Teuku Muttaqin Mansur
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

WANPRESTASI OLEH PEMAWAH DALAM PELAKSANAAN PROGRAM MAWAH PADA KOPERASI PRODUSEN BENG MAWAH SYARIAH Ikhwan Nur Akhi; Teuku Muttaqin Mansur; M Adli Abdullah
Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin Vol 5, No 1 (2022): Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin
Publisher : Geuthèë Institute, Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52626/jg.v5i1.137

Abstract

Koperasi Produsen Beng Mawah Syariah merupakan sebuah lembaga ekonomi masyarakat yang bergerak pada upaya pengembangan usaha produktif berdasarkan prinsip mawah (bagi hasil). Mawah adalah sistem ekonomi tradisional Aceh dimana seseorang memberikan hak atas aset tertentu (biasanya tanah atau ternak). Pemawah bekerja untuk keuntungan yang di sepakati di dalam perjanjian (akad). Aturan yang telah dibuat dalam perjanjian tidak menutup kemungkinan adanya wanprestasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh pemawah. Faktor-faktor penyebab terjadinya wanprestasi dan cara penyelesaian dari Koperasi Produsen Beng Mawah Syariah. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. Hasil dari penelitian ini adalah, bentuk wanprestasi pemawah tidak membayar biaya pembiayaan tepat waktu, faktor wanprestasi terjadi karena disebabkan pemawah gagal panen dan lalai dalam memenuhi kewajibannya. Upaya yang dilakukan oleh pihak koperasi Produsen Beng Mawah Syariah adalah dengan cara menagih dan menyurati pihak pemawah sebanyak tiga kali.    
DENDA ADAT DALAM PENYELESAIAN KASUS KHALWAT DI KOTA BANDA ACEH Tari Nasyiah; Teuku Muttaqin Mansur
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 3, No 1: Februari 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (479.433 KB)

Abstract

Pengenaan denda adat dalam penyelesaian kasus khalwat Di Banda Aceh berbeda-beda pada setiap gampong (desa). Sebagian gampong dikenakan denda berupa membayar sejumlah uang, pemotongan kambing, diusir dari gampong, dilakukan bimbingan oleh wali, dan ada juga yang dinikahkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan mekanisme pelaksanaan penyelesaian sengketa Khalwat dan pemberian denda adat, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hambatan Majelis Peradilan Adat dalam memberikan Sanksi Denda Adat Kepada Pelaku Khalwat di Kota Banda Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis empiris, dengan sumber data kepustakaan dan lapangan. Hasil dari penelitian menunjukkan pelaksanaan pemberian denda adat terhadap pelaku khalwat disetiap gampong pada dasarnya sama yaitu tetap melalui prosedur musyawarah bersama, namun ada beberapa hal yang berbeda, hal ini dikarenakan pertimbangan Majelis Peradilan Adat, keikhlasan para pihak (pelaku) Khalwat dan kesepakatan bersama dalam sidang adat. Pemberian denda adat pada setiap gampong mengalami hambatan  ketika pelaku khalwat tidak sanggup mebayar denda adat, tidak ada peraturan yang menjelaskan jumlah pengenaan denda secara tegas yang menyebutkan batasan minimal dan maksimal dalam pengenaan denda, dan kurangnya sosialisasi yang diberikan baik sosialisasi dari Majelis Adat Aceh kepada pemangku adat di gampong-gampong maupun sosialisasi dari pemangku adat gampong untuk masyarakat. Disarankan untuk para pihak untuk menghormati mekanisme dan putusan adat yang ada pada setiap gampong, Pemerintah Aceh agar peraturan/Qanun Aceh terkait dengan definisi denda, dan pengenaan denda adat agar menyebutkan  jumlah pengenaan denda secara tegas batasan minimal dan maksimal dalam pengenaan denda adat, selanjutnya diharapkan kepada Majelis Adat Aceh Kota Banda Aceh untuk meningkatkan sosialisasi khusus kepada keuchik-keuchik gampong dan perangkat adat gampong mengenai permasalahan-permasalahan adat sanksi-sanksi adat khususnya pengenaan denda adat kepada pelaku khalwat, dan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan sanksi-sanksi adat.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PARIWARA YANG MENYESATKAN DI SURAT KABAR (Suatu Penelitian di Kota Banda Aceh) Saidil Ambia; Teuku Muttaqin Mansur
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 4, No 3: Agustus 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penulisan artikel ini untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab pelaku usaha mempromosikan produk barang dan/atau jasa yang menyesatkan konsumen, tanggung jawab pelaku usaha dan penyelesaian hukum perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pariwara yang menyesatkan di surat kabar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis empiris, yaitu suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan penelitian pelaksanaan di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pariwara yang menyesatkan di surat kabar belum berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini disebabkan karena pengawasan, kesadaran hukum, serta penerapan sanksi belum sepenuhnya berjalan sehingga konsumen dirugikan sebagai akibat penyebaran Pariwara menyesatkan tersebut. Disarankan kepada pelaku usaha terkait agar dalam melaksanakan kegiatan usahanya haruslah mematuhi segala peraturan dan prosedur yang berlaku. Kepada konsumen agar lebih teliti dalam memilih produk barang dan/atau jasa, serta memperhatikan hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Kepada lembaga PPPI-BPP, KPID, YaPKA, dan lembaga terkait lainnya, agar dapat membina, mengawasi serta menerapkan sanksi sebagaimana mestinya agar dapat memberikan efek jera kepada pelaku usaha.
Pelaksanaan Hareuta Peunulang Menurut Tinjauan Kompilasi Hukum Islam di Kabupaten Pidie, Aceh, Indonesia Lulu Munirah; Teuku Muttaqin Mansur
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (291.351 KB)

Abstract

Artikel ini bertujuan menemukan dan menjelaskan konsep dana kibat hukum pelaksanaan hareuta peunulang dan penyelesaiannya di Kabupaten Pidie, Aceh, Indonesia ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam (KHI). Data diperoleh melalui library research dan field research. Data disajikan dengan menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, konsep hareuta peuneulang merupakan konsep hibah adat yang telah dipraktikkan secara turun temurun dalam kalangan masyarakat di Kabupaten Pidie. Konsep tersebut berupa pemberian rumah dan/atau tanah dari orang tua kepada anak perempuan sebelum melangsungkan pernikahan sebagai bekal dalam berumah tangga. Dalam pelaksanaannya, pemberian (hibah) hareuta peunulang menimbulkan masalah karena hanya diberikan kepada anak perempuan, sementara anak laki-laki yang seharusnya juga mendapatkan harta warisan sebagaimana di atur dalam KHI justru tidak mendapakannya. Persengketaan atau gugatan terhadap pembagian harta warisan tersebut di Kabupaten Pidie dapat diselesaikan secara musyawarah oleh perangkat gampong, tuhapeut, imuem meunasah, dan perangkat gampong lainnya. Disarankan kepada masyarakat dalam putusan pembagian harta warisan dapat berpedoman pada Pasal 171 huruf g dan Pasal 210 KHI, serta prinsip-prinsip hukum Islam. Hal ini untuk menghindari pertikaian dalam hal pembagian harta warisan.This article aims to find and explain about the concept, legal effect and its legal settlement of hareuta peunulang in Pidie, Aceh, Indonesia in terms of Compilation of Islamic Law (KHI). Data obtained through library research and field research. Data presented by using qualitative descriptive. The result showed, hareuta peuneulang is an indigenos grants that has been practiced by communities in Pidie District. The concept for the grant of the house and / or the land from parents to daughters before married as financial support in settling down. In its implementation, the grant of hareuta peunulang poses a problem because it is only given to daughter, while son who should also get inheritance as arranged in KHI do not get it. The dispute or lawsuit against the division of the inheritance in Pidie can be resolved by deliberation by gampong components, tuha peut, imuem meunasah and other gampong component. It is suggested to the comunities in the decision of the division of inheritance can be guided by Article 171 letter g and Article 210 KHI, as well as the principles of Islamic law. This is to avoid disputes in terms of division of inheritance. 
Penyelesaian Sengketa Perjanjian Bagi Hasil Pengelolaan Lahan Perkebunan Melalui Hukum Adat Di Kecamatan Permata Kabupaten Bener Meriah Kartika Yusuf; Teuku Muttaqin Mansur
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (447.58 KB)

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan pelaksanaan perjanjian bagi hasil pengelolaan lahan perkebunan di Kecamatan Permata Kabupaten Bener Meriah, Aceh, faktor penyebab terjadinya sengketa perjanjian bagi hasil, dan cara penyelesaian sengketa tersebut. Metode yang digunakan ialah metode yuridis empiris, melalui studi kepustakaan dan wawancara lapangan.  Hasil kajian menunjukkan bahwa pelaksanaan perjanjian bagi hasil pengelolaan lahan perkebunan dilakukan secara lisan (hukum adat) dan tanpa dihadiri para saksi, perbuatan ini terjadinya sengketa. Penyelesaian sengketa perjanjian bagi hasil pengelolaan lahan perkebunan dilakukan secara musyawarah kekeluargaan dan upacara adat gayo yang disebutdengan“Tepung Tawar Dedingin Sejuk Celala Bengi.”Disarankan kepada masyarakat Kabupaten Bener Meriah yang melakukan praktik perjanjian bagi hasil pengelolaan lahan perkebunan dalam pelaksanaannya untuk turut melakukan perjanjian secara tertulis. Kepada Masyarakat sebaiknya melaksanakan perjanjian bagi hasil pengelolaan lahan perkebunan dengan mengikuti aturan yang telah diatur oleh hukum adat setempat. Pemerintah dan perangkat hukum adat di kabupaten Bener Meriah diharapkan untuk mensosialisasikan ke setiap desa/kampung agar mengikuti sebagai panutan hukum adat serta mengaplikasikan ke dalam kegiatan sehari-hari.
PENYELESAIAN SENGKETA HASIL TANGKAPAN IKAN ANTARA NELAYAN TRADISIONAL DENGAN PEMILIK BOAT MELALUI LEMBAGA PERADILAN ADAT LAOT (Suatu Penelitian Di Wilayah Hukum Panglima Laot Lhok Kuala Cangkoi Di Ulee Lheue) Ayu Wahyuni; Teuku Muttaqin Mansur
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 4, No 1: Februari 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tradisi masyarakat nelayan di sektor perikanan khususnya di Aceh tidak lepas dari pengaruh hukum adat. Perjanjian bagi hasil tangkapan ikan yang dilaksanakan oleh nelayan tradisional dengan pemilik boat dilakukan secara lisan, sehingga sering terjadinya perselisihan. Perselisihan yang ditimbulkan tersebut harus ada pihak lain yang bertindak sebagai penengah. Dalam hal perikanan, khususnya di Aceh yang menjadi pihak penengah adalah lembaga peradilan adat laot yang dipimpin oleh panglima laot yang diangkat dan dianggap oleh masyarakat nelayan sebagai pihak yang lebih dituakan secara hukum adat untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Lembaga panglima laot ini telah diakui keberadaannya berdasarkan Pasal 98 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya sengketa, hambatan dalam penyelesain sengketa, dan proses penyelesaian sengketa bagi hasil tangkapan ikan melalui lembaga peradilan adat laot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penyebab terjadinya sengketa disebabkan faktor kebiasaan yang melangsungkan perjanjian secara lisan, sehingga dengan mudah  timbulnya perselisihan yang dilakukan salah satu pihak dan penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga peradilan adat laot.
Penyelesaian Sengketa Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat Suku Pakpak di Kecamatan Sultan Daulat Kota Subulussalam Zuliadi Zuliadi; Teuku Muttaqin Mansur
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 3, No 4: November 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penulisan Artikel ini ialah untuk menjelaskan sistem kekerabatan masyarakat adat suku pakpak di Kecamatan Sultan Daulat Kota Subulussalam, pelaksanaan pembagian harta warisan masyarakat adat suku pakpak di Kecamatan Sultan Daulat Kota Subulussalam, serta upaya penyelesaian sengketa dalam pembagian harta warisan menurut hukum adat pada masyarakat adat suku pakpak di Kecamatan Sultan Daulat Kota Subulussalam. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum yuridis empiris, yaitu suatu penelitian yang mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yg terjadi dalam masyarakat. Sedangkan untuk melengkapi data juga dilakukan penelitian lapangan dengan teknik wawancara dengan responden dan informan yang kemudian digabungkan dengan data yang diproleh dan prilaku yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem kekerabatan menurut adat suku pakpak masih dipertahankan dan dilestarikan dengan baik, akan tetapi dalam hal pembagian harta warisan, telah terjadi pergeseran yang sebelumnya masih kuat mengikuti hukum adat, sekarang mengikuti hukum Islam seiring dengan masuknya hukum Islam dan juga perkembangan masyarakat. Oleh karena demikian, harta waris yang ditinggalkan oleh orang tua semuanya akan dibagikan kepada seluruh ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan. Penyelesaian sengketa dalam pembagian harta warisan diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat dengan keluarga dan diputuskan dengan kesepakatan bersama. Diharapkan kepada masyarakat suku pakpak agar sistem kekerabatan tetap dipertahankan dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Kepada pihak pemerintah perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat mengenai peraturan tentang pembagian harta warisan baik dari segi hukum nasional maupun hukum Islam, dan agar penyelesaian  sengketa dengan jalan musyawarah tetap dijadikan cara utama untuk menyelesaiakan sengketa mengenai pembagian harta warisan.
PENYELESAIAN KASUS KHALWAT MELALUI HUKUM ADAT DI KECAMA-TAN BEBESEN KABUPATEN ACEH TENGAH Rahmi Fitriani; Teuku Muttaqin Mansur
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 4, No 3: Agustus 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya kasus khalwat, hambatan penyelesaian kasus khalwat melalui hukum adat dan pelaksanaan penyelesaian kasus khalwat yang ada di kecamatan Bebesen kabupaten Aceh Tengah. Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris. Data diperoleh melalui wawancara dengan responden dan informan. Hasil penelitian bahwa, faktor penyebab terjadinya kasus khalwat karena kurangnya pengawasan dan pendidikan dari orang tua/wali, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap aturan dan  nilai-nilai adat, tersedianya objek wisata dan adanya cafe-cafe yang disekat. Hambatan dalam menyelesaikan kasus khalwat yaitu tidak adanya hukum adat yang tertulis di pemerintahan (kampung) sehingga ketika ada kasus khalwat seperti itu, aparat gampong sulit untuk menentukan sanksi apa yang akan dikenakan kepada para pelaku dan adanya kemudahan pemberian izin/persetujuan orang tua wali dalam menikahkan anak mereka yang berbuat khalwat, walaupun mereka belum cukup umur. Sementara pelaksanaan penyelesaian kasus khalwat yaitu, dilakukan pembinaan dan dikembalikan kepada orang tua/wali, dikenakan sanksi, dinikahkan dan/atau diusir dari kampung. Diharapkan kepada  pemerintah daerah kabupaten Aceh Tengah agar dapat mensosialisasikan nilai-nilai adat dan makna-makna adat (dalam  bahasa Gayo: pri mustike), diharapkan kepada aparat kampung agar lebih tegas dalam memberikan sanksi kepada para pelaku, serta para orang tua/wali dapat memperhatikan dan memberikan pengawasan kepada setiap anak, sehingga anak tidak terjerumus dalam hal-hal yang dapat mendekatkan anak kepada perbuatan khalwat/zina.
Implikasi Yuridis Pengaturan Batas Desa di Aceh Syahzevianda Syahzevianda; Yanis Rinaldi; Teuku Muttaqin Mansur
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 3: Desember 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (425.749 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i3.12580

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaturan tentang batas wilayah desa yang berlaku di Aceh sebagai salah satu daerah otonomi khusus yang menjalankan fungsi pemerintahan di Daerah. Penelitian ini akan menganalisa secara aspek yuridis antara regulasi pelaksanaan penetapan batas wilayah desa secara nasional terkait dengan Pelaksanaan pemerintahan yang bersifat khusus di Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan penelitian perundang-undangan, pendekatan sejarah dan pendekatan konsep. Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang dianalisa secara preskriptif kualitatif melalui asas-asas hukum dan teori-teori yang berkaitan dengan perundang-undangan dan desentralisasi asimetris. Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian dapat disimpulkan bahwa: pengaturan kebijakan dibidang batas wilayah desa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45 Tahun 2016 yang merupakan perintah dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang bersifat khusus dibidang pengaturan kebijakan terkait desa, pengaturan penegasan batas wilayah desa tidak mengakomodir kedudukan lembaga Mukim di Aceh.This study aims to analyze the regulation of village boundaries that apply in Aceh as one of the special autonomous regions that carry out the functions of government in the Region. This research will analyze the juridical aspects between the regulations on the implementation of national village boundary setting related to the implementation of special government in Aceh. This research is a normative juridical research, using a statutory research approach, historical approach and conceptual approach. The type of data in this study is secondary data consisting of primary legal material in the form of legislation which is analyzed qualitatively prescriptively through legal principles and theories relating to legislation and asymmetric decentralization. Based on the results and discussion in the study it can be concluded that: policy settings in the area of village boundaries based on Minister of Home Affairs Regulation No. 45 of 2016 which is an order of Law Number 6 of 2014 concerning Villages, are not in accordance with Law No. 11 of 2006 concerning The Aceh Government (UUPA) which is specifically in the field of village-related policy arrangements, the regulation of confirming village boundaries does not accommodate the position of the Mukim institution in Aceh.
Peranan Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Menata dan Membina Pedagang Kaki Lima di Kota Banda Aceh Mardiani Mardiani; Suhaimi Suhaimi; Teuku Muttaqin Mansur
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 2: Agustus 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (271.838 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i2.11631

Abstract

Salah satu wujud kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja adalah penegakan Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang pengaturan dan pembinaan pedagang kaki lima. Pemerintah Kota berwenang untuk menata dan membina tempat usaha pedagang kaki lima sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan peranan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banda Aceh dalam menata dan membina pedagang kaki lima dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pengaturan dan pembinaan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja terhadap pedagang kaki lima di Kota Banda Aceh. Metode Penelitian menggunakan pendekatan hukum empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banda Aceh telah berusaha mengatasi permasalahan ketidakteraturan pedagang kaki lima dengan melakukan penataan, penertiban dan pembinaan serta pengawasan terhadap pedagang kaki lima yang masih berjualan di tempat yang sudah dilarang beraktifitas dan memindahkan para pedagang kaki lima ketempat relokasi yang telah ditetapkan. Namun kenyataannya pedagang kaki lima kembali berjualan di bahu jalan dan trotoar, karena pedagang kaki lima beranggapan akan lebih mudah dijangkau oleh pembeli dan mendapatkan keuntungan yang besar. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor internal berupa sumber daya manusia, sarana dan prasarana dan perangkat hukum belum tersedia. Sedangkan faktor eksternal meliputi tingkat kesadaran pedagang kaki lima masih kurang dan tingkat koordinasi antar lintas sektoral kurang mendapat dukungan. One of the existences of the Municipal Police authorities is enforcing Qanun Number 3, 2007 on the Regulation and Guiding for Street Vendors. The Government has power to regulate and manage street vendors based on the municipal spatial planning. This research aims to explore the roles of the Municipal Police in making public order and guiding the street vendors, to explain factors influencing the regulation and guidance done by the Municipal Police towards the street vendors in Banda Aceh. The research method used is the empirical legal research. The research shows that the municipal police of Banda Aceh has been striving to overcome the problems of troubles of the vendors by organized, guiding and supervising the vendors who are still trading at the forbidden places for it and moving them to the relocated spaces that has been made. Nevertheless, they are coming back to trade at the forbidden places namely, vendor places as they are assuming that by trading at the places and the vendors it will be easier to sale and to get buyers and get profit bigger. Some obstacles are influencing it, namely; internal factors that human resource capacity, infrastructures and the absence of laws. Meanwhile, the external factors are comprising the level of awareness/the obedience of the vendors themselves which is lack and the inter-sectors coordination that is lack of support.