning Aceh Government determines the existence of decentralization of authority in the land sector to the Aceh Government. However, in reality, the decentralization of authority could not be accomplished.  Therefore, this research aims at studying the authorities which have been decentralized and factors that led to the failure in implementing these authorities. The data were collected through literature research and field research. The literature research was conducted by reviewing the Law No. 11, 2006 and other statutory provisions as well as the views of relevant experts. Field research was conducted by interviewing officials of technical institutions and other relevant stakeholders. The results of the research show that the authorities in the land sector that are especially decentralized to the Government of Aceh through Law No. 11, 2006 are the autorithies to grand The Right to Cultivate and The Building Rights on Land. However, these rights have not been implemented due to the inavailability of more concrete rules and local officials whose fundamental duties and functions are specifically in the land sector.Key words: decentralization, authority, the land sector
REKONSEPTUALISASI HAK ATAS TANAH DALAM KERANGKA PEMBAHARUAN HUKUM TANAH NASIONAL ILYAS ISMAIL; Tn. Sufyan; Tn. Azhari
JURNAL LITIGASI (e-Journal) Vol 14 No 1 (2013)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pasundan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (606.176 KB) | DOI: 10.23969/litigasi.v14i1.91

Abstract

This paper is going to discuss the sorts of land rights recognized by laws and the implementation of such rights and recopceptualisation  related to the land reform program. Library and field researches are conducted to obtain the data. Library research is conducted by exploring the relevant laws and literatures while field research is conducted by interviewing relevant informants. The research shows that there are about 13 rights of the land that can be found in the regulations. Most of the rights on land is based on customary law which has communal concept. However, amongst such rights in the implementation still faces unjust in dividing its benefit, there is a tendency to increase the gap in owning the land and to disobey the need of housing that more complex in the limited number of it; hence the reconceptualisation  is required for the rights.  Keywords: Recopceptualisation; Land Rights; Law ReformABSTRAKTulisan  ini dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai macam-macam hak atas tanah yang dikenal dalam ketentuan perundang-undangan,  pelaksanaan berbagai macam hak atas tanah tersebut dan rekonseptualisasi hak-hak atas tanah dikaitkan dengan restrukturisasi penguasaan tanah. Untuk mendapatkan data bagi kepentingan penulisan ini dilakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah ketentuan perundang-undangan dan  literatur yang relevan, sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan cara mewawancarai para nara sumber yang terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling tidak terdapat 13 (tiga belas) macam hak atas tanah yang terdapat pengaturannya dalam ketentuan perundang-undangan. Sebagian besar hak-hak atas tanah tersebut bersumberkan pada hukum adat yang berkonsepsi kumunalistik. Namun diantara hak-hak atas tanah tersebut dalam pelaksanaannya ada yang masih mengandung unsur pemerasan, cenderung semakin meningkatkan  ketimpangan dalam penguasaan tanah dan cenderung tidak dapat mengakomodir kebutuhan tanah yang semakin komplek dalam keterbatasan ketersediaannya, karena itu diperlukan rekonseptualisasi hak-hak atas tanah.Kata kunci:  Rekonseptualisasi; Hak Atas Tanah; Pembaharuan Hukum
Land Cultivation Rights on Indicated Abandoned Land in Western Aceh Regency (Identification of Causal Factors and Legal Aspects of the Settlement) Ilyas Ismail; Abdurrahman Abdurrahman; Yunita Yunita
Proceedings of AICS - Social Sciences Vol 7 (2017): 7th AIC in conjuction ICMR 2017 Universitas Syiah Kuala October 2017
Publisher : Proceedings of AICS - Social Sciences

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.943 KB)

Abstract

This research aims to identify and explain the causative factors of unutilized land with its Cultivation Right (HGU) and legal aspects of abandoned land settlement. There are 119.400 ha (31.48%) abandoned land of 379.374,02 ha HGU in Aceh Province. This condition is important to be concerned since the national government and the local government of Aceh has the same vision to increase the farmer’s welfare through the government strategic program “Agrarian Reform”, which has the main objective to redistribute assets related land in order to decrease the economic gap in the country. Therefore, this research is important to be conducted in order to understand the possible alternative ways to curb and use of HGU, which is identified as abandoned land. The results show that there are four factors that cause land unexploited with its HGU, namely: the land is used for supporting facilities; the physical condition of the land, which cannot be utilized; the land is used as a reserved area; and possible dispute that may occur. There are several regulations of indicated abandoned land settlement: first, the inventory of land of rights or basic tenure of indicated abandoned land; second, identification and research of indicated abandoned land; third, warning against rights holders; and last, the determination of the abandoned land. Land with HGU that is indicated to be abandoned in Western Aceh, identifications and research have been conducted and none have been designated as abandoned land.
DESENTRALISASI KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 Ilyas Ismail; Abdurrahman Abdurrahman; Muhammad Jafar; Azhari Azhari
Jurnal Media Hukum Vol 17, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/jmh.v17i1.367

Abstract

Law No. 11, 2006 concerning Aceh Government determines the existence of decentralization of authority in the land sector to the Aceh Government. However, in reality, the decentralization of authority could not be accomplished.  Therefore, this research aims at studying the authorities which have been decentralized and factors that led to the failure in implementing these authorities. The data were collected through literature research and field research. The literature research was conducted by reviewing the Law No. 11, 2006 and other statutory provisions as well as the views of relevant experts. Field research was conducted by interviewing officials of technical institutions and other relevant stakeholders. The results of the research show that the authorities in the land sector that are especially decentralized to the Government of Aceh through Law No. 11, 2006 are the autorithies to grand The Right to Cultivate and The Building Rights on Land. However, these rights have not been implemented due to the inavailability of more concrete rules and local officials whose fundamental duties and functions are specifically in the land sector.Key words: decentralization, authority, the land sector
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Dalam Perlindungan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Lisa Novita Akadir; Ilyas Ismail; Sulaiman Sulaiman
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 7, No 3 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ius.v7i3.674

Abstract

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan tanggung jawab pemerintah daerah dalam perlindungan alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Pidie. Adapun masalah yang menjadi kajian adalah bagaimana pelaksanaan tanggung jawab pemerintah daerah dalam perlindungan alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Pidie?Secara metodologis, penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris menggunakan Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari sejumlah keterangan atau fakta di lapangan melalui wawancara dengan pejabat Badan Pertanahan Nasional Kabupeten Pidie, Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Pidie, Pejabat Dinas Pertanian dan pangan Kabupaten Pidie, serta pejabat yang betanggung jawab terhadap izin mendirikan bangunan di Kabupaten Pidie. Penelitian ini menyimpulkan tanggung jawab yuridis Pemerintah Kabupaten Pidie dalam perlindungan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan belum terlaksana. Adanya Qanun tentang LP2B akan memberikan kepastian hukum tentang kewenangan Perlindungan Lahan pertanian Pangan pada tingkat SKPD dan terbentuknya pola koordinasi antar instansi sehingga dapat menjadi pedoman teknis dalam pengendalian alih fungsi lahan. Tanggung jawab pemerintah daerah berkaitan dengan kewajiban hukum secara administrasi terhadap publik dengan adanya akuntabilitas, responsibilitas, dan responsivitas
Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Akibat Kelalaian Ppat Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Fajriatul Tivani Haridhy; Ilyas Ismail; Darmawan Darmawan
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (151.826 KB) | DOI: 10.29303/ius.v7i2.652

Abstract

PPAT selaku pejabat publik yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembuatan akta jual beli sudah sepatutnya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas sebab produk hukum yaitu akta otentik yang dikeluarkan PPAT dijadikan sebagai kepastian hukum bagi para pihak, namun sering dijumpai kelalaian yang dilakukan oleh PPAT mengakibatkan para pihak mengalami kerugian. Apabila PPAT terbukti melakukan kesalahan maka PPAT diwajibkan untuk bertanggung jawab atas akta tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji mengenai pertanggungjawaban oleh PPAT akibat pembeli  mengalami kerugian. Metode yang digunakan yaitu metode yuridis normative  dengan pendekatan undang-undang, konsep, serta kasus. Hasil dari penelitian yaitu pertanggungjawaban PPAT terhadap kerugian yang diderita oleh pembeli akibat akta jual beli yang dibuat tidak berdasarkan aturan hukum adalah PPAT diwajibkan untuk mengganti atas kerugian yang diderita pembeli yang mana penggantian itu berupa penggantian biaya, berdasarkan hasil penetapan putusan PN Banda Aceh Nomor 7/Pdt.G/2016/PN.Bna dan Nomor 21/Pdt.G/2013/PN-BNA, serta akta, surat-surat dan sertikat sepanjang berhubungan dengan objek tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Akibat Hukum Terhadap Akta Jual Beli Yang Cacat Hukum Imam Surya Saputra; Ilyas Ismail; Darmawan Darmawan
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 8, No 2: August 2020 : Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ius.v8i2.758

Abstract

Akta Jual Beli dibuat oleh pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun kenyataannya di lapangan banyak pelanggaran prosedur yang telah ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan PPAT dalam pembuatan akta jual beli dan apa akibat akta jual beli yang dinyatakan cacat hukum oleh putusan No. 32/Pdt.G/2011/PN.BNA. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan PPAT dalam pembuatan akta jual beli yaitu melaksanakan sebagian dari kegiatan pendaftaran tanah dengan tugas pembuatan akta otentik sebagai bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu di daerah kerjanya yang ditentukan dan untuk pelanggaran undang-undang yang terdapat pada Putusan No. 32/Pdt.G/2011/PN.BNA mengakibatkan akta jual beli tersebut cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIFIKAT DALAM SENGKETA HAK ATAS TANAH Ramli Usman; Ilyas Ismail; Azhari Yahya
Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 3: Agustus 2016
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.005 KB)

Abstract

Abstract: Certificate is an evidence tool based on Article 19 of the Act Number 5 Year 1960 regarding to the Fundamental Rules of Agrarian (UUPA). However, in practice, the evidence degree of land owning certificate might be nullified by the evidence of opponent which was an underhand deed like a civil case Number 04/Pdt.G/2009/PN-Sgi so that the letter from the head of village brought by the prosecutor to the court could able to defeat the Usage Right Certificate that was brought by the defendant in the court. Normative law method was used in this research. The results showed that the evidence degree of the Usage Right Certificate Number 02 Year 1986 really depended on the belief and trust of the judges on the correct procedure of getting the Usage Right Certificate and the ability of the defendant in providing land book of the certificate in the court. Although the defendant had provided the certificate to prove that the disputed land was legally owned showing from the legal land certificate, but if the judges did not believe the defendant, the certificate was then finally determined by the judges as an illegal and had no legal binding.  Keywords: Degree of evidence, certificate, land right. Abstrak: Sertifikat merupakan alat pembuktian menurut Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Namun dalam prakteknya kekuatan pembuktian sertifikat hak atas tanah dapat dipatahkan oleh alat bukti lawan berupa akta di bawah tangan, seperti dalam kasus perdata No.04/Pdt.G/2009/PN-Sgi sehingga Surat Keterangan Kepala Desa yang disampaikan oleh penggugat kepada Majelis mampu mengalahkan alat bukti Sertifikat Hak Pakai yang disampaikan oleh tergugat di persidangan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan pembuktian Sertifikat Hak Pakai Nomor 02 Tahun 1986 ternyata sangat tergantung kepada keyakinan dan kepercayaan hakim terhadap kebenaran prosedur perolehan sertifikat hak pakai dan kemampuan tergugat dalam menghadirkan buku tanah/warkah dari sertifikat tersebut ke persidangan. Walau pihak tergugat telah memberikan data untuk menguatkan bahwa tanah sengketa telah dikuasai dengan cara sah bahkan telah memperoleh sertifikat hak atas tanah, namun apabila Majelis tidak mempercayainya, sertifikat tersebut akhirnya tetap dinyatakan oleh majelis cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum.Kata Kunci : Kekuatan pembuktian, sertifikat, hak atas tanah.
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL DALAM QANUN ACEH NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH ACEH 2013 – 2033 Jefry Surya Salim; Ilyas Ismail
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 4, No 1: Februari 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

 Abstrak – Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan faktor kepentingan kepala daerah dan faktor kepentingan ekonomi daerah yang menyebabkan kawasan ekosistem Leuser tidak ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional dalam Qanun RTRW Aceh serta menjelaskan akibat hukum dari tidak ditetapkan KEL sebagai kawasan strategis nasional dalam Qanun RTRW Aceh. Data yang digunakan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan guna memperoleh data sekunder yaitu melalui serangkaian kegiatan membaca, mengutip, dan menelaah Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Hasil penelitian; (1) Faktor – faktor yang menyebabkan tidak ditetapkannya KEL sebagai kawasan strategis nasional adanya unsur – unsur kepentingan kepala daerah dan kepentingan ekonomi daerah kabupaten yang ingin melakukan pengelolaan kawasan ekosistem leuser secara mandiri; dan (2) Akibat hukumnya adalah maraknya terjadi alih fungsi lahan dalam kawasan ekosistem Leuser dan ditemukan adanya mal administrasi dalam penyusunan Qanun RTRW Aceh sehingga terjadinya ketidaksesuaianya aturan tersebut dengan asas dan tujuan penyelenggaraan penataan ruang yang tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) Undang – Undang Penataan Ruang, apabila adanya RTRW Daerah yang tidak sesuai atau bertentangan dengan asas – asas maka RTRW Daerah tersebut dapat dibatalkan, asas keterpaduan, asas perlindungan kepentingan umum, asas keberlanjutan. Diharapkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah agar lebih teliti dan cermat dalam membuat perencanaan penyelenggaraan tata ruang wilayah Provinsi, karena tujuan dari penyelenggaraan penataan ruang itu sendiri adalah pembangunan yang dilakukan secara sektoral, berjenjang dan komplementer sehingga nantinya dapat menghasilkan pembangunan dan penyelenggaraan penataan ruang yang memenuhi asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.Kata Kunci: Kawasan Strategis Nasional, KEL, RTRW Nasional, RTRW Aceh
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENDIRIAN BANGUNAN YANG BERADA PADA SEMPADAN SUNGAI DI WILAYAH KECAMATAN INGIN JAYA KABUPATEN ACEH BESAR Afrizal Saputra; Ilyas Ismail
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 5, No 1: Februari 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sempadan sungai merupakan kawasan perlindungan yang di atasnya dilarang mendirikan bangunan sebagaimana yang terdapat dalam  ketentuan Qanun No. 4 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh Besar. hal ini dibuat untuk kepentingan keberlanjutan dan keberlangsungan kawasan yang bersangkutan. Akan tetapi masih terdapatnya pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. Penelitian memiliki tujuan untuk mengetahui apakah pendirian bangunan pada sempadan sungai sudah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah serta menjelaskan penegakan hukum dari pelanggaran tersebut. Penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris. Data yang dipergunakan adalah dari studi kepustakaan dan studi lapangan guna mendapatkan data sekunder dengan menelaah dan mengutip dari ketentuan perundang-undangan yang berkaitan, serta penelitian lapangan didapatkan melalui wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis penegakan hukum berdasarkan Qanun Nomor 4 tahun 2013 belum optimal. Dikarenakan tidak semua warga yang berada pada sempadan sungai mendapatkan surat peringatan yang merata, dengan artian ada warga yang diberikan surat peringatan sebanyak 2 (dua) kali dan ada juga yang sekali. Serta tidak semua bangunan pada sempadan sungai Krueng Aceh di Kecamatan Ingin Jaya dilakukan penertiban, karena masih terdapatnya sebagian bangunan yang berdiri tanpa ada izin resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh Besar, serta telah melanggar ketentuan mengenai RTRW. kecuali terhadap bangunan gedung ANRI, tidak akan dilakukan penertiban dikarenakan bangunan tersebut tidak menyalahi ketentuan penataan ruang, serta bangunan tersebut telah memiliki izin resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Aceh Besar. Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Besar untuk dapat mengevaluasi kembali kinerjanya dalam hal penegakan hukum dan memberikan sanksi hukum yang tegas terhadap pelanggar, serta diharapkan ketentuan mengenai RDTR dapat dibuat secepatnya. Kata Kunci : Sempadan Sungai, Krueng Aceh, Kecamatan Ingin Jaya, Penataan Ruang.