Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

BANTEN PANGALA DI DESA PAKRAMAN NGIS KAITANNYA DALAM UPACARA USABHA SAMBAH DI DESA PAKRAMAN TENGANAN Ni Putu Gatriyani
LAMPUHYANG Vol 8 No 2 (2017)
Publisher : Lembaga Penjaminan Mutu STKIP Agama Hindu Amlapura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (30.251 KB) | DOI: 10.47730/jurnallampuhyang.v8i2.31

Abstract

Di Desa Pakraman Ngis dibuat suatu upakara yang bernama Banten Pangaladalam Upacara Usabha Sambah yang dilaksanakan di Desa Pakraman Tenganan,sehingga adanya keterkaitan kedua desa yaitu hubungan sosial religius secara sekalamaupun niskala.Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana latar belakangpenggunaan, bentuk, fungsi dan makna Banten Pangala di Desa PakramanNgisKecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem kaitannya dengan Upacara UsabhaSambah di Desa Pakraman Tenganan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuilatar belakang, bentuk, fungsi dan makna dari pembuatan Banten Pangala. Jenispenelitian kualitatif dengan sumber data primer dan data sekunder, metode pengumpulandata menggunakan teknik observasi, wawancara dan pencatatan dokumen. Pengolahandata dilakukan melalui metode deskriptif dengan teknik analisa Induksi danArgumentasi.Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Latar belakang penggunaan BantenPangala oleh desa Ngis dan Tenganan) berawal dari kepercayaan secara sekala danniskala yang disakralkan sampai sekarang,(2) Bentuk Banten Pangala yang meliputi: tempat pembuatan di masing-masing rumah oleh Desa Krama yang berjumlah 55orang, waktu pembuatan Banten Pangala yaitu tanggalpang siye sasih kalimasambah menurut kalender Tenganan, alas Banten Pangala berbentuk ceper, sampiandan porosan terbuat dari janur (busung), isi tetandingan jajan kuskus putih, saranaberupa cabak(anyaman dari daun kelapa hijau) sebagai tempat dari seluruh BantenPangala dan kluhkuh yang digunakan sebagai tempat air suci (tirtha) dan tuak, BantenPangala dipersembahkan terlebih dahulu di Pura Dalem Kangin Desa Ngis setelahitu dipersembahkan di Bale AgungDesa Pakraman Tenganan, (3) Fungsi dari BantenPangala sebagaialat konsentrasi, persembahan atau kurban suci, sarana pendidikan,sarana penyucian, dan sebagai perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, (4) BantenPangalabermakna sebagai permohonan restu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa agarpelaksanaan Upacara Usabha Sambah terlaksana tanpa halangan. Diharapkan Kramadari kedua Desa (Ngis dan Tenganan) pada khususnya agar dapat meningkatkan sradhadan bhakti serta melestarikan kebudayaan yang diwariskan oleh leluhur.
Satua Banyol di Kabupaten Karangasem (Kajian Nilai Pendidikan Budi Pekerti Hindu) Ni Putu Gatriyani
LAMPUHYANG Vol 9 No 2 (2018)
Publisher : Lembaga Penjaminan Mutu STKIP Agama Hindu Amlapura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47730/jurnallampuhyang.v9i2.167

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai dalam masatua karena pada masa kini kenikmatan mendengarkan cerita (satua) menjelang menidurkan anak dari orang tua semakin berkurang. Kendatipun masih ada, mungkin hanya beberapa, terutama di daerah pedesaan. Salah satu penyebabnya adalah majunya perkembangan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan cara masatua di lingkungan keluarga, sekolah maupun di masyarakat mampu memberikan gambaran dan pemahaman nilai-nilai Budi Pekerti kepada anak kecil, remaja maupun dewasa, khususnya Satua banyol yang ada di Desa Budakeling dan Desa Tenganan Kabupaten Karangasem. Satua juga mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat bagi pengembangan budi pekerti anak. Kata Kunci : Satua Banyol, Nilai, Pendidikan Karakter
Analisis Fungsional Upacara Mamunjung dalam Tradisi Umat Hindu Ni Putu Gatriyani
Lampuhyang Vol 10 No 2 (2019)
Publisher : Lembaga Penjaminan Mutu STKIP Agama Hindu Amlapura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47730/jurnallampuhyang.v10i2.178

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Upacara Mamunjung secara fungsional. Dalam analisisnya dilakukan pula analisis terhadap prosesi Mamunjung. Untuk memperoleh data yang lengkap dalam penelitian ini, maka digunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan empiris. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data skunder. Untuk mendapatkan data digunakan subjek penelitian dengan teknik purposive sampling, sedangkan untuk pengumpulan data digunakan metode wawancara, observasi dan pencatatan dokumen. Setelah data terkumpul kemudian diolah dengan metode deskriptif, teknik induksi dan argumentasi sehingga diperoleh suatu kesimpulan berdasarkan fakta yang ada dalam penelitian yang bersifat menyeluruh mengenai upacara mamunjung. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil penelitian berupa tujuan upacara mamunjung yaitu sebagai rasa eling (ingat) kepada leluhur, sehingga secara fungsional upacara mamunjung memiliki empat fungsi yaitu: a) fungsi ritual dilihat dari banten ayunan putih kuning beserta bentuk dan caranya menata, b) fungsi adat, dengan adanya adat suatu tempat memiliki pedoman untuk mlelakukan kegiatan yang pasti tidak melanggar adat yang telah diberlakukan, c) fungsi sosial, yaitu saling mengupayakan satu dengan yang lain dan keharmonisan antar anggota keluarga, d) fungsi pendidikan, dicerminkan oleh adanya rasa kebersamaan pada saat pembuatan banten.
Modernisasi Banten Gebogan Umat Hindu di Karangasem Ni Luh Putu Sumarni; Ni Putu Gatriyani
Lampuhyang Vol 11 No 1 (2020)
Publisher : Lembaga Penjaminan Mutu STKIP Agama Hindu Amlapura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47730/jurnallampuhyang.v11i1.184

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan modernisasi banten gebogan umat Hindu di Karangasem. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan studi kepustakaan. Selanjutnya, data itu diolah dengan analisis deskriftif, dengan menggunakan teknik induksi dan teknik argumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Banten Gebogan memiliki bentuk yang menjulang seperti gunung, makin keatas makin mengerucut (lancip), dibuat dari berbagai aneka buah-buahan dan penganan yang disusun di atas dulang, dalam pembuatan upakara diharuskan berdasarkan keikhlasan hati, hendaknya pada waktu akan membuat upakara membersihkan diri terlebih dahulu atau menyucikan laksana agar tingkat dan kesucian upakara dapat dipertahankan. Modernisasi dalam Banten Gebogan dapat dilihat dari penggunaan makanan dan minuman kekinian sesuai dengan perkembangan zaman.
Bhairawa Tantra Dalam Upacara Penyalonarangan Di Pura Pesamuan Agung Desa Adat Padangbai Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Ni Putu Gatriyani
LAMPUHYANG Vol 13 No 2 (2022)
Publisher : Lembaga Penjaminan Mutu STKIP Agama Hindu Amlapura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47730/jurnallampuhyang.v13i2.307

Abstract

Tradisi di suatu wilayah merupakan tata cara/pelaksanaan dari turun-temurun sesuai dresta di masyarakat setempat yang berhubungan dengan keyakinan beragama untuk penghormatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta Manifestasinya. Halnya seperti Bhairawa Tantra dalam pelaksanaan Upacara Penyalonarangan di Pura Pasamuhan Agung Desa Adat Padangbai, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem dilaksanakan pada sasih kalima dalam aci kajeng kliwon dipercaya memiliki unsur spiritual melawan kekuatan magis yang bersifat negatif dan memberikan spirit dalam meningkatkan rasa bhakti.Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut yaitu : (1).Bagaimana prosesi Upacara Penyalonarangan di Pura Pesamuhan Agung Desa Adat Padangbai, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem terkait bhairawa tantra?.(2). Apa Implikasi Upacara Penyalonarangan di Pura Pesamuhan Agung Desa Adat Padangbai, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem?. Tujuan dari penulisan ini adalah: (1). Untuk menganalisis prosesi Upacara Penyalonarangan di Pura Pesamuhan Agung Desa Adat Padangbai, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem terkait bhairawa tantra (2). Untuk menganalisis implikasi dari Upacara Penyalonarangan di Pura Pesamuhan Agung terhadap kehidupan sosial masyarakat di Desa Adat Padangbai, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Landasan Teori dalam penelitian ini menggunakan Teori relegi, Teori Interpretasi dan Teori Fungsional Struktural. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data diperoleh dari hasil wawancara. Prosesi Upacara Penyalonarangan terdiri atas tiga bagian, yakni upacara awal, yaitu diawali dengan prosesi ngadegang Ida Bhatara di Pura Pasamuhan Agung, yang dilaksanakan setiap kajeng dan kliwon pada sasihkalima, melaksanakan pecaruan di catuspata. Upacara inti tapakan-tapakan Ida Bhatara disolahkan berupa rangda, yang diyakini dari wujud Sang Hyang Bhairawi yaitu Durga merupakan sakti dari Dewa Siwa, tantra bhairawa terlihat dimana masyarakat memuja Sakti Siwa yaitu Dewi Durga dalam segala bentuk rupa dan wujud yang menyeramkan seperti : Bhatara Dalem Ped, Bhatara Lingsir, Bhatara Nyeneng, Bhatara Rangda, Bhatara Madu Segara, Rarung, Lenda, Lendi, wok sisya, Jaran guyang dan Jatayu (paksi agung). Ada yang disebut daratan yang merupakan orang kesurupan/ tidak sadarkan diri, diyakini tubuhnya telah dirasuki oleh abdi bhatari Durga, dalam ritualnya ada yang ingin dipersembahkan berupa arak (minuman keras), ada pula yang ingin dipersembahkan berupa ayam mentah yang masih hidup untuk dimakan darahnya. Implikasi Upacara Penyalonarangan di Desa Adat Padangbai adalahKeharmonisan Bhuana Agung dan Bhuana Alit, Penolak Wabah Penyakit,Pelestarian Seni, Adat (tradisi) dan Budaya, dan Penanaman Nilai Tatwa, Etika dan Susila.
Pembinaan Keterampilan Dharmagita Pada Sekaa Teruna Teruni Di Banjar Dinas Pura Desa Sebudi Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem Ni Putu Gatriyani; I Wayan Jatiyasa
Jurnal Dharma Jnana Vol. 2 No. 2 (2022): JURNAL DHARMA JNANA
Publisher : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (402.941 KB)

Abstract

Bahasa sebagai identitas yang mengandung nilai, norma, dan simbol ekspresif untuk membangun solidaritas dan kohesivitas sosial. Masyarakat beragam memiliki identitas berbingkai sentimen primordial. Seperti halnya, bahasa Bali bermanfaat untuk mengekspresikan ide masyarakat Bali diberbagai aktivitas tradisional dalam agama Hindu, adat, seni dan budaya. Disamping itu tidak lepas dari sastra Bali, yang berfungsi membentuk karakter generasi muda dalam menghadapi kehidupan, karena mengandung nilai filosofis dan ajaran agama. Salah satu upaya menjaga kelestarian seni sastra Bali melalui kegiatan madharmagita. Masih banyak generasi muda yang kurang paham terhadap dharmagita. Menyikapi fenomena tersebut, maka dipandang perlu melakukan pengabdian kepada masyarakat berbasis pengajaran dan pembelajaran dharmagita di Br Dinas Pura Desa Sebudi Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem. Tujuan kegiatan ini meningkatkan pemahaman, pengetahuan tentang eksistensi bahasa Bali melalui Dharmagita. Peserta didik diberikan pelatihan olah vocal menyanyikan sekar rare dan sekar alit. Pembelajaran dilaksanakan bertim agar optimal. Adapun hasil PKM ini berupa peningkatan kompetensi akademik dan non akademik generasi muda di Br. Dinas Pura Desa Sebudi Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem.
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM GAGURITAN WATUGANGGA Ni Putu Gatriyani
Genta Hredaya: Media Informasi Ilmiah Jurusan Brahma Widya STAHN Mpu Kuturan Singaraja Vol 6, No 1 (2022)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/gentahredaya.v6i1.2304

Abstract

Gaguritan Watugangga is one of the literary works full of with the value of character education. However, the lack of public knowledge against geguritan causes this geguritan not to be familiar among the people Balinese people. The purpose of this research is to describe the formal structure, narrative structure and character education values contained in the in Gaguritan Watunggangga. This type of research is literary research, with an intrinsic approach and mimesis. The types of data collected are primary data and secondary data with qualitative data. While the method used in data collection is a method of recording documents. Data analyzed by descriptive method with induction and argumentation techniques. Based on the discussion of the research results, it is concluded that: 1) The formal structure in Gaguritan Watugangga, namely: (1) the literary code that building Gaguritan Watugangga is a pupuh of 75 stanzas consisting of 8 (eight) types of pupuh, namely Pupuh Sinom, Pupuh Ginada, Pupuh Semarandana, Pupuh Pucung, Pupuh Pangkur, Pupuh Durma, Pupuh Ginanti, and Pupuh Maskumambang; (2) the variety of languages used, namely Kawi and Balinese language (basa jabag rough, base andap, base alus sor, and base alus singgih); and (3) language style consists of affirmative figure of speech (tautology and esclamation) and comparative figure of speech (hyperbole). 2) Narrative structure in Gaguritan Watugangga, namely: (1) a synopsis (Telling about the Watugangga who looking for his father named Sang Anoman); (2) the theme is a child who is looking for his father; (3) characters and characterizations, namely Sang Watugangga (a human fish, handsome, dignified, brave, honest, and responsible), Sang Rama (a king who is patient, noble and forgiving), Sang Anoman (faithful, obedient, hardworking and powerful), Mother Sang Watugangga (a big fish, dear and loves his son), Detya Narayama (a cunning giant, agitator and a liar), and Sang Sugriwa (a loyal, obedient and ape-man respect for the leader); (4) the grooves used are mixed grooves; (5) background, namely in Mount Himawan, Tasiktala, Ganges River, forest, Cretatala, Mount Swela, and the road; (6) mandate, which is selective in making friends, don't arrogant, think before doing something, and stay calm in the situation however. 3) The value of character education contained in Gaguritan Watunggangga, namely: religious values, discipline, hard work, curiosity, honesty, friendship, peace-loving, and tolerance
IMPLENTASI AJARAN SUSILA DALAM NGUSABA KAJA DI DESA ADAT BUGBUG KARANGASEM Ni Putu Gatriyani; I Wayan Sudiarta
Maha Widya Duta : Jurnal Penerangan Agama, Pariwisata Budaya, dan Ilmu Komunikasi Vol 6, No 2 (2022)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/duta.v6i2.2432

Abstract

Ngusaba Kaja is the embodiment of an aesthetic experience when the state of the soul is experiencing peace and purity. This ascent can only be achieved by immanent appreciation and practice of the teachings of Hinduism. Ngusaba Kaja grows, lives and develops as a religious culture. The study in this study, focused on the implementation of the ethical teachings contained in the Ngusaba Kaja, so that they can be understood and practiced in people's lives. This study of Ngusaba Kaja uses several theories, namely; the theory of Structural Functionalism, and the theory of religion as an auxiliary theory which is supported by literature studies and through information from resource persons as informants. Ngusaba Kaja as part of culture, is a symbol of society and contains values that live in society.The existence of Ngusaba Kaja can be understood through the functions and meanings contained in it. Its existence needs to be explored, developed and preserved. One conservation step, even on the simplest scale, would have a defensive meaning, in alerting the totality of oneself to face the wave of pluralism in the next century.Keywords: Teachings of Susila and Ngusaba Kaja
Religious Values in Dewa Ayu's Dance in the Adat Village of Seraya Karangasem District Ni Putu Gatriyani
International Journal of Integrative Research Vol. 1 No. 2 (2023): February, 2023
Publisher : MultiTech Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (412.69 KB) | DOI: 10.59890/ijir.v1i2.37

Abstract

The Hindu community in Bali, in their customs and traditions, uses dance as a form of offering and gratitude to Ida Sang Hyang Widhi Wasa . Seraya Traditional Village, Karangasem District, Karangasem Regency has a sacred dance called the Dewa Ayu Dance . The uniqueness of this dance is that the dancers are unconscious/ trance called trance . The formulation of the problem in this research is; (1) How is the procession of the Dewa Ayu dance in the Seraya Traditional Village, Karangasem District, Karangasem Regency, (2) What religious values are contained in the Dewa Ayu dance in the Seraya Traditional Village, Karangasem District, Karangasem Regency?, The purpose of this study is to analyze procession and religious values of the Dewa Ayu dance . Data analysis used descriptive methods with induction techniques and argumentation techniques, which are empirical in nature, the symptoms are natural and are re-evaluated theoretically to produce conclusions. The procession of the Dewa Ayu Dance performance begins with a prayer followed by mesapa, mendet, ngelegong and narat, and nyiratang tirta. The religious values contained in the Dewa Ayu dance include elements of religious emotion, belief systems, religious adherents, ceremonial equipment, and ceremonial system processes. Dewa Ayu dance is a guardian dance that must be preserved by increasing its existence.