Muhammad Irham
Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro, Semarang

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

KEDUDUKAN SYARIAT ISLAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM (NAD) DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL Irham, Muhammad
Jurnal Mentari Vol 12, No 1 (2009)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

PENDAHULUAN Pada era reformasi, Pemerintah Republik Indonesia  memberikan kembali kewenangan kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya disebut NAD) untuk melaksanakan syariat Islam. Pemberian tersebut dikokohkan dengan payung hukum berupa UU RI Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan UU RI Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Sebagai Provinsi NAD.[1] Pemberian kewenangan dalam kedua peraturan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan langkah legalisasi (taqnin) syariat Islam[2] yang hasilnya disebut qanun[3]. Meskipun langkah legalisasi  syariat Islam masih diperdebatkan, baik dari kalangan pemikir muslim,[4] maupun non-Muslim,[5] namun tidak dapat disangkal bahwa legalisasi merupakan salah satu ciri periode modern perkembangan hukum Islam (fiqh).[6] Pada periode inilah terjadi gerakan-gerakan baru di dunia Islam[7] untuk menerapkan syariat sebagai ganti hukum positif, atau untuk menyelaraskan hukum positif agar sejalan dengan hukum syariat dengan mengadopsi berbagai pemikiran madzhab dalam bentuk legislasi.[8]   PEMBAHASAN Sistem Hukum Nasional Hukum nasional adalah cerminan dari norma-norma moral masyarakat yang diangkat menjadi norma-norma hokum sehingga mengikat seluruh warga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Banyak teori yang dikemukakan tentang transformasi norma-norma moral menjadi norma-norma hukum ini. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: Apakah bangsa Indonesia sudah mempunyai sebuah hukum nasional? Dilihat dari kenyataan normatif yang ada (das sollen), maka Indonesia memang mempunyai sebuah hukum nasional yang terdiri dari UUD, Undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang berlaku dalam wilayah Negara Republik Indonesia,  tetapi dari segi kenyataan alamiah (das Sein) apakah norma-norma hukum tersebut betul-betul jalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masih merupakan persoalan besar. Masalah lainnya, hukum yang kita pandang nasional tidak melambangkan satu kesatuan dilihat dari sejarah, asal-usul dan filsafatnya. Sewaktu Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada bulan Agustus 1945 satu-satunya hukum nasional yang kita miliki adalah UUD 1945 yang disusun dalam masa relatif pendek, dan karena itu memiliki berbagai kelemahan, sehingga pada era reformasi konstitusi Indonesia telah tiga kali mengalami amandemen dan untuk masa mendatang akan disempurnakan secara terus-menerus. Sementara itu, sumber hukum yang lebih rendah berupa undang-undang, peraturan-peraturan, sistem pemerintahan, sistem peradilan dan lain-lain masih mewarisi apa yang ditinggalkan oleh kaum kolonial. Pemerintah kolonial juga mewariskan apa yang mereka pandang sebagai hukum adat, di samping pengakuannya terhadap hukum Islam sebagai perdata khusus yang berlaku bagi umat Islam. Dengan demikian, para ahli hokum kita pada umumnya mengatakan bahwa hukum nasional Indonesia sekarang ini bersumber atau mencerminkan tiga sistem hukum: Barat, Adat dan Islam.[9] Ketiga sistem hukum inilah yang sedang bertarung atau berlebur untuk membentuk suatu hokum nasional yang lebih berciri Indonesia di masa depan. Dari ketiga sistem hukum ini, maka hukum Islam mempunyai peluang besar untuk mengisi hukum nasional karena beberapa pertimbangan. Pertama, bila kita dapat sepakat dengan adat yang mempunyai implikasi hukum, maka hukum adat di samping klaim yang sering mengatakannya sebagai hukum yang berciri Indonesia, ia lebih bersifat kesukuan (ethnicity), kecuali adat yang benar yang merupakan sumber komplementer hukum Islam. Oleh karena itu, hukum adat yang tidak mencerminkan keadilan, kemanusiaan dan kebersamaan berpotensi untuk sektarianisme dan disintegrasi bangsa, dan dari hari ke hari cenderung ditinggalkan masyarakat seiring dengan berkembangnya arus migrasi, akulturasi dan modernisasi di seluruh wilayah Indonesia. Kedua, Hukum Barat sebagai hukum asing menggambarkan sejarah dan norma-norma bangsa Eropa yang belum tentu sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Selain itu, hukum Barat zaman kolonial dirancang sebagai bagian dari politik kolonial untuk mempertahankan kekuasaan asing di bumi nusantara. Dengan meningkatnya semangat kebangsaan di masa depan, maka hukum yang berasal dari Barat akan diterima dengan sangat selektif, hanya bila itu sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma bangsa Indonesia. Ketiga, Hukum Islam mencerminkan norma-norma bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, seperti diakui Daniel S. Lev, sebelum nusantara dipersatukan oleh sebuah Pemerintah Kolonial Belanda, hukum Islam telah lebih dahulu menyatukan mayoritas rakyat Indonesia.[10] Segi lain yang memantapkan hukum Islam adalah sifat diyani yang dikandungnya di samping sifat qadai [11] karena berasal dari hukum agama yang tidak hanya mengikat manusia sebagai makhluk sosial, tetapi lebih-lebih lagi karena berhubungan dengan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Tinggi bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibahas dengan keburukan, baik di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan sebuah kenyataan bahwa hukum Islam telah menjadi hukum positif Indonesia. Definisi Syariat Islam Versi Qanun Aceh Kewenangan pelaksanaan syariat Islam yang diberikan oleh Pemerintah RI kepada Pemerintah NAD adalah syariat dalam arti yang luas,[12] yakni tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan (pasal 1 ayat [10] UU Nomor 44 Tahun 1999). Pengertian syariat semacam ini, kemudian diikuti dalam peraturan-peraturan di NAD.[13] Namun, pemilahan bidang-bidang syariat Islam yang luas tersebut berbeda-beda.[14] Pengaturan Pemerintah NAD terhadap seluruh bidang syariat tersebut mencakup juga bidang aqidah dan syiar Islam, yang diatur dalam qanun Nomor 11 Tahun 2002. Dalam qanun ini diatur mulai dari bentuknya sampai sanksi atas pelanggaran terhadapnya. Pengaturan bidang-bidang syariat dalam qanun di NAD tersebut merupakan bentuk campur tangan pemerintah terhadap urusan keagamaan umat.[15] Sebagaimana uraian terdahulu, syariat Islam dalam pandangan qanun NAD merupakan tuntunan ajaran Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan (pasal 1 ayat [6] Perda Nomor 5 Tahun 2000, Pasal 11 Tahun 2002).[16] Definisi syariat Islam dalam makna yang luas sebagaimana dimaksudkan dalam beberapa peraturan di NAD tersebut mengandung makna, bahwa seluruh bidang syariat Islam yang sangat luas cakupannya akan diatur dalam sebuah qanun. Ini berarti, pemerintah NAD akan ikut mengurusi seluruh bidang syariat Islam. Langkah semacam ini mirip dengan pemikiran ‘Ali Jarisyah yang berpendapat bahwa kekuasaan (baca: penguasa) dalam Islam itu harus mengurus seluruh aspek ajaran Islam.[17] Upaya taqnin di NAD tersebut didasarkan atas filosofi bahwa pelaksanaan syariat akan ditaati masyarakat manakala ditegakkan dengan sanksi. Sanksi ini ada dua: sanksi ukhrawi yang akan diterima di akhirat kelak, dan sanksi duniawi yang akan diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di sini penegakan hukum menuntut peranan negara. hukum tidak berarti apa-apa bila tidak ditegakkan oleh negara.[18] Syariat Islam sebagia institusi yang hidup memang meliputi setiap aspek kehidupan manusia; keimanan, ritual, dan etika. Karena sifat alamiahnya yang beraneka ragam itulah, negara tidak dengan mudah dapat mengintervensi atau mengaturnya. Hal ini disebabkan hubungan antara hukum Islam dengan masyarakat bersifat progresif dan sangat kompleks, sehingga hubungan semacam ini sangat penting untuk dipertimbangkan.[19]   Tinjauan Beberapa Qanun Aceh dalam Sistem Hukum Nasional: Sebuah Catatan Kritis Sepanjang tahun 2002 hingga akhir 2003, DPRD Provinsi NAD berhasil menetapkan sejumlah qanun yang kemudian diundangkan dalam tahun-tahun tersebut. Berikut ini adalah tinjauan atas beberapa qanun Provinsi NAD yang bertalian dengan upaya penerapan syariat Islam di daerah itu. Qanun No. 10/2002 tentang Peradilan Syariat Islam Qanun ini[20]merupakan upaya untuk mengejawantahkan salah satu kekhususan  Aceh, yang diatur secara umum dalam pasal 1 ayat 7, pasal 25-26 UU No. 18/2001. Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, misalnya kewenangan Mahkamah Syariyyah… didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, tidak begitu jelas menunjuk kepada kewenangan Mahkamah Syariyyah dalam mengadili masalah ahwal al-syakhsiah, muamalah dan jinayah – dalam penjelasan UU dikategorikan jelas, yang barangkali hanya menunjuk kepada kewenangan yang lazim dimiliki pengadilan agama, yakni masalah keperdataan (UU No. 7/1989, Pasal 1 ayat 1-2, yang dijabarkan dalam pasal 49 sebagai perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, serta wakaf dan sedekah). Hal ini selaras dengan Kepres No. 11/2003, yang mengungkapkan bahwa mahkamah tersebut hanya memiliki kewenangan yang dimiliki sebelumnya oleh pengadilan agama. Qanun yang disahkan pada 14 Oktober 2002 dan diundangkan pada 6 Januari 2003 ini terdiri dari 7 bab. Bab pertama memuat tentang ketentuan umum, bab kedua tentang susunan mahkamah; bab ketiga tentang kekuasaan dan kewenangan mahkamah; bab keempat tentang hukum materil dan formil; bab kelima tentang ketentuan-ketentuan lain; bab keenam tentang peralihan; dan bab ketujuh tentang ketentuan peralihan; dan bab ketujuh tentang ketentuan penutup. Secara keseluruhan, berbagai ketentuan yang dirumuskan di dalam qanun ini melampaui hal yang baru disebutkan yakni kompetensi pengadilan agama yang lazim dalam masalah keperdataan. Bahkan secara umum, ketentuan-ketentuan dalan qanun peradilan syariat juga berseberangan dengan UU No. 7/1998 tentang Peradilan Agama, dalam kasus-kasus berikut: Semua pengadilan di Indonesia  adalah pengadilan negara yang harus dibentuk dengan undang-undang. Dalam undang-undang pembentukannya, semua kewenangan, personalia maupun acara dapat dicantumkan (lihat UU No. 14/1970, UU No. 14/1985 dan UU No. 7/1989). Dengan demikian, pembentukan Mahkamah Syariat yang kewenangannya melampaui atau lebih luas dari peradilan agama, harus dibentuk dengan undang-undang, bukan dengan peraturan daerah atau qanun.Pengembangan peradilan agama kepada peradilan syariat – seperti dinyatakan dalam qanun ini (pasal 2 ayat 3) – juga mesti ditetapkan dengan UU, bukan dengan qanun.Pembukaan kamar khusus Mahkamah Agung di Provinsi NAD (Pasal 57) sangat sulit dilakukan. Menurut UU tentang Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota negara, bukan di ibukota provinsi. Kamar baru di Mahkamah Agung dapat dibentuk khusus untuk menampung perkara-perkara kasasi Mahkamah Syariat Tinggi NAD, tetapi dengan mengamandemen UU tentang Mahkamah Agung terlebih dahulu.Tentang Susunan Mahkamah Syariat (Pasal 6 dan seterusnya) juga harus ditetapkan dengan UU, bukan dengan qanun atau peraturan daerah.Tentang pembinaan dan pengawasan hakim (Pasal 11), seharusnya dilakukan oleh Mahkamah Agung, bukan oleh Menteri Kehakiman apalagi Gubernur Aceh. Menteri Kehakiman hanya menangani masalah administrasi saja.Kasus tentang dominasi eksekutif juga terlihat dalam ketentuan tentang kedudukan protokoler hakim yang diatur dengan keputusan gubernur (pasal 24 ayat 1).Kewenangan Mahkamah Syariat, dinyatakan mencakup ahwal al-syakhsyiah, muamalah dan jinayah (pasal 49). Dalam penjelasan pasal 49, dikemukakan: -          Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang ahwalul syakhshiyah meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 49 UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelasan dari pasal tersebut, kecuali waqaf, hibah dan shadaqah. -          Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang mu’amalah adalah sebagai berikut: Jual beli, hutang piutangQiradh, salamMasaqah, muzaraah, mukhabarah Wakalah, syirkahAriyah, hiwalah, hajru, syufah, rahnun Ihyaul mawat, ma’din, luqathah Perbankan, Ijarah, takafulPerburuhan Harta rampasan 10.  Wakaf, hibah, shadaqah, hadiyah -          Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang jinayah adalah sebagai berikut: 1. Hudud 2. Menuduh berzina 3. Mencuri 4. Merampok 5. Minuman keras 6. Murtad 7. Pemberontak 8. Qishash a. Hukuman membunuh dan melukai b. Hukuman denda (diat) 9. Tazir. Hukuman yang dikenakan kepada orang yang mengerjakan maksiat atau melanggar jinayat yang tidak dikenakan hudud, qishash maupun denda, tetapi diserahkan kepada pertimbangan hukum berdasarkan perbuatan dan kondisi pelaku. Kewenangan Mahkamah Syariat di atas, dalam kenyataannya megambil alih berbagai kewenangan lembaga peradilan lain yang ditetapkan menurut UU. Pertanyaan yang muncul di sini adalah apakah Mahkamah Syariat akan menggeser atau melikuidasi lembaga-lembaga peradilan lainnya di Aceh? Kalau memang demikian, bagaimana ketentuan tentang pengembangan Peradilan Agama menjadi Mahkamah Syariat di atas (Pasal 2 ayat 3, pasal 3 ayat 3 ayat 1)? Semestinya yang dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut adalah pengalihan atau pengubahan lembaga-lembaga peradilan lainnya menjadi Mahkamah Syariat. Kasus yang sama juga terlihat dalam ketentuan peralihan (bab VI, pasal 58 ayat 1) yang menetapkan pengalihan Peradilan Agama menjadi Mahkamah Syariat. Tentang hukuman materil dan formil Mahkamah Syariat (bab IV) juga semestinya ditetapkan dengan UU, bukan dengan qanun. Jika Mahkamah Syariat berwenang menangani kasus ahwal al-syakhsyiah, muamalah dan jinayah, ia jelas membutuhkan undang-undang ahwal al-syakhsyiah, undang-undang muamalah, dan undang-undang jinayah, bukan peraturan daerah atau qanun tentangnya. Kalau tidak demikian, qanun semacam itu akan batal demi hukum karena melanggar ketentuan undang-undang yang lebih tinggi.   Qanun No. 11/2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Qanun tentang pelaksanaan syariat Islam di bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam[21] disahkan pada 14 Oktober 2002, dan diundangkan pada 6 Januari 2003. Kandungan utama qanun ini berupaya memilah dan mengelaborasi lebih jauh peraturan daerah No. 5/2002, pelaksanaan syariat Islam dibatasi pada bidang akidah, ibadah, dan syiar Islam. Sebagaimana peraturan daerah No. 5/2000, qanun ini mendefinisikan syariat Islam dalam pengertian luas: “Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan” (Pasal 1 ayat 6). Akidah didefinisikan sebagai akidah menurut paham “Ahlussunnah wal Jamaah” (Pasal 1 ayat 7) dan ibadah dibatasi pada shalat dan puasa di bulan Ramadan (pasal 1 ayat 8). Pengaturan pelaksanaan syariat Islam dalam ketiga bidang tersebut–yakni akidah, ibadah, dan syiar Islam dalam pasal 2, dinyatakan memiliki tujuan: Membina dan memelihara keimanan dan ketakwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat.Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami. Sementara dalam pasal 3, fungsinya ditetapkan sebagai “pedoman pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam. Pasal 4-5 menetapkan kewajiban memelihara akidah Islam, larangan menyebarkan paham atau aliran sesat, serta larangan keluar dari akidah Islam (murtad) dan/atau menghina atau melecehkan agama Islam. Implikasi hukumnya diatur dalam pasal 20–yakni ketentuan tazir berupa penjara 2 tahun atau cambuk 12 kali untuk upaya penyebaran paham atau aliran sesat. Sementara bagi orang murtad dan/atau menghina atau melecehkan Islam dinyatakan akan diatur dalam qanun tersendiri. Pasal 6 menyerahkan kewenangan penetapan aliran/paham sesat kepada fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi NAD. Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan paham atau aliran sesat dalam qanun ini tidak didefinisikan secara jelas. Dalam penjelasan pasal 2, paham atau aliran sesat didefinisikan sebagai “pendapat-pendapat tentang aqidah yang tidak berdasarkan kepada Alquran atau Hadits Shahih, atau penafsiran yang tidak memenuhi persyaratan metodologis atau kedua sumber tersebut. Kewajiban menjalankan ibadah dalam qanun ini meliputi shalat fardlu, shalat jumat, dan puasa (bab IV). Cakupan ibadah yang disebutkan itu jelas sangat terbatas. Demikian pula, dalam sanksi hukumnya, hanya ditetapkan hukuman tazir berupa penjara enam bulan atau cambuk tiga kali untuk yang tidak menjalankan shalat jumat tiga kali berturut-turut tanpa halangan syari (Pasal 21 ayat 1), hukuman pencabutan izin usaha untuk perusahaan angkutan yang tidak memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penumpangnya untuk melakukan salat farzu (pasal 21 ayat 2), dipenjara satu tahun atau denda Rp 3 juta atau cambuk enam kali dan pencabutan izin usaha untuk perusahaan angkutan yang tidak memberikan kesempatan fasilitas kepada penumpangnya untuk melakukan salat farzu (pasal 21 ayat 2), dipenjara satu tahun atau denda Rp 3 juta atau cambuk enam kali dan pencabutan izin usaha untuk penyedia fasilita/peluang kepada kaum muslimin untuk tidak berpuasa tanpa halangan syari (pasal 22 ayat 1), serta empat bulan atau cambuk dua kali untuk makan minum di muka umum pada siang hari Ramadan (pasal 22 ayat 2). Sementara hukuman yang tidak salat farzu atau berpuasa tanpa halangan syari tidak ditetapkan. Sebagaimana peraturan daerah No. 5/2000, qanun ini juga menetapkan ketentuan tentang busana islami (Pasal 13)–dijelaskan sebagai “pakaian yang menutupi aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh.” Sementara hukuman untuk yang melanggarnya adalah “pidana dengan hukuman tazir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah,” tanpa menyinggung bentuk hukumannya – misalnya penjara atau cambuk. Wilayatul Hisbah, dalam qanun ini (pasal 1 ayat 11), dinyatakan sebagai badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam. Badan ini dibentuk oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah lingkungan lainnya (pasal 14 ayat 1-2). Setelah proses tegur atau nasehat terhadap pelaku pelanggaran ketentuan qanun, pejabat Wilayatul Hisbah akan melimpahkan kasus pelanggaran tersebut kepada pejabat penyidik, jika tidak terjadi perubahan pada pelaku pelanggaran (pasal 14 ayat 3-4). Penyelidikan, dalam pasal 15, dilakukan oleh: (a) pejabat kepolisian Provinsi NAD, atau (b) pejabat penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintahan daerah yang diber kewenangan. Selain itu, qanun ini juga memuat tentang penuntutan. Dalam pasal 16, penuntutan umum didefinisikan sebagai jaksa atau pejabat lain yang diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan mahkamah syariat. Secara rinci, kewenangan penuntut umum diurai dalam pasal 17, yakni menerima dan memeriksa berkas perkara dari penyidik, mengadakan pra penuntutan bila terdapat kekurangan pada hasil penyidikan, membuat surat dakwaan, melimpahkan perkara ke mahkamah syariat, menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa maupun saksi tentang waktu persidangan disertai dengan surat panggilan, melakukan penuntutan sesuai ketentuan yang berlaku, mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab pentuntut, dan melaksanakan keputusan hakim. Sementara pasal 19 menetapkan mahkamah syariat sebagai yang berwenang memeriksa dan memutuskan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam qanun ini.   Qanun No. 12/2003 tentang Larangan Minuman Khamar dan Sejenisnya. Qanun tentang larangan minuman khamar dan sejenisnya ini disahkan pada 15 Juli 2003, dan diundangkan pada 16 Juli 2003[22] Di dalam qanun ini, yang dimaksudkan dengan khamar dan sejenisnya adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya pikir” (pasal 1 ayat 20). Pasal 2 menyebutkan “segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan segala minuman yang memabukkan. Tujuan pelarangannya adalah melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatna yang merusak akal, mencegah terjadinya perbuatan atau kegiatan yang merusak akal, mencegah terjadinya perbuatan atau kegiatan yang timbul akibat minuman khamar dalam masyarakat, dan meningkatkan peranserta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan minuman khamar dan sejenisnya (pasal 3). Dalam pasal 4 ditetapkan bahwa minuman khamar dan sejenisnya adalah haram, dan setiap orang dilarang mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya (pasal 4). Ambisi qanun ini adalah larangan yang menyeluruh, tidak sebatas konsumsi khamar dan sejenisnya, serta berlaku untuk seluruh warga Aceh, baik muslim maupun non-muslim.[23] Seperti tampak pada pasal 6 ayat 1, setiap orang atau badan hukum dan badan usaha dilarang memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya. Selain itu di dalam pasal 6 ayat 2 dikatakan bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang turut serta/membantu menyediakan, menjual, memasukkan mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, dan memproduksi minuman khamar dan sejenis ini juga berlaku bagi badan hukum dan badan usaha yang dimodali atau memperkerjakan tenaga asing (Pasal 7). Selain itu qanun no. 12 ini juga melarang instansi yang berwenang menerbitkan izin usaha hotel, losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios, dan tempat-tempat lain dilarang melegalisasikan penyediaan minuman khamar dan sejenisnya. (pasal 8). Bagi pelanggar pasal 5 di atas, pasal 26 menetapkan bahwa ancaman hukuman yang diberikan adalah hukumam hudud 40 kali cambukan. Bagi pelanggaran terhadap pasal 6–8, ancaman hukumannya adalah uqubat tazir berupak kurungan paling lama satu tahun dan paling singkat tiga bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75 Juta dan paling sedikit Rp 25 juta. Khusus bagi pengulangan pelanggaran yang terancam hukuman dalam pasal 26, ditetapkan bahwa hukumannya dapat ditambah sepertiga dari ‘uqubat maksimal (pasal 29). Bab lima, yang mengatur tentang pengawasan dan pembinaan, serta bab 6 tentang penyidikan dan penuntutan memiliki kandungannya yang senada qanun no. 11 tentang pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam.   Qanun No. 13/2003 Tentang Maisir (Perjudian) Qanun tentang maisir (perjudian) ini disahkan pada 15 Juli 2003, dan diundangkan pada 16 Juli 2003.[24] Dalam qanun ini perjudian atau maisir didefinisikan sebagai kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran” (pasal 1 ayat 20). Cakupan larangan maisir adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang mengarah kepada taruhan dan dapat berakibat kepada kemuzaratan bagi pihak-pihak yang bertaruh dan orang-orang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan tersebut. Dalam pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pelarangan maisir adalah memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan, mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada maisir, melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul akibat kegiatan dan/atau perbuatan maisir, serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan perbuatan maisir. Qanun ini mengharamkan maisir (pasal 4) dan melarang setiap orang melakukan perbuatan maisir (pasal 5). Selain itu, setiap orang atau badan usaha dilarang menyelenggarakan dan / atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir, dan setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang melindungi perbuatan maisir (pasal 6 ayat 1-2). Selain itu, instansi pemerintah dilarang memberi izin usaha penyelenggaraan maisir (pasal 7), dan setiap orang atau kelompok atau institusi masyarakat berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan maisir (pasal 8), dengan melaporkan kepada pejabat yang berwenang secara lisan atau tertulis (pasal 9). Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqubat berupa cambuk di depan umum maksimal 12 kali, minimal 6 kali (pasal 23 ayat 1). Sementara setiap orang atau badan hukum atau badan usaha noninstansi pemerintah yang melanggar ketentuan pasal 6 dan 7 diancam dengan uqubat atau denda maksimal Rp 35 juta, minimal Rp 15 juta (pasal 23 ayat 2). Sehubungan dengan pelaksanaan hukuman, dalam pasal 30 disebutkan bahwa hukuman cambuk dilaksanakan dengan menggunakan cambuk dari rotan sepanjang satu meter, diameternya antara 0.75 cm sampai satu sentimeter, dan tidak mempunyai ujung ganda. Hukuman dilakukan di tempat umum dengan disaksikan banyak orang dan dihadiri jaksa serta dokter yang ditunjuk. Ditentukan juga bahwa kadar cambukan tidak melukai serta dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada, dan kemaluan. Selain itu, disebutkan bahwa terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga dan tanpa diikat, dengan mengenakan baju tipis yang menutup aurat. Terhukum perempuan dicambuk dalam posisi duduk dan ditutupi kain di atasnya. Bila perempuan itu hamil pencambukan dilakukan 60 hari setelah melahirkan. Dalam pasal 31 disebutkan bahwa apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, pencambukan dapat ditunda dan sisa cambukan akan dilakukan di lain waktu yang memungkinkan. Bab 5 tentang pengawasan dan pembinaan, serta bab 6 tentang penyidikan dan penuntutan memiliki kandungan yang senada dengan dua qanun sebelumnya – yakni qanun No. 11 dan qanun No. 12 di atas.   Qanun No. 14 / 2003 Tentang Khalwat (Mesum) Dalam qanun ini,[25] khalwat/mesum didefinisikan sebagai perbuatan bersunyi-sunyi antara dua mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. (Pasal 1 ayat 20). Cakupan larangan khalwat/mesum adalah segala kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina (pasal 2). Tujuan pelarangannya adalah untuk menegakkan syariat Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat, melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan, meningkatkan peranserta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khlawat/mesum dan menutup peluang terjadinya kerusakan moral (Pasal 3). Qanun yang disahkan 15 Juli 2003 dan diundangkan pada 16 Juli Tahun yang sama ini menetapkan khalwat/mesum hukumnya haram (pasal 4). Setiap orang dilarang melakukan khalwat/mesum (pasal 5). Selain itu setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur pemerintahan dan badan usaha dilarang memberikan fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang yang melakukan khalwat/mesum (pasal 6). Setiap orang baik individu maupun kelompok, ditetapkan berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan khalwat/mesum (pasal 7) Setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 4, diancam dengan uqubat tazir berupa cambuk paling banyak 9 kali, paling sedikit 3 kali, dan atau denda paling banyak Rp 10 juta, paling sedikit Rp 2,5 juta (pasal 22 ayat 1). Sementara yang mencederai pasal 5 diancam dengan uqubat tazir berupa kurungan paling lama 6 bulan, paling singkat 2 bulan, dan atau denda paling banyak Rp 15 juta dan paling sedikit 5 juta (pasal 22 ayat 2). Bagi yang melakukan pelanggaran lebih dari satu kali, maka hukumannya dapat ditambah seperti cambuk dalam qanun khalwat/mesum serupa dengan ketentuan yang ada dalam qanun maisir. Demikian pula ketentuan dalam bab 5 tentang pengawasan dan pembinaan serta bab 6 penyidikan dan penuntutan senada dengan qanun-qanun sebelumnya.   Peranan Dinas Syariat Islam dalam Prosesi Penerapan Syariat Dinas Syariat Islam NAD telah menyusun serangkaian program yang diharapkan menjadi jembatan bagi terwujudnya visi dan msi Dinas Syariat Islam. Program-program ini dapat dikategorikan sebagai program umum, program khusus dan program prioritas. Secara rinci, Program Umum Dinas Syariat Islam meliputi:[26] Pengembangan dan pelaksanaan syariat Islam yang bertujuan untuk mewujudkan pelaksanaan syariat Islam seara kaffah dalam masyarakatPembangunan Masyarakat Mulia Sejahtera (PMMS) yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi kaum dhuafa melalui pelaksanaan syariat Islam Pembangunan Pesantren Darul Aitam yang bertujuan mendukung kelancaran jalannya program pendidikan agama serta mewujudkan keseimbangan antara imtaq dan Iptek.Pembangunan Islamic Centre untuk mewujudkan pusat pengkajian dan pengembangan keislaman serta pelaksanaan syariat IslamPemberdayaan guru mengaji (minyeuk panyot) dengan tujuan menghidupkan dan menggairahkan kembali pengajian gampong. Sementara itu, program khusus yang dicanangkan Dinas Syariat Islam tahun 2002 adalah:[27] Pembinaan masyarakat di daerah perbatasan dengan pengiriman 90 dai di tiga kabupaten perbatasanPembuatan baliho di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara dengan pesan informasi “Anda memasuki wilayah pelaksanaan syariat Islam Nanggroe Aceh DarussalamIkut serta dalam program Gema Assalam dengan membina dan membekali pendamping sehingga menjadi penggerak kegiatan peribadatan dan membantu menciptakan suasana yang lebih Islami di tempat tugas masing-masing,Menyiapkan qanun prioritas untuk digunakan Mahkamah Syariah, yaitu qanun tentang larangan minuman keras, qanun tentang larangan perjudian dan qanun tentang larangan khalwat. Dari sejumlah program umum dan program khusus ini, Dinas Syariat Islam mempunyai sejumlah program prioritas yang meliputi:[28] Mendorong terbentuknya Dinas Syariat Islam di Kabupaten dan KotaPembentukan Mahkamah Syariah–penyiapan qanun tentang kelembagaannya, qanun-qanun untuk hukum material dan hukum formilnyaPemantapan pengamalan zakat–penjelasan dan sosialiasi makna Badan Baitul Mal dan Badan Amil Zakat, aturan tentang tanggung jawab kewenangan, tugas-tugas serta pembinaannya yang meliputi Badan Amil Zakat Gampong, kabupaten/kota dan provinsiPemberantasan KKN, judi, miras/narkoba serta khalwat bekerjasama dengan instansi terkait dan melibatkan masyarakat komponen masyarakat secara lebih aktifMengusahakan terciptanya suasana dan lingkungan belajar yang islami di seluruh Aceh dengan menetapkan jam belajar gampong, melalui koordinasi dengan Dinas Pendidikan Mendorong dan membantu fasilitas guna menjadikan meunasah sebagai pusat kegiatan peribadatan dan kemasyarakatan serta memeratakan (membudayakan) pengamalan salat farzu berjamaah di awal waktu di setiap muenasah (gampong) dan disemua instansi pemerintahan serta sekolah (madrasah)Sosialisasi pelaksanaan syariat Islam secara kaffah, terutama melalui mass media, meliputi perluasan wawasan masyarakat, mempertebal keimanan, menyemarakkan pengamalan ibadah, serta menghidupkan toleransi intern dan antarumat beragamaMenetapkan pakaian dinas pegawai negeri dan seragam sekolah yang lebih islami, serta membantu dan mendorong masyarakat agar mengenakan busana yang lebih islamiMendorong dan membantu masyarakat menggunakan kalender hijriah huruf Arab Melayu yang benar dan indah untuk menciptakan suasana yang lebih religius dan Islami. Akhirnya dengan sejumlah program serta tiga tahapan pengembangan masyarakat–tawin, tanzim, dan taudi–kiranya syariat Islam akan kembali diterima secara kaffah oleh masyarakat Aceh sebagai sarana bagi bangkit dan berulangnya peradaban Aceh yang islami. Kedudukan Syariat Islam di NAD dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia sebagai negara hukum memiliki sistem hukum yang dikenal dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional adalah system hukum yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang berdasarkan pada konstitusi UUD 1945. Sistem hukum nasional terdiri atas subsistem hukum antara lain; subsistem peraturan perundang-undangan, subsistem legislasi, subsistem pendidikan hukum, subsistem penegakan hukum dan lain-lain. Subsistem ini memiliki fungsi masing-masing dan membentuk satu-kesaruan yang dikenal dengan sistem hukum. Pada masa Orde Baru, hukum nasional dipahami dalam konteks, unifikasi hukum yang rigid dan ketat. Keragaman hukum tidak diakui, sehingga hanya ada satu hukum yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Pemahaman hukum yang sempit tentang hukum nasional ternyata tidak tepat lagi pada era sekarang. UUD 1945 dalam beberapa kali amandemennya telah mengakui adanya keragaman dan kesatuan-kesatuan hukum masyarakat di daerah. Artinya, keberadaan ‘hukum lokal’ mendapat pengakuan dari konstitusi dan merupakan bagian dari hukum nasional. UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh adalah perundang-undangan nasional dan menjadi bagian dalam sistem hukum nasional. Secara yuridis undang-undang ini dibentuk berdasarkan konstitusi UUD 1945. Meskipun UU No. 11 Tahun 2006 mengatur otonomi yang luas bagi Aceh dalam menyelenggarakan pemerintahan secara khusus, namun ia tetap menjadi bagian dari sistem hukum nasional. Oleh karena itu, pembentukan peraturan organik dalam rangka menyelenggarakan undang-undang pemerintahan Aceh adalah bagian dari peraturan perundang-undangan nasional dalam bingkai sistem hukum nasional. Qanun Aceh memiliki perbedaan dari segi kekuatan hukumnya bila dibandingkan dengan peraturan daerah yang ada di seluruh Indonesia. Meskipun qanun Aceh adalah produk perundang-undangan di daerah, namun ia memilki karakteristik dan kekuatan tersendiri. Qanun Aceh yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dapat dibatalkan oleh presiden melalui Peraturan Presiden (Perpres) bila bertentangan dengan kepentingan umum, bertentangan dengan hirarki perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan antar sesama qanun. Namun, qanun yang mengatur tentang penyelenggaraan kehidupan masyarakat Aceh, seperti qanun syariat Islam dapat dibatalkan melalui mekanisme (yudicial review) di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materi (yudicial review) terhadap peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah undang-undang seperti peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (Perpres) dan lain-lain. Qanun Aceh juga diberikan kekuatan yuridis untuk mengatur materi-materi muatan, yang tidak dapat diatur dalam peraturan daerah pada umumnya. Materi muatan ancaman pidana misalnya, hanya boleh diatur dengan peraturan daerah berupa ancaman pidana maksimal 6 bulan penjara atau denda maksimal 50 juta rupiah. Dalam pasal 143 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam bulan) penjara atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Namun, untuk Qanun Aceh dikecualikan dari ketentuan tersebut. Aturan pidana cambuk yang diatur dalam Qanun Aceh adalah produk peraturan perundang-undangan di daerah, namun ia diberikan kekuasaan untuk mengatur ancaman pidana melampaui apa yang biasanya diatur oleh peraturan daerah pada umumnya. Kekuasaan yang dimiliki Qanun Aceh untuk mengatur materi tertentu, bukanlah sesuatu yang menyimpang atau keluar dari hukum nasional. Ia tetap menjadi bagian hukum nasional karena kekuasaan itu diberikan kepada Qanun atas perintah undang-undang yang notabenenya adalah produk hukum nasional. Berdasarkan logika yuridis di atas, dapat dipahami bahwa ketentuan hukuman cambuk misalnya, yang diatur dalam Qanun Aceh yang ada selama ini adalah bagian dari hukum nasional karena keberadaannya diperintahkan secara implisit oleh undang-undang nasional, baik UU No. 18 Tahun 2001 (sebelum dicabut), maupun berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Jadi secara yuridis, keberadaan hokum cambuk di Aceh cukup kuat, karena memiliki landasan yuridis, yaitu UU N0. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun, yang menjadi persoalan utama adalah konstruksi teoritis hukuman cambuk sebagai bentuk hukuman dalam hukum syariat Islam, dan penegakan hukuman cambuk di Aceh yang kelihatannya sebagian kalangan menganggap ‘belum’ memenuhi rasa keadilan masyarakat.[29] Keberadaan qanun Aceh dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap realitas hukum di daerah. Otonomi khusus merupakan payung bagi keberadaan qanun di Aceh dalam percaturan perundang-undangan Indonesia. Bahkan konstitusi mengamanatkan bahwa system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas perjuangan masyarakat Aceh yang memilki ketahanan dan daya juang tinggi. PENUTUP Sebagai penutup ingin dikatakan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah sebuah proses. Maksudnya, upaya terus menerus dan berkesinambungan dari semua unsur dan lapisan masyarakat untuk melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan. Berhubung kita sudah terlalu lama meninggalkan syariat Islam di satu pihak dan di pihak lain banyak sekali perubahan yang telah terjadi di tengah masyarakat, maka upaya merumuskan kembali peraturan-peraturan berdasarkan syariat yang dianggap cocok dengan kebutuhan masyarakat atau sebaliknya merumuskan perilaku dan perbuatan anggota masyarakat yang harus diubah serta disesuaikan dengan tuntunan syariat, akan merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara terus-menerus dan sungguh-sungguh. Masa depan penerapan syariat Islam di Aceh, sesungguhnya tidak hanya untuk kepentingan masyarakat Aceh semata, akan tetapi juga untuk kepentingan daerah-daerah lain di Indonesia, terutama daerah-daerah yang memiliki akar keislaman yang kuat dan telah pula mencanangkan penerapan Syariat dengan berbagai cara. Kesuksesan penerapan syariat Islam akan menjadi pendorong gerakan yang memang sudah tumbuh di berbagai daerah lain tersebut. Pengaruh penerapan syariat Islam di Aceh mungkin adalah hal yang tak terduga bagi masyarakat Aceh, akan tetapi keberhasilan penerapan syariat tersebut akan dirasakan dan diharapkan oleh masyarakat lain. Di sinilah pentingnya bahwa penerapan syariat Islam di Aceh harus berhasil mencapai tujuannya yaitu merealisasikan “rahmatan lilalamin”, menimbulkan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari, menegakkan rasa keadilan yang merata dan pada akhirnya akan muncul kesejahteraan masyarakat. Meskipun tujuan ini berjangka panjang, akan tetapi hendaknya dalam jangka singkat diperlukan agar hasilnya harus dirasakan oleh masyarakat. Sebaliknya, apabila penerapan syariat Islam sampai pada hasil yang sebaliknya, tentu akibatnya juga akan dirasakan oleh tidak hanya masyarakat Aceh. Di sinilah pentingnya mengingatkan bahwa upaya penerapan syariat Islam adalah sebagai jihad bersama tidak saja masyarakat Aceh, tetapi masyarakat lainnya di Indonesia. DAFTAR  PUSTAKA ‘Abd al-Hamid Mutawalli, al-Syar’iyah al-Islamiyyah ka Masdar Asasiyy li al-Dustur (Iskandariyyah: al-Ma’arif, 1990). Abd al-Hamid Mutawalli, Azmah al-Fikr al-Islamy fi al-‘Asr al-Hadith (T.tp: al-Hay’ah al-Misriyyah al-Ammah li al-Kitab, 1985). Abd al-Madjid Abd al-Hamid, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Maghrib: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1994). Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1994). Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1994). Ahmad Muhammad Jamal, Qadaya Mu’asiroh fi Mahkamah al-Fikr al-Islami (Kairo: Dar al-Sahwah, 1986), Cet. II, hal. 33-35. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995). Al Jarisyah, Ushul al-Syariyah Madmunuha wa Khasisuha, (Kairo: Dar Gharib, 1979), Cet. I. Munir Hamid al-Bayati, al-Dawlah al-Qanuniyyah Muqarranah (Baghdad al-Dar al-Arabiyyah, 1979). Al Yasa Abubakar, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Sejarah dan Prospeknya),” dalam Safwan Idris (et.al.), Syariat di Wilayah Syariat (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam dan YUA, 2002). Analiansyah, “Benarkah Hukum Islam itu Kejam,?” Serambi Indonesia, 7 Oktober 2002. Ann Elzhabeth Mayer, “The Shari’ah: A Metdhodology or a Body of Substantive Rules? Dalam, Nicholhas Heer (ed.), Islamic Law and Jurisprudence (Seattle University of Washington Press, 1990). Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10/2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, (tt.tp). Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11/2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, (tt.tp). Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12/2003 Tentang Larangan Minuman Khamar dan Sejenisnya, (tt.tp). Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13/2003 Tentang Maisir / Perjudian, (tt.tp). Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14/2003 Tentang Khalwat (Mesum), (tt.tp). Hans Wehr, A Dictionary of Modern Writen Arabic, J. Milton Cowan (ed.), (Wesbaden: Otto Harrassowitz, 1971). Hasan Ahmad al-Khatib, al-Fiqh al-Muqarran (Kairo: Dar al-Ta’lif, 1957). Hasan Ahmad al-Khatib, al-Fiqh al-Muqarran (Kairo: Dar al-Ta’lif, 1957). Idem. Family Law Reform in the Muslim World (New Delhi: the Indian Law Institute, 1972). Iskandar Ibrahim “HaruskahIman dan Ibadah Dipublikasikan?” Serambi Indonesia, 27 Oktober 2002. M. Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Tititan Ilahi Press, 1998). Mahmud Saltut, al-Islam ‘Aqidah was Syari’ah (Kuwait: Dar al-Qalam, 1996). Marshall G. S Hodgson, The Venture of Islam the Classical Age. Vol 1 (Chicago: The University of Chicago Press, 1974). Muhammad al-Ghazali (et.al), Nizam Itsbatt al-Da’wa wa Adillatuh fi al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun (Iskandariyyah: Dar al-Da’wah, 1996), Cet. I. Muhammad al-Ghazali, Hadzha Dinuna (Damaskus: Dar al-Qalam, 1997), Cet. I. Nur Ahmad Fadhil Lubis, A History of Islamic Law in Indonesia (Medan: IAIN Press, 2000). Suara Indonesia  Baru, 5 Mei 2003 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries History, Text, and Comporative Analysis (New Delhi: The Academy of Law and Relligion, 1987). Titin Zakiah, “Mengritisi Mahkamah Syariah di NAD,” Serambi Indonesia, 21 dan 22 Oktober 2002. Daniel S. Lev, terj. Nirwono dan A.E. Priyono, Hukum dan Politik di Indonesia (Jakarta: LP3S, 1990). Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999). [1] Pemberian izin pelaksanaan syariat Islam kepada Aceh sebenarnya sudah pernah diberikan melalui berbagai peraturan dalam sejarah perjalanan Aceh. Di antaranya, Surat Kawat Gubernur Sumatera Nomor 189 Tahun 1947 yang memberi izin kepada residen Aceh membentuk Mahkamah Syar’iyyah dengan kewenangan penuh, meskipun hanya dalam bidang kekeluargaan saja. Peraturan lainnya. PP Nomor 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Mahkamah Syar’iyyah. Di seluruh Aceh berikut susunan dan kewenangannya. Demikian juga keputusan Perda Menteri RI Nomor 1/Missi/1959 yang mengganti Aceh dengan sebutan makna pemberian”Daerah Istimewa Aceh.” Sebutan ini mengandung makna pemberian “Otonomi yang seluas-luasnya, terutama dalam lapangan keagamaan, peradatan  dan pendidikan.” Namun demikian, pemberian kewenangan atau kesempatan pelaksanaan syariat Islam tersebut dapat dikatakan sebagai “Isapan Jempol” yang tidak pernah terealisasikan dengan baik. Keadaan seperti ini berjalan terus sampai akhirnya lahir UU Nomor 44/1999 dan UU Nomor 18/2001. Untuk mengetahui sejarah berbagai peraturan tentang keistimewaan untuk melaksanakan syariat Islam kepada Aceh, lihat misalnya Al Yasa Abubakar, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Sejarah dan Prospeknya),” dalam Safwan Idris (et.al.), Syariat di Wilayah Syariat (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam dan YUA, 2002), hal. 26-51. [2] Taqnin menurut etimologi adalah legistilation, law making, codification (pembuatan peraturan/undang-undang, legislasi). Hans Wehr, A Dictionary of Modern Writen Arabic, J. Milton Cowan (ed.), (Wesbaden: Otto Harrassowitz, 1971), hal. 791. Sedangkan menurut terminonologi adalah upaya mengkompilasikan kaidah-kaidah peraturan yang berkaitan dengan hukum-hukum tertentu dalam sebuah bentuk kitab tertulis, atau dalam satu bentuk legislasi dengan melalui suatu kekuasaan tertentu. Abd al-Hamid Mutawalli, Azmah al-Fikr al-Islamy fi al-‘Asr al-Hadith (T.tp: al-Hay’ah al-Misriyyah al-Ammah li al-Kitab, 1985), hal. 22 [3] Taqnin menurut etimologi berarti rule, statude, code (peraturan, undang-undang). Hans Wehr. A Dictionary, hal. 791. Sedangkan menurut terminologi adalah sekumpulan kaedah yang disusun untuk mengatur urusan manusia dalam hubungan kemasyarakatan. Kaidah tersebut harus ditaati, dihormati, dan diterapkan anggota masyarakat, serta bagi penegak hukum dapat memaksa manusia untuk menghormati dan menegakkan hukum tersebut. Muhammad al-Ghazali (et.al), Nizam Itsbatt al-Da’wa wa Adillatuh fi al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun (Iskandariyyah: Dar al-Da’wah, 1996), Cet. I, hal. 28. Sedangkan pengertian Qanun di NAD akan diuraikan pada pembahasan di belakang. [4] Pendukung legislasi memandang bahwa pelegislasian syariat Islam akan menciptakan ketertiban hukum, mencegah kesewenang-wenangan, dan menjaga terpengaruhinya hak dan keadilan, serta memudahkan untuk dijadikan rujukan dalam proses peradilan. Sementara penentang legislasi syariat Islam berpendapat, bahwa langkah tersebut dianggap membuat hukum baru yang tidak digali dari sumber al-Kitab, al-Sunnah, dan fiqh Islami pada umumnya. Dengan demikian, legislasi itu menyerupai hukum-hukum positif yang dipraktekkan di peradilan negara-negara sekuler. Di antara pendukung legislasi adalah Abd a-Rahman al-Qasim. Sedangkan penentangnya adalah al-Syaikh al-Shalihi dan al-Syaikh Abdullah al-Bassam. Polemik tersebut menurut Ahmad Muhammad Jamal hanya bersifat lafzy (kebahasaan) semata. Karenanya, dia menawarkan pengganti istilah taqnin al-syariah dengan Taqrib al-syariah. Lihat Ahmad Muhammad Jamal, Qadaya Mu’asiroh fi Mahkamah al-Fikr al-Islami (Kairo: Dar al-Sahwah, 1986), Cet. II, hal. 33-35. Menurut hemat penulis, pengalihan istilah tersebut tidaklah mengubah esensinya. Karena istilah taqnin al-syariah dan taqrib al-syariah merupakan upaya mewujudkan syariat Islam dalam bentuk peraturan resmi yang dibuat kekuasaan. [5] Kritik dari pemikir luar Islam terhadap legislasi syariat Islam di antaranya dilontarkan orientalis Joseph Schacht dalam artikelnya “Problems of Modern Islamic Legislation.” Menurutnya, hukum Islam tradisional itu lebih sebagai doktrin dan metode daripada sebagai kitab hukum (code). Secara alamiah pun, hukum Islam itu tidak cocok untuk dilegislasikan karena akan mendistorsinya. Problema ini telah dijawab dengan baik oleh orientalis lain, Ann Elizabeth Mayer. Menurutnya, perlu dirumuskan kembali teori sumber hukum Islam (Theories of sources of Islamic law) dalam khazanah ushul fiqh, dengan melihatnya dalam perspektif tingkatan sumber hukum (hierarchy of sources of law) yang terdapat dalam sistem hukum modern. Berdasarkan hal tersebut, pengakuan juris (fuqaha) sebagai pemegang otoritas hukum Islam, harus diganti dengan menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai pengganti kedudukannya. Di samping itu, fiqh yang selama ini didudukkan sebagai sumber utama (primary source of law) diturunkan derajatnya menjadi sumber sekunder (secondary source). Uraian lengkap analisis Mayer tersebut dapat dilihat dalam artikelnya “The Shari’ah: A Metdhodology or a Body of Substantive Rules? Dalam, Nicholhas Heer (ed.), Islamic Law and Jurisprudence (Seattle University of Washington Press, 1990), hal. 177-198. [6] Term hukum Islam (fiqh) dapat diidentikkan dengan syariat Islam dalam terminologi khusus, yakni syariat dalam makna sempit. Karena syariat luas mencakup hukum keyakinan, etika, dan ‘amali (fiqh). Lihat Hasan Ahmad al-Khatib, al-Fiqh al-Muqarran (Kairo: Dar al-Ta’lif, 1957), hal. 8; Muhammad al-Ghazali, Hadha Dinuna (Damaskus: Dar al-Qalam, 1997), Cet. I, hal. 205. Padahal, term fiqh itu pada masa awal sejarah Islam mempunyai cakupan pengertian yang luas kemudian hanya terbatas pada literatur hukum saja. Lihat, Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1994), hal. 1-10. Secara umum mayoritas pemikir membedakan syariat dengan fiqh. Pertama, cakupan syariat lebih luas daripada fiqh, sehingga fiqh merupakan salah satu bagian dari syariat, kedua, syariat bersumber dari Allah, sehingga mempunyai nilai kebenaran mutlak, sedang fiqh yang berasal dari pemikir fuqaha’, sehingga kebenarannya hanya relatif. Ketiga, syariat bersifat universal, sedangkan fiqh hanya bersifat lokal – temporal. Dalam perjalanan sejarah, sedikitnya ada empat macam produk pemikiran hukum Islam; yaitu: kitab-kitab fiqh, fatwa ulama’, keputusan pengadilan Agama, dan peraturan perundangan di negeri muslim. Lihat, M. Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Tititan Ilahi Press, 1998), hal. 91; Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), hal. 31-33; Marshall G. S Hodgson hanya menyebutkan 3 (tiga) macam: fiqh, fatwa, dan qada’. Lihat dalam bukunya. The Venture of Islam the Classical Age. Vol 1 (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), hal. 338. Pemikiran Hodgson tersebut dielaborasi oleh Nur Ahmad Fadhil Lubis dengan menambahkan 2 (dua) bentuk lainnya; yakni Qanun (Legal decision) dan Siyasah (Ruler’s statutes). Lihat dalam bukunya A History of Islamic Law in Indonesia (Medan: IAIN Press, 2000), hal. 19. [7] Di antara bidang syariat Islam yang telah banyak dilegislasikan di dunia Islam adalah tentang hukum keluarga. Di beberapa negara Islam, bidang hukum ini telah banyak dilakukan pembaharuan. Lihat selanjutnya penelitian yang dilakukan Tahir Mahmood dalam dua bukunya. Personal Law in Islamic Countries History, Text, and Comporative Analysis (New Delhi: The Academy of Law and Relligion, 1987), dan Family Law Reform in the Muslim World (New Delhi: the Indian Law Institute, 1972). Dari judul kedua buku tersebut, tampaknya Tahir Mahmood menyamakan istilah Islamic countries (negara Islam) dengan Muslim World (Dunia Islam). Hal ini kemungkinan dikarenakan adanya perkembangan makna dar Islam; apakah didasarkan atas dijadikannya hukum Islam sebagai konstitusi negara, ataukah atas dasar sekedar berjalannya hukum Islam di negara tersebut, ataukah berdasarkan jumlah mayoritas penduduknya yang muslim. [8] Legalisasi hukum pertama kali adalah lahirnya Majallah al-Ahkam al-Adliyyah, pada tahun 1293 H/1876 M pada akhir masa Turki Utsmani, Abd al-Madjid Abd al-Hamid, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Maghrib: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1994), hal. 322-323. [9] Abdul Gani Abdullah, PengantarKompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hal. 15-16. [10] Daniel S. Lev, terj. Nirwono dan A.E. Priyono, Hukum dan Politik di Indonesia (Jakarta: LP3S, 1990), hal. 121-122. [11] Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), hal. 60-62. [12] Syariat Islam dalam makna luas mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia. Namun dalam pembagian bidang-bidangnya para pemikir berbeda pendapat. Ada pemikir yang membaginya menjadi 2 (dua) bidang besar, ‘aqidah dan syari’ah. Pembagian ini di antaranya dikemukakan oleh Mahmud Saltut dalam bukunya, al-Islam ‘Aqidah was Syari’ah (Kuwait: Dar al-Qalam, 1996). Pendapat lain memaknai syariat Islam secara luas mencakup 3 (tiga) bidang besar: al-‘I’tiqadiyyah (keimanan), al-Khuluqiyyah (etika), dan al-Ahkam al-‘Amallyyah (hukum-hukum perbuatan). Sedangkan syariat Islam dalam arti sempit hanya dibatasi pada bidang-bidang hukum perbuatan yang disebut fiqh. Lihat misalnya Hasan Ahmad al-Khatib, al-Fiqh al-Muqarran (Kairo: Dar al-Ta’lif, 1957), hal. 8. Jika syariat Islam dalam arti sempit hanya dibatasi pada fiqih, maka term fiqh pada masa awal sejarah Islam justru mempunyai cakupan pengertian yang luas. Namun dalam perkembangan mengalami pergeseran makna sehingga akhirnya hanya terbatas pada literatur hukum saja. Lihat Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1994), hal. 1-10. Meskipun dalam sejarah telah terjadi pergeseran makna syariat dan fiqh, namun secara umum mayoritas pemikir hukum Islam membedakan syariat dengan fiqh. Pertama, cakupan syariat lebih luas daripada fiqh, sehingga fiqh merupakan salah satu bagian dari syariat. Kedua, syariat bersumber dari Allah sehingga mempunyai nilai kebenaran mutlak, sedang fiqh berasal dari pemikiran fuqaha sehingga kebenarannya hanya relatif. Ketiga, syariat bersifat universal, sedangkan fiqh hanya bersifat lokal – temporal. [13] Lihat misalnya, Pasal 1ayat (6) Perda Nomor 5 Tahun 2000; Pasal 1 ayat (1) Qanun Nomor 10 Tahun 2002; dan Pasal 1 ayat (6) Qanun Nomor 11 Tahun 2002. [14] Dalam Pasal 1 ayat (6), Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam disebutkan bahwa pelaksanaan syariat Islam itu meliputi 13 (tiga belas) bidang, yaitu: aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiyah atau amar ma’ruf dan nahi munkar, baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, qadha, jinayat, munakahat, dan mawaris. Dalam penjelasan umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam dijelaskan bahwa syariat secara umum meliputi bidang aqidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Sementara bidang-bidang syariat Islam dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam dibedakan menjadi tiga macam; ahwal syakhsiyyah, mu’amalah, dan jinayah (Pasal 49 Qanun Nomor 10/2002). Meskipun dalam penjelasan umum, point angka 4 disebutkan, bahwa bidang hukum yang menjadi kompetensi Mahkamah Syari’ah sebagai Peradilan Islam tersebut hanya merupakan pembagian secara garis besar, sedangkan rinciannya akan diatur dalam Qanun tersendiri. Pemilihan bidang syariat Islam tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi dalam klasifikasinya. [15] Sampai saat ini, bidang-bidang syariat Islam yang telah diatur dalam Qanun adalah bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam (Qanun Nomor 11 Tahun 2002), masalah minuman Khamr dan sejenisnya (Qanun Nomor 12 Tahun 2003), masalah maisir/ perjudian (Qanun Nomr 13 Tahun 2003) dan masalah Khalwat / Mesum (Qanun Nomor 14 Tahun 2003). [16] Dengan keluarnya UU Nomor 18 Tahun 2001 seluruh Perda yang ada termasuk Perda Nomor 5 ini dinyatakan sebagai Qanun (Pasal 30 UU Nomor 18/2001). [17] Menurut Jarisyah, ajaran Islam itu meliputi 4 (empat) bidang, ‘aqidah, akhlak, sya’air (syiar-syiar), dan al-ahkam al-amalyyah (hukum-hukum praktis). Keempat bidang tersebut harus ditegakkan oleh penguasa dan hal inilah yang menjadi pondasi berdirinya bangunan Islam. Uraian lebih lanjut, lihat ‘Al Jarisyah, Ushul al-Syariyah Madmunuha wa Khasisuha, (Kairo: Dar Gharib, 1979), Cet. I, hal. 36-60. Pemikiran senada juga dikemukakan al-Bayati. Menurutnya di antara tugas kekuasaan legeslatif adalah melakukan legislasi, dimana Qanun yang dihasilkan itu meliputi seluruh bidang hukum syara’ yang terbagi menjadi bidang ibadah, muamalah, dan uqubat. Bidang muamalat. Bidang muamalat dan uqubat inilah yang mencakup semua bidang yang termasuk dalam Qanun ‘Am (hukum publik) dan Qanun Khas (hukum privat) dengan segala bentuk cabang-cabangnya. Munir Hamid al-Bayati, al-Dawlah al-Qanuniyyah Muqarranah (Baghdad al-Dar al-Arabiyyah, 1979), hal. 238-239. [18] Campur tangan negara yang terwujud dalam bentuk peraturan tertulis merupakan salah satu sumber Qanun (al-Masadir al-rasmiyyah). Sumber inilah yang menjadikannya daya ikat dan daya paksa. Sedangkan sumber Qanun yang lain adalah sumber-sumber material (al-Masadir al-Maddiyah / al-maqdu’iyyah), sumber-sumber kesejarahan (al-masadir al-tarikhiyyah), dan sumber yang berupa pemahaman (al-masadir al-tafsiriyyah), ‘Abd al-Hamid Mutawalli, al-Syar’iyah al-Islamiyyah ka Masdar Asasiyy li al-Dustur (Iskandariyyah: al-Ma’arif, 1990), Cet. III, hal. 19-20. [19] Fadhil Lubis, A History of Islamic Law, hal. 14-15. [20] Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10/2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, (tt.tp). [21] Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11/2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, (tt.tp). [22] Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12/2003 Tentang Larangan Minuman Khamar dan Sejenisnya, (tt.tp). [23] Draf Rancangan Qanun tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya yang ada di tangan penulis hanya menetapkan larangan minum khamar terbatas kepada kaum muslimin. [24] Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13/2003 Tentang Maisir / Perjudian, (tt.tp). [25] Tentang kandungan qanun ini selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14/2003 Tentang Khalwat (Mesum), (tt.tp). [26] M. Saleh Suhaidy, “Tentang Dinas Syariat Islam: Apa dan Untuk Apa?”, dalam Shafwan Idris, et.al, Syariat di Wilayah Syariat, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam dan YUA, 2002), hal. 267-270. [27] Suhaidy, Dinas Syariat…, hal. 269. [28] Ibid. [29] Syahrizal Abbas, Kedudukan Qanun Aceh dalam Sistem Hukum Nasional, Makalah yang disampaikan pada Konferensi Internasional: Syariat Islam dan Tantangan Dunia Global, Menggagas Format Penerapan Hukum Islam yang Aktual dan Dinamis di Nanggroe Aceh Darussalam, 19-21 Juli 2007.
KOMUNITAS BURUNG BAWAH TAJUK DI HUTAN PERBATASAN, KABUPATEN NUNUKAN, KALIMANTAN UTARA Irham, Muhammad
ZOO INDONESIA Vol 24, No 1 (2015): Juli 2015
Publisher : Masyarakat Zoologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian komunitas burung bawah tajuk telah dilakukan di hutan perbatasan Indonesia-Malaysia, yaitu Tau Lumbis (Kabungolor dan Kabalob) dan Simenggaris. Satu lokasi lainnya tidak berada di perbatasan, yaitu Hutan Wisata KM.8 Malinau. Tujuannya adalah untuk mengetahui komunitas burung dari segi kekayaan jenis dan kelompok relung mencari makan (feeeding guild). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jaring kabut. Penelitian ini mendapatkan 44 spesies dari 13 famili dengan jumlah individu sebanyak 186 ekor. Keanekaragaman tertinggi dijumpai di Kabungolor (28 jenis, indeks Shannon-Wiener: 3,10) dan daerah yang paling sedikit jenis ada di Hutan Wisata KM.8 Malinau (11 jenis, indeks Shannon-Wiener: 2,16). Sedangkan untuk komunitas feeding guilds, Kabalob didominasi oleh insectivore frugivore dan flycatching insectivore; Kabungolor memiliki lebih banyak spesies untuk kelompok insectivore frugivore dan shrub-foliage gleaning insectivore; komposisi guilds untuk Simenggaris hampir sama namun cenderung pada flycatching insectivore, insectivore frugivore dan shrub-foliage gleaning insectivore. Komunitas burung di KM.8 Malinau cenderung melimpah untuk insectivore frugivore dan nectarivore. Penelitian ini menunjukkan bahwa keanekaragaman burung bawah tajuk cenderung menurun sejalan dengan tingkat kerusakan habitat. Selain itu perubahan kondisi mikrohabitat memberikan pengaruh kepada komposisi burung dimana feeding guilds cenderung berubah dari kelompok insectivore ke kelompok frugivore dan nectarivore.
MEDIASI TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA HAK MILIK ATAS TANAH DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI BENGKALIS Irham, Muhammad; Bachtiar, Maryati; ', Dasrol
Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Hukum Vol 5, No 1 (2018): Wisuda April 2018
Publisher : Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The dispute settlement through mediation prioritizes the principles of deliberation to achieve consensus that is in harmony with the culture of the Indonesian nation, then it is proper that the mediation is applied maximally in every process of dispute settlement in court. Integrated mediation in the courts is a process of dispute settlement that must be taken as an instrument to reduce the burden of civil litigation in court, the active role of the parties in mediation with the help of a neutral mediator judge to achieve the peace process through simple mediation, fast and low cost. This study aims to gain clarity about the process of mediation in court which includes the stages of mediation and the effectiveness of the mediation in case reduction, the constraints faced by the courts and efforts to overcome them.The problems in this research are 1) How is the procedure of mediation to settlement of land ownership dispute in the District Court of Justice of Bengkalis based on Supreme Court Regulation Number 1 Year 2008 About Mediation Procedure in Court? 2) How is the effectiveness of the implementation of mediation in the settlement of land ownership disputes in the Legal District of Bengkalis District Court? 3) What are some barriers that occur in mediating the settlement of land ownership disputes in the Legal District of Bengkalis District Court? This research method uses Juridical Empirical approach. The location of this research was conducted in the jurisdiction of Bengkalis District Court. The population in this research is the Chairman of Bengkalis District Court, Bengkalis District Court Judge, Mediator. The data source of this research is primary data and secondary data by collecting data through interview, literature study. The data analysis technique used is qualitative.The general picture in this study is a description of the mediation concept in the Court, a picture of the mediation and a description of the settlement of land rights disputes. The description of the mediation concept in the court discusses the scope, objectives, principles, and mediation process, the Overview of mediation discussing the roles, functions, and tasks of mediators. A description of the settlement of land disputes addresses the settlement of land disputes through the Court and outside the Court.The process of conducting mediation in the courts includes stages of a general and non-detailed regulation commencing with the registration of a lawsuit by the party by paying court fees and determining the judge and summoning the parties, in the pre-mediation phase of the panel of judges explaining the mediation and proceeding with the judges' the mediation process of submitting a resume and receiving a peace option from a mediator judge and proceeding with a meeting or caucus session, the final stages of mediation result in a peace agreement or failure. The cause of the failure of mediation due to the limitations of mediators, facilities, and lack of support from the parties, the efforts undertaken in order to carry out mediation proceed effectively with the criteria of mediator judgment and the provision of space for mediation and peace options offered to the partiesKeywords: Mediation Engineering - Settlement - Land Rights – Mediator
[RETRACTED] Analisis Metakognisi Peserta Didik dalam Pemecahan Masalah pada Materi Turunan Maulidyawati, Desi; Irham, Muhammad
Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif Vol 9, No 1 (2018): Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif 9(1)
Publisher : Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Sema

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/kreano.v9i1.13125

Abstract

[THIS ARTICLE HAS BEEN RETRACTED]Following a rigorous, carefully concerns and considered review of the article published in Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif to article entitled “Analisis Metakognisi Peserta Didik dalam Pemecahan Masalah pada Materi Turunan” Vol 9, No 1, pp. 84-92, Juni 2018, DOI: 10.15294/kreano.v9i1.13125.The document and its content has been removed from Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif, and reasonable effort should be made to remove all references to this article.
Bimbingan Dan Konseling Di Madrasah Ibtidaiyyah (Paradigma Bimbingan Komprehensif dalam Bingkai Tematik-Integratif) Irham, Muhammad
INSANIA : Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan Vol 18 No 2 (2013)
Publisher : Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (593.565 KB) | DOI: 10.24090/insania.v18i2.1452

Abstract

Abstract: The concept of integration in Madrasah Ibtidaiyyah (MI) not only between religion and science, but also inter-component management, teaching, and personal development. The goal is to produce graduates who are intelligent, faithful and devoted, and able to compete. However, problems of madrasa education in general and specifically MI is still confined to the graduates who are not scientists nor a scholar. Therefore, it is necessary to optimize the role of self-development component for students in basic education since or Madrasah Ibtidaiyyah. Model of self-development is the most appropriate approach to the development of integrative models-a comprehensive, unified meaning and guidance services are integrated with KBM to develop the potential of learners in a comprehensive manner. It is even stronger with the publication of the 2013 curriculum adopts a thematic-integrative. Referring to the basic strength of the curriculum in 2013 and the model with keterapaduan program guidance, energy, engineering and support system and its operation, the purpose of education to develop the whole person will be more easily achieved. Keywords: Guidance Counseling, Madrasah Ibtida’iyyah, Comprehensive.
The Cooperation Pattern between the Maluku Provincial Government and the Private Sector in the Arrangement and Normalization of Ex-Illegal Gold Mining Allegedly Prone to Corruption Anwar, Arman; Halima Hanafi, Irma; Irham, Muhammad
Integritas : Jurnal Antikorupsi Vol. 7 No. 1 (2021): INTEGRITAS: Jurnal Antikorupsi
Publisher : Komisi Pemberantasan Korupsi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32697/integritas.v7i1.721

Abstract

Buru District has been developed since 1970 as a transmigration area. The nuance of agriculture is characteristic of Buru Regency so that it is designated as a national rice granary area. However, since gold was discovered in Mount Botak and Gogrea in 2011, Buru Regency has turned into an illegal gold mining area. As a result, there is massive environmental damage and pollution caused by the use of cyanide and mercury by illegal miners. To overcome this problem, the Maluku Provincial Government is working with a third party (private) to normalize and restore the environment in ex-illegal mining, but the cooperation is prone to corruption. The purpose of this research is to prevent corruption in this sector. The research method uses Social Network Analysis, the data is qualitative. The research findings show that cooperation between the Maluku Provincial government and third parties (private) who are prone to corruption can be prevented by mapping the vulnerability of corruption to determine the pattern of relations between cooperative actors who tend to be easily bribed so that a cooperation model that does not have corruption implications can be obtained. Key words: Corruption; Mining; Cooperation; Local government; Private;
PRINCIPLE OF JUSTICE IN MANAGEMENT OF MARINE RESOURCES IN AREA CHARACTERIZED BY ISLANDS Anwar, Arman; Irham, Muhammad
Indonesian Journal of International Law
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (475.316 KB)

Abstract

Indonesia has eight provinces that are characterized as island regions, but in the setting of marine resource management authority is equated with the continental characterized provinces. Normative provisions apply but people in areas characterized by islands have been treated unfairly. In addition, the licensing system and the distribution of funds allocated as well as unfavorable framework in the implementation of regional autonomy. National government policies are deemed too oriented to the land where it is not appropriate to the needs of the regions. As a result, they are demanding to be no laws governing special about Islands Province. Government responded to amend the legislation on local government in accommodating the interests of the islands. The setting of the DAU and DAK, also provide more financial portion to the islands. It is expected to bring changes to the community. Implementation of regionally based local autonomy, excellence spatial and local potential is a determinant factor the success of regional development framework. Development process should be done based on diversity of various aspects that also needed a different treatment in each province. Thus, the question is whether the political law of the islands is done through changes and harmonization of the local governments law to provide a guarantee of justice so the demands for legislation that specifically regulates an island province is not matter any more. This study expected to find the values of justice and the foundation to be harmonized, so there exist principle of fairness in the management of marine resources in the waters of the area characterized by islands
Pengembangan Media dan Bahan Ajar Interaktif “Scan It” Berbasis Geogebra Apriliani, Laely Rohmatin; Irham, Muhammad; Darojat, Latifah
Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif Vol 11, No 2 (2020): Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif
Publisher : Mathematics Dept, Math. and Science Faculty, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/kreano.v11i2.26909

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pengembangan media dan bahan ajar interaktif “Scan It” berbasis Geogebra. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan. Model pengembangan yang digunakan adalah model pengembangan ADDIE. Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas XI SMK. Penelitian ini menggunakan tiga kelas  yaitu untuk uji coba, eksperimen, dan kontrol. Desain penelitian ini adalah Desain penelitian Nonrandomized Control Group, Pretest-Postest Desain. Hasil dari penelitian ini adalah media dan bahan ajar interaktif “Scan It” berbasis geogebra valid, praktis, dan efektif. Peserta didik yang menunjukkan respon positif adalah sebanyak 96%. Sebanyak 58,3% peserta didik mengalami peningkatan kemampuan keruangan sedang dan 33,3% peserta didik mengalami peningkatan kemampuan keruangan tinggi.The research aims was to describe the process of developing media and interactive teaching materials "Scan It" based on Geogebra. This research was a development research. The development model used is the ADDIE development model. The subjects of this study were students of class XI SMK. This study used three classes, namely for trials, experiments, and controls. The research design was a nonrandomized control group research design, pretest-posttest design. The results of this research were media and interactive teaching materials "Scan It" based on geogebra, which were valid, practical, and effective. Students who showed a positive response were 96%. As many as 58.3% of students experienced an increase in moderate spatial abilities and 33.3% of students experienced an increase in high spatial abilities.
Development of Sumbawa Local Wisdom-Based Mathematics Module Yuliani, Aska Muta; Irham, Muhammad
Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif Vol 13, No 1 (2022): Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif
Publisher : Mathematics Dept, Math. and Science Faculty, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/kreano.v13i1.33166

Abstract

This study aims to produce an applicable Sumbawa local wisdom-based mathematics module for elementary school students by using the Four-D (4D) development research design from Thiagarajan. However, the development design of this module only includes three steps, namely define, design, and develop. The product feasibility test is only on the aspect of validity. Observation, interviews, and questionnaires were used to collect the data. The defined stage resulted in the formulation of the material, including the KPK, FPB, Fractions, Two-dimensional Shapes, and three-dimensional Geometry. A draft was created by emerging the elements of Sumbawa local wisdom in the materials, which is then validated at the design stage. The average validation results of material experts were 91.678%, linguists 90%, and media experts were 91.15%. The average validation result of the three specs is 90.94%, categorized as very valid, which confirms that the module is valid and suitable for elementary school students.Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan modul matematika berbasis kearifan lokal Sumbawa yang valid untuk siswa sekolah dasar dengan menggunakan desain penelitian pengembangan Four-D (4D) dari Thiagarajan. Namun, desain pengembangan modul ini hanya meliputi tiga langkah yaitu define, design, dan develop. Pada tahap develop, uji kelayakan produk hanya pada aspek kevalidan. Teknik pengambilan data meliputi observasi, wawancara dan angket. Hasil penelitian pada tahap define yaitu perumusan materi yang meliputi KPK, FPB, pecahan, bangun datar dan bangun ruang.  Hasil penelitian pada tahap design yaitu memunculkan unsur kearifan lokal Sumbawa pada materi sehingga menghasilkan draf modul matematika berbasis kearifan lokal Sumbawa untuk divalidasi. Hasil validasi diperoleh bahwa rata-rata hasil validasi ahli materi 91.67%, ahli bahasa 90% dan ahli media 91.15%. Rata-rata hasil validasi ketiga spek yaitu 90.94% dan dikategorikan sangat valid, sehingga dapat disimpulkan bahwa modul matematika berbasis kearifan lokal Sumbawa dikatakan sangat valid dan layak digunakan oleh siswa sekolah dasar.