Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

ESTETIKA RUANG KOSONG Studi Banding Konsep Sintaks Denah Rumah Tinggal Tradisional Bali dan Cina Hidayat, July
Dimensi Interior Vol 4, No 1 (2006): JUNI 2006
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (82.323 KB) | DOI: 10.9744/interior.4.1.pp. 31-37

Abstract

Under the influence of Materialism ideology, a worthy space and room in residential design usually has a lot of furniture or is fully furnished as an owner's showcase; a space of being. It is uneasy to understand the aesthetic value of the emptiness and the tranquility of space. Appreciators need to read semantic codes and philosophical values of space in order to understand the message from such an emptiness which is not to be physically seen and touch. The one left, existing to be ultimately thought about, is a relationship between human as a microcosms and macrocosm of nature and the built environment. For every shape there is content and this is so reversibly. Thus, although being apart, both of them are always present. Identity of being is constructed also with its absence. In Balinese and Chinese traditional syntax, a space of emptiness as a tranquil or communal space is present together with surrounded masses of buildings as a symbol of balancing the relationship between human and nature. The concept of their dwelling space is influenced by the way of life resulting from their beliefs in Taoism and Hinduism. Abstract in Bahasa Indonesia : Di bawah pengaruh ideologi Materialisme, sebuah ruang yang dianggap bernilai di dalam desain rumah tinggal kerap diisi oleh banyak furnitur dan aksesoris interior untuk merepresentasikan status sosial dan kekayaan pemilik. Nilai ruang diletakkan pada keberadaan materi. Tidak mudah untuk memahami nilai keindahan dan transendentalitas sebuah ruang kosong. Untuk bisa memahami pesan (makna) yang direpresentasikan oleh ruang tersebut, apresiator membutuhkan pemahaman akan kode semantik dan konsep filosofis keberadaan ruang yang terkait dengan eksistensi manusia pengguna atau pemiliknya. Dalam kondisi 'ketiadaan' tersebut, nilai yang tinggal adalah kesempatan untuk melakukan perenungan reflektif tentang relasi antara manusia selaku mikrokosmos dengan alam dan lingkungan bangunannya sebagai makrokosmos. Untuk setiap bentuk, selalu ada isi dan demikian sebaliknya. Walaupun saling berjauhan, kedua hal tersebut selalu ada, tidak dapat saling menghilangkan, karena keberadaan yang satu menentukan yang lain. Dalam sintaks desain rumah tradisional Bali dan Cina (Cina Klasik), keberadaan ruang kosong di tengah-tengah dan dikelilingi oleh massa bangunan sebagai ruang komunal ataupun taman dalam merupakan simbol keseimbangan antara 'ada' dan 'tiada'; antara ruang-ruang berisi dan kosong; antara manusia dan alam. Konsep desain rumah tinggal mereka dipengaruhi oleh pandangan hidup yang didasari oleh agama Hindu dan filsafat Taoisme. Nilai ruang bukan terletak pada desain fisik bangunan tetapi pada muatan metafisiknya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Louis Bourgeois menyatakan bahwa ruang yang sesungguhnya tidak eksis. Ruang hanyalah merupakan metafora dari struktur eksistensi manusia. Kata kunci: estetika, sintaks, makrokosmos, mikrokosmos.
HIBRIDITAS DESAIN SEBAGAI REPRESENTASI SEJARAH, BUDAYA DAN RELASI KEKUASAAN STUDI KASUS: DESAIN RUMAH TIONGHOA PERANAKAN DI LASEM Hidayat, July
Jurnal Ilmiah Desain & Konstruksi Vol 6, No 1 (2007)
Publisher : Universitas Gunadarma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan kajian ini adalah memahami hibriditas spatial sebagai representasi sejarah,budaya dan kekuasaan. Identitas budaya dibentuk oleh interaksi dinamis antaraketiganya dan direpresentasikan sampai pada tataran budaya materi, termasuk rumahtinggal. Objek kajian adalah desain rumah Tionghoa peranakan di Lasem yang dikenalsebagai “The Tiongkok of Java”. Paradigma yang dipergunakan adalah pos-positivismedengan metode analisis studi kasus. Kasus dipahami dengan pendekatan sejarah danteori identitas budaya Stuart Hall. Etnis Tionghoa melakukan akulturasi budaya Jawasebagai strategi untuk bertahan hidup, mendapatkan posisi sosial, diakui dan masukdalam pergaulan golongan tertinggi yang sebelum abad 19 dipegang oleh bangsawanJawa. Sejarah interaksi keduanya sudah terjadi sejak abad I Masehi, dimulai darikerjasama ekonomi, akulturasi sosial (pernikahan campuran), dan diikuti oleh akulturasibudaya. Hal ini menjelaskan hibriditas dalam rumah Tionghoa peranakan sebagaikonsekuensi wajar sejarah. Pandangan hidup mereka mendukung akulturasi, ketika ataspengaruh Taoisme, terdapat sikap terbuka/fleksibel terhadap intervensi ruang budayalain ke dalam tradisinya: ”di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”. Dari relasikekuasaan, etnis Tionghoa waktu itu ada dalam posisi tidak setara, berada di bawahdominasi budaya Jawa yang mempengaruhi sistem representasinya. Hasil kajian adalahjenis hibriditas bentuk desain Tionghoa peranakan dan argumen bahwa hibriditas spatialTionghoa-Jawa berfungsi tidak sekadar menghasilkan kebaruan/keunikan desain tetapimerepresentasikan otoritas baru dalam menegosiasikan ulang makna dan identitasTionghoa peranakan, bahwa identitas spatial mereka harus dipahami bukan dalamkonteks budaya Jawa/Tionghoa tetapi Tionghoa peranakan yang sudah berbeda akibattranslasi terhadap budaya-budaya asli pembentuknya, termasuk harus dilepaskan dariprasangka dan senimen negatif terhadap konteks budaya Tionghoa asalnya.AbstractThe objective of this study is to comprehend the spatial hybridity as a representation ofhistory, culture and power. Cultural identity is formed by a dynamic interaction betweenthose three factors and is represented into a material culture level, including a residentialdesign. The object of study is the house of halfblooded Tionghoa in Lasem known as "TheTiongkok of Java". The study used the paradigm of post-positivism with case studyanalytical method. The case-study objects are comprehended with historical approachand the cultural identity theory of Stuart Hall. Tionghoa ethnic group did anacculturation with Javanese culture as a strategy for struggling life, getting socialposition, to be accepted in the interaction with the highest ruler which before 19th centuryis held by the Javanese nobles. The history of interaction between both of them hadhappened since 1st century, started from economical cooperation, social acculturation bymixing marriage, and followed automatically by culture acculturation. This conditionexplains hibridity in halfblooded Tionghoa design as a kind of proper consequence fromtheir acculturation history. Their world-view also supports the acculturation, wheninfluencing by Taoism, they perform a flexible attitude that taking into account the otherculture intervention in their tradition space. The spirit of openness is reflected from theirmotto: "where the earth is treaded, over there the celestial is held highly". From theaspect of power relationship, The halfblooded Tionghoa at that time has unequalrelation, under the domination of Javanese culture that influences their representationsystem. As the results are the hibridity types of halfblooded Tionghoa design and theargument that the role of spatial hybridity of halfblooded Chineseis not merely dealingwith new or unique form but as a representation of new authority in negotiating themeaning and identity of halfblooded Tionghoa. Their spatial identity must becomprehended not in the context of traditional Javanese or Tionghoa culture buthalfblooded Tionghoa. It has translated its former culture or original reference. Thehalfblooded Tionghoa culture that has already a hybrid with local content has to bedischarged from the prejudice and negative sentiment to its origin as they are alreadydifferent context.
DESAIN SEBAGAI FENOMENA IDEOLOGI Hidayat, July
Dimensi Interior Vol 5, No 1 (2007): JUNI 2007
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.9744/interior.5.1.pp.34-43

Abstract

Ideology in its basic meaning, according to its etymology, is science of idea. This paper of ideology use ideological approach in discussing design through its generic concept not as political doctrine. Design ideology is a collection of knowledge behind form. Design will become a phenomenon of ideology when it is related with connotative meaning, analysed in ideological semantic level and used by society in certain cultural context. The ideology is related with certain cultural system that is derived from certain religious or other system of belief, life view, traditions, social, economy and natural geographic environment. There are many ideologies represented in design such as rationalism-functionalism, materialism, artificialism, individualism, intuitivism-symbolism, naturalism, spiritualism and communalism. Learning design ideology will give a chance to represent identity with semantic value, not merely as a game of superficial culture without tacit meaning. Through ideological approach and study in representing local identity of building, the implementation of architecture/interior design codes won't be stock at a problematic of periodic and ethnic style. By representing local ideology, the design may still represent its global 'zaitgaist' context in modern style without loosing its local identity. Abstract in Bahasa Indonesia : Secara etimologis, ideologi berasal dari kata idea dan logos, merupakan pengetahuan tentang ide. Kajian ini merupakan apresiasi desain yang mempergunakan pendekatan ideologi berdasarkan konsep awalnya sebagai ide yang ada dibalik bentuk, bukan doktrin politik. Desain menjadi fenomena ideologi pada waktu desain yang memiliki makna konotatif dan dipergunakan oleh masyarakat dari lingkungan budaya tertentu dianalisis dalam kajian semantik. Ideologi berkaitan dengan sistem budaya tertentu yang terbentuk oleh elemen-elemen budaya seperti agama atau sistem kepercayaan, pandangan hidup, tradisi atau adat-istiadat, sistem sosial-ekonomi dan lingkungan alam geografis. Terdapat banyak ideologi yang dapat direpresentasikan dalam karya desain seperti rasionalisme atau fungsionalisme, materialisme, artifisialisme, individualisme, intuitifisme atau simbolisme, naturalisme, spiritualisme dan komunalisme. Pembelajaran tentang ideologi desain akan memberikan manfaat dalam hal representasi identitas sampai pada tataran makna yang ada dibalik bentuk, bukan sekedar permainan budaya permukaan melalui kombinasi berbagai kode-kode langgam desain. Dengan mengeksplorasi dan merepresentasikan ideologi lokal, desain yang ingin menampilkan identitas bisa tetap mempergunakan langgam desain modern (representasi identitas global) yang sesuai dengan semangat jamannya tanpa kehilangan identitas lokal. Kata kunci : ideologi, rasionalisme, fungsionalisme, materialisme, artifisialisme, individualisme, intuitifisme, simbolisme, naturalisme, spiritualisme, komunalisme.
The Art and Sustainable Aspects of Natural Dyeing in KANAWIDA Hand Drawn Batik (Green Batik) July Hidayat; Fatmahwaty Fatmahwaty
IPTEK Journal of Proceedings Series Vol 1, No 1 (2014): International Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (APTECS) 2013
Publisher : Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12962/j23546026.y2014i1.207

Abstract

Indonesian batik has been recognized by UNESCO as the intangible cultural heritage of Indonesia. The ironic thing happened when Indonesian batik export is rejected by the market of European Union because of wearing artificial dyes and thus is categorized as eco unfriendly product. The chemical waste of artificial dyeing process can cause damage to environment and skin health of batik users. Therefore, the research and publication of natural dyeing materials and techniques in batik is needed to disseminate the techniques to craftmen and promote the use of green batik as a life style. In this paper, we discuss the art and sustainable aspects of natural dyeing in the making process of Kanawida Batik, one famous home industry of green batik in Banten and DKI Jakarta provinces. Using case study research method, we examine the art characteristics and implementation of sustainability requirements in the natural dyeing. The several results are: (1) knowledge about natural color sources and methods to produce it from natural materials, especially that are came from the richness and variety of Indonesian plants, (2) the manual and art characteristics of natural dyeing, (3) knowledge about how to implement sustainability in home industry of batik.
THE ‘THREE-MILLIMETERS’: A TECHNOCULTURAL REFLECTION ON BAMBOO WEAVING CRAFT DEVELOPMENT Ruly Darmawan; July Hidayat
Jurnal Sosioteknologi Vol. 17 No. 1 (2018)
Publisher : Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5614/sostek.itbj.2018.17.1.4

Abstract

Makalah ini berfokus pada refleksi atas temuan penelitian tentang pengembangan kriya anyam bambu dari sudut pandang teknokultur. Pengembangan kriya ini merupakan pengembangan hibrid yang menggabungkan teknik anyaman dari Bantul, Yogyakarta dan Beppu, Jepang. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas lokal untuk menghasilkan produk yang menampilkan karakter formal yang idiosinkretik. Selama berinteraksi dengan masyarakat lokal tersebut ditemukan persoalan menarik mengenai ukuran “tiga millimeter”. Secara teknokultural, ukuran ini memilliki kaitan dengan bentangan pikiran atas situasi dunia nyata. Refleksi diskursif ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Refleksi teknokultural ini mengeksplorasi eksistensi ukuran ini; bagaimana hal ini bisa menjadi signifikan dan memungkinkan pendefinisian kualitas produk. Eksplorasi ini bermuara kepada beberapa pemikiran tentang kualitas kriya yang “benar” itu seperti apa. Lebih jauh lagi, diskusi mengenai temuan ini akan dipersempit pada konteks mengembangkan kerajinan yang identik.
Paradigma Individual Konstruksi Identitas dalam Desain Hibrid: Ilusi Dimensi Tunggal Identitas yang Bersifat Kolektif Studi Kasus: Desain Rumah Tionghoa Peranakan July Hidayat
Journal of Visual Art and Design Vol. 3 No. 1 (2009): ITB Journal of Visual Art and Design
Publisher : ITB Journal Publisher, LPPM ITB

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5614/itbj.vad.2009.3.1.3

Abstract

Since a period of Abdurrahman Wahid government in reformation era who eliminated the prohibition to celebrate and express Chinese culture, Chinese people in Indonesia as if try to reinvent their Chinese identity. They try to represent the identity through their material culture, including the residential design. But is there anything that so pure called  'Chinese identity ' since in its development history, the Chinese culture in Indonesia has been intervened by other local cultural spaces like in Java, colonist culture, including modern one which are intervening each others, until becoming its hybrid form right now, called Chinese peranakan. Ethnical collective identity and effort to homogenize it on the base of essential sameness in culture (culture core) are illusive because in fact there are various cultural ideology orientations in the Chinese peranakan culture in Indonesia. Hybrid design represents the existence of third social space which means representation system having non-categorical character: becomes Javanese and Chinese altogether, even hybrid but also at the same time not both. Through semiotic approach, it is found that the hybrid is intervention space between design patterns (langue), parole and specific context of consumer. The dialogue has created the individual paradigm in hybrid design approach. The dialogue between individual contexts at the end forms collective identity network. The system moves from inside outward. It is different with common logic that assumes collective identity forms the individual one, not on the contrary.
Desain Hijau: Pemanfaatan Limbah Kayu Jati untuk Desain Furnitur Naratif dengan Aplikasi Finis Ramah Lingkungan July Hidayat
VISUAL Vol 14, No 2 (2019)
Publisher : FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN - UNIVERSITAS TARUMANAGARA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jurnal.v14i2.4509

Abstract

Abstract— Furnitur kayu jati memiliki nilai estetis dan potensi ekonomi dalam perdagangan nasional atau pun global karena memiliki durabilitas dan nilai estetis yang tinggi. Namun dominasi penggunaan kayu solid berpotensi merusak lingkungan, dan aplikasi bahan finis yang mengandung formalin (formaldehyde), isosianat, logam berat, dan VOC (Volatile Organic Compound) berpotensi merusak kesehatan aplikator serta pengguna. Salah satu upaya untuk mewujudkan desain hijau furnitur kayu jati adalah memanfaatkan limbah, berupa kayu bekas dan ranting-ranting kayu, dengan finis yang aman untuk kesehatan manusia. Di lain pihak, desain yang berorientasi pada pemenuhan kompleksitas kebutuhan manusia dan ramah lingkungan sudah menjadi standar kualifikasi keprofesian desain interior yang ditetapkan oleh CIDA dan kerap menjadi persyaratan kesepakatan perdagangan regional (terutama untuk desain hijau). Pendekatan desain naratif dengan strategi desain multi-sensori adalah bagian orientasi desain ini. Penelitian memakai metode studi kasus dengan teori desain multi-sensori. Hasil penelitian adalah implementasi teori tersebut dalam desain furniture, untuk memberikan nilai tambah, ketika desain furnitur bukan sekadar objek pengakomodir aktivitas tetapi media untuk memberikan pengalaman kepada pengguna.
PELATIHAN KOMERSIALISASI KRIYA BAMBU-BATIK INDONESIA JEPANG BAGI MITRA USAHA SAHABAT BAMBU YOGYAKARTA [TRAINING ON COMMERCIALIZATION OF INDONESIAN-JAPANESE BAMBOO-BATIK CRAFTS FOR BUSINESS PARTNER SAHABAT BAMBU YOGYAKARTA] Sabrina O. Sihombing; Rudy Pramono; July Hidayat
Jurnal Sinergitas PKM & CSR Vol 4, No 2 (2020): April
Publisher : Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/jspc.v4i2.2287

Abstract

Bamboo craft is one of the components of the creative economy that can support the country's economic growth. It's the kind of cooperation needed between the government, academics, business people and the craftsman community so that handicrafts are not only oriented towards the domestic market but can penetrate the export market to obtain higher economic value. Therefore, small industries with innovative products will advance the regional and national economy and eventualy can contribute to the country's foreign exchange when it successfully penetratrates the export market. The product chosen to be developed, namely bamboo-batik craft, already has IPR registration. This training aims to transfer systematic and standardized production system knowledge for bamboo crafts in Yogyakarta. The training was attended by 12 participants of bamboo craftsmen in Rimpak Village, Wonosobo Sapuran Regency. This training was facilitated by Mrs. Takayuki Shimizu from Japan. Participants were taught to craft bamboo combined with batik to become an export-value art object. Based on the results of the evaluation, the participants were impressed with the ability of the facilitator to craft bamboo into a work of art. The result of the training was that the participants' abilities improved in crafting bamboo into art objects. The next stage, the craft of bamboo-batik, will be developed for sale in the domestic handicraft market and penetrate the international market through the stages of the commercialization process as follows: 1) imagination, 2) incubation, 3) demonstration, 4) promotion, and 5) sustainability.Bahasa Indonesia Abstrak:  Abstrak Kerajinan bambu merupakan salah satu komponen ekonomi kreatif yang dapat menudukung pertumbuhan perekonomian negara. Hanya saja, diperlukan kerja sama antara pemerintah, akademisi, pelaku bisnis dan komunitas pengrajin agar hasil kerajinan tidak hanya berorientasi pada pasar domestik namun bisa menembus pasar ekspor untuk mrndapatkan nilai ekonomis yang tinggai. Oleh karena itu industri kecil dengan produk yang inovatif akan memajukan perekonomian regional, nasional dan akhirnya bisa ikut menyumbang devisa negara ketika berhasil menembus pasar ekspor. Produk yang dipilih untuk dikembangkan, yaitu kriya bambu-batik sudah memiliki pendaftaran HKI. Pelatihan ini bertujuan untuk melakukan transfer pengetahuan sistem produksi yang sistematis dan terstandarisasi bagi kerajinan bambu di Yogyakarta. Pelatihan diikuti oleh 12 peserta yang berasal dari pengrajin bambu Desa Rimpak, Kecamatan Sapuran Wonosobo. Pelatihan ini didampingi oleh Mrs. Takayuki Shimuzu dari Jepang. Peserta diajarkan mengolah bambu yang digabungkan dengan batik untuk menjadi benda seni yang bernilai ekspor. Berdasarkan hasil evaluasi, peserta terkesan dengan kemampuan fasilitator mengolah bambu menjadi sebuah karya seni. Hasil dari mengikuti pelatihan, kemampuan peserta meningkat dalam hal mengolah bambu mejadi benda seni. Tahap selanjutnya, kriya bambu batik akan dikembangkan untuk dijual di pasar kerajinan domestik dan menembus pasar internasional melalui tahapan proses komersialisasisebagaiberikut: (1) imajinasi,(2) inkubasi,(3) demonstrasi,(4) promosi, dan (5) keberlanjutan.
Estetika Eksistensial Desain Hibrid Ruang Sembahyang Orang Tionghoa Peranakan di Banjar Lampu, Desa Catur, Kintamani July Hidayat
JSRW (Jurnal Senirupa Warna) Vol. 4 No. 2 (2015): Membaca Modernitas
Publisher : Fakultas Seni Rupa - Institut Kesenian Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36806/.v4i2.59

Abstract

Orang Tionghoa peranakan di Banjar Lampu memiliki nama, berbahasa, menganut Hindu dan tradisi Bali, bersama-sama dengan kepercayaan Konghucu. Mereka bersembahyang kepada dewa Hindu di sanggah, di ruang sembahyang leluhur Tionghoa dan Dewa KwanKong di kompleks rumah tinggal, pelinggih Kwan Kong di Pura Penyajakan dan Ratu Subandar di Pura Batur. Di Pura Penyajakan, ruang sembahyang Kwankong diijinkan untuk diletakkan pada halaman tengah pura, berbentuk gedong pelinggih dan dikombinasikan dengan elemen desain Tionghoa. Di Pura Batur, pelinggih Subandar (KangChingWei) juga berbentuk hibrid Bali-Tionghoa, tetapi sudah diposisikan di halaman dalam pura yang bernilai lebih sakral. Ketika desain ruang sembahyang Tionghoa peranakan ditinjau dari pendekatan estetika eksistensial, nilai keindahan hibriditas ruang dipahami dari perspektif individual orang Tionghoa sendiri, memperhitungkan sejarah keberadaannya di Desa Catur, untuk membawa esensi keindahan yang terkait dengan makna esensial keberadaan ke permukaan, lepas dari mitos budaya. Hibriditas desain orang Tionghoa di Desa Catur adalah representasi makna eksistensialnya, yaitu 'menjadi Bali'
Training On Marketing Strategies In The Utilization Of Bamboo Creations As A Resource Of Life As Hotel And Culinary Amenities Juliana Juliana; Ira B Hubner; Sabrina O Sihombing; Rudy Pramono; July Hidayat
Journal of Community Service and Engagement Vol. 2 No. 4 (2022): August 2022
Publisher : CV. AGUSPATI RESEARCH INSTITUTA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.9999/jocosae.v2i4.115

Abstract

Bamboo crafts are in demand by foreigners abroad. Sukabumi Regency has bamboo handicrafts that are considered unique and of good quality. There are quite a lot of bamboo craftsmen, but they are constrained by the use of appropriate technology tools (TTG), so they cannot compete with other regions in terms of quality and quantity to be able to penetrate the Asian and European markets. When viewed from the ability of the artisans in Sukabumi Regency, they can make various types of crafts using bamboo materials, including making woven Bamboo. These are the obstacles and problems faced by partners in these limitations and products that are still lacking in the promotion and have not yet received a target market. Therefore, the Community Service team, lecturers at the Faculty of Tourism, Pelita Harapan University, will hold training on marketing strategies in the use of bamboo creations as a source of life for hotel and culinary amenities in collaboration with the Sukabumi bamboo world to provide broad knowledge and insight to the community and bamboo artisans in Egrang Village, Cibiru. , Cicantayan Village, Cicantayan District, Sukabumi Regency. The Community Service Team will train 20 participants on making and using bamboo creations for hotel and culinary amenities and marketing strategies for marketing bamboo creations. The method of community service used is through training in direct mentoring with participants in Sukabumi Regency. The results of this activity are expected to encourage the community to be more active in planting Bamboo, do reforestation with Bamboo, and making the hotel and culinary amenities from bamboo creations which are then sold and developed through the stages of the commercialization process with the application of a marketing mix which includes product development, pricing, distribution channels, and methods Campaign for bamboo products.