Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Tanah dalam Akta Jual Beli Tanah PPAT yang Batal Demi Hukum oleh Putusan Pengadilan Muhammad Rizky; Muzakkir Abubakar; Teuku Muttaqin Mansur
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 9 No 4 (2020)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2020.v09.i04.p15

Abstract

PPAT's authority in making a land sale and purchase deeds must take into account the provisions of Article 22 PP No. 37 of 1998 that: the PPAT deed must be read/enforced to the party in the presence of at least two witnesses before being signed immediately by the parties, witnesses and PPAT. In practice, in the decision of the Ungaran District Court No.80 / Pdt.G / 2015 / PN.Unr, the PPAT land sale and purchase certificate was never signed by the landowner and in the decision of the Tanjung Karang District Court No.35 / Pdt.G / 2015 / PN. Tjk, the legal owner of the land certificate for joint assets does not have the wife's consent letter that is entitled to the land sale and purchase certificate. On this basis, the related parties submitted a cancellation of the issuance of the land sale and purchase certificate, so that the agreement was null and void. The purpose of this research is to analyze the responsibilities of PPAT, how to protect the law for landowners as a result of the issuance of the PPAT land sale and purchase certificate. This type of research is normative juridical with an inviting approach and a case approach. The source of legal material used is secondary data which is analyzed qualitatively and comes from deductive. The research results reveal that whether the legal protection for landowners in the PPAT land sale and purchase deed is null and void by a court decision has provided protection and legal certainty. Kewenangan PPAT dalam membuat akta jual beli tanah harus memperhatikan ketentuan Pasal 22 PP No. 37 Tahun 1998 bahwa : akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Prakteknya dalam putusan Pengadilan Negeri Ungaran No.80/Pdt.G/2015/PN.Unr, akta jual beli tanah PPAT tidak pernah ditandatangani oleh pemilik tanah dan dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.35/Pdt.G/2015/PN.Tjk, pemilik sah sertifikat tanah atas harta bersama tidak terdapat surat persetujuan istri yang berhak dalam akta jual beli tanah. Atas dasar tersebut, para pihak terkait mengajukan pembatalan atas lahirnya akta jual beli tanah, agar perjanjian tersebut batal demi hukum. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana tanggung jawab PPAT, bagaimana perlindungan hukum bagi pemilik tanah akibat dari lahirnya akta jual beli tanah PPAT. Jenis penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah data sekunder yang dianalisis secara kualitatif dan ditarik kesimpulan secara deduktif. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa apakah perlindungan hukum bagi pemilik tanah dalam akta jual beli tanah PPAT yang batal demi hukum oleh putusan pengadilan sudah memberikan perlindungan dan kepastian hukum.
EFEKTIVITAS PENERAPAN SANKSI ADAT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI PERADILAN ADAT GAYO DI ACEH TENGAH R Rahmina; Teuku Muttaqin Mansur; M Adli Abdullah
Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin Vol 2, No 3 (2019): Jurnal Geuthee : Penelitian Multidisiplin
Publisher : Geuthèë Institute, Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (74.197 KB) | DOI: 10.52626/jg.v2i3.65

Abstract

Hukum Adat Gayo merupakan perintah yang harus atau boleh dilakukan dan larangan yang tidak boleh dilakukan. Pelanggaran yang dilakukan terhadap hukum adat akan diberikan sanksi, sanksi adat adalah pemberian hukuman kepada para pelanggar hukum adat yang sanksinya ditetapkan oleh tokoh adat, pemberian sanksi ini berbeda-beda sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis sanksi adat Gayo dan untuk melihat keefektifan sanksi adat dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang muncul dikalangan masyarakat Gayo di kabupaten Aceh Tengah. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris, datanya diambil dari bahan hukum primer dan skunder juga wawancara dengan responden dan informan. Data dianalisis menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Tengah. Hasil penelitian ini menunjukan bahwasanya jenis sanksi adat Gayo yang diberikan kepada pelanggar hukum adat Gayo berbeda-beda, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan, ada yang hanya dengan kata maaf (ma’as) ada juga yang sampai di usir dari kampung dan tidak boleh lagi kembali ke kampung tersebut (Jeret Naru). Sanksi adat berlaku efektif dalam mengurangi pelanggaran-pelanggaran hukum adat Gayo, dalam arti para pelanggar menerima keputusan dan bersedia melaksanakan sanksi yang diberikan oleh tokoh adat kampung. Diharapkan kepada tokoh adat supaya mensosialisasikan hukum adat Gayo kepada generasi muda supaya tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat Gayo.
PEMBANGUNAN HUKUM QANUN GAMPONG DI KABUPATEN ACEH BESAR Sulaiman Sulaiman; M Adli Abdullah; Teuku Muttaqin Mansur; Nellyana Roesa
Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin Vol 4, No 2 (2021): Jurnal Geuthee : Penelitian Multidisiplin
Publisher : Geuthèë Institute, Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52626/jg.v4i2.124

Abstract

Artikel ini ingin mendalami pentingnya pembangunan hukum terkait kekosongan hukum tentang qanun gampong di Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji bahan hukum, terutama qanun, untuk kemudian mendalami proses pembangunan hukum dalam konteks qanun gampong. Penggantian Qanun Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2009 dengan Qanun Aceh Besar Nomor 2 Tahun 2020 telah menimbulkan masalah dalam pengaturan hukum, yakni pengaturan mengenai qanun gampong yang tidak ada lagi dasar hukumnya. Pengisian pengaturan kembali sangat penting dilakukan, dengan berangkat dari konsep pembangunan hukum. Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Besar untuk segera menyiapkan pedoman dalam tata penyusunan rancangan qanun gampong sebagai bentuk dari pembinaan kepada pemerintah gampong. Pedoman ini sendiri juga akan sangat membantu proses pemerintah gampong dalam menyiapkan berbagai kebutuhan qanun gampong.
PENYELESAIAN SENGKETA HAK LANGGEH DALAM JUAL BELI TANAH DI KECAMATAN BAITUSSALAM KABUPATEN ACEH BESAR Ghazi Ahmad Tijani; Teuku Muttaqin Mansur
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 6, No 4: November 2022
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak - Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan hak langgeh di Kecamatan Baitussalam, untuk mengetahui faktor terjadinya sengketa hak langgeh, dan mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa. Hasil penelitian ini diketahui bahwa penerapan hak langgeh dalam masyarakat di Kecamatan Baitussalam masih berjalan, hal ini ditunjukkan oleh adanya masyarakat yang melanggeh tanah. Ditemukan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya sengketa hak langgeh di Kecamatan Baitussalam, Pemilik tanah belum mengetahui apa itu hak langgeh, dan tidak ada batasan waktu yang pasti kapan hak langgeh bisa dilanggehkan; dan ada pihak yang memanfaatkan hak prioritas untuk mendapatkan harga yang jauh lebih murah. Mekanisme penyelesaian sengketa, dilakukan dengan didamaikan oleh Keuchik ada yang di Meunasah dan di Rumah Pemilik Tanah yang bersengketa. Kemudian apabila sudah mencapai sepakat maka diadakan peusijuk. Kepada Keuchik Gampong di Kecamatan Baitussalam, untuk memberikan pemahaman terkait hak langgeh, dan merumuskan Qanun Gampong terkait dengan hak langgeh, dan membuat berita acara dapat digunakan dikemudian hari. Kata Kunci: Penyelesaian Sengketa, Jual Beli Tanah, Hak Langgeh.
Kedudukan Mahkamah Adat setelah Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh Teuku Muttaqin Mansur
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 18, No 2 (2016): Vol. 18, No. 2, (Agustus, 2016)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Lembaga adat di Aceh sebetulnya telah ada sebelum adanya UU tentang Pemerintahan Aceh. Artikel ini dikaji dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sementara analisis data akan menggunakan teknik content analysis. Dari bahasan ditemukan bahwa dukungan utama kedudukan Mahkamah Adat dalam UU tentang Pemerintahan Aceh adalah Pasal 98 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang mengatur tentang lembaga adat dengan kewenangan menyelesaikan persengketaan masyarakat. Keberadaan mahkamah kemudian dipertegas dengan Qanun  Nomor 9 Tahun 2008 yang menguraikan tentang  prosedur dan struktur perangkat mahkamah adat, tata cara persidangan di mahkamah adat, jenis-jenis kasus yang dapat diselesaikan dan jenis hukuman yang dapat diberikan. Adat Court Position After the Law on Government of Aceh  ABSTRACT. Customary institutions in Aceh actually existed before the Law on Government of Aceh. This article examined using normative juridical approach. While the data analysis will be using content analysis techniques. From the discussion it was found that the main support position the Adat Court in Law on Governing Aceh is Article 98 paragraph (1), paragraph (2), and paragraph (3), which regulates the customs agency with the authority to resolve disputes society. The existence of the court then reaffirmed by Qanun No. 9 of 2008 which elaborates on the procedure and device structures customary tribunals, court proceedings in court custom, the types of cases that can be resolved and the type of punishment that can be given
Pengaturan Hukum Perlindungan Nelayan Kecil Teuku Muttaqin Mansur; Muazzin Muazzin; Teuku Ahmad Yani; Sulaiman Sulaiman
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Lahirnya Undang-Undang No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidayaan dan Petambak Garam, memunculkan masalah baru bagi nelayan kecil. Undang-undang ini memperbesar ukuran gross tonnage kapal nelayan kecil dari ukuran 5 GT menjadi 10 GT. Ketentuan ukuran 5 GT diatur dalam Undang-Undang No. 45/2009 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31/2004 tentang Perikanan. Perubahan GT tersebut tidak sederhana. Masalah utama adalah terdapat perbedaan antara undang-undang yang mengatur perlindungan nelayan dengan undang-undang yang mengatur perikanan. Implikasi dari perbedaan ini tidak terbatas pada kapal semata, melainkan pada jalur penangkapan ikan, fishing ground, hingga proses perizinan kapal. Dengan semakin besar GT, maka fishing ground yang selama ini dipakai oleh kapal nelayan ukuran 5 GT, turut dipakai oleh kapal berukuran 10 GT. Hal ini berpotensi konflik sesama nelayan. Tawaran pemetaan untuk harmonisasi hukum diharapkan akan menjawab permasalahan hukum perlindungan nelayan. Legal Arrangement of Small Fishermen Protection The birth of the Act No. 7/2016 on Protection and Empowerment of Fishermen, Cultivation and Fishers of Salt, raises new problems for small fishermen. This act enlarges the gross tonnage size of small fishing vessels from 5 GT to 10 GT. The 5 GT size requirement is regulated in the Act No. 45/2009 on Amendment of the Act No. 31/2004 on Fisheries. The GT changes are not simple. The main problem is that there are differences between laws governing the protection of fishermen and the laws governing fisheries. The implications of this difference are not limited to ships alone, but to fishing lanes, fishing ground, to the licensing process of ships. With the bigger GT, then the fishing ground that has been used by fishing boats size 5 GT, also used by the ship size of 10 GT. This has the potential to conflict among fellow fishermen. The legal to harmonization mapping offer is expected to address legal protection issues of fishermen.
Kedudukan Hukum Adat Laot dalam Sistem Hukum Nasional Teuku Muttaqin Mansur
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 12, No 1 (2010): Vol. 12, No. 1, (April, 2010)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACT: The customary law of the sea  for the furthere mentioned as hukum adat la’ot is the customary law conducted by the Aceh’s fisherman community to provide some prosedures on catching fish and the  fisherman community life. In the coastal area.  In the hukum adat la’ot is contained regarding the procedures of catching the fish (meupayang) at the sea and also contains the mechanism dispute settlement if occuring customary dispute among fisherman. Hukum adat la’ot has existed since 400 years ago. Nowadays, hukum adat la’ot has got the strong position in the Indonesia  legal sistem as stated in several hyrarchy of Indonesia’s laws, the last as stated in article 162 (2), abjad (e) the law Number 11 year 2006 regarding The governing of Aceh and it’s proceeding in regional regulation (Qanun) Number 9regardingthe supervising of Adat La’ot and the the customary behavior and Qanun Aceh Number 10 regarding the Customary board. The Structure of Hukum Adat Laot in the National legal system