Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM Lilik Andaryuni
JURNAL SIPAKALEBBI Vol 1 No 1 (2013)
Publisher : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (343.491 KB) | DOI: 10.24252/jsipakallebbi.v1i1.287

Abstract

  Gender relation in family law, according to Elizabeth H. White, divides into two namely unrestricted and restricted. Family law policy on polygamy among Muslim worlds differs even they have similar schools of thought. Tahir Mahmood categorizes polygamous regulations for six: (1). Allowing polygamy totally (2) polygamy can be a reason for divorce (3) Polygamy must get permission from court (4) Restriction from social control (5) forbidden polygamy totally (6) Breaking polygamous regulation should be punished. Polygamy is restricted in Turkey and Tunis, while in Syria, Somalia, Egypt and Indonesia is allowed with some requirements which are quite restricted. Relasi gender dalam hukum keluarga menurut Elizabeth H. White ada dua, yaitu relasi yang tidak membatasi hak-hak perempuan (unrestricted) dan relasi yang membatasinya (restricted). Aturan poligami dalam hukum keluarga di dunia Islam satu sama lain tidaklah sama, meskipun menganut mazhab yang sama. Tahir Mahmood memilah aturan poligami dalam hukum keluarga menjadi enam kelompok; (1) boleh poligami secara mutlak, (2) poligami dapat menjadi alasan cerai, (3) poligami harus ada izin dari Pengadilan, (4) pembatasan lewat kontrol sosial, (5) poligami dilarang secara mutlak, dan (6) dikenakan hukuman bagi yang melanggar aturan tentang poligami. Di Turki dan Tunisia, poligami dilarang keras, sementara Syria, Somalia, Mesir, dan Indonesia membolehkan poligami dengan persyaratan yang berupaya untuk memperkecil terjadinya poligami.
PUTUSAN VERSTEK DALAM CERAI GUGAT KARENA PELANGGARAN TAKLIK TALAK DI PENGADILAN AGAMA SAMARINDA Lilik Andaryuni
istinbath Vol 16 No 1 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20414/ijhi.v16i1.109

Abstract

Abstract: The rising rate of divorce initiated by women (cerai gugat) in East Kalimantan, especially in Samarinda, has been stimulated by many causes, ranging from continuous disharmony, economic problems, love affairs, to lack of spousal responsibility, especially husbands, which constitute the most prominent cause of divorce. By leaving their wife irresponsibly, husbands violatetheconditionsthatcangeneratedivorceclaimbywives.235divorcesout of total 237 cases are concerned with the violation of contingent repudiation (ta’liq talaq). All were decided without defendants’ presence (verstek) except two cases where both plaintiff and defendant were present. This study argues that verstek decision, since it is given in a relatively fast procedure, become the best mechanism for women to seek justice and to end their uncertain status after being neglected by their husband. This is relevant to the court principle where justice is simple, fast and cheap. This principle is laid down in Chapter 4 of Law 48/2009 about Court Power andCompetence. Abstrak: Tingginya angka cerai gugat di Kalimantan Timur khususnya Samarinda, disebabkan banyak faktor, di antaranya ketidakharmonisan, ekonomi, gangguan pihak ketiga dan tidak ada tanggung jawab. Tida ada tanggung jawab ini menjadi penyebab utama terjadinya cerai gugat akibat pelanggaran taklik talak. Hal ini terbukti dari 237 kasus cerai gugat akibat pelanggaran taklik talak 235 kasus atau sekitar 99,16% diputus Verstek, hanya 2 kasus (0,84%) tergugat yang hadir di persidangan. Putusan verstek akibat pelanggaran taklik talak memberikan kemudahan bagi pihak istri dan memberikan kepastian hukum akan nasibnya yang tidak jelas akibat kepergian suamiyangtidakadakabarberitanya.Inisejalandeganazasperadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana dalam Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Persepsi pemilik apotek terhadap kewajiban sertifikat halal bagi obat yang beredar di Indonesia( studi kasus di kecamatan Samarinda seberang) Rosmawati Rosmawati; Aulia Rahman; Lilik Andaryuni
QONUN: Jurnal Hukum Islam dan Perundang-undangan Vol 5 No 2 (2021)
Publisher : FASYA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (808.685 KB) | DOI: 10.21093/qj.v5i2.3747

Abstract

Penelitian ini membahas tentang persepsi pemilik apotek terhadap kewajiban sertifikat halal bagi obat yang beredar di Indonesia sebagai amanat menurut Undang-Undang No.33 Tahun 2014 Pasal 4 dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pemilik apotek terhadap kewajiban sertifikat halal bagi obat dijual apotek kecamatan Samarinda Seberang.Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan empiris. Subjek dalam penelitian ini adalah pemilik apotek di kecamatan Samarinda Seberang dan konsumen . Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan, memaparkan dan menganalisa hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Hasil dari penelitian persepsi pemilik apotek terhadap kewajiban sertifikat halal bagi obat yang beredar di kecamatan Samarinda Seberang terdapat 7 pemilik apotek dan dapat dilihat dari 2 persepsi sebagai berikut: 1. Persepsi positif, terdapat 3 pemilik apotek di kecamatan Samarinda Seberang setuju, karena peraturan sertifikat halal untuk kebaikan masyarakat dan obat yang sudah bersertifikat halal sudah dipastikan sebagai bentuk perantara untuk menyembuhkan sehingga umat Islam merasa aman ketika mengonsumsi obat yang sudah halal. 2. Persepsi negatif, terdapat 4 pemilik apotek di kecamatan Samarinda Seberang tidak setuju dikarenakan kewajiban sertifikat halal bagi obat yang beredar di Indonesia menyebabkan kekosongan persediaan obat yang dibutuhkan yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan konsumen, kemudian banyak pemilik apotek tidak mengetahui terkait Undang-Undang No 33 Tahun 2014 Pasal 4. Pandangan Islam terkait sesuatu yang haram akan berubah menjadi halal ketika dalam keadaan mendesak termasuk obat yang harus bersertifikat halal. Saran untuk pemilik apotek diharapkan untuk melaksanakan kewajibannya terkait dengan sertifikat halal pada obat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebagai bentuk upaya untuk memenuhi hak konsumen atas informasi secara benar dan jujur. Pemerintah diharapkan dapat memberikan sosialisasi secara menyeluruh kepada masyarakat khususnya pemilik apotek mengenai pentingnya sertifikat halal, tujuan serta manfaat dari sertifikat halal pada kemasan produk khususnya produk pada obat. Sedangkan untuk konsumen dapat lebih berperan aktif dalam memperoleh informasi terhadap sertifikat halal. Kata Kunci: Persepsi, Pemilik Apotek, Kewajiban Sertifikat Halal, Obat. Penelitian ini membahas tentang persepsi pemilik apotek terhadap kewajiban sertifikat halal bagi obat yang beredar di Indonesia sebagai amanat menurut Undang-Undang No.33 Tahun 2014 Pasal 4 dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pemilik apotek terhadap kewajiban sertifikat halal bagi obat dijual apotek kecamatan Samarinda Seberang.Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan empiris. Subjek dalam penelitian ini adalah pemilik apotek di kecamatan Samarinda Seberang dan konsumen . Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan, memaparkan dan menganalisa hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Hasil dari penelitian persepsi pemilik apotek terhadap kewajiban sertifikat halal bagi obat yang beredar di kecamatan Samarinda Seberang terdapat 7 pemilik apotek dan dapat dilihat dari 2 persepsi sebagai berikut: 1. Persepsi positif, terdapat 3 pemilik apotek di kecamatan Samarinda Seberang setuju, karena peraturan sertifikat halal untuk kebaikan masyarakat dan obat yang sudah bersertifikat halal sudah dipastikan sebagai bentuk perantara untuk menyembuhkan sehingga umat Islam merasa aman ketika mengonsumsi obat yang sudah halal. 2. Persepsi negatif, terdapat 4 pemilik apotek di kecamatan Samarinda Seberang tidak setuju dikarenakan kewajiban sertifikat halal bagi obat yang beredar di Indonesia menyebabkan kekosongan persediaan obat yang dibutuhkan yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan konsumen, kemudian banyak pemilik apotek tidak mengetahui terkait Undang-Undang No 33 Tahun 2014 Pasal 4. Pandangan Islam terkait sesuatu yang haram akan berubah menjadi halal ketika dalam keadaan mendesak termasuk obat yang harus bersertifikat halal. Saran untuk pemilik apotek diharapkan untuk melaksanakan kewajibannya terkait dengan sertifikat halal pada obat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebagai bentuk upaya untuk memenuhi hak konsumen atas informasi secara benar dan jujur. Pemerintah diharapkan dapat memberikan sosialisasi secara menyeluruh kepada masyarakat khususnya pemilik apotek mengenai pentingnya sertifikat halal, tujuan serta manfaat dari sertifikat halal pada kemasan produk khususnya produk pada obat. Sedangkan untuk konsumen dapat lebih berperan aktif dalam memperoleh informasi terhadap sertifikat halal. Kata Kunci: Persepsi, Pemilik Apotek, Kewajiban Sertifikat Halal, Obat.
Penggunaan Rajah dan Waqaf Sebagai Azimat Pelaris Dagangan dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Pasar Berkat di Loa Janan Ilir) Herdi Maulana; Lilik Andaryuni; Maisyarah Rahmi Hasan
QONUN: Jurnal Hukum Islam dan Perundang-undangan Vol 5 No 1 (2021)
Publisher : FASYA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (323.28 KB) | DOI: 10.21093/qonun.v4i1.1995

Abstract

Penelitian ini berlatar belakang masalah para pedagang yang menggunakan Rajah dan Wafaq sebagai Azimat pelaris dagangan. Salah satunya pedagang yang ada di pasar Berkat di loa Janan Ilir. Para pedagang meyakini bahwa, Rajah tersbut dapat mempengaruhi dagangan mereka, agar laku keras. Akan tetapi para pedagang tersebut menyakini Rajah sebagai perantara. Dan tetap beranggapan atas izin Allah SWT dagangan mereka laku keras. Penelitian ini bersifat penelitian lapangan. Sumber data didapatkan dari hasil observasi para pedagang yang ada di Pasar Berkat. Dan Wawancara kepada para pedagang. Khusunya para pedagang pakaian. Karena mereka adalah salah satu pedagang yang mendominasi jenis barang yang dijual. Teknik analisis data yang digunakan peneliti adalah deskritif analisis. Dengan cara melalui peroses pengelolaan data. Setelah pengelolaan data lalu di analisis dengan tujuan menyederhanakan dan memudahkan data. Sehingga mudah untuk menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini adalah para pedang yang menggunakan Rajah dan Wafaq memili alasan sebagai berikut, agar diperlancar rezekinya, agar ditambahkan rezekinya, membuat ramai pembeli, pembeli tidak kabur ke toko lain, merasa rezekinya kurang, untuk mendekatakan diri ke pada Allah.Kata Kunci : Wafaq Sebagai Azimat, Penjual, Hukum Islam