Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

PEMBINAAN DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM JAM KERJA OLEH BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (BKPP) KOTA BANDA ACEH Ali Akbar; Ria Fitri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 1: Februari 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penerapan sanksi terhadap pegawai negeri sipil, faktor penyebab pegawai negeri sipil melanggar disiplin dalam bekerja dan upaya pembinaan Badan Kepegawaian Pendidikan dan pelatihan (BKPP) Kota Banda Aceh. Penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Belum sesuai dengan peraturan yang berlaku, kurang pengawasan dari atasan dan kepentingan pribadi. Dalam menjatuhi hukuman disiplin terhadap pegawai negeri sipil yang terduga melanggar disiplin dalam jam kerja, berikan juga sanksi untuk atasan dimana tempat pegawai negeri sipil tersebut bekerja. Lakukan pengawasan terhadap atasan disetiap kantor-kantor dinas pemerintah Kota Banda Aceh dan jangan hanya mengsosialisasikan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil kepada atasan-atasan kantor pemerintah Kota Banda Aceh saja, namun berikan juga kepada para pegawai negeri sipil yang bekerja serta lakukan juga pemeriksaan setiap minggunya pada alat yang telah diciptakan yaitu E- Kinerja dan E-disiplin dalam mendisiplinkan pegawai negeri sipil.
PENERAPAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PIMPINAN ATAU PENANGGUNGJAWAB KAWASAN TANPA ROKOK PADA RUMAH SAKIT KOTA LANGSA Reza Eko Saputra; Ria Fitri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 1, No 2: November 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 10 ayat (1) huruf a Qanun Kota Langsa Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menetapkan salah satu KTR adalah kawasan Pelayanan Kesehatan. Selanjutnya dalam Pasal 10, 11 dan 12 ditentukan bahwa pimpinan atau penanggungjawab KTR bertanggungjawab atas seluruh kegiatan rokok dan menyediakan tempat khusus merokok serta memasang tanda larangan merokok di kawasan tersebut. Apabila penerapan tersebut tidak dilakukan penanggungjawab KTR maka dikenakan sanksi administratif dari Walikota Langsa sesuai Pasal 24 Qanun tersebut. Namun di Rumah Sakit Kota Langsa masih dijumpai para pelanggar KTR, hal ini terjadi karena pimpinan atau penanggungjawab KTR tidak melaksanakan ketentuan Qanun KTR Kota Langsa Nomor 1 Tahun 2015. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana penjatuhan sanksi administratif terhadap penanggungjawab KTR, dan untuk menjelaskan faktor-faktor penghambat dalam menjalankan ketentuan Qanun Kota Langsa Nomor 1 Tahun 2015 tentang KTR, serta upaya yang dilakukan penanggungjawab KTR dalam pemberian sanksi bagi pelanggar KTR di Rumah Sakit Kota Langsa. Dalam penulisan artikel ini, dilakukan penelitian kepustakaan, yaitu dengan membaca dan menelaah buku-buku, peraturan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian sebelum dan penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer, dengan melakukan wawancara terhadap responden dan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penjatuhan sanksi administratif terhadap pimpinan atau penanggungjawab KTR di Rumah Sakit Kota Langsa belum dilaksanakan  sesuai ketentuan Qanun Kota Langsa Nomor 1 Tahun 2015. Tidak adanya aturan teknis yang jelas terkait pelaksanaan Qanun menjadikan penghambat utama belum dilaksanakannya Qanun KTR Kota Langsa, serta dengan tidak tersedianya tempat khusus merokok di Rumah Sakit berakibat pada ketidakpatuhan pengunjung Rumah Sakit Kota Langsa terhadap ketetapan aturan larangan merokok di Rumah Sakit Kota Langsa. Terdapat beberapa faktor internal dan eksternal yang menjadi penghambat pelaksanaan Qanun KTR di Rumah Sakit Kota Langsa di antaranya, faktor internal: a. Belum adanya aturan teknis Qanun, b. Belum maksimalnya pelaksanaan sosialisasi Qanun, c. Belum adanya fasilitas khusus rokok (smoking area), faktor eksternal: a. Kurangnya kepatuhan masyarakat akan larangan merokok, b. Tidak adanya satuan tugas (SATGAS) khusus untuk mengawasi KTR dan jumlah pengawas yang terbatas. Namun penanggungjawab KTR di Rumah Sakit telah melakukan upaya pembinaan dan pengawasan kepada setiap orang yang merokok di kawasan tanpa rokok Rumah Sakit Kota Langsa. Disarankan kepada Pemerintah Kota Langsa untuk membentuk aturan teknis pelaksana Qanun KTR Kota Langsa, dan SATGAS khusus untuk mengawasi KTR di Kota Langsa, sehingga penjatuhan sanksi kepada pimpinan atau penanggungjawab KTR khususnya di Rumah Sakit Kota Langsa dapat diterapkan sesuai ketentuan Qanun Kota Langsa Nomor 1 Tahun 2015 tantang KTR. Selanjutnya pimpinan Rumah Sakit Kota Langsa harus menyediakan tempat khusus merokok bagi para perokok, sehingga diharapkan akan dapat menciptakan penerapan kebijakan KTR secara efektif dan efisien.
PENGATURAN IZIN TEMPAT USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BANDA ACEH Furqan Furqan; Ria Fitri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 3, No 1: Februari 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam Pasal 9 ayat (1) Qanun Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pengaturan dan PembinaanPedagang Kaki Lima, dijelaskan “Untuk mempergunakan tempat usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), setiap Pedagang Kaki Lima  harus mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu  dari Walikota.” Namun dalam kenyataannya Pedagang kaki lima atau yang sering disebut PKL masih banyak yang belum mempuyai izin tempat usaha tertulis dan hal ini PKL menimbulkan persoalan mengenai terganggunya keindahan kota dengan berjualan memanfaatkan area pinggir jalan raya untuk memenuhi kebetuhan ekonomi. Tujuan penulisan artikel ini untuk menjelaskan pengaturan izin tempat usaha PKL, faktor-faktor yang menyebabkan PKL tidak mempunyai izin, tindakan hukum pemerintah Kota Banda Aceh terhadap PKL tidak mempunyai izin. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, bahan internet dan hasil karya ilmiah lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini serta penelitian lapangan yang dilakukan untuk memperoleh data primer dengan mewawancarai responden dan informan. Hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan izin tempat usaha berdagang PKL sampai saat ini belum mengikuti peraturan yang berlaku, dikarenakan Wali Kota Banda Aceh belum mengeluarkan peraturan penetapan lokasi tempat usaha PKL sebgaimana diperintahkan daalam pasal. Faktor-faktor penyebab tidak mengurus izin tempat usaha berdagang pemerintah kota sampai saat ini belum selesai merancang peraturan tempat lokasi untuk PKL dan kurangnya jumlah petugas Unit Pelaksana Teknis Dinas Pasar Kota Banda Aceh, kurangnya sosialisasi yang dilakukan Dinas Pasar terkait tempa tusaha berdagang serta kurangnya kesadaran PKL dalam mengurus izin tempat usaha berdagang. Tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah Kota Banda Aceh terhadap PKL yang tidak mempunyai izin tempat usaha berdagang, memberikan teguran secara lisan dan teguran secara tulisan (surat pernyataan) serta mengambil tindakan langsung ke lapangan dengan tidak mengizinkan berjualan. Diharapkan pemerintah Kota Banda Aceh segera mengeluarkan peraturan penetapan usaha lokasi untuk PKL dan Pemerintah kota segera menyelesaikan rancangan peraturan walikota dan pemerintah kota mampu menyediakan lahan disetiap kecamatan untuk para PKL agar terpenuhinya kebutuhan PKL.
Pelaksanaan Pemberhentian Keuchik Menurut Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Gampong Ayunda Dzikrillah; Ria Fitri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 2: Mei 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan apakah prosedur pemberhentian Keuchik telah sesuai dengan aturan perundang-undangan, faktor-faktor yang menyebabkan terjadi penyimpangan dalam proses pemberhentian Keuchik dan untuk menjelaskan  akibat hukum terhadap pemberhentian tersebut. Penulisan artikel ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan mempelajari literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer dengan mewawancarai responden dan informan. Hasil penelitian menjelaskan bahwa proses  pemberhentian 28 Keuchik di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar belum sesuai dengan aturan perundang-undangan yaitu tidak adanya rekomendasi Tuha Peuet dan pemberhentian Keuchik tidak di dahului dengan pemberhentian sementara. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadi penyimpangan adalah karena kurangnya pemahaman dalam mengartikan perbuatan makar oleh Pemerintah Daerah, kurangnya pengetahuan hukum, kurangnya kesadaran hukum, kurangnya koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan para Keuchik, adanya kepentingan individual atau golongan dan adanya keinginan untuk memajukan Daerah. Akibat hukum dari pemberhentian ini adalah hilangnya jabatan para Keuchik di Kecamatan Darul Imarah. Disarankan kepada Bupati Aceh Besar dalam mengambil suatu kebijakan harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam aturan perundang-undangan dan dalam menjalankan tugasnya sebagai Keuchik maka harus bertindak sesuai dengan wewenang yang telah ditetapkan dalam aturan perundang-undangan serta mengadakan komunikasi lebih lanjut dengan para Keuchik dalam rangka pemberian kompensasi.
PENEGAKAN HUKUM BAGI PENGGUNA RUANG MILIK JALAN UNTUK TEMPAT BERJUALAN OLEH PELAKU USAHA (Suatu Penelitian Terhadap Kegiatan Usaha Perabotan di Kota Banda Aceh) Ikram Fajar Maulana; Ria Fitri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 5, No 4: November 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak - Pasal 16 Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat menyatakan bahwa “Setiap orang atau badan dilarang menempatkan benda, barang atau alat untuk menjalankan kegiatan usaha atau bukan untuk menjalankan kegiatan usaha di luar tempat usaha”. Kenyataannya, masih banyak pelaku usaha khususnya yang menjual perabotan menempakan barang dagangan diluar tempat usaha dan mengganggu ketertiban umum. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan penegakan hukum bagi pelaku usaha yang meletakan barang dagangannya diruang milik jalan dan bentuk penegakan hukum yang efektif terhadap pelaku usaha yang menggunakan ruang milik jalan untuk usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang menggunakan ruang milik jalan dilaksanakan dengan memberikan sanksi administratif seperti penyitaan barang dan denda. Upaya penegakan hukum yang efektif terhadap pelaku usaha yang menggunakan ruang milik jalan adalah dengan meningkatkan kesadaran hukum terhadap pelaku usaha dan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku usaha yang melanggar ketertiban usaha. Kata Kunci : Penegakan Hukum, Ketertiban Usaha
Penertiban Tanah Hak Guna Usaha Yang Terindikasi Terlantar Farhad Lubis; Ria Fitri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 2: Mei 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 2010 Tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar telah memberikan kewenangan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional untuk menjalankan amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar untuk menertibkan tanah-tanah yang terindikasi terlantar. Namun dalam pelaksanaannya, penertiban tanah hak guna usaha di Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Barat Daya masih belum maksimal. Penulisan artikel ini bertujuan untuk menjelaskan pelaksanaan, kendala, dan akibat hukum dalam penertiban tanah hak guna usaha yang terindikasi terlantar di Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Barat Daya. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris. Analisis permasalahan dilakukan dengan memadukan data sekunder yaitu bahan pustaka seperti buku-buku dan Peraturan Perundang-undangan dengan data primer yang diperoleh dengan cara meneliti langsung ke lapangan untuk mendapatkan data yang nyata melalui wawancara dengan responden dan informan. Pelaksanaan penertiban tanah terlantar terhadap tanah hak guna usaha milik PT. Sari Inti Rakyat di Kabupaten Aceh Barat tidak mengikuti tahapan-tahapan sebagaimana yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan. Maka dari itu, pemegang hak guna usaha menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Kota Banda Aceh yang pada putusannya majelis hakim mencabut Surat Keputusan tentang Penetapan lokasi penertiban tanah terlantar sehingga proses penertiban tidak dapat dilanjutkan. Sedangkan pelaksanaan penertiban tanah terlantar terhadap tanah hak guna usaha milik PT. Cemerlang Abadi di Kabupaten Aceh Barat Daya sudah sampai pada tahapan peringatan ke III, namun dikarenakan kacaunya administrasi pertanahan di Provinsi Aceh maka proses penertiban tidak dapat dilanjutkan. Kendala yang dihadapi dalam menertibkan tanah Hak Guna Usaha yang terindikasi terlantar di Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Barat Daya yaitu rumitnya proses penertiban tanah terlantar, dokumentasi proses penertiban tidak dilakukan secara profesional, tidak adanya teknologi untuk pemeriksaan fisik tanah, serta kurangnya anggaran untuk kegiatan penertiban tanah terlantar. Akibat hukum dari pelaksanaan penertiban tanah Hak Guna Usaha di Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Barat Daya adalah terhadap tanah Hak Guna Usaha milik PT. Sari Inti Rakyat, dengan adanya putusan pengadilan yang mencabut Surat Keputusan tentang penetapan lokasi penertiban tanah yang terindikasi terlantar, maka proses penertiban tanah yang terindikasi terlantar tidak dapat dilanjutkan. Sedangkan tanah Hak Guna Usaha milik PT. Cemerlang Abadi tidak dapat dihapuskan haknya dikarenakan pengusulan penetapan tanah terlantar kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak dapat dilakukan. Disarankan kepada Pemerintah untuk mendokumentasikan secara profesional database penertiban tanah yang terindikasi terlantar dan menyederhanakan kembali peraturan tentang tata cara penertiban tanah terlantar sehingga pemeriksaan fisik tanah hanya dilakukan satu kali dalam proses penertiban. Selain itu, disarankan kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi Aceh untuk mengusulkan pengadaan drone untuk mempermudah proses penertiban tanah yang terindikasi terlantar di Provinsi Aceh.
EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN RETRIBUSI PELAYANAN PASAR UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Besar) Lisa Khairani; Ria Fitri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 6, No 3: Agustus 2022
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak - Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 5 Peraturan Bupati Aceh Besar Nomor 17 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemungutan Retribusi di Pasar, setiap orang atau badan yang memanfaatkan pelayanan pasar yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib membayar retribusi. Pemungutan retribusi dilakukan dengan menggunakan Buku Ketetapan dan Pembayaran Retribusi (BKPR), karcis, dan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD). Walaupun aturan tersebut telah dikeluarkan, pemungutan retribusi pelayanan pasar masih belum berjalan efektif. Akibatnya berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah Aceh Besar Per Mei 2021 baru mencapai 27,44% dari target yang ditetapkan. Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan pelaksanaan pemungutan retribusi pelayanan pasar, faktor yang menyebabkan pemungutan retribusi pelayanan pasar tidak sesuai target capaian, dan upaya mengatasi hambatan pelaksanaan pemungutan retribusi pelayanan pasar. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan pemungutan retribusi pelayanan pasar masih belum efektif, diantaranya masih terdapat wajib retribusi yang tidak melaksanakan pembayaran retribusi, bukti pembayaran tidak diserahkan kepada pembayar retribusi, serta masih adanya praktik premanisme dan pungli. Adapun faktor belum sesuai target capaian yaitu pengenaan sanksi belum dilaksanakan, kurangnya petugas pemungut retribusi, penentuan target yang terlalu tinggi, adanya objek retribusi yang kosong serta tidak sesuai pada tempatnya, dan kurangnya fasilitas yang mendukung. Upaya mengatasi hambatan pemungutan retribusi dengan penyuluhan dan himbauan, meningkatkan pengawasan, menerapkan sanksi, dan perbaikan faslitas pasar. Kata Kunci : Efektivitas, Pemungutan Retribusi Pelayanan Pasar, Pendapatan Asli Daerah
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 17, No 2 (2015): Vol. 17, No. 2, (Agustus, 2015)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Pasal 12 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa, bidang pertanahan merupakan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Pengertian urusan wajib dimaksudkan “adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan di semua daerah”. Ketentuan tersebut menimbulkan ketidak pastian apabila dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan sandaran dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), secara tegas dinyatakan bidang pertanahan harus dikuasai oleh Negara demi terciptanya kemakmuran rakyat. untuk mengetahui dan menjelaskan potensi konflik kewenangan bidang pertanahan di Aceh dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, dan implikasi potensi konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam bidang pertanahan. Potential Conflict Between Aceh Governance and The Government of Indonesia in Land Field ABSTRACT: Article 12 (2) Point d of the Act Number 23, 2014 regarding Regional Governance states that in the field of land, it is compulsory task aimed at it is conducted by everu region. This rule causes uncertainty if it is related to Article 33 (3) of the Indonesian Constitution 1945, which a base of the Act Number 5, 1960 regarding the Main Regulation of Land, it is stipulated in the field must be controlled by the state for the people wealth. It also explores the potential conflict between the Government of Aceh and Indonesia by the implementation of the Act Number 11, 2006 and its implication.
Pemberdayaan Perempuan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 12, No 2 (2010): Vol. 12, No. 2, (Agustus, 2010)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACT: Non equality and non equity of gender still there are in Aceh society. Autonomous of area area enableness of woman and protection of child give wide of room at Government of Acheh, governmental of sub-province / town isn't it him, start from the energy and policy of him. This matter can know accomodated by issues him of gender in made qanun-qanun pursuant to comand of UU No.11 year 2006. Him of Bureau status enableness of woman become Body, available [of] media supporter of enableness of woman in Aceh like P2Tp2, UPT. Expected with area autonomy of non equity and non equality of gender can overcome  in Aceh. Enableness of Woman In Management of Regional Autonomy
Tinjauan Tanah Terlantar dalam Perspektif Hukum Islam Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 13, No 3 (2011): Vol. 13, No. 3, (Desember, 2011)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACT: The land is limited source but he need for it to development increase; hence the land should be used efficiently and optimally and make it sustainable. It is in accordance with Article 10 and 15 of the Act Number 5, 1960. Ironically, there is a lot of land left unattended. Solving such land, it is strongly relating to the existing laws. The promulgation of Government Regulation Number 36, 1998 regarding the Use and Managing of Unattended Land, has not been able to handle the problem of unattended land. Based on, Article 5 of the Act Number 5, 1960 regarding Agrarian Law referring to Customary Law that has to respect the elements based on religious values. Islamic law regulates such land. Therefore, this article explores how the definition of such land based on Islamic law. The Overview on Unattended Land in Islamic Law Perspective